Januari 2015 - Blog Oblok Oblok

Hot

Post Top Ad

Suku Kondologit di Papua, Sebelum dan Sesudah Mengenal Bidan Bayi

22.28 0
Suku Kondologit di Papua, Sebelum dan Sesudah Mengenal Bidan Bayi
Di muara Sungai Beraur ada sebuah tempat bernama Amakhsahen. Di tempat itu tinggal Suku Kondologit. Mereka merasa nyaman tinggal di daerah subur itu. Akan tetapi, ada satu masalah yang belum mereka pecahkan, yaitu mereka belum tahu cara menolong wanita yang akan melahirkan. Kalau ada wanita yang akan melahirkan berarti akan ada kematian, sebab perut wanita itu dibedah. Bayi yang dikeluarkan akan selamat, tetapi si ibu meninggal karena perutnya tidak di jahit lagi. Hal itu terjadi karena mereka tidak tahu cara menjahit perut yang telah dibedah. Biasanya, bayi yang dilahirkan itu dirawat sanak keluarganya. Begitulah keadaan suku Kondologit. Hal yang sangat menyedihkan itu mereka terima dengan pasrah.

Pada suatu hari, datanglah seorang perempuan ke Amaksahen. Perempuan itu seorang budak belian dari suku Krimadi yang diperdagangkan Raja Konjol. Keahliannya adalah menolong wanita yang akan melahirkan. Dia sangat sedih mendengar cerita tentang nasib wanita di daerah itu. Kalau seperti itu caranya, wanita di daerah ini tentu tidak akan berumur panjang, begitu pikirnya.

Setelah beberapa lama tinggal di daerah itu, perempuan itu mendengar ada wanita yang akan melahirkan.

"Aku harus menolong wanita itu," katanya. "Orang yang akan membedah wanita perut wanita itu harus kucegah."

Perempuan itu segera menuju ke rumah wanita yang akan melahirkan. Ia berjalan setengah berlari karena takut didahului juru bedah. Hatinya lega karena juru bedah belum sampai di tempat itu. Beberapa saat kemudian, datanglah juru bedah hendak melaksanakan tugasnya. Perempuan itu melarangnya.

"Jangan kau lakukan itu. Keluarlah? Aku akan menolong wanita ini. Dia tidak akan mati." katanya meyakinkan.

Juru bedah dan orang-orang yang ada di dalam ruangan itu keheranan karena perempuan itu berani menyuruh juru bedah keluar ruangan. Karena ingin membuktikan kata-kata perempuan itu, tanpa banyak komentar mereka segera keluar dari ruangan.

Di ruangan itu sekarang hanya ada wanita hamil dan perempuan itu. Kemudian, perempuan itu mulai menolong wanita yang hendak melahirkan itu. Tanpa kesulitan berarti, akhirnya lahirlah seorang bayi. Bayi itu kemudian diberikan kepada ibunya.

"Ini bayimu," kata perempuan itu.

Setelah itu, perempuan itu memanggil juru bedah untuk masuk melihat bayi dan ibunya yang selamat. Juru bedah dan orang-orang pun masuk ke dalam ruangan. Mereka heran karena perempuan itu memang benar telah menolong wanita hamil itu melahirkan dengan selamat, baik ibu maupun bayinya.

"Mulai sekarang, kalian tidak perlu membedah perut orang yang akan melahirkan. Cukup membidaninya," kata perempuan itu kepada juru bedah dan orang-orang yang ada di dalam ruangan.

Mereka senang dengan keberhasilan perempuan itu membidani wanita yang akan melahirkan tadi. Mereka ingin kalau istri mereka melahirkan, tidak usah dibedah perutnya, tetapi cukup dibidani.

Kesimpulan
Legenda ini mengisahkan suku Kondologit sebelum dan sesudah mereka mengenal bidan bayi. Sampai sekarang kita masih dapat melihat buktinya, yaitu sebuah alat yang digunakan untuk membedah perut perempuan yang akan melahirkan. 
Hikmah yang dapat kita petik dari legenda ini adalah hendaknya membidani perempuan yang akan melahirkan dengan baik agar ia dapat melahirkan bayinya dengan selamat dan dapat merawat bayi itu dengan baik.  


Sumber: 
Buku Cerita Rakyat dari Irian Jaya 
Oleh Muhammad Jaruki dan Mardiyanto
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Read More

Bleduk Kuwu

16.37 0
Jaka Linglung, Legenda Tambang Garam Bleduk Kuwu

Jaka Linglung, Legenda Tambang Garam Bleduk Kuwu

Di Kabupaten Purwodadi, Jawa tengah, terdapat tambang garam yang unik, air garam yang ditambang diperoleh dari letupan lumpur panas yang terdapat di daerah itu. Air yang berasal dari letupan lumpur panas itu dialirkan ke dalam sumur-sumur yang dangkal, lalu ditimba, kemudian dimasukkan ke dalam plampang bambu dan selanjutnya dijemur di panas matahari. Garam yang dihasilkan dari Purwodadi ini rasanya lebih enak bila dibanding dengan garam yang berasal dari air laut.

Bagaimana tambang garam ini bisa terjadi, menurut cerita yang berkembang dan dipercaya oleh penduduk di sana adalah sebagai berikut.

Pada waktu itu, Kerajaan Medangkamulan diperintah oleh seorang raja muda yang belum berpermaisuri. Raja muda itu mempunyai kegemaran beranjangsana ke desa-desa yang menjadi wilayahnya.

Suatu hari, ketika raja berjalan-jalan menemukan sebutir telur yang ukurannya sebesar telur angsa. Telur itu diberikan kepada seorang penumbuk padi. Oleh si penumbuk padi telur itu lalu disimpannya di bawah tumpukan padi. Tidak disangka beberapa waktu kemudian, telur itu menetas berupa seekor anak naga. Lama-kelamaan anak naga itu menjadi besar dan menjelma menjadi seekor naga yang gagah, yang besarnya sebesar batang pohon kelapa.

Naga itu diberi nama Jaka Linglung (Ngingklung). Ia tumbuh dewasa menjadi sakti dan dapat berbicara seperti manusia. Namun dengan kehadiran Jaka Linglung di desa tersebut sangat menganggu ketenangan penduduk, sebab ia memakan ternak apa saja yang dijumpainya untuk santapan tiap hari.

Kejadian itu sudah dilaporkan kepada raja, namun belum ada tanggapan. Sementara itu Jaka Linglung selalu menanyakan siapa ayahnya dan dari mana asalnya. Karena sulit untuk menjelaskan, maka penumbuk padi itu mengatakan bahwa ayah Jaka Linglung adalah raja Medangkamulan. Mendengar penjelasan penumbuk padi, segeralah Jaka Linglung menuju ke istana Medangkamulan.

Tiba di istana, ia langsung menghadap raja dan mengaku sebagai putra sang raja. Raja Medangkamulan bermaksud menguji kesaktian Jaka Linglung. Maka beliau bersabda, "Bila benar-benar engkau adalah anakku, pergilah ke laut selatan. Binasakanlah musuhku yang berujud buaya putih. Untuk menjaga ketentraman penduduk engkau tidak kuperkenankan jalan melalui darat. Berjalanlah menembus tanah dan jangan muncul ke permukaan sebelum tiba di tempat semula.

 Jaka Linglung berangkat ke laut selatan dengan hati bersemangat. Dicarinya buaya putih di tengah laut selatan. Dicarinya buaya putih di tengah laut selatan, setelah bertemu diserangnya habis-habisan. Buaya putih itu kalah dan mati. Jaka Linglung kembali ke Medangkamulan. Ia berjalan melalui dalam tanah. Karena ia lupa di mana letak kerajaan Medangkamulan, maka ia berulang kali melakukan kesalahan. Ia muncul belum sampai pada tempat yang dituju.

Rupanya jalan yang dilalui Jaka Linglung pada waktu itu menjadi aliran sungai garam yang berasal dari laut selatan. Hingga sekarang tempat Jaka Linglung muncul ke darat itu mengandung garam. Terakhir Jaka Linglung muncul di Kuwu. Setelah itu perjalanan ke Medangkamulan diteruskan melalui jalan darat.

Tiba di Medangkamulan, Jaka Linglung disambut gembira oleh Baginda. Jaka Linglung diperkenankan tinggal di istana. Namun, kejadian seperti di desa penumbuk padi terulang kembali. Jaka Linglung sering memakan ternak yang dijumpainya, bahkan kadang-kadang mencuri ternak penduduk. Hal ini membuat sedih hati raja. Jaka Linglung diperintahkan untuk bertapa. Badannya melingkar di gunung kapur serta mulutnya menganga. Ia tidak diperkenankan makan apabila tidak ada benda yang jatuh ke dalam mulutnya.

Kesimpulan

Jaka Linglung adalah contoh seorang anak yang sangat patuh terhadap ayahnya. Apa pun perintah ayahnya selalu dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab betapapun beratnya.

Sumber: Buku Putri Limaran, Cerita Rakyat Dari Jawa Tengah
Penulis: Sri Sulistyowati
Penerbit: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996
Read More

Caadara, Pahlawan Masyarakat Kiman, Papua

17.38 0
caadara
Ada seorang panglima perang bernama Wire tinggal di desa Kramuderu. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Caadara. Wire sangat senang dan bangga pada anak laki-lakinya itu. Ia berharap, setelah dewasa Caadara dapat menggantikan kedudukannya sebagai panglima perang yang tangguh. Oleh karena itu, sejak kecil Caadara dilatih bela diri dan ilmu perang.

Pada masa kanak, kelincahan Caadara telah melebihi teman sebayanya. Dia tumbuh dewasa, sangat tampan dan gagah. Kelincahan Caadara telah melebihi teman sebayanya. Kelincahan dan kepandaiannya pun semakin bertambah. Wire melihat perkembangan anaknya dengan sangat senang. Katanya," Aku yakin anakku akan menjadi panglima yang terkenal."

Pada suatu hari. Wire ingin menguji kepandaian anaknya. Ia menyuruh Caadara berburu ke hutan yang letaknya tidak jauh dari desa.

"Anakku, hari ini engkau harus berburu ke hutan yang terletak di dekat sebuah sungai, dekat danau,' kata Wire.

Caadara sangat senang mendapat perintah dari ayahnya. Ia segera mengumpulkan sepuluh orang teman dan merencanakan perburuan itu selama tujuh hari. Setelah persiapan selesai, Caadara mengajak kesepuluh temannya itu untuk berangkat berburu.

Rombongan Caadara berangkat ke hutan melalui jalan setapak dan kadang-kadang menembus semak belukar. Setelah sampai ditempat perburuan, mereka beristirahat sebentar sambil mengadakan persiapan.

Di tempat perburuan itu ternyata banyak binatang buruan sehingga mereka berhasil menombak beberapa ekor binatang. Mereka berburu setiap hari. Pada hari pertama sampai dengan hari keenam tidak ada rintangan yang berarti. Pada hari ketujuh, para pembantu Caadara terkejut karena mereka melihat seekor anjing pemburu. Mereka segera melaporkan hal itu kepada Caadara. Caadara menangkap firasat adanya bahaya yang mengancam. Katanya," Anjing pemburu itu memberi tanda bahwa bahaya sedang mengancam kita."

Caadara memerintahkan keenam perwiranya untuk bersiaga penuh dalam menghadapi musuh yang belum diketahui dari mana arahnya itu. Mereka segera menyiapkan busur, anak panah, kayu pemukul, dan beberapa alat perang lainnya.

"Tetaplah menjaga kewaspadaan karena sewaktu-waktu musuh dapat menyergap kita," kata Caadara mengingatkan.

Ketika matahari pagi memancarkan sinarnya, Caadara dan anak buahnya berjemur diri untuk menghangatkan tubuh. Tiba-tiba terdengar pekikan keras yang menakutkan. Para pembantu Caadara pun ketakutan. Akan tetapi, Caadara dan keenam perwiranya tenang-tenang saja. Mereka tetap waspada. Kemudian, Caadara segera memerintahkan rombongannya untuk membuat benteng pertahanan.

"Kawan-kawan, marilah kita menuju tanah lapang berumput rimbun yang ditumbuhi semak belukar. Kita buat benteng pertahanan di sana sehingga kita dapat menangkis serangan musuh dan dapat menghancurkannya."

Tanpa banyak komentar, perwira-perwira itu segera berlari ke tempat yang ditunjuk pemimpin mereka. Mereka segera membuat benteng pertahanan yang kuat.

Tiba-tiba muncul lima puluh orang suku kuala sambil berteriak-teriak.  Caadara dan para perwiranya tidak terpengaruh teriakan-teriakan itu. Musuh semakin dekat dan suasana semakin tegang. Kelima puluh musuh itu berlari menyerang Caadara dan anak buahnya dengan tombak dan tongkat pemukul. Caadara memimpin pertempuran itu dengan semangat tinggi. Pertempuran pun semakin seru. Mereka saling serang untuk menjatuhkan lawan.

Caadara mempunyai kepandaian luar biasa dalam berperang. Ia bertempur tanpa menggunakan perisai tetapi menggunakan parang dan alat pemukul untuk merobohkan lawannya. Dalam waktu singkat dia berhasil merobohkan dua puluh musuh. Pasukan musuk semakin tidak sanggup menghadai keberanian Caadara dan anak buahnya. Akhirnya, musuh yang berjumlah lima puluh orang itu sisa lima orang. Mereka berlari menyelamatkan diri.

Berkat keberhasilannya mengalahkan musuh, Caadara makin disegani anak buahnya. Mereka bangga mempunyai panglima seperti Caadara. Tidak henti-hentinya mereka mengelu-elukan Caadara. Seisi kampung menjadi gempar mendengar berita kemenangan Caadara dan anak buahnya. Ayah Caadara sangat terharu mendengar berita itu, tidak terasa air matanya berlinang.

"Aku bangga dan senang mempunyai anak seperti engkau. Engkau pasti dapat menggantikanku sebagai panglima. Kaulah yang pantas menggantikanku," bisik Wire sambil merangkul anaknya.

Malam itu Caadara disambut pesta besar karena kemenangannya.Selain itu, juga diadakan persiapan untuk menyerang suku Kuala karena mereka telah menyerang Caadara.

Keesokan harinya Caadara yang perkasa itu diberi anugerah berupa kalung terbuat dari gigi binatang, bulu kasuari yang dirangkai indah, dan diperindah lagi dengan bulu cendrawasih di tengah-tengahnya. Pemberian hadiah itu dilakukan dalam upacara yang sangat meriah. Selain itu, Caadara juga mendapat hadiah dua belas burung cenderawasih.

Sejak itu masyarakat mempelajari taktik perang Caadara. Taktik perang diberi nama Caadara Ura. Taktik perang itu meliputi cara melempar senjata, berlari, menyerbu dengan senjata, seni silat jarak dekat dan cara menahan lemparan kayu . Sampai sekarang Caadara menjadi pahlawan yang dibanggakan masyarakat Kiman di Papua.

Kesimpulan
Dongeng ini mengisahkan keberanian dan kepahlawana Caadara dalam menghadapi laskar dari suku Kuala. Berkat keberanian dan kepemimpinannya dalam bertempur, namanya masih dibanggakan masyarakat Kiman sebagai pahlawan sampai sekarang. 
Pelajaran yang dapat kita petik dari dongeng ini adalah seorang pemimpin yang baik, namanya akan tetap dikenang. 


Sumber: 
Buku Cerita Rakyat dari Irian Jaya 
Oleh Muhammad Jaruki dan Mardiyanto
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Read More

Brayut

07.44 0
brayut
Pada Zaman dahulu, hidup suami istri petani miskin yang dijuluki dengan nama Brayut, karena mempunyai banyak anak, sehingga bila pergi ke mana-mana selalu repot membawa anak-anaknya. Jumlah anaknya itu ada empat belas orang. Dapat dibayangkan bagaimana repotnya mengasuh dan memberi makan anak-anaknya. Di samping itu anak-anaknya selalu mengganggu bila ia sedang bekerja. Tidak heran pula apabila kedua suami istri itu jarang mendapatkan bagian makanan karena selalu saja habis oleh anak-anaknya. Muka suami istri itu terlihat pucat.

Di antara kelimabelas anaknya ada salah seorang yang paling disayangi, yaitu si Bungsu. Walaupun sangat disayang oleh kedua orangtuanya, si Bungsu tidak manja. Malahan sebaliknya, ia sangat menyayangi kakak-kakanya. Yang sangat disayangkan bahwa suami istri tidak menyayangi anak-anaknya yang lain. Hal ini dapat dimengerti mengingat petani itu sudah tidak mampu lagi mendidik anaknya yang terlampau banyak, sehingga menjadi anak nakal dan cerewet. Hanya si Bungsu yang berkelakuan lain. Ia pendiam dan penuh kasih sayang.

Kejadian sehari-hari yang sangat menjengkelkan hati kedua suami istri bila saat makan tiba. Anak-anaknya yang lain selalu melahap habis semua makanan tanpa mengingat kepada orang tuanya dan si Bungsu. Terpaksa mereka bertiga menahan lapar. Bila keempat belas anak itu terlihat sudah tidur, istri petani itu mulai menanak nasi lagi. Namun tidak jarang si Bungsu membangunkan kakak-kakaknya, untuk ikut serta makan. Bila hal ini terjadi tentu mereka bertiga tak kebagian makan lagi. Namun, si Bungsu rela tidak makan karena kasihnya kepada kakak-kakaknya. Hal yang seperti inilah yang menimbulkan suami istri itu berpikiran buruk. Empat belas anaknya akan dibuang.

Telah direncanakan masak-masak pembuangan ke empat belas anaknya itu, mereka akan ditipu. Tentu saja si Bungsu tahu akan rencana kedua orang tuanya. Pagi-pagi benar, mereka anak beranak itu berangkat ke hutan. Di tengah hutan ada pohon sawo yang berbuah lebat sekali. Mereka lalu asyik memanjat pohon sawo dan mengumpulkan buah itu di keranjang. Waktu mereka asyik mengumpulkan buah sawo, dengan diam-diam suami istri petani beserta si Bungsu meninggalkan mereka.

Dalam perjalanan pulang, si Bungsu menjatuhkan batu-batu kecil dari kantung bajunya. Batu-batu itu dipersiapkan dari rumah untuk petunjuk kakak-kakaknya agar bisa pulang. Setelah siang hari empat belas bersaudara itu merasa lapar. Mereka mencari kedua orangtuanya, namun tidak ada. Sambil menangis mereka mereka mencari jalan pulang, untunglah mereka mengikuti batu-batu kerikil yang ditaburkan oleh si Bungsu sehingga mereka dapat sampai di rumah. Orang tua mereka sedih hatinya. Kejadian seperti biasa terulang kembali.

Rencana pembuangan yang kedua segera dilaksanakan. Kali ini rencana lebih masak. Daerah yang dipilih untuk membuang anaknya itu adalah hutan yang ditumbuhi pohon buah-buahan. Berjenis-jenis buah tumbuh di sana, menyebabkan petani itu tega membuang anaknya. Dia berpikir bahwa anaknya tidak akan mati kelaparan. Agar rencananya berhasil, kedua orang tua itu tidak memberitahukan rencananya kepada si Bungsu.

Waktu keberangkatan yang dipilihnya tengah hari dengan perhitungan bila hari telah senja, anak-anak itu tentu kehilangan arah. Setelah mengetahui rencana orang tuanya akan pergi ke hutan. Si Bungsu lalu mengetahui maksudnya, maka cepat-cepat ia mengambil segenggam jagung yang akan digunakan sebagai petunjuk kakak-kakaknya nanti. Karena tidak sempat mengumpulkan batu. Ketika tiba di hutan yang penuh buah, anak-anak itu amatlah senang. Mereka memetik buah yang disukainya. Begitu asyiknya mereka. Sehingga tidak tahu bila mereka telah ditinggal pergi. Demikianlah si Bungsu berjalan sambil menyebar jagung yang dibawanya.

Alkisah, keempat belas anak yang berada di tengah hutan tidak bisa pulang. Malam hari mereka tidur diatas pohon. Mereka saling tolong menolong ketika memanjat pohon.

Keesokan harinya, mereka mengumpulkan buah-buahan lagi dengan maksud akan dibawa pulang. Namun mereka tidak menemukan jalan untuk pulang. Jagung yang di jatuhkan oleh si Bungsu di makan burung. Mereka berjalan tak tentu arah, hingga sampailah di pinggir hutan. Ketika itu hari telah malam. Dari pinggir hutan itu terlihat seberkas sinar pelita dari kejauhan. Mereka berpikir bahwa sinar itu berasal dari rumah penduduk. Akhirnya diputuskan untuk berjalan ke arah datangnya sinar.

Setiba di sana, mereka memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Tak lama kemudian pintu dibukakan oleh orang tinggi besar. Ternyata penghuni rumah itu adalah suami istri raksasa. Mereka tampak amat kejam namun baik hati.

Sejak malam itu, empat belas bersaudara dipelihara oleh raksasa. Mereka hidup menderita, namun tidak kekurangan makanan. Pagi-pagi sekali mereka harus bangun membantu pekerjaaan raksasa. Anak laki-laki membantu pekerjaan di ladang dan anak-anak wanita membantu pekerjaan di rumah.

Mula-mula pekerjaan dirasakan sangat berat terutama bagi laki-laki, karena ladang yang dikerjakan oleh raksasa itu hampir seluruh lereng bukit. Tangan mereka luka-luka bekas memegang cangkul, namun tak boleh beristirahat sebelum selesai. Demikian pula anak wanita, mereka membersihkan rumah, perabot rumah dan alat-alat masak yang besar-besar. Tetapi lama-kelamaan hal ini menjadi biasa. Sekarang mereka tumbuh menjadi anak yang rajin serta sehat-sehat.

Alkisah, si Bungsu yang hidup bersama kedua orang tuanya tumbuh besar seorang gadis yang amat cantik. Sifatnya masih seperti dulu, suka menolong, rendah hati dan baik budi. Semenjak dia hidup tanpa saudara-saudaranya, ia tampak makin pendiam. Karena sifatnya yang baik budi serta kecantikannya itu, maka ia dipersunting oleh raja muda untuk dijadikan permaisuri.

Pada waktu itu kerajaan si Bungsu diserang oleh musuh yang amat kuat. Kerajaan si Bungsu kalah, sehingga menjadi jajahan musuh yang amat kejam. Kerajaan si Bungsu kini menjadi kerajaan yang amat miskin. Rakyatnya kekurangan pangan. Hal ini terdengar oleh empat belas saudara yang hidup di lereng gunung. Mereka terkenal karena kekayaannya dan suka menolong. Si Bungsu mengirim utusan  ke sana untuk minta bantuan. Empat belas bersaudara dengan senang hati memberi bantuan secukupnya. Bahkan setelah diketahui bahwa kemiskinan kerajaan si Bungsu disebabkan oleh karena dijajah oleh raja kejam, maka mereka menawarkan bantuan menyerang raja kejam itu. Tentu saja bantuan ini diterima dengan senang hati.

Setelah dipersiapkan masak-masak keempat belas bersaudara itu menyerang kerajaan raja kejam. Empat belas bersaudara menang. Alangkah gembiranya si Putri Bungsu mendengar semua ini. Empat belas bersaudara di panggilnya untuk menghadap. Alangkah terperanjatnya sang Putri Bungsu setelah mengetahui bahwa empat belas saudara itu adalah kakak-kakaknya. Mereka berpelukan saling terharu. Kini kerajaan si Bungsu bebas dari musuh, tentaranya amat kuat dan rakyat hidup tenteram.

Kesimpulan
Kisah ini menceritakan tentang kehidupan keluarga yang mempunyai anak banyak. 
Ada dua hal yang penting. Pertama, yang kita peroleh dari cerita ini bahwa betapa sulitnya mengatur kesejahteraan bagi anggota keluarga besar, karena apabila tidak dapat mengaturnya mereka akan hidup menderita. 
Kedua, bahwa kita akan dapat hidup berbahagia bila bekerja keras dan saling tolong menolong.


Sumber: Buku Putri Limaran, Cerita Rakyat Dari Jawa Tengah
Penulis: Sri Sulistyowati
Penerbit: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996
Read More

Woiram, Asal Usul Penduduk Merem (Di Papua)

17.09 0
Woiram, Asal Usul Penduduk Merem (Di Papua)
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang laki-laki yang taat beribadah dan taat peraturan pemerintah bernama Woiram. Woiram tinggal di sebuah kampung bernama Merem, Kecamatan Kemtuk Gresi. Dia mempunyai seorang istri bernama Bonadebu. Woiram berumah tangga bukan karena ingin memperoleh anak, tetapi hanya untuk menjaga harga dirinya sebagai laki-laki. Oleh karena itu, dia tidak tinggal serumah dengan istrinya meskipun satu kampung.

Perkawinan Woiram dengan Bonadebu sudah berlangsung selama puluhan tahun. Mereka hidup tenteram dan bahagia. Akan tetapi, kebahagiaan yang mereka alami agak ternganggu karena istrinya ingin mempunyai anak. Namun, tuntuan istrinya itu tidak dikabulkan karena Woiram telah berjanji kepada dewa untuk tidak mempunyai anak.

Pada suatu hari, timbul juga keinginan Woiram untuk mempunyai anak. Sebagai orang yang taat beribadah, dia pun memohon kepada penguasa alam, raja tanah, dan semua bintang di langit agar diberi anak.


Pekerjaan Woiram setiap hari adalah berkebun dan berburu. Pada suatu saat, ketika dia sedang membuat tali busur di kamar, tiba-tiba jari telunjuknya teriris pisau. Darah keluar cukup banyak. Kemudian darah itu disimpan dan disembunyikan di sebuah tempayan.

Keesokan harinya, Woiram pergi ke kebun bersama istrinya. Karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dia tidak pulang ke rumah. Dua hari kemudian, setelah pekerjaan selesai, dia baru pulang. Begitu sampai di rumah, dia langsung tidur karena capai. Menjelang tengah malam dia terbangun karena terdengar tangis seorang anak kecil, tetapi dia tidur kembali karena dikira mimpi.

Beberapa saat kemudian, suara tangis anak kecil itu terdengar lagi. Woiram terpaku mendengar suara tangis itu. Dia berdoa kepada dewa agar menunjukkan peristiwa ganjil itu. Seketika itu terlihat sinar dari tempayan, tempat dia menyimpan darah telunjuknya yang teriris.

Woiram berjalan mendekati sinar itu. Benarlah, di tempayan itu ada seorang bayi. Dengan perasaan amat gembira dia mengambil bayi itu. Dia mengucapkan terima kasih kepada dewa yang telah mengabulkan permintaannya.

Bayi laki-laki itu diberi nama Woiwallytmang. Menjelang fajar, Woiram membawa Woiwallytmang ke sebuah tempat yang jauh dari kampung. Dia takut istrinya menuduh dirinya tidak setia.

Kemudian, Woiram membuah pondok di bawah pohon beringin berbuah coklat untuk Woiwallytmang. Di situlah Woiwallytmang dibesarkan dan dididik cara berkebun dan berburu. Dia tumbuh menjadi pemuda tampan dan pemberani. Setiap hari Woiwallytmang pergi berburu. Hasil buruannya selalu diberikan kepada ayahnya.

Pada suatu hari, Woiwallytmang tidak beruntung karena sudah seharian berburu, tetapi dia tidak mendapatkan seekor binatang pun. Tiba-tiba ketika dia sedang beristirahat, seekor burung hinggap di sebuah pohon tidak jauh dari situ. Perlahan-lahan dia mengejar burung itu. Satu demi satu anak panah dilepaskan, tetapi tidak satupun mengenai sasaran.

Woiwallytmang mengikuti arah anak panah yang dilepaskannya. Anak panah itu masuk ke sebuah kebun yang rapi dan tertancap di batang pisang. Ketika dia hendak mencabut anak panah yang tertancap itu, tiba-tiba dari balik pohon pisang itu muncul seorang perempuan berkata, "Hai anak muda yang tampan, siapa namamu dan apa pekerjaanmu?"

Betapa terkejutnya Woiwallytmang sebab sejak kecil dia hanya mengenal ayahnya. Setelah perasaan takutnya hilang, dia ingat ajaran ayahnya. Selain ayahnya yang laki-laki, masih ada manusia lain, yaitu perempuan.

"Namaku Woiwallytmang, pekerjaanku berburu binatang dan berkebun," jawab Woiwallytmang.

Setelah mendengar jawaban itu, perempuan itu terkejut karena ia melihat sinar yang terpancar dari tubuh Woiwallytmang. Ternyata perempuan itu adalah Bonadebu, ibu Woiwallytmang sendiri.

"Darimana asalmu dan siapa nama ayahmu?" tanya Bonadebu.

"Aku tidak tahu tempat tinggalku. Nama ayahku Woiram," jawab Woiwallytmang.

Bonadebu terdiam mendengar jawaban Woiwallytmang. Dia benar-benar terkejut dan merasa dipermainkan oleh Woiram, suaminya. Dia ingin menjerit karena merasa dibohongi suaminya. Akan tetapi, ketika melihat Woiwallytmang yang ketakutan, dia segera mengubang sikap. Katanya. "Baik Nak, mari ibu antar kamu pulang ke rumah ayahmu."

Bonadebu dan Woiwallytmang berjalan pulang. Namun, sebelum sampai di rumah, Bonadebu mengajak Woiwallytmang mencari udang untuk diberikan kepada Woiram.

Kemudian mereka pergi menuju Sungai Wasi yang banyak udangnya. Ketika sedang asyik mencari udang, tidak sengaja Woiwallytmang masuk ke gua di dalam Sungai Wasi. Sebelum dia keluar dari gua, lubang gua itu tidak sengaja ditutup Bonadebu. Ketika Bonadebu sudah naik ke darat, ditunggunya Woiwallytmang. akan tetapi, Woiwallytmang tidak muncul. Bonadebu segera pulang karena menganggap bahwa Woiwallytmang telah pulang lebih dulu.

Sementara itu, Woiram datang ke pondok Woiwallytmang, berkali-kali dilihatnya Woiwallytmang tidak ada di pondok. Woiram cemas, tetapi dia tidak berani bertanya kepada istrinya, Bonadebu.

 Pada suatu hari, kepala adat bersama warga kampung Demontin sedang menyembelih binatang hasil buruan di Sungai Wasi. Tiba-tiba salah seorang warga menemukan seonggok udang. Udang itu diberikannya kepada kepala Adat. Oleh kepala adat, udang itu dibawa pulang dan diserahkannya kepada istrinya. Dia juga berpesan agar udang itu dimasak, tetapi tidak boleh dimakan siapa pun. Setelah itu, dia berangkat lagi ke tempat penyembelihan.

Kemudian, datanglah dua orang anak perempuan kepala adat ke ibu mereka, yaitu Mecy dan Mesam. Kedua anak itu menangis meminta udang. Karena merasa iba, istri kepala adat memberikan udang itu kepada Mecy dan Mesam. Tidak lama kemudian, kepala adat datang. Dia meminta istrinya untuk menyiapkan makan.

Istri kepala adat merasa bingung karena udang itu telah dimakan kedua anaknya. Kepala adat marah kepada istrinya, terjadilah pertengkaran hebat. Mecy dan Mesam melihat ibunya dipukul. Mereka sangat sedih dan berniat mencari udang untuk mengganti udah yang telah mereka makan.

Mereka berangkat menuju Sungai Wasi dan menyelam masuk ke dalam gua. Di dalam gua itu mereka menginjak benda empuk. Benda itu mereka tarik keluar. Setelah berada di luar, ternyata benda itu manusia. Manusia itu dibersihkan serta dihangatkan dengan panas dedaunan yang dibakar. Tidak lama kemudian manusia itu bergerak, pertanda ia masih hidup, Mercy dan Mesam sangat senang.

Woiwallytmang telah sadar. Dia mengucapkan terima kasih serta menanyakan nama dan tempat tinggal kedua perempuan itu.

"Namaku Mecy, dan ini adikku Mesam. Tempat tinggal kami jauh dari sini, di Kampung Demontin," jawab Mecy.

"Namaku Woiwallytmang. Mengapa kalian membangunkan aku?" kata Woiwallytmang

"Kami tidak membangunkan kamu, tetapi menolongmu dari ancaman bahaya mati. Kamu telah tergeletak di dalam gua," kata Mecy.

"Baiklah, kalau demikian aku akan membalas kebaikan kalian. Setiap hari akan kucarikan udang untuk kaliandan akan kuantarkan ke rumah," sahut Woiwallytmang.

Setiap hari Woiwallytmang mencari udang dan mengantarkannya ke rumah Mecy dan Mesam. Lama-kelamaan orang tua mereka curiga karena setiap hari selalu ada udang. Lalu, ayah mereka menanyakan asal usul udang itu. Mecy dan Mesam tidak berani berterus terang. Akan tetapi, karena selalu ditanya dan dibujuk, akhirnya mereka pun memberitahu ayah mereka bahwa udang itu pemberian teman mereka, Woiwallytmang.

Pada suatu hari Woiwallytmang menemui ayah Mecy dan Mesam. Dia meminta izin untuk menikan dengan Mecy. Ayah Mecy setuju. Pesta pernikahan Mecy dengan Woiwallytmang segera diadakan. Pada pesta pernikahan itu juga diadakan penobatan Woiwallytmang sebagai kepala adat.

Woiran datang menghadiri pesta pernikahan itu. Dia sungguh terkejut karena yang dinobatkan menjadi kepala adat adalah anaknya, Woiwallytmang. Dia merasa ditipu dan dihina masyarakat karena anaknya disembunyikan. Dia memanjatkan doa kepada dewa agar menghukum mereka. Seketika itu pula hujan turun dan semua makanan berubah menjadi batu.

Kampung Demontin dilanda banjir. Semua orang tenggelam dan hanyut terbawa arus. Woiwallytmang, Mecy dan Woiram tetap hidup karena mereka memanjat pohon pinang ketika air meluap. Setelah air surut, Woiram menyampaikan pesan kepada Woiwallytmang dan Mecy agar selalu tekun berdoa dan memperbanyak keturunan. Setelah itu, Woiram mengajak mereka ke sebuah sungai. Di sungai itu, diatas sebuah batu, Woiram menghilang dengan meninggalkan bekas telapak kaki.

Kesimpulan
Cerita ini tergolong legenda. Sampai sekarang cerita ini masih dikenal masyarakat Irian Jaya/Papua dan banyak orang percaya bahwa penduduk Merem itu keturunan Woiram. Di samping itu, batu bekas telapak kaki Woiram sampai sekarang masih banyak dikunjungi masyarakat. 
Cerita ini memberi pelajaran kepada kita agar kita tekun beribadah dan mempunyai hubungan baik dengan sesama. 

 Sumber: 
Buku Cerita Rakyat dari Irian Jaya 
Oleh Muhammad Jaruki dan Mardiyanto
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Read More

Yusuf, Ketampanan Yang Mengakibatkan Cobaan

18.49 0
Yusuf, Ketampanan Yang Mengakibatkan Cobaan
Anugerah Allah kepada Yusuf berupa ketampanan yang menakjubkan. Zulaihah melihat ketampanan anak angkatnya itu menjadi terpesona. Hingga bergetar hatinya. Naluri kewanitaannya membara.

Setiap saat istri Aziz, seorang menteri raja Mesir, hatinya berdebar-debar memikirkan bagaimana caranya untuk menyampaikan rasa cintanya kepada Yusuf.

Pada Suatu hari, ketika Yusuf berada di dalam rumah dan Aziz sedang menghadap raja Mesir, Zulaihah menggunakan kesempatan itu untuk menggoda dan merayu Yusuf, agar mau membalas cintanya. Setelah wanita itu menutup semua pintu, mulailah ia memperlihatkan keindahan-keindahan tubuhnya kepada Yusuf.

"Kemarilah, mendekat padaku, seluruh jiwa ragaku telah kusiapkan untukmu," kata Zulaihah.

Sejenak tergoda hati Yusuf melihat kemolekan tubuh Zulaihah, akan tetapi segera ia dapat menguasai dirinya.

"Aku berlindung kepada Allah dari perbuatan dosa. Bagaimana mungkin aku akan melakukan perbuatan itu, sedang suamimu, Aziz adalah tuanku yang telah memuliakan dan berbuat baik kepadaku. Tidaklah patut sama sekali jika suatu kebaikan dibalas dengan pengkhianatan," jawab Yusuf menghindarkan diri.

Akan tetapi hati Zulaihah telah menjadi buta, sehingga ia tidak menghiraukan lagi ucapan Yusuf. Keinginannya tetap membara, dan Zulaihah menarik tubuh Yusuf agar mendekatinya. Jika Yusuf tidak mengetahui cahaya Allah yang dapat dijadikan perlindungan dirinya, pasti ia pun akan menuruti nafsunya.

Tatkala Zulaihah menariknya, Yusuf berusaha melepaskan diri dan lari menghampiri pintu keluar, wanita itu pun segera mengejar dan menarik baju Yusuf dari belakang, maka robeklah baju Yusuf.
 
Tetapi Yusuf tetap berusaha untuk bisa keluar dari ruangan itu. Begitu pintu terbuka, Aziz telah berdiri di muka pintu. Zulaihah dengan cepat menghampiri suaminya dan menuduh Yusuf akan melakukan perbuatan tak senonoh terhadap dirinya. Ia menuntut agar Yusuf diseret ke dalam penjara.

"Apa pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu, selain dihukum dengan adzab yang pedih kata Zulaihah kepada suaminya.

Akan tetapi Yusuf menyangkal semua tuduhan itu.

"Sebenarnya dialah yang mencoba mengkhianati Anda sebagai suaminya," jawab Yusuf.

Ketika terjadi saling tuduh antara Zulaihah dan Yusuf, seorang saksi dalam rumah keluarga itu memberi kesaksian.

"Jika baju Yusuf koyak di bagian muka, maka Zulaihah yang benar, dan Yusuf yang berdusta. Dan, sebaliknya, jika baju Yusuf yang koyak bagian belakangnya, maka Zulaihah yang berdusta dan Yusuf yang benar."

Ketika Aziz melihat baju Yusuf koyak bagian belakangnya, ia berkata kepada istrinya.

"Sesungguhnya kejadian ini adalah tipu dayamu, ini adalah tindakan makar seorang istri terhadap suaminya."

Akan tetapi, Aziz lebih suka menyimpan peristiwa cemar itu.

"Lupakanlah peristiwa yang telah terlanjur terjadi dan rahasiakanlah," katanya kepada Yusuf.

"Mintalah ampun pada Tuhanmu atas dosa yang telah kau lakukan itu, dan bertaubatlah kepada-NYA karena engkau termasuk orang-orang yang berdosa," katanya lagi kepada istrinya. 

Peristiwa itu akhirnya tersebar dengan cepat di kalangan kaum wanita di kota itu. Mereka mengatakan, bahwa istri Aziz terpikat dengan hambanya dan merayu untuk menuruti kemauannya. Karena cintanya yang sudah membara sehingga melakukan perbutan yang sesat dan berdosa.

Gunjingan para wanita itu akhirnya sampai ke telinga Zulaihah, perempuan itu menjadi geram karena malu. Namun, ia berencana untuk membalas semuanya itu.

Pada suatu hari, Zulaihah mengundang para wanita di kota itu untuk suatu jamuan makan. Ia menyediakan banyak tempat duduk para tamu. Untuk lebih menyemarakkan dan memuliakan mereka menurut adat kebiasaan orang-orang terhormat.

Setelah semua tamu yang semuanya wanita itu duduk di tempat yang disediakan, Zulaihah menyuruh pelayan-pelayannya menghidangkan makanan. Masing-masing tamu diberi sebuah pisau yang biasa dipergunakan untuk memotong daging atau buah-buahan.

Kemudian mulailah para tamu menikmati hidangan itu dengan rasa gembira, saling bicara dan tertawa. Tiba-tiba Zulaihah menyuruh Yusuf untuk keluar ke ruang jamuan makan itu. Melihat Yusuf, semua tamu wanita itu tercengang  penuh kekaguman menyaksikan ketampanan pemuda itu, sehingga mereka tak sadar telah mengerat-ngerat jari tangannya sendiri ketika memotong makanan dan buah-buahan sambil mengagumi ketampananYusuf.

"Apakah dia itu manusia, kami kira dia adalah seorang malaikat yang mulia. Jika dilihat ketampanan dan kesempurnaannya," gumam mereka.

Ketika Zulaihah mengetahui bahwa seluruh wanita yang diundangnya itu mangagumi Yusuf seperti dirinya, ia merasa bangga dan puas.

"Inilah pemuda yang kalian gunjingkan karena aku mencintainya. Ternyata kalian juga mengagumi ketampanannya, sehingga kalian tak sadar telah melakukan perbuatan yang menyakiti diri kalian sendiri. Dan inilah pemuda yang telah aku rayu, tetapi dia menolak. Dan aku bersumpah di hadapan kalian, seandainya dia tidak menuruti apa yang aku perintahkan, pasti sudah kupenjarakan, agar ia menjadi orang yang terhina," kata Zulaihah.

Menyadari apa yang telah dilakukan, semua wanita undangan itu menjadi tersipu malu. Mereka memaklumi apa yang telah dilakukan Zulaihah, karena Yusuf benar-benar seorang pemuda yang sangat tampan.

Sementara itu, Ketika Yusuf mendengar ancaman Zulaihah, ia tidak menjadi gentar dan kemudian mengadu kepada Tuhan.

"Ya Allah, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakannya untuk melakukan perbuatan maksiat. Dan jika tidak Engkau hindarkan aku dari tipu daya kecantikan mereka, tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh."

Karena gunjingan antara Zulaihah dan Yusuf semakin tersebar ke seluruh pelosok kota, Aziz dan istrinya berpendapat bahwa mereka tidak bisa menghindari gunjingan negatif masyarakat, dan mulut mereka tidak bisa dibungkam kecuali dengan jalan menjebloskan Yusuf ke dalam penjara dengan tuduhan bahwa Yusuf  yang mencoba mengajak Zulaihah berbuat zina. Meskipun dengan jelas bahwa Yusuf tidak melakukan perbuatan itu.

Dan akhirnya Yusuf benar-benar dipenjara. Allah telah mengabulkan do'anya dan dihindarkan dari perbuatan maksiat. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar do'a yang pasrah.

Sumber: 
Buku 30 Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak Muslim.
Penyusun :Kidh Hidayat
Ilustrasi : Ir. Anam
Penerbit: Mitra Ummat, Surabaya



Read More

Waso, Cerita Rakyat dari Irian Jaya (Papua)

18.00 0
Waso, Cerita Rakyat dari Irian Jaya (Papua)
Waso adalah nama seseorang yang muncul di bumi Irian Jaya pada awal Masehi tanpa diketahui asal-usulnya, baik orang tua maupun marganya. Oleh karena itu, kemunculannya dibicarakan orang-orang tua di daerah Kabupaten Jayapura, khususnya di Kecamatan Sawoi, Kecamatan Nimboron, dan Kecamatan Sentani. Pembicaraan mengenai Waso makin hari makin menyebar luas sampai ke daerah Kemtuk Gresi, Bring dan Yansu. Waso memiliki tiga nama yaitu, Waso Meduu, Waso Kinta, dan Kwalp dem Yakob.

Kedatangan Waso di daerah Kemtuk Gresi sangat mengejutkan masyarakat. Selain tidak diketahui asal usulnya, dia juga ingin mengubah adat kebiasaan masyarakat daerah Kemtuk Gresi.

Di daerah Kemtuk Gresi dan sekitarnya, Waso memperkenalkan kepercayaan baru yang dinamakan kepercayaan Wali Du (wali ayah). Dia menginginkan masyarakat Kemtuk Gresi dan sekitarnya yang semula percaya dan menyembah naga, binatang dan pohon-pohon besar, berubah menyembah Wali Du (Tuhan).

Adat istiadat nenek moyang yang telah melekat kuat di hati masyarakat susah digoyahkan. Akan tetapi, Waso terus berusaha dan yakin dapat mengubah kepercayaan serta adat istiadat mereka.

Setelah berhasil mengubah adat istiadat masyarakat daerah Kemtuk Gresi, Waso pergi ke daerah Bring membawa buku wasiat. Buku wasiat itu dapat digunakan untuk menjaga diri atau untuk menolong orang sakit.

Waso mendapat banyak pengikut di daerah Bring. Semakin kepercayaan itu dilarang, semakin bertambah pengikutnya. Meskipun demikian, tidak seorang pun tahu dari mana asal usul kepercayaan yang dibawa Waso.

Masyarakat daerah Bring amat patuh pada adat kebiasaan yang berlaku. Setiap orang yang akan melakukan sesuatu harus mendapat persetujuan dari kepala adat atau kepala suku. Akan tetapi, Waso sering melakukan sesuatu yang diputuskannya sendiri dan tidak dimusyawarhkan dengan kepala adat atau kepala suku. Oleh karena itu, masyarakat daerah Bring banyak yang marah kepada Waso. Mereka menghukum Waso dengan melarang dia menginjak tanah daerah Bring. Selain itu, mereka juga melarang Waso mengembangkan kepercayaan Wali Du.

Dengan berat hati Waso meninggalkan daerah Bring, menuju daerah Yansu. Masyarakat daerah Yansu lebih taat pada adat istiadat. Mereka masih menyembah binatang, pohon dan matahari. Masyarakat juga beranggapan bahwa wanita adalah harta yang sangat tinggi nilainya. Permasalahan kecil tentang wanita dapat mengakibatkan pembunuhan.

Nasib Waso di daerah Yansu lebih tidak menguntungkan jika dibandingkan ketika berada di daerah Kemtuk Gresi dan Bring. Di daerah Yansu, Waso tidak mendapat sambutan dari masyarakat, tetapi dia terus berusaha agar mendapat perhatian.

Pada suatu hari, ketika Waso sedang berjalan, dia bertemu dengan orang lumpuh. Bagi Waso, pertemuan ini merupakan kesempatan yang sangat baik. Dia segera menggunakan buku wasiatnya untuk mengobati orang lumpuh itu.

Waso mengobati orang lumpuh itu dengan memegang kakinya sambil membaca mantra. Seketika orang lumpuh itu bisa berjalan. Dengan senang hati orang lumpuh itu menyatakan akan mengikuti ajaran Waso, percaya kepada Wali Du. Waso amat senang dengan pernyataan yang diucapkan orang lumpuh itu.

Berita mengenai penyembuhan orang lumpuh itu tersebar luas. Banyak orang yang ingin berkenalan dengan Waso. Banyak juga anak kecil yang selalu mengikuti ke mana Waso berjalan. Waso amat senang diikuti anak-anak kecil karena melalui merekalah ajarannya lebih mudah tersebar luas.

Ajaran Waso bukan hanya tersebar di daerah Yansu, melainkan sampai ke daerah Bring. Banyak orang Bring mengikuti ajarannya. Hal itu menyebabkan orang-orang tua, seperti kepala adat, kepala kampung, dan pembantu kepala adat menjadi iri hati. Waso dipukul sampai babak belur agar ilmu yang dimilikinya hilang.

Dalam keadaan sakit, Waso pergi ke sebuah kebun. Dari dalam kebun itu terpancar sinar terang. Di dalamnya terlihat seorang putri sangat cantik sedang duduk di tonggak kayu. Waso terkejut dan berkata dalam hati bahwa putri cantik itu adalah putri Wali Du, bukan peri atau setan.

Putri Wali Du itu bernama Su, Waso Jatuh cinta kepada Su. Su juga jatuh cinta kepada Waso. Akhirnya mereka bersepakat menjadi suami istri dan berniat meneruskan ajaran Wali Du sampai akhir hayat mereka.

Putri Wali Du itu bernama Su. Waso jatuh cinta kepada Su. Su juga jatuh cinta kepada Waso. Akhirnya mereka bersepakat menjadi suami istri dan berniat meneruskan ajaran Wali Du sampai akhir hayat mereka.

Masyarakat Bring dan Yansu gempar setelah mendengar bahwa Waso memperoleh seorang putri di dalam sinar. Mereka mulai beranggapan bahwa Waso keturunan dewa yang turun ke bumi.

Kemudian Waso pindah dari daerah Yansu ke daerah Nimboron karena akan dibunuh orang Yansu dan Bring. Di Nimboron dia juga menyebarkan ajarannya dan mendapat sambutan baik. Dia masih menyesal karena masyarakat Bring dan Yansu tidak mau menerima ajaran Wali Du. Oleh karena itu, dia kembali ke daerah Bring untuk mengajarkan dan meyakinkan ajarannya kepada mereka.

Masyarakat daerah Bring sebagian besar tetap tidak mau menerima ajaran Waso. Bahkan keinginan untuk membunuh Waso masih tetap ada.

Pada suatu hari, ketika masyarakat Bring sedang mengadakan rapat untuk membunuh Waso, tiba-tiba Waso muncul di situ. Mereka tersentak dan hilanglah keinginan untuk membunuh Waso.

Ketika Waso pergi ke daerah Yansu untuk mengobati orang sakit, orang-orang tua itu berkumpul lagi membicarakan niat mereka dahulu  untuk membunuh. Amarah mereka tidak dapat ditahan lagi. Akhirnya Waso dibunuh dan dimakamkan di Nsa Dum Tgok.

Keesokan harinya, makan Waso dipindah ke Si Kati Mabuun. Sebelum jenazahnya dikuburkan, luka-lukanya dikerumuni belalang, ular, jangkrik dan lalat. Anehnya, kulit binatang-binatang itu berganti setelah mereka mengerumuni luka-luka di tubuh Waso.

Pada suatu malam, jenazah Waso dicuri tiga orang perempuan dan seorang laki-laki untuk dikuburkan di Dum Kwalp. Para pencuri itu mengganti isi kubur yang lama dengan batang pisang. Itulah sebabnya mengapa masyarakat Kemtuk Gresi tidak mau makan buah pisang.

Pada suatu hari, Waso bangkit dari kubur dan pulang menjumpai istri dan anaknya. Anaknya mengetahui kedatangan ayahnya dari kejauhan dan memberi tahu Ibunya. Ibunya pun keluar sambil menjelaskan kepada Si anak bahwa ayahnya telah meninggal. Namun, anaknya tetap menunjuk-nunjuk sehingga sang ibu mengetahui kalau suaminya kembali.

Su dan anaknya mendekati Waso. Akan tetapi Waso tidak mau disentuh. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya dia belum meninggal. Kedatangannya itu ingin menyampaikan kepada bangsa terkutuk serta mengatakan bahwa di tanah ini tidak seorang pun akan mendapat kebaikan. Setelah itu Waso  menghilang bersama awan. Istrinya mengantarkan kepulangan Waso dengan menyanyikan sebuah lagu.

Setelah Waso hilang, beterbanganlah unggas di angkasa, semua binatang melata datang, bumi bergoncang, dan guntur menggelegar sehingga semua orang ketakutan.

Kesimpulan
Cerita ini tergolong legenda. Makam Waso sampai sekarang dikeramatkan orang. Setiap orang yang ingin berkunjung ke makamnya harus mendapat persetujuan dari pemuka adat dan harus mematuhi peraturan yang ditetapkan. 
 Cerita ini memberi pelajaran kepada kita agar kita tidak mudah putus asa meskipun banyak rintangan dihadapi. 

Sumber: 
Buku Cerita Rakyat dari Irian Jaya 
Oleh Muhammad Jaruki dan Mardiyanto
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Read More

Dewi Nawang Wulan

17.33 0
Dewi Nawang Wulan
Kerajaan Medangkamulan yang terletak di Jawa Tengah sangat terkenal di seluruh Nusantara karena kesuburannya. Rajanya terkenal sabar dan bijaksana. Baginda mempunyai seorang putri yang sangat cantik. Dewi Nawangwulan namanya. Banyak raja dan pembesar yang menginginkannya, namun belum ada yang berkenan di hati sang putri.

Kabar kecantikan Dewi Nawangwulan terdengar pula kepada Prabu Adidarma, seorang raja muda yang sakti. Walaupun kabar kecantikan Dewi Nawangwulan itu sudah tersiar kemana-mana, namun Parbu Adidarma sendiri belum pernah melihatnya. Maka, timbul di hatinya untuk menyaksikan kecantikan Dewi Nawangwulan. Dipanggilnya jin raksasa kepercayaannya melalui suling sakti. Ditiupnya suling sakti itu, lalu muncullah jin raksasa itu untuk mengangkat Dewi Nawangwulan dari peraduannya.

Malam hari, ketika Dewi Nawangwulan sedang nyenyak tidur. Ia diangkat oleh jin raksasa dan dibawa ke hadapan Prabu Adidarma. Betapa terkejutnya hati Dewi Nawangwulan setelah sadar dari tidurnya, mengetahui dirinya berada di tempat lain. Di depannya berdiri satria gagah yang belum pernah dikenalnya. Ksatria gagah itu memperkenalkan dirinya sebagai Prabu Adidarma. Dalam hati Dewi Nawangwulan sangat marah. "Lancang benar raja ini." walau hatinya kecut, namun ia berusaha tetap tersenyum.

Prabu Adidarma sangat terpesona melihat kecantikan Dewi Nawangwulan. Katanya Dewi Nawangwulan "Aku bermaksud meminangmu Dewi Nawangwulan, bagaimana pendapatmu?"

Dewi Nawangwulan menjawab, "Hamba tidak berkeberatan Tuanku, hanya saja hamba merasa heran bagaimana bisa terjadi hamba sampai di sini?"

Prabu Adidarma tersenyum. Tanpa menaruh curiga diceritakan yang dialami oleh Dewi Nawangwulan serta rahasia suling sakti.

"Bolehkah hamba meminjamnya," kata Dewi Nawangwulan selanjutnya. Tentu saja Dewi Nawangwulan tidak mengalami kesulitan untuk memperolehnya.

Setelah mendapatkan suling sakti Dewi Nawangwulan memanggil jin raksasa. Lalu diperintahkan untuk membawa dirinya kembali ke Medangkamulan. Terperanjat hati Prabu Adidarma mengetahui akal Dewi Nawangwulan. Baginda sangat murka dan merasa sangat tertipu. Kemudian dikenakannya ketopong ajaib. Dalam sekejab Baginda tidak terlihat oleh mata biasa. Baginda menuju istana Medangkamulan menemui Dewi Nawangwulan. Prabu Adidarma berteriak-teriak mengancam Dewi Nawangwulan.

Mendengar ancaman itu Dewi Nawangwulan merasa takut. Ia mengenal suara itu adalah suara Prabu Adidarma. Maka katanya,"Hamba merasa bersalah Tuan, perkenankanlah hamba sujud di hadapan Paduka." Mendengar perkataan Dewi Nawangwulan yang lemah lembut itu, luluhlah murka Baginda. Dilepaskan ketopong ajaib yang dikenakannya, maka terlihat jelas Baginda berdiri di hadapan Dewi Nawangwulan. Ucap Dewi Nawangwulan, "Benar-benar Paduka adalah raja sakti. Rahasia apakah gerangan yang membuat paduka dapat menghilang?"

"Ha, ha, ha, ha, ha ... hanya ini yang dapat membuatku tak terlihat olehmu." Paduka tertawa gembira sambil menunjukkan ketopong ajaib di tangannya. Dewi Nawangwulan menerima ketopong itu lalu dikenakan dikepalanya. Dalam sekejab Dewi Nawangwulan tak terlihat oleh Prabu Adidarma. Sambil menghilang Dewi Nawangwulan meniup suling sakti. Jin raksasa itu diperintahkan untuk membawa Prabu Adidarma ke tengah hutan lebat. Perintah itu segera dilaksanakan oleh jin raksasa.

Di tengah hutan belantara, Prabu Adidarma hidup sengsara. Tidak ada makanan yang bisa disantap. Tidur tak menentu dan sewaktu-waktu dapat diserang binatang buas. Makin hari tubuh Baginda makin kurus. Pakaian yang dikenakan sudah tak utuh lagi karena tersentuh onak dan duri.

Pada suatu hari, Baginda menemukan sebuah pohon yang berbuah agak lebat. Karena hausnya, tanpa pikir panjang, Baginda menyantap buah yang berwarna hijau. Tidak lama kemudian kepalanya terasa pusing. Baginda kemudian tertidur. Ketika terjaga dari tidurnya ada suatu perasaan aneh yang menjalar di mukanya. Dirabanya dahi yang merasa gatal. Alangkah terkejut hati Baginda setelah diketahuinya dahinya bertanduk, seperti kerbau.

Hati Baginda amat masygul, memikirkan keadaan dirinya. Karena begitu laparnya, Baginda tak menghiraukan tanduk di kepalanya. Diambilnya lagi jambu yang berwarna merah, lalu disantapnya. Rasa lapar hilanglah sudah, namun ada keajaiban yang terjadi. Tanduk kini hilang. Kini Baginda mengerti bahwa bila memakan buah yang berwarna hijau akan keluar tanduk di kepala, dan bila memakan buah yang berwarna merah akan hilang tanduk itu. Betapa gembira hati Paduka setelah memikirkan hal itu. Di ambilnya buah itu masing-masing yang berwarna merah maupun yang hijau, lalu cepat-cepat mencari jalan keluar dari hutan belantara. Tempat yang dituju yaitu Medangkamulan.

Sampai di Medangkamulan, Baginda menemui dayang-dayang istana. Kepada dayang-dayang itu diberikan jambu yang berwarna hijau. "Katakan kepada Tuan Putri bahwa ini hasil kebunku sendiri. "Tanpa menaruh curiga dayang-dayang itu membawa buah yang diberikan Prabu Adidarma kepada Tuan Putri. Dewi Nawangwulan merasa gembira mendapatkan buah itu, tanpa pikir panjang dimakannya buah yang segar itu. Tak lama kemudian kepala Dewi Nawangwulan terasa pening dan mengantuk.

Ketika Dewi Nawangwulan terjaga dari tidurnya. Ia terperanjat melihat kenyataan, kepalanya bertanduk. Ia menangis tak henti-hentinya karena menahan malu. Berhari-hari Putri berduka, tak mau makan, maupun minum. Ia mengurung diri dalam kamar. Makin hari badannya makin kurus sehingga gering.

Mendengar putrinya gering. Paduka Raja Medangkamulan sangat berduka. Dipanggilnya tabib yang pandai untuk mengobati putrinya, namun kesemuanya tak dapat menghilangkan tanduk sang putri. Lalu Baginda mengumumkan sayembara. "Barangsiapa yang dapat menghilangkan tanduk sang putri hingga pulih keadaannya seperti sediakala, bila wanita akan diangkat sebagai saudara, bila laki-laki akan menjadi suami Dewi Nawangwulan.

Sejak diumumkan sayembara, berdatangan para cerdik pandai, pertama, raja-raja yang datang untuk mencoba mengobati sang putri. Namun, usaha mereka gagal. Dewi Nawangwulan semakin kurus dan keadaannya sangat menyedihkan. Segera Prabu Adidarma merasa kasihan, lalu mengikuti sayembara. Tidak ada orang yang mengenalinya karena penampilannya yang sangat sederhana.

Tiba di peraduan sang putri, Baginda menyerahkan buah berwarna merah untuk dimakan. Mula-mula ia ragu-ragu. Tetapi karena ingin cepat sembuh maka diturutinya apa perintah tabib yang mengobatinya. Tidak begitu lama, keajaiban terjadi. Tanduk sang putri berangsur hilang. Sang putri sembuh kembali.

Baginda Raja Medangkamulan merasa sangat berbahagia. Dipanggilnya tabib yang dapat mengobati Dewi Nawangwulan, lalu sabdanya, " Siapakah sebenarnya engkau Ki Sanak? Kesaktianmu sungguh luar biasa." Prabu Adidarma tak dapat berbohong kepada raja. Ia mengaku terus terang. Baginda bertambah gembira karena akan bermenantukan seorang Raja yang sakti.

Mendengar pengakuan Prabu Adidarma, Dewi Nawangwulan menjadi malu serta merasa bersalah sampai akhir hayatnya.

Kesimpulan
Bila kita memperdaya orang lain, kita sendiri akan mendapat kesengsaraan.


Sumber: Buku Putri Limaran, Cerita Rakyat Dari Jawa Tengah
Penulis: Sri Sulistyowati
Penerbit: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996
Read More

Uteg-Uteg Ugel

18.45 0
Uteg-uteg-ugel
Uteg-uteg-ugel adalah nama seseorang. Nama yang kedengarannya aneh tersebut sebenarnya merupakan nama sindiran yang diberikan oleh penduduk desa karena mengingat bentuk tubuh dan kelakuan Uteg-uteg-ugel makan, tidak pernah ingat kepada siapa saja. Ia melahap habis makanan yang ada di hadapannya, dan bukan itu saja, melainkan bila hidungnya masih mencium bau makanan, tentu saja dicarinya sampai ketemu. Tidak heran, apabila badannya yang pendek itu menjadi sangat gemuk, perutnya gendut dan jalanpun agak susah. Selain itu, ia juga mempunyai mempunyai sifat takabur dan suka dipuji.

Pada suatu hari, panas terasa terik. Banyak penduduk desa yang merasa kegerahan duduk-duduk di bawah pohon mencari angin, sambil beristirahat. Sementara semua orang sedang terkantuk-kantuk, Uteg-uteg-ugel merasa resah. Matanya mencari makanan kesana kemari. Uteg-uteg-ugel berjalan menuju arah selatan. Pikirannya tertuju pada buah elo, yang rasanya asam-asam manis. Buah itu sangat cocok dibuat rujak.

Ketika ia sedang berjalan, ada orang yang bertanya kepadanya. "Akan kemana Ki?" tanya orang itu heran.

"Eh, eh ....ehm ....a, akan pergi ke bukit."

"Akan mencari apa Ki? tanya orang itu lagi.

"Mencari elo" jawabnya singkat.

"Di seberang kali ada pohon elo, buahnya masak-masak."

"Apakah pohon itu berbuah lebat?" tanya Uteg-uteg-ugel.

"Tidak Ki"

"Aku tidak mau, terlampau sedikit. Akan kucari lagi di tempat lain."

Uteg-uteg-ugel meneruskan perjalanan. Di tengah perjalanan ia ditanya lagi oleh penduduk yang lain. "Akan pergi kemana Ki, di hari yang amat panas begini?"

"Mau mencari-cari," jawab Uteg-uteg-ugel ketus.

"Mencari apa Ki?" tanya orang itu lagi.

"Mencari elo." jawabnya singkat.

"Di sana, di tepi telaga ada pohon elo, buahnya besar-besar."

"Apakah buahnya lebat?" desak Uteg-uteg-ugel.

"Sayang sekali Ki, kemarin saya melihat ada sebagian yang telah dipetik oleh anak-anak."

"Aku tidak mau, masih kurang banyak" katanya, lalu meneruskan perjalanan ke selatan.

Penampilan Uteg-uteg-ugel pada siang itu benar-benar mencerminkan wataknya. Bajunya berwarna merah, longgar, tidak menutup perutnya yang gendut, di punggungnya menyandang bumbung yang berisi garam dan cabe. Jalan tergopoh-gopoh dengan bahu agak terangkat layaknya seperti ksatria yang hendak maju berperang. Namun, bagi Uteg-uteg-ugel hal itu menunjukkan ketidak sabarannya ingin segera menghabiskan makanan yang diinginkan.

Tidak lama berjalan, ada lagi orang yang bertanya kepadanya,"Aki Uteg-uteg-ugel, siang ini Aki terlihat sangat gagah, akan pergi ke mana Ki?"

Merasa ada yang memuji, Uteg-uteg-ugel berhenti berjalan lalu jawabnya dengan sombong" Aku sedang mencari buah elo, kesana kemari aku tidak mendapatkan buah elo yang pantas aku makan."

"Oh, aku tahu yang kau kehendaki, tentu buah elo yang ranum dari sebuah pohon yang lebat buahnya. Di sana Ki, di lereng bukit tidak jauh dari sini."

"Bila Aki menghendaki, biar aku antarkan." Kata orang itu menambahkan.

Cepat-cepat Uteg-uteg-ugel menukas, "Tidak usah, aku dapat ke sana sendiri"

"Uh, ..... dasar Uteg-uteg-ugel," gerutu orang itu dalam hati.

Bergegas Uteg-uteg-ugel menuju ke bukit yang di tunjukkan oleh orang tadi. Sampai di sana, cepat-cepat ia memanjat pohon dengan bumbung berada di punggung. Di cabang yang besar, ia duduk menumbuk cabe dan garam. Kemudian ia memetik buah elo, lalu dimasukkan ke dalam bumbung. Ia menumbuk tidak begitu halus, lalu dimakan. Hal demikian dilakukan berulang-ulang, beralih dari cabang yang satu ke cabang yang lain, hingga tak terasa buah elo yang mulanya lebat itu kini tak tersisa lagi.

Mulut Uteg-uteg-ugel kepedasan bukan main. Perutnya terasa panas, air liurnya menetes-netes dari mulutnya yang menganga, sambil mengeluarkan bunyi, ssh hah, sss hah, ..." tergopoh-gopoh ia mencari air ke mana-mana. Ketika sedang berjalan ada penduduk desa yang bertanya kepadanya, "Akan ke mana Ki?"

"Mencari air," jawabnya sambil masih kepedasan.

"Di sumur itu, Ki, airnya belum kering sekali. Untuk minum kira-kira masih cukup."

"Aku akan mencari air yang banyak."

Ia berjalan terus menuju ke lembah. Lalu bertemu lagi dengan penduduk desa yang lain, Ketika ditunjukkan air telaga yang dangkal. Uteg-uteg-ugel juga menolak. Akhirnya ditemukan sebuah sungai yang airnya jernih. Sungai itu berasal dari mata air kecil yang berada di atas bukit. "Ini dia yang aku cari" katanya. Tanpa berpikir panjang air sungai diminumnya sampai habis. Tentu saja ikan dan udang menggelepar-gelepar kekeringan. Kabar itu tersiar dari mulut ke mulut sehingga mengundang penduduk desa untuk saling menangkapnya.

Sementara penduduk desa kesenangan menangkap ikan, Uteg-uteg-ugel dalam keadaan payah. Perutnya melembung seperti balon, nafasnya tersengal-sengal. Mulutnya hanya bisa mengucapkan kata "Ampun" dan "Tolong" dengan suara lirih.

Tidak ada orang yang dapat menolongnya. Mereka hanya dapat memijit-mijit perut Uteg-uteg-ugel, namun, tidak dapat mengurangi rasa sakit yang di deritanya. Maka lebih baik penduduk desa mencari ikan dan udang.

Karena tidak ada yang dapat menolong, maka Uteg-uteg-ugel meminta pertolongan kepada ikan dan udang yang tinggal di sungai. "Hei udang dan ikan, tolonglah aku. Aku tak kuat lagi. Gigitlah perutku, biar aku mati." kata-katanya hampir tak terdengar di telinga.

Semua udang dan ikan telah mencoba menggigit perut Uteg-uteg-ugel. Namun, tak satupun berhasil. Ia putus asa. Hari telah menjelang senja ketika seekor udang besar merambat di perutnya, mencoba untuk menggigit sekuat tenaga, agar perut itu menjadi pecah. Dicobanya berkali-kali, Uteg-uteg-ugel pasrah.

Penduduk desa segerombol demi segerombol pulang dengna membawa ikan. Namun masih ada juga beberapa orang yang sampai senja belum beranjak dari sungai, walaupun air sungai mulai berair lagi. Tiba-tiba terdengar suara seperti tempayan pecah. Perut Uteg-uteg-ugel pecah. Air keluar dari perut Uteg-uteg-ugel seperti air bah. Beberapa penduduk terbawa oleh air. Uteg-uteg-ugel mati.

Kesimpulan
Orang yang serakah dan tamak akan mendapat celaka dari ketamakannya. 

Sumber: Buku Putri Limaran, Cerita Rakyat Dari Jawa Tengah
Penulis: Sri Sulistyowati
Penerbit: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996





Read More

Membunuh Raksasa

21.03 0
membunuh raksasa
Pada suatu ketika, hiduplah seorang raksasa yang besar dan buas. Penduduk setempat menyebutnya Tulap dan istrinya disebut Inania. Pekerjaan mereka adalah berburu manusia yang memasuki hutan yang menjadi kawasan tempat tinggalnya. Manusia-manusia buruan itu akan dijadikan makanan dan santapan mereka sehari-hari.

Pada suatu hari, ketika Tulap sedang berkeliling hutan mencari mangsa. Bertemulah ia dengan seorang laki-laki tua yang sedang mencari kayu bakar. Tulap menegur laki-laki itu,"Hai lelaki Tua, apakah yang kamu lakukan di dalam hutan ini?"

Dengan gemetaran lelaki itu menjawab,"Aaa... aku sedang mencari kayu bakar."

Lalu tertawalah raksasa yang menyeramkan itu, "Maukah kau ikut aku? Kamu tidak usah takut kepadaku. Aku akan mengajakmu mencari burung untuk santapan siang kita."

Karena takut raksasa itu akan marah dan memangsanya, maka ia terima ajakannya itu. Maka berangkatlah mereka.

Mereka berjalan bersama, lelaki tua di depan dan si Tulap di belakang. Selama di perjalanan perasaan takut laki-laki tua itu tidak terkirakan. Karena, setiap saat si raksasa itu akan dapat memangsanya dari belakang. Namun, syukurlah hal itu tidak terjadi sampai ia menemukan sebuah peniti dan jarum di perjalanan. Tulap menyuruhnya untuk memungut kedua benda itu untuk dibawa pulang. Lalu, mereka melanjutkan kembali perjalanan mendaki gunung, menuruni jurang dan lembah, bahkan menyeberangi sungai besar dan kecil.Pada suatu tempat, mereka menemukan seonggok kotoran manusia. Lalu Tulap menyuruh laki-laki tua itu untuk membungkusnya dan membawanya pulang untuk makanan ternak katanya.

Perjalanan pun dilanjutkan semakin jauh sehingga seluruh tubuh mereka terasa penat. Akhirnya Tulap mengajak laki-laki tua itu untuk beristirahat di bawah pohon yang rindang. Ketika mereka sedang duduk santai, terlihatlah oleh Tulap sebatang kayu pemukul yang biasa digunakan untuk pemukul sagu. Tulap pun memerintahkan laki-laki tua itu untuk memungutnya dan membawanya pulang. Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan kembali ke tengah hutan yang lebat.

Ketika Tulap hendak melangkahkan kakinya, hampir saja ia menginjak seekor tikus jantan yang besar dan berekor putih. "Hei, tikus. Mau kemakah engkau?" tanya Tulap.

 Tikus sangat terkejut mendengar suara menggelegar itu. Ia menjawabnya," Aku hendak mencari makanan untuk istriku."

Oh, kalau begitu, kamu sebaiknya ikut saja denganku. Kamu pasti akan mendapat makanan banyak." Tulap merayu. akhirnya Tikus menyetujui ajakan itu dan ia berangkat bersama mereka.

Tidak seberapa jauh mereka berangkat, bertemulah mereka dengan seekor lipan. Di ajaknya pula lipan itu bergabung dengan mereka. Kini mereka berjalan berempat. Tulap di depan, disusul lelaki tua, tikus dan terakhir lipan.

Kira-kira lima puluh meter berjalan, terdengarlah bunyi seekor burung. Wah, ini makanan yang enak, pikir mereka. Namun, sayang burung itu sedang mengeram dalam sarangnya. Tanpa berpikir lama segera si Tulap membujuk burung itu untuk bergabung bersama mereka. "Biarlah kau nanti bertelur di rumahku saja," Burung itu tertarik dan akhirnya bergabung bersama mereka. Mereka kini berlima dan perjalanan mereka semakin jauh. Tulap kelihatan sudah semakin loyo dan jalannya sudah lambat. Ia mengeluh lapar karena belum menyantap daging manusit. Ketika siang tiba mereka tiba di suatu tempat yang menyeramkan, jurangnya sangat terjal dan dalam, sepi dan mengerikan. Tulap pun memerintahkan kepada lelaki tua, lipan, tikus, dan burung untuk segera pulang ke rumahnya. Ia akan menyusul  setelah ia mendapatkan santapannya, seorang manusia.

Sementara mereka melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Tulap, timbul rasa curiga mereka kepada raksasa buas itu. Mereka yakin raksasa itu kelak akan menyantap daging mereka juga setelah sampai di rumahnya. Oleh karena itu segera mereka berunding untuk mengatur siasat agar mereka terhindar dari marabahaya.

Sementara itu Tulap memasuki hutan kembali untuk mencari mangsanya. Di tengah hutan ia bertemu dengan seorang pemburu yang berperawakan gemuk. Segera saja pemburu itu ditangkapnya dan dibunuh untuk dijadikan santapannya. Selesai makan dan kenyang, ia kembali pulang ke rumah menyusul teman-temannya tadi.

Sebelum Tulap tiba kembali ke rumahnya, keempat temannya telah sepakat untuk memusnahkan Tulap. Ketika mereka mendapati rumah Tulap kosong dan istrinya tidak ada di dalam, maka mereka dengan segera menyusun rencana dengan matang. Tikus mendapat tugas menggigit telinga Tulap ketika ia tidur, lipan bertugas menjepit tangannya ketika Tulap membasuh muka di perian, burung bertugas memadamkan lampu dan mengepak-ngepakkan sayapnya agar debu memasuki mata Tulap. Sedang si lelaki tua akan meletakkan onggokan kotoran manusia di depan pintu agar ketika Tulap keluar ia akan terpeleset jatuh dan akan segera ia pukul kepalanya dengan kayu pemukul yang dibawanya dari hutan.

Setibanya di rumah, segera Tulap mencari tempat tidurnya. Ia ingin beristirahat karena lelah dan perutnya sudah kenyang. Kemudian, terdengarlah dengkurannya yang keras. Pada saat itu mereka langsung melaksanakan tugas masing-masing. Pertama-tama tikus menggigit telinga Tulap sehingga ia beranjak kaget dari tempat tidurnya. Sewaktu ia meloncat, tanpa disadarinya tubuhnya tertusuk peniti dan jarum yang diletakkan di atas tempat tidurnya. Lalu, ia mengerang kesakitan sambil mencoba berdiri untuk membasuh mukanya di perian. Namun sayang, ketika ia berdiri tiba-tiba lampu padam karena kena kepakan sayap burung. Dengan meraba-raba Tulap akhirnya mendapatkan pintu keluar Tapi sial, ketika ia mau menginjakkan kakinya ke luar rumah, ia menginjak onggokan kotoran manusia dan terpeleset. Si laki-laki tua segera bertindak cepat, ia langsung memukul kepala Tulap berkali-kali. Tulap menjerit-jerit kesakitan, tak lama kemudian matilah ia dengan kepala remuk.

Sumber: Buku Cerita Rakyat Sulawesi Utara (Lawongo, Keberanian sejati, membunuh raksasa)
Penyusun: M.Yudhistira
Gambar: Irsyadul Anam
Penerbit: Mitra Cendekia Surabaya
Read More

Putri Limaran

18.17 0
putri limaran, cerita rakyat jawa tengah
Limaran adalah permaisuri raja yang cantik jelita. Walaupun ia berpenampilan sederhana, namun tetap memiliki kecantikan yang luar biasa. Sang putri mempunyai kegemaran membatik.

Pada suatu hari ketika Limaran sedang mengandung. Raja pergi berburu selama berhari-hari. Untuk mengisi kekosongan waktu, Limaran melakukan kegiatan sesuai dengan kegemarannya. Ia sangat suka membatik di tempat yang tenang.

Saat itu ketika Limaran sedang asyik membatik di atas pohon di tepi telaga yang sunyi, seorang peri yang buruk rupa (kita sebut saja si buruk) sedang berkaca di air telaga, tepat di bawah Limaran membatik. Si buruk tersenyum-senyum memandang bayangan wajah cantik di air telaga. Ia menyangka bayangan itu adalah wajahnya. "Alangkah cantiknya aku" gumamnya.

Namun, apa yang terjadi ketika ia tertawa lebar-lebar dan wajah itu tetap membisu, ia dongakkan kepalanya ke atas, dilihatnya seorang putri cantik bertengger di atas pohon, ia menyadari bayangan itu bukan dirinya. Bersamaan dengan itu Sang putri melihat ke bawah. Sang Putri sangat terkejut melihat peri yang buruk rupa berada di bawahnya, sehingga canting yang dipegangnya jatuh ke tanah.

Limaran berkata "Hai Peri, bila engkau mau mengambilkan cantingku yang jatuh, engkau akan kuajak ke Istana menjadi pembantuku."
Mendengar kata Limaran itu si Buruk merasa gembira, lalu diambilnya canting yang jatuh, kemudian diserahkan kepada Limaran.

Sesuai dengan janji Limaran, maka si Buruk menjadi pembantu Limaran. Karena, si Buruk dapat menunjukkan perangai yang baik, maka ia sangat dipercaya oleh Sang Putri. Namun, di balik itu semua hati si Buruk diliputi rasa iri dengan kecantikan dan kebahagiaan sang putri. Ia berpikir," Alangkah bahagia bila aku dapat menjadi permaisuri." Maka ia selalu mencari kesempatan untuk menyingkirkan Limaran.

Kesempatan itu akhirnya tiba. Ketika Limaran hamil tua, Raja pergi berburu di hutan yang jauh letaknya, karena itu pada saat Limaran melahirkan raja tidak ada di istana. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh si Buruk. Dengan berdalih menolong, Limaran dapat diperdaya. Limaran mati saat melahirkan. Tubuhnya dimakamkan di halaman istana dan bayi Limaran disusui oleh si Buruk.

Setelah sebulan lamanya, Raja kembali ke istana dengan hati bangga, karena mendengar kabar putranya telah lahir, namun betapa terkejutnya ketika Raja mengetahui bahwa permaisuri telah wafat. Seketika wajahnya menjadi muram. Si Buruk berusaha menghibur, tetapi tidak berhasil.

Hari demi hari keadaan raja semakin mengkhawatirkan. Beliau sudah tidak memperdulikan lagi keadaan sekelilingnya. Kerjanya hanya termenung-menung menunggui pusara permaisuri, yang kini dituumbuhi pohon bunga melati yang harum baunya. Hati si Buruk semakin gemas, maka ketika Raja tidak ada di sana, bunga melati itu dicabut dan dibuang jauh-jauh oleh si Buruk. Raja semakin kehilangan.

Syahdan di tempat pembuangan bunga melati itu tumbuh pohon maja yang berbuah hanya satu. Ketika buah itu ranum mengundang selera seorang juru masak untuk memetiknya lalu dibawa pulang. Aneh buah itu dapat berbicara dan menjelma menjadi seorang putri yang cantik jelita. Juru masak dapat mengenalinya, ia adalah Limaran permaisuri raja. Limaran meminta ijin juru masak untuk boleh tinggal di rumahnya. Juru masak yang kebetulan adalah seorang janda tidak merasa keberatan, bahkan dengan senang hati ia menerimanya.

Selama tinggal di rumah Juru masak, sang putri selalu memperhatikan kepentingan putranya. Ia membuat baju-baju bayi yang disulam indah serta membuat penganan kegemaran Raja. Tentu saja Raja menjadi bertanya-tanya, siapakah gerangan yang dapat membuat penganan kegemarannya. Rupanya tidak mudah untuk mengetahui, karena Juru masak itu tidak mau berterus terang. Namun akhirnya rahasia itu terbongkar ketika Raja dengan diam-diam mengikuti Juru masak itu pulang ke rumahnya. Pertemuan Raja dan Permaisuri itu sangat mengharukan. Raja berjanji akan menghukum si Buruk setimpal dengan kesalahannya.

Si Buruk dihukum mati, mayatnya dikuburkan di belakang istana. Karena kejahatannya, maka di atas kuburan tumbuh bunga bangkai yang berbau busuk.

Kesimpulan
Orang yang rendah hati tentu akan mendapat pertolongan Tuhan. Sebaliknya, orang yang dengki dan selalu iri terhadap orang lain, akan celaka. 

Sumber: Buku Putri Limaran, Cerita Rakyat Dari Jawa Tengah
Penulis: Sri Sulistyowati
Penerbit: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996
Read More

Keberanian Sejati

17.18 0
Ratu Adioa, keberanian sejati
Dahulu kala ada beberapa anak muda yang bersahabat akrab. Mereka adalah Ratu Wulan-Wanna, Wonte Ulu, Wonte Hall, Wonte Tembaga dan Ratu Adioa. Sayang sekali watak mereka kurang baik. Kelakuannya sangat kasar, sombong, tinggi hati, dan tidak mematuhi orang tua, kecuali Ratu Adioa. Ia anak yang baik budinya dan sangat menyayangi kedua orang tuanya.

Pekerjaan Ratu Adioa memanah burung, Ratu Wulan-Wanna hanya luntang-lantung, si Wonte Ulu seorang nelayan, si Wonte Hall pembuat perahu, serta si Wonte Tembaga sebagai Tukang besi. Mereka rata-rata hidup berkecukupan, terutama si Ratu Wulan-Wanna. Orang tuanya adalah orang yang berkecukupan.

Suatu ketika mereka berniat mengadakan unjuk kebolehan yang sangat menyeramkan. Mereka ingin menguji kehebatan dan keberanian masing-masing dengan membunuh orang tua mereka. Sungguh perbuatan yang terkutuk.

Teman-temannya tanpa rasa belas kasih telah membunuh kedua orang tuanya. Ratu Adioa tidak bersedia melakukannya. Dengan diam-diam ia membawa kedua orang tuanya bersembunyi di dalam sebuah gua di dalam hutan. Sementara teman-temannya menjadi anak yatim piatu dan hidup mereka kian melarat dari waktu ke waktu, tidak demikian dengan Ratu Adioa.

Pada suatu hari ketika matahari akan segera masuk ke peraduan, berlabuhlah tiga buah kapal di kampung mereka. Dengan cepat kedatangan itu diketahui oleh penduduk sekitar, termasuk oleh kelompok anak muda tersebut. Segera mereka mengirim para pesuruh mereka untuk menanyakan kepada para awak kapal mengenai tujuan mereka berlabuh. Mereka menjawab, "Kami adalah raja dari Timur, bermaksud membawa teka-teki. Seandainya teka-teki ini dapat kalian jawab, seluruh isi ketiga kapal ini akan kami serahkan. Sebaliknya bila teka-teki ini tidak terjawab, kampung dan seluruh isinya akan menjadi milik kami."

"Apakah teka-teki yang hendak Tuan sampaikan kepada kami?" tanya utusan mereka.

"Teka-teki kami ada tiba buah. Pertama, kami meminta kalian untuk memilih dari dua tengkorak ini, mana yang perempuan dan mana yang laki-laki. Kedua, pilihlah dari dua ekor ayam ini, mana yang jantan, mana yang betina. Ketiga, terkalah air di dalam dua gayung ini, mana yang berisi air tawar, mana yang berisi air laut. Demikianlah teka-teki kami."

Pulanglah pesuruh itu menjumpai Ratu Adioa dan kawan-kawannya. Ia menceritakan apa yang ia dengar dari awak kapal tersebut. Lalu, segera mereka berkumpul membahas teka-teki itu, namun tidak berhasil memperoleh jawabannya. Kemudian, mereka memutuskan untuk membuat taruhan bagi mereka sendiri; yaitu barang siapa yang berhasil menjawab teka-teki tersebut ia akan diangkat menjadi raja. Mereka sepakat, lalu menyuruh pesuruh mereka untuk memberitahukan kepada para awak kapal untuk menanti jawabannya seminggu lagi.

 Sementara teman-temannya mencari jawaban teka-teki itu, Ratu Adioa pergi menjumpai kedua orang tuanya. Ia menceritakan kepada mereka mengenai teka-teki tersebut. Kedua orang tua Ratu Adioa tidak berkomentar panjang lebar. Mereka hanya menganggukkan kepala setelah mendengar teka-teki itu, lalu berkata," jangan kuatir anakku, teka-teki itu tidak susah. Jawaban pertama adalah, apabila lidi yang kau tusukkan kedalam lubang telinga tengkorak itu lurus, maka itu berarti tengkorak laki-laki. Apabila bengkok itu berarti tengkorak perempuan. Yang kedua, ambillah segenggam beras dan berilah mereka makan. Ayam yang makan sambil menengadah tandanya ayam jantan. Sedangkan ayam yang makan tanpa menengadah berarti ayam betina. Untuk yang ketiga, jika air di dalam gayung itu beriak tandanya air laut, sedangkan bila tidak berarti air tawar. Nah, berangkatlah kau ke kapal itu dan jawablah teka-teki itu. Kau pasti dapat memenangkannya."

Setelah menyalami kedua orang tuanya dan memohon doa restu mereka, berangkatlah Ratu Adioa menuju tempat teman-temannya berkumpul. Setibanya di tempat itu, teman-temannya masih dalam kebingungan. Mereka masih belum mendapatkan jawabannya. Mereka akan menyerah saja, tetapi mereka takut kalau kelak dibawa para awak kapal itu sebagai hadiah kepada raja di seberang. Maka, tumpuan harapan mereka hanya pada Ratu Adioa.
"Bagaimana Ratu Adioa? Apakah kamu telah mendapatkan jawabannya? Hanya kamulah harapan kami satu-satunya." mereka memohon.

"Baik, jangan kuatir, aku sudah tahu jawabannya. Mari kita menuju kapal itu," jawab Ratu Adioa dengan tenang.

Mereka pun beramai-ramai menuju ke kapal itu. Di sana telah menunggu para awak kapa dan penduduk setempat yang ingin menyaksikan dan mendengarkan jawaban teka-teki itu. Ratu Adioa dengan tenang menyampaikan jawaban itu sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh ayahnya. Para awak kapal sangat tercengang mendengar jawaban Ratu Adioa. Tidak ada satupun yang meleset. Maka, sesuai dengan janji mereka, seluruh isi perahu itu menjadi milik Ratu Adioa dan penduduk setempat.

Sejak peristiwa itu, Ratu Adioa diangkat menjadi raja. Karena sudah menjadi raja ia tak usah merasa takut kepada kawan-kawannya yaitu untuk menyusul kedua orang tuanya yang bersembunyi di dalam sebuah goa. Lalu, ia segera menjemput kedua orang tuanya itu.

"Jadi kau tidak membunuh kedua orang tuamu?" tanya teman-temannya yang lain.

"Benar, mereka kusembunyikan, membunuh mereka bukanlah sebuah tindakan yang gagah berani, melainkan perbuatan tercela dan terkutuk, sebab merekalah yang telah melahirkan dan mengasuh kita sejak masih bayi."

Ratu Adioa berkata lagi. "Keberanian sejati bukanlah menindas orang lemah, melainkan justru membela dan melindungi orang lemah dari tindakan semena-mena."

Mengetahui hal ini teman-temannya sangat menyesal. Kini mereka tidak sekaya Ratu Adioa dan makin hari kehidupan mereka makin tidak bahagia, melarat dan sengsara.

Sumber: Buku Cerita Rakyat Sulawesi Utara (Lawongo, Keberanian sejati, membunuh raksasa)
Penyusun: M.Yudhistira
Gambar: Irsyadul Anam
Penerbit: Mitra Cendekia Surabaya


Read More

Lawongo, Cerita Rakyat Sulawesi Utara

17.25 0
lawongo, cerita rakyat sulawesi utara
Ada seorang pemuda tampan dari Pulau Ka-baruan. Namanya Lawongo. Lawongo seorang pemburu yang hebat, ia tak pernah pulang dari hutan tanpa membawa hewan buruan. Namun ada lagi kemahirannya yang menakjubkan yaitu ahli meniup seruling yang merdu sekali. Keahliannya meniup seruling sangat dikagumi oleh rakyat setempat. Orang tua atau orang muda sangat menyukainya. Para gadis remaja banyak jatuh cinta kepada dirinya.

Pemuda ini sering berkelana keliling pulau untuk mempertunjukkan kemahirannya memainkan suling sambil mencari-cari gadis yang didambakannya. Pada suatu ketika di negeri Damau ia bertemu dengan seorang gadis yang cantik. Diantara sekian banyak gadis yang cantik yang ditemuinya, baru kali inilah hatinya terpikat. Ia jatuh hati dan mencintai gadis itu, maka ia memutuskan untuk melamar si gadis untuk dijadikan istrinya. Tidak berapa lama kemudian, perkawinan pun diselenggarakan tanpa mengalami kesulitan dan gangguan.

Setelah perkawinan berlangsung. Lawongo menetap di desa Damau, tempat istrinya. Untuk menghidupi istri dan dirinya sendiri, Lawongo terus bertani dan berburu babi hutan. Setiap hari ia berhasil membawa hasil buruannya ke rumah. Rakyat Desa Damau sangat menghargai pekerjaan Lawongo ini, karena setelah kedatangan ke desa itu, masyarakat terhindar dari gangguan babi hutan yang kerap berkeliaran di sekitar desa dan merusak kebun mereka.

Mereka menyukai dan menyanyangi Lawongo, lebih-lebih pada malam harinya mereka pun mendapat hiburan dari suara seruling yang dimainkan oleh Lawongo. Oleh karena itu, Lawongo dengan segera mendapat perhatian luas dari penduduk setempat dan menjadi pujaan orang di desa baik tua atau muda.

Selagi manusia hidup di dunia, ia akan mengalami suka dan duka. Jika manusia mendapat kemudahan dan kebahagiaan hendaklah ia ingat bahwa semua itu berasal dari karunia Tuhan. Dan jika manusia mendapat kesulitan atau derita, maka ingatlah bahwa di dunia ini kita memang tidak bisa hidup selama-lamanya, akhirnya mati juga.

Konon, demikian banyak babi hutan yang dibunuh Lawongo, salah satu dari babi hutan yang terbunuh adalah babi siluman. Maka pada suatu ketika kerabat si babi hutan membalas dendam dengan cara yang sangat aneh.

Pada suatu malam Lawongo bermimpi berburu babi hutan. Babi yang telah berhasil ditombaknya mengamuk dengan ganasnya sehingga hampir membinasakan hidupnya. Untuk menyelamatkan jiwanya, ia mencabut pisau dari sarungnya lalu menikam babi itu.

Sesudah ia bermimpi, ia tertidur kembali di kamarnya bersama istrinya. Keesokan harinya seperti biasa ia berangkat berburu. Pagi-pagi ia bangun membawa tombak dan pisaunya. Ia sengaja tidak membangunkan istrinya untuk berpamitan karena hari masih sangat pagi.

Ada sesuatu yang aneh dirasakan oleh Lawongo. Hari itu agak mendung dan sepi. Burung-burung tak ada yang berkicau. Ranting pepohonan tidak bergoyang karena tidak angin yang meniupnya. Alam seolah berduka. Seharian itu tidak ada seekor babi pun yang berkeliaran. Bahkan tak seekor binatang pun nampak pada hari itu.

Ketika hari sudah semakin siang. Badan Lawongo sudah sangat letih, perut lapar dan kerongkongannya terasa haus. Untuk menghilangkan rasa haus ia memanjat sebatang pohon kelapa guna memetik beberapa butir buahnya. Ketika ia hendak mencabut pisaunya untuk membelah kelapa itu, pisau itu sangat keras melekat pada sarungnya. Dengan sekuat tenaga ia mencabut pisau itu, akhirnya berhasil. Ia sangat terperanjat setelah melihat membeku pada pisaunya itu. Darah itu rupanya yang menyebabkan goloknya sulit dicabut. Tiba-tiba teringatlah  Lawongo atas mimpinya semalam.
"Jangan-jangan......ah, tidaaaak...!"  Lawongo menjerit keras lalu segera berlari ke rumah. Begitu tiba di ujung desa ia lihat orang sudah banyak berkumpul di depan rumahnya.

Hatinya semakin miris. Segera ia menerobos kerumunan orang untuk masuk ke dalam rumah. Ternyata benar dugaannya mengenai mimpi semalam. Rupanya bukan babi hutan yang ia tusuk dengan goloknya, namun isti yang sedang tidur di sampingnya  yang menjadi sasarannya.

lawongo, cerita rakyat sulawesi utara
Dengan menjerit keras ia memeluk istrinya yang sudah tidak bertanya lagi. Ia benar-benar menyesal atas kejadian yang menimpa diri istrinya.

"Istriku....untuk apalagi aku hidup di dunia tanpa kau disisiku....? bisik Lawongo seolah istrinya masih hidup. Ia membelai-belai rambut istrinya dengan derai air mata. Beberapa lama kemudian, ia berteriak kepada orang-orang di sekelilingnya."Tolong buatkan dua peti mati. Satu untuk istriku, satu lagi untuk diriku sendiri."

Semua orang yang hadir terperanjat mendengar permintaan itu. Mereka tidak setuju untuk mengubur Lawongo hidup-hidup bersama mayat istrinya. Janganlah kalian tunjuk benda itu. Jangan pula kalian teriaki. Kalian diam saja menunggu benda itu di pantai dengan tenang. Jangan kaget!"

Keesokan harinya dikuburkanlah Lawongo hidup-hidup bersama istrinya atas permintaannya sendiri. Pada hari pertama dan kedua, orang di desa itu masih mendengar suara seruling Lawongo. Pada hari-hari berikutnya suara seruling itu semakin mengecil sampai akhirnya pada hari ketujuh suara itu lenyap sama sekali.
"Berarti dia telah benar-benar pergi untuk selamanya." kata salah seorang penduduk.

Pada hari berikutnya pagi-pagi sekali seluruh sanak keluarga Lawongo dan beberapa penduduk setempat berbondong-bondong menuju pantai sesuai dengan pesan Lawongo. Mereka duduk dengan tenang di pantai menunggu benda aneh yang katanya akan muncul dari kaki langit. Satu dua jam kemudian benda itu belum juga muncul. Beberapa orang mulai meragukan akan kebenaran pesan Lawongo. Namun Lawongo ternyata tidak berdusta, beberapa saat kemudian tiba-tiba muncullah dari permukaan laut di kaki langit sebuah benda raksasa seperti gunung mencuat dari air laut menuju pantai desa Damau. Melihat benda raksasa aneh itu, terkejutlah orang-orang yang berkumpul di pantai. Mereka berteriak ketakutan karena benda itu semakin lama semakin besar dan menuju ke arah mereka.

Apa yang terjadi kemudian? Serentak benda raksasa itu berhenti di tengah-tengah. Orang-orang semakin penasaran. Mereka ingin mengetahui benda itu dari dekat. Maka berlayarlah beberapa orang dari mereka menuju benda itu. Setelah mereka mendekati benda itu, ternyata itu berupa pulau karang. Lalu, mereka menamai pulau itu Napom-balu.

Di saat pasang besar, pulau itu tenggelam dan di saat surut, pulau itu muncul kembali ke permukaan. Jadi, kadang-kadang tidak sesuai dengan namanya napo berarti pulau karang, nawalu berarti benda aneh yang berubah menjadi sebuah pulau.

Sumber: Buku Cerita Rakyat Sulawesi Utara (Lawongo, Keberanian sejati, membunuh raksasa)
Penyusun: M.Yudhistira
Gambar: Irsyadul Anam
Penerbit: Mitra Cendekia Surabaya
Read More

Koko Kena Batunya

17.09 0
koko kena batunya
Di perkampungan Uluwatu, Bali, hiduplah ratusan monyet yang biasa berkeliaran dengan bebas. Salah satunya Momon. Momon memiliki anak, namanya Koko. Koko sangat aktif. Koko suka mengambil makanan dari orang-orang yang datang.

"Koko, jangan merampas makanan dari orang, itu tidak baik. Nanti orang akan benci dengan kita," Momon menasehati Koko.

"Kalau hanya menunggu, belum tentu orang-orang itu mau memberikan makanannya untuk kita, Ayah," jawab Koko cemberut.

"Kita kan sudah diberi makan oleh penjaga, Koko. Lagipula kita juga bisa mencari makanan sendiri," ujar Momom. Koko hanya mengangguk.

Hari ini teman-teman Koko sudah menunggunya di atas pohon.

"Koko...Hari ini turis yang datang sangat banyak. Pasti mereka membawa makanan yang enak-enak. Cepat Koko!" ucap Rado dari atas pohon.

"Iya aku datang," teriak Koko sambil berlari.

Koko dan teman-temannya pun berlarian hendak menghampiri para turis yang datang ke Uluwatu.

"Koko, lihat itu, banyak sekali makanan yang mereka bawa. Ayo, kita ambil! ajak Rado.

Koko lupa pesan sang Ayah untuk tidak merampas makanan dari orang. Koko pun ikut mengambil makanan dari tangan pengunjung. Rado langsung berlari setelah mendapatkan sebungkus makanan ringan. Koko hanya mendapatkan sebungkus kacang. Tiba-tiba....
Buuuuukkkk.....Buuuukkkk....
"Aduuuhh... Aduuhhh...." Koko dilempari batu oleh seorang anak kecil yang kesal karena kacangya diambil oleh Koko.

Momon, Ayah Koko yang dari tadi mencari Koko ke sana-ke mari akhirnya menemui menemui anaknya yang tengah kesakitan.

"Koko, kamu kenapa?" tanya Momon

"Anak itu melempari aku dengan batu, Ayah. Sakit," Koko merintih kesakitan.

"Hmmm....pasti kamu merampas makanannya, kan?" tanya sang Ayah.

Ii...yaa... Ayah. Aku tidak tahan melihat makanan yang dibawanya," ucap Koko.

"Merampas milik orang namanya mencuri, Nak. Kita dianugerahi Tuhan kemampuan untuk bisa mencari makanan sendiri. Bukan mencuri," Momon menasehati Koko sambil mengusap-ngusap punggung Koko yang memerah dilempari batu.

"Iya...Ayah. Koko jandi tidak akan merampas makanan lagi. Koko tidak mau dilempari batu lagi," Koko menyesali perbuatannya.

"Syukurlah kamu mengerti. Sekarang, mari ikut Ayah. Kita cari makanan bersama," Momon merangkul Koko. Koko menyadari perbuatan buruknya dan berjanji tak akan mengulanginya. Ia akan berusaha mencari makanannya sendiri. Ia ingin jadi anak monyet yang mandiri.

Hikmah Cerita

Mencuri barang milik orang lain adalah perbuatan tercela. Untuk mendapatkan suatu barang yang kita inginkan, haruslah dengan cara-cara yang baik, misalnya dengan bekerja atau berupaya dengan tangan sendiri

Sumber: Harian Kompas, Minggu 18 Januari 2015
Penulis: Risalah Husna (Nominator Lomba Menulis Dongeng Anak Nusantara Bertutur 2014) 
Ilustrasi: Regina Primalita 

Read More

Post Top Ad