Waso adalah nama seseorang yang muncul di bumi Irian Jaya pada awal Masehi tanpa diketahui asal-usulnya, baik orang tua maupun marganya. Oleh karena itu, kemunculannya dibicarakan orang-orang tua di daerah Kabupaten Jayapura, khususnya di Kecamatan Sawoi, Kecamatan Nimboron, dan Kecamatan Sentani. Pembicaraan mengenai Waso makin hari makin menyebar luas sampai ke daerah Kemtuk Gresi, Bring dan Yansu. Waso memiliki tiga nama yaitu, Waso Meduu, Waso Kinta, dan Kwalp dem Yakob.
Kedatangan Waso di daerah Kemtuk Gresi sangat mengejutkan masyarakat. Selain tidak diketahui asal usulnya, dia juga ingin mengubah adat kebiasaan masyarakat daerah Kemtuk Gresi.
Di daerah Kemtuk Gresi dan sekitarnya, Waso memperkenalkan kepercayaan baru yang dinamakan kepercayaan Wali Du (wali ayah). Dia menginginkan masyarakat Kemtuk Gresi dan sekitarnya yang semula percaya dan menyembah naga, binatang dan pohon-pohon besar, berubah menyembah Wali Du (Tuhan).
Adat istiadat nenek moyang yang telah melekat kuat di hati masyarakat susah digoyahkan. Akan tetapi, Waso terus berusaha dan yakin dapat mengubah kepercayaan serta adat istiadat mereka.
Setelah berhasil mengubah adat istiadat masyarakat daerah Kemtuk Gresi, Waso pergi ke daerah Bring membawa buku wasiat. Buku wasiat itu dapat digunakan untuk menjaga diri atau untuk menolong orang sakit.
Waso mendapat banyak pengikut di daerah Bring. Semakin kepercayaan itu dilarang, semakin bertambah pengikutnya. Meskipun demikian, tidak seorang pun tahu dari mana asal usul kepercayaan yang dibawa Waso.
Masyarakat daerah Bring amat patuh pada adat kebiasaan yang berlaku. Setiap orang yang akan melakukan sesuatu harus mendapat persetujuan dari kepala adat atau kepala suku. Akan tetapi, Waso sering melakukan sesuatu yang diputuskannya sendiri dan tidak dimusyawarhkan dengan kepala adat atau kepala suku. Oleh karena itu, masyarakat daerah Bring banyak yang marah kepada Waso. Mereka menghukum Waso dengan melarang dia menginjak tanah daerah Bring. Selain itu, mereka juga melarang Waso mengembangkan kepercayaan Wali Du.
Dengan berat hati Waso meninggalkan daerah Bring, menuju daerah Yansu. Masyarakat daerah Yansu lebih taat pada adat istiadat. Mereka masih menyembah binatang, pohon dan matahari. Masyarakat juga beranggapan bahwa wanita adalah harta yang sangat tinggi nilainya. Permasalahan kecil tentang wanita dapat mengakibatkan pembunuhan.
Nasib Waso di daerah Yansu lebih tidak menguntungkan jika dibandingkan ketika berada di daerah Kemtuk Gresi dan Bring. Di daerah Yansu, Waso tidak mendapat sambutan dari masyarakat, tetapi dia terus berusaha agar mendapat perhatian.
Pada suatu hari, ketika Waso sedang berjalan, dia bertemu dengan orang lumpuh. Bagi Waso, pertemuan ini merupakan kesempatan yang sangat baik. Dia segera menggunakan buku wasiatnya untuk mengobati orang lumpuh itu.
Waso mengobati orang lumpuh itu dengan memegang kakinya sambil membaca mantra. Seketika orang lumpuh itu bisa berjalan. Dengan senang hati orang lumpuh itu menyatakan akan mengikuti ajaran Waso, percaya kepada Wali Du. Waso amat senang dengan pernyataan yang diucapkan orang lumpuh itu.
Berita mengenai penyembuhan orang lumpuh itu tersebar luas. Banyak orang yang ingin berkenalan dengan Waso. Banyak juga anak kecil yang selalu mengikuti ke mana Waso berjalan. Waso amat senang diikuti anak-anak kecil karena melalui merekalah ajarannya lebih mudah tersebar luas.
Ajaran Waso bukan hanya tersebar di daerah Yansu, melainkan sampai ke daerah Bring. Banyak orang Bring mengikuti ajarannya. Hal itu menyebabkan orang-orang tua, seperti kepala adat, kepala kampung, dan pembantu kepala adat menjadi iri hati. Waso dipukul sampai babak belur agar ilmu yang dimilikinya hilang.
Dalam keadaan sakit, Waso pergi ke sebuah kebun. Dari dalam kebun itu terpancar sinar terang. Di dalamnya terlihat seorang putri sangat cantik sedang duduk di tonggak kayu. Waso terkejut dan berkata dalam hati bahwa putri cantik itu adalah putri Wali Du, bukan peri atau setan.
Putri Wali Du itu bernama Su, Waso Jatuh cinta kepada Su. Su juga jatuh cinta kepada Waso. Akhirnya mereka bersepakat menjadi suami istri dan berniat meneruskan ajaran Wali Du sampai akhir hayat mereka.
Putri Wali Du itu bernama Su. Waso jatuh cinta kepada Su. Su juga jatuh cinta kepada Waso. Akhirnya mereka bersepakat menjadi suami istri dan berniat meneruskan ajaran Wali Du sampai akhir hayat mereka.
Masyarakat Bring dan Yansu gempar setelah mendengar bahwa Waso memperoleh seorang putri di dalam sinar. Mereka mulai beranggapan bahwa Waso keturunan dewa yang turun ke bumi.
Kemudian Waso pindah dari daerah Yansu ke daerah Nimboron karena akan dibunuh orang Yansu dan Bring. Di Nimboron dia juga menyebarkan ajarannya dan mendapat sambutan baik. Dia masih menyesal karena masyarakat Bring dan Yansu tidak mau menerima ajaran Wali Du. Oleh karena itu, dia kembali ke daerah Bring untuk mengajarkan dan meyakinkan ajarannya kepada mereka.
Masyarakat daerah Bring sebagian besar tetap tidak mau menerima ajaran Waso. Bahkan keinginan untuk membunuh Waso masih tetap ada.
Pada suatu hari, ketika masyarakat Bring sedang mengadakan rapat untuk membunuh Waso, tiba-tiba Waso muncul di situ. Mereka tersentak dan hilanglah keinginan untuk membunuh Waso.
Ketika Waso pergi ke daerah Yansu untuk mengobati orang sakit, orang-orang tua itu berkumpul lagi membicarakan niat mereka dahulu untuk membunuh. Amarah mereka tidak dapat ditahan lagi. Akhirnya Waso dibunuh dan dimakamkan di Nsa Dum Tgok.
Keesokan harinya, makan Waso dipindah ke Si Kati Mabuun. Sebelum jenazahnya dikuburkan, luka-lukanya dikerumuni belalang, ular, jangkrik dan lalat. Anehnya, kulit binatang-binatang itu berganti setelah mereka mengerumuni luka-luka di tubuh Waso.
Pada suatu malam, jenazah Waso dicuri tiga orang perempuan dan seorang laki-laki untuk dikuburkan di Dum Kwalp. Para pencuri itu mengganti isi kubur yang lama dengan batang pisang. Itulah sebabnya mengapa masyarakat Kemtuk Gresi tidak mau makan buah pisang.
Pada suatu hari, Waso bangkit dari kubur dan pulang menjumpai istri dan anaknya. Anaknya mengetahui kedatangan ayahnya dari kejauhan dan memberi tahu Ibunya. Ibunya pun keluar sambil menjelaskan kepada Si anak bahwa ayahnya telah meninggal. Namun, anaknya tetap menunjuk-nunjuk sehingga sang ibu mengetahui kalau suaminya kembali.
Su dan anaknya mendekati Waso. Akan tetapi Waso tidak mau disentuh. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya dia belum meninggal. Kedatangannya itu ingin menyampaikan kepada bangsa terkutuk serta mengatakan bahwa di tanah ini tidak seorang pun akan mendapat kebaikan. Setelah itu Waso menghilang bersama awan. Istrinya mengantarkan kepulangan Waso dengan menyanyikan sebuah lagu.
Setelah Waso hilang, beterbanganlah unggas di angkasa, semua binatang melata datang, bumi bergoncang, dan guntur menggelegar sehingga semua orang ketakutan.
Kesimpulan
Cerita ini tergolong legenda. Makam Waso sampai sekarang dikeramatkan orang. Setiap orang yang ingin berkunjung ke makamnya harus mendapat persetujuan dari pemuka adat dan harus mematuhi peraturan yang ditetapkan.
Cerita ini memberi pelajaran kepada kita agar kita tidak mudah putus asa meskipun banyak rintangan dihadapi.
Sumber:
Buku Cerita Rakyat dari Irian Jaya
Oleh Muhammad Jaruki dan Mardiyanto
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Post Top Ad
Waso, Cerita Rakyat dari Irian Jaya (Papua)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar