Pagi-pagi sekali Pinggan keluar dari rumah panjang- Rumah adat suku Dayak di Kalimantan - menuju ke ladang. Ia melalui jalan setapak di antara perdu dan ilalang, di tengah hutan karet yang mengepung desanya. Di dahan-dahan pohon karet burung-burung kecil terbang-hinggap berkicau riang. Sesekali burung-burung itu terbang melintasi Pinggan, seolah hendak mengajak gadis itu bersenda gurau menyambut maraknya sinar mentari.
Sesampainya di ladang, tak jauh dari rumahnya, Pinggan mencabuti rumput-rumput yang tumbuh liar di antara rumpun-rumpun padi. Sejak rumpun-rumpun pada mulai tumbuh, oleh ayahnya ia ditugasi menyiangi rumput yang menganggu kesuburan padi.
Ketika sedang asyik bekerja, tiba-tiba didengarnya suara seekor burung. Suara itu datang dari pohon jampang yang tumbuh di pinggir ladang. Dengan heran Pinggan lalu mendekati pohon itu. "Aneh," pikirnya. "Bukankah itu suara burung bayan yang biasanya sangat liar? Dan suaranya seperti memanggiku?"
Agak lama Pinggan memperhatikan burung itu. Sekilas ia mirip burung betet. Bulunya hijau kekuning-kuningan, dan segaris warna merah menghiasi ujung sayapnya. Paruhnya yang melengkung mirip jambu mede.
"Kiak...Kaik..."sambil membalas pandangan Pinggan burung itu berbunyi lagi. Suaranya berat dan dalam.
Perlahan Pinggan melangkahkan kakinya ke bawah pohon jampang.. Wajahnya agak mendongak dan mulutnya setengah menganga. Pinggan tampak semakin heran. Burung yang biasanya liar itu melompat-lompat riang diatas dahan tempatnya bertengger.
"Kiak...Kaik....," bunyinya lagi seolah menyapa Pinggan.
Sejak hari itu, setiap pagi Pinggan melihat burung itu bertengger di sana."Kiak...Kaik," Suaranya yang berat dan dalam akhirnya menggelitik keinginan Pinggan untuk menyahutinya.
"Kiak...Kaik....," Pinggan meniru suara burung itu.
"Kiak...Kaik....," sahut burung itu pula.
Pinggan bergumam."Kamu mengerti, hai Bayan?"
"Kiak...Kaik....," jawab burung bayan, kali ini sambil melompat-lompat girang.
"Kalau kamu mengerti, aku ingin menjadi burung seperti kamu."
"Kiak...Kaik....,"
"Atau kamu mau menjadi orang Kayan seperti aku? Aku jadi burung, kamu jadi manusia. Kamu mau?"
"Kiak...Kaik....,"
"Kamu mau tidak?" tanya Pinggan. "Kamu menjadi Kayan, Aku menjadi bayan. Kamu mau kan?"
Pinggan mulai membayangkan betapa enaknya seandainya ia bisa terbang. Maka, setiap bertemu burung itu, keinginannya itu dikatan berulang-ulang. Di hari kesepuluh, setelah mendengarkan keinginan Pinggan, burung itu terbang.
Dengan sangat kecewa Pinggan memandang burung itu menjauh, hingga lenyap dari pandangannya. Masih kecewa, Pinggan kembali bekerja. Tetapi baru saja ia mencabut beberapa batang rumput, ia melihat seorang gadis seusianya berjalan ke arahnya. Gadis itu datang dari hutan karet di depannya. Sebelumnya Pinggan tak pernah melihat gadis itu. Ia berparas cantik, berkulit putih dan berambut panjang.
"Aku ingin membantu kamu mencabut rumput, aku ingin menjadi sahabat kamu," katanya ketika ia sampai di depan Pinggan. "Aku penjelmaan burung bayan yang kamu ajak bicara tadi," sambung gadis itu. "Kenapa kamu ingin menjadi burung?"
"Aku ingin bisa terbang. Aku bosan setiap hari bekerja di ladang," kata Pinggan. Sejurus kemudian ia melanjutkan," Tapi aku tidak percaya kamu penjelmaan burung bayan.
"Sungguh! Aku adalah Putri Bayan," kata gadis itu meyakinkan Pinggan.
"Kalau begitu, kamu sudah menjadi Kayan (Suku Dayak). Sekarang coba kamu ubah aku menjadi burung," kata Pinggan menantang.
"Kamu sungguh-sungguh ingin menjadi burung? Bukankah lebih enak menjadi manusia? lebih baik kamu tetap menjadi kayan, dan kita bersahabat..."
"Aku mau bersahabat dengan kamu, tetapi ubah dulu aku menjadi burung. Burung tidak perlu bekerja di ladang, dan bisa terbang ke sana kemari. Kalau mau makan, segala buah-buahan sudah tersedia di hutan," kata Pinggan
"Siapa bilang burung tidak perlu bekerja?" protes Putri Bayan. " Burung juga harus bekerja."
"Ya, tapi tidak seberat manusia," bantah Pinggan.
"Kamu belum tahu. Sebenarnya pekerjaan burung sama berat dengan pekerjaan manusia."
"Tetapi manusia tidak bisa terbang. Ayolah, kamu buktikan kalau kamu memang Putri Bayan. Ubahlah aku menjadi burung.
"Baiklah, kalau kamu betul-betul ingin menjadi burung, ini ambillah bajuku," kata Putri Bayan akhirnya. Ia memberikan baju bulunya kepada Pinggan.
Pinggan menerima baju itu dan segera memakainya. Begitu baju itu membungkus tubuhnya, Pinggan merasakan tubuhnya menjadi ringan. Pinggan melompat, dan ternyata ia bisa terbang.
"Oh, sungguh menyenangkan, sungguh menyenangkan," kata Pinggan sambil terbang dan hinggap di dahan pohon jampang, tempat Putri Bayan kemarin bertengger. Pinggan terbang lagi, dari satu pohon ke pohon lainnya.
"Sungguh menyenangkan," katanya.
Kemudian kepada Putri Bayan yang telah berubah menjadi gadis Kayan, Pinggan berkata," Dengarkan. Kalau kamu pulang ke rumahku nanti. Singgahlah ke tempat mandi. Ada tiga biji tempurung labu tergantung di tiang. Dengan tempurung-tempurung itu, kamu bisa mengambil air. Dan kalau kamu naik ke rumah, kamu akan menemukan ruai (ruang tempat berkumpul keluarga) yang gelap. Itulah bilik kami. Ayahku ketua rumah panjang (rumah suka dayak di kalimantan). Namanya Medan. Nama Ibuku Gersom. Sapalah keduanya dengan panggilan "Ayah" dan "Ibu". Di bilik kami, ada sebuah peti dari kulit beruang. Peti itu kepunyaanku. Semua pakaian dan barang-barangku ada di dalam peti itu. Kamu boleh memakainya. Apabila kamu hendak memasak, ada sebuah tempayan di tengah-tengah bilik. Tempayan itu tempat kami menyimpan beras.
Kamu Paham?"
Putri Bayan mengangguk." Paham," katanya.
Menjelang matahari terbenam, Pinggan yang telah menjelma menjadi burung bayan terbang menuju ke salah satu pohon rindang di hutan. Sedangkan Putri Bayan yang telah menjadi Pinggan melangkah pulang ke rumah panjang.
Mendekati rumah panjang, agak gugup juga hati Putri Bayan. Apakah orangtua Pinggan tidak curiga? Perlahan-lahan ia melangkah. Tiba di tempat mandi, dilihatnya tiga tempurung buah labu yang disangkutkan di tepi jalan pada sebatang kayu. Setelah tempurung-tempurung ia isi air, dengan langkah mantap ia menuju ke rumah panjang.
"Aku harus bersikap bahwa akulah Pinggan," bisik hatinya. Lalu dilihatnya ruai yang gelap di sisi kiri rumah panjang. "Barangkali inilah ruaiku," katanya dalam hati. Ia lalu naik dan masuk ke bilik itu.
"Ibu! Tolong aku, Bu!"
"Apa itu kamu, Pinggan?" tanya seorang perempuan setengah baya dari dalam bilik.
"Ya. Bisa minta kain, Bu? Kain yang kupakai basah," kata Putri Bayan. Ia bersyukur karena ruai yang ia masuki benar bilik keluarga Pinggan.
"Ini kain dan bajumu," kata si ibu kepadanya." Lalu diambilnya kain dari perempuan itu, dan digantinya pakaiannya yang basah.
"Di mana panci kita Bu?"
"Di sana itu. Masa kamu tidak tahu. Panci itu selalu digantung di situ," kata si ibu.
Melihat perempuan itu agak heran memandangnya, Putri Bayan segera bergegas mengambil panci dan pergi ke dapur untuk mencucinya. Ia tak menanyakan tempat air karena kebetulan ia melihatnya di dapur. Tetapi, di mana beras disimpan?
Agak lama Putri Bayan mencoba mengingat-ingat apa yang telah diajarkan dan dikatakan Pinggan kepadanya tadi. Tetapi Putri Bayan tak berhasil mengingatnya. Karena itu akhirnya ia bertanya," Di mana beras disimpan, Bu?"
"Aneh, masa kamu tidak tahu tempat beras!" kata ibunya. Di situ. Bukankah kamu yang memasak selama ini, dan tempat beras tak pernah berpindah dari situ," lanjut perempuan yang bernama Gersom itu. Ia semakin heran dan mulai tak sabar.
"O iya, aku lupa Bu. Barangkali karena letih bekerja di ladang seharian ini...."
Pura-pura tak hirau akan keheranan di wajah Gersom, Putri Bayan lalu mulai memasak. Dia bisa memasak karena beberapa kali melihat Pinggan melakukan itu di ladang. Setelah menanak nasi, Putri Bayan bertanya lagi apa yang harus dimasaknya untuk lauk.
"Kamu tidak membawa ketimun dan daunnya dari ladang tadi?" tanya Gersom semakin heran.
"O iya. Tadi aku memang membawa buah ketimun dan daun-daunnya dari ladang," katanya, lalu ia buru-buru mengambil ketimun dari keranjang rotan dan memasaknya. Setelah semuanya beras, Putri Bayan menghidangkan masakannya ke hadapan si ayah, seorang lelaki tegap dengan sorot mata tajam yang sejak tadi duduk di tengah bilik memperhatikannya. Bersama lelaki itu dan si ibu, ia lalu makan malam bersama. Selesai makan Putri Bayan membawa piring dan mangkok kotor ke dapur untuk di cuci.
"Ah, semuanya ini adalah pekerjaan Pinggan setiap hari," pikir Putri Bayan. Pinggan pasti letih dan bosan melakukannya, sehingga ia merasa lebih enak menjadi burung.
Keesokan harinya, seperti yang dilakukan Pinggan setiap pagi, Putri Bayan membereskan biliknya sebelum berangkat ke ladang.
"Bu, maukah ibu menemani aku ke ladang hari ini?" pintanya setelah selesai menyapu.
"Ah, hari ini rasanya ibu malas ke ladang," jawab gersom.
"Ayolah Bu, nanti di ladang ibu duduk-duduk saja di dangau. Ibu menemani aku saja," bujuk Putri Bayan.
Karena terus didesak, akhirnya Gersom tak sampai hati menolak. Maka turunlah mereka berdua dari rumah panjang menuju ke ladang.
Sampai di ladang Putri Bayan langsung mencabuti rumput-rumput yang tumbuh liar di sela-sela rumpun padi. Ketika ia sedang asyik bekerja, di dengarnya kepak-kepak sayap burung di atas kepalanya. Itulah Pinggan, anak Gersom yang sebenarnya, yang telah berubah menjadi burung.
"Bagaimana Putri Bayan, apa kamu tidak merasa cape?" tanya Pinggan. "Kalau kamu merasa cape, begitulah yang kurasakan selama ini. Lama-lama kamu pasti merasa bosan dan ingin menjadi burung kembali. Sebab menjadi burung enak, hanya terbang ke sana-kemari, dan hinggap di pohon-pohon yang berbuah lebat...."
"Tapi kamu baru sehari menjadi burung. Nanti setelah cukup lama kamu akan tahu suka-dukanya," kata Putri Bayan.
"Suka dukanya? Hi hi hi...." Seolah mengejek, Pinggan lalu terbang lebih tinggi lagi. Sambil mengepak-ngepakkan sayapnya, ia tertawa. "Teruslah bekerja sampai tua," teriak Pinggan dari udara.
"Tapi, hai! Jangan terbang terlalu tinggi. Sebab kalau sayapmu letih, kamu tidak akan menemukan pohon untuk hinggap!" teriak Putri Bayan cemas, karena dilihatnya Pinggan terbang terlalu tinggi.
Pinggan tidak peduli. Ia malah semakin membubung dan tertawa-tawa. Dan apa yang dikhawatirkan Putri Bayan benar-benar terjadi.
"Ibu! Ibu!" Putri Bayan berteriak memanggil Gersom yang duduk di dangau, ketika dilihatnya Pinggan melayang jatuh dan terhempas ke tanah. "Anak Ibu jatuh,Bu! anak Ibu jatuh!" katanya kepada Gersom.
"Anak ibu yang mana?" tanya Gersom bingung. "Bukankah anak ibu hanya kamu?"
"Bukan, Bu. Anak ibu Pinggan! Dan itulah Pinggan yang sebenarnya," jawab Putri Bayan. menunjuk seekor burung bayan yang tergeletak di tanah.
"Kamu jangan mempermainkan ibu," kata Gersom tak percaya. "Bukankah itu hanya seekor burung?"
"Betul, Bu, tapi itulah Pinggan yang sebenarnya. Dan sekarang ia telah mati," kata Putri Bayan sedih.
Gersom tampak semakin tak mengerti. Di pandanginya Putri Bayan dan seekor burung bayan yang tergeletak di tanah bergantian.
"Dia terbang terlalu tinggu, Bu," kata Putri Bayan menangis. "Aku sudah memperingatkannya, tetapi ia tak perduli...."
"Lalu kamu ini siapa?" tanya Gersom bingung.
"Aku adalah putri burung bayan yang menjelma menjadi anak ibu, karena Pinggan ingin menjadi burung."
"Betulkah itu?"
"Ya Bu, kalau ibu tak percaya, bukalah bajunya. Burung itu akan berubah kembali menjadi Pinggan."
Dengan tergesa-gesa Gersom lalu melakukan yang dikatakan Putri Bayan. Dan benar, begitu baju burung itu dibuka, maka tubuh yang tergeletak di hadapannya adalah tubuh Pinggan.
Agak lama Gersom terdiam, antara percaya dan tidak. Tetapi yang dihadapinya adalah kenyataan. Menyadari hal itu, perempuan itu lalu menangis sesenggukan, sambil memeluk jasad Pinggan yang terbaring di tanah, sampai akhirnya orang-orang kampung berdatangan. Beramai-ramai mereka membawa jasad Pinggan untuk dikuburkan. Sebagian barang milik Pinggan dikuburkan sebagai baya, sebab orang-orang kayan percaya, barang-barang itu akan berguna di alam baka.
"Jangan kamu lepas baju yang kamu pakai itu. Baju Pinggan itu sekarang bajumu. Tetaplah bersama ibu," pinta perempuan itu kepada Putri Bayan.
"Ya, Bu." Putri Bayan tak sampai hati menolak.
Demikianlah akhir cerita Pinggan dan Putri Bayan. Konon, sampai saat ini, masih banyak orang Kayan di pedalaman Kalimantan Barat pantang berburu dan menangkap burung bayan, apalagi memakan dagingnya - terutama mereka yang percaya bahwa mereka adalah keturunan Putri Bayan.
Sumber: Cerita Rakyat Indonesia (Kalimantan)
Pinggan dan Putri Bayan
Penutur ulang Aant S, Kawisar
Ilustrator Benny Rachmadi
Post Top Ad
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar