Habib adalah seorang pembuat karpet. Sepanjang hari kerjanya hanya duduk di depan perkakas tenunnya, melihat murid-muridnya yang sedang belajar menenun darinya. Sementara, anaknya Habib bin Habib tak pernah kelihatan hadir. Ia tidak tertarik menjadi pembuat karpet. Yang dilakukannya hanyalah pergi ke tempat para khafilah lewat, dimana di tempat itu ia dapat melihat rombongan unta yang sedang berjalan menuju Samarkand, Bukhara atau ke tepi pantai Gading Emas.
"Kapan aku dapat ikut serta dalam khafilah itu," kata Habib bin Habib dalam hati, ketika melihat seorang tukang kuda sedang menyisir ekor kuda berwarna perak, milik pedagang dari Tabriz.
"Apa kau tertarik dengan kuda cantik milik majikanku ini?" tanya tukang kuda itu. "Kau masih kecil, lebih pantas menggunakan keledai."
"Suatu hari, aku akan jadi seorang pedagang," aku akan punya kuda seperti itu, aku akan punya sekantong emas dan kawin dengan seorang putri."
"Enyahlah, kau, anak kecil," teriak tukang kuda itu. "Lebih baik kau menjauh dari kuda ini atau kau akan ditendang."
Melihat gelagat yang tidak baik dari si tukang kuda itu, Habib bin Habib pun pergi. Ketika sampai di rumah, ayahnya telah menunggunya . Di tangannya tampak sebuah tongkat.
"Hai, anak malas!" teriak ayahnya. "Aku mau menyuruhmu memilah-milah kain wol berwarna, tapi kau tidak ada. Kemana saja kau? Ke tempat rombongan khafilah itu lagi? Bekerjalah, atau aku akan memukulmu dengan keras."
"Ayah, kalau aku bisa ikut serta bersama rombongan khafilah ke tempat-tempat yang menarik, ayah pasti bangga. Aku yakin, pasti bisa." jawab Habib bin Habib pada ayahnya.
"Masih saja kau bermimpi!" Teriak ayahnya. "Ayo sana, pergi ke toko karpet."
Akhirnya Habib bin Habib pergi ke toko karpet. Karena lelahnya, di sana. Ia pun tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi kabur dari rumahnya. Ia memutuskan untuk bergabung dengan khafilah yang akan berangkat besok pagi. Ia membawa sebuah karpet kecil yang paling tua di toko itu. Tak ada seorang pun yang tahu keberadaan karpet itu, karena terletak di pojok toko itu.
Tempat pertama yang dituju olehnya adalah pasar. Di sana banyak sekali unta yang sedang bersimpuh. Unta-unta itu dilengkapi deingan pakaian dan bel. Sementara itu, para pedagang sibuk dengan pekerjaannya, yaitu menata sadel dan keranjang di punggung unta.
Habib bin Habib mendekati seorang tua berjanggut dan berkata kepadanya,"Tuan yang baik, bolehkah aku ikut rombonganmu."
"O, tidak boleh, Nak." kata orang tua itu. "Kecuali kalau kau membawa surat ijin dari ayahmu."
Lalu Habib bin Habib pergi lagi ke pedagang lainnya, "Aku akan menjaga untamu, tapi bolehkah aku ikut denganmu?"
Pedagang itu menjawab, "Kau masih terlalu kecil, Nak. Lagipula, aku sudah punya anak yang bertugas memberi minum unta. Karena itu, pulanglah, nanti orangtuamu akan mencari-carimu."
Bersamaan dengan berkokoknya ayam jago, unta-unta yang sedang tidur mulai menaikkan badannya sedikit-sedikit, kemudian berjalan melewati pintu gerbang kota.
"Hai, anak kecil, kulihat kau sendirian. Apa kau mau ikut denganku ke Samarkand." Tiba-tiba seorang laki-laki yang menunggangi unta paling akhir dalam khafilah itu mengajaknya.
Mendengar tawaran itu, Habib bin Habib senang sekali. Ia melompat-lompat kegirangan. Laki-laki itu juga senang, karena ia memang butuh seorang teman, barang dagangan yang dibawa oleh untanya sangat berat. Nama laki-laki itu Qadir. Ia seorang pedagang kain wol.
"Kalau kau mau membantuku, akan kuberi kau uang satu dinar perak setiap bulan." Kata Qadir kepada Habib bin Habib.
Hari demi hari, malam demi malam, dilewati Habib bin Habib dengan perasaan gembira. Gunung, padang pasir, panas, hujan dilaluinya, dan akhirnya sampailah mereka di Samarkand.
Di sana, Habib bin Habib memperoleh uang dinar pertamanya. Dengan uang itu, ia berjalan-jalan di Samarkand, mencari sesuatu untuk dibelinya. Ia membeli sebuah topi putih yang dihiasi oleh sulaman sutera dan baju hijau yang terbuat dari katun. Begitu gembiranya, malam itu ia tidak dapat tidur. Ia duduk diatas karpet yang ia bawa dari rumah sambil melihat anting-anting yang ia beli untuk ibunya di rumah.
"Kuharap, aku bisa terbang bersama karpet ini." katanya di bawah tiupan angin sepoi-sepoi. Namun, belum selesai kata-kata itu keluar dari mulutnya, karpet itu bergerak sedikit demi sedikit ke arah atas dan membawanya terbang ke udara.
"Hah! Karpet ini bisa terbang? Karpet ajaib!" Teriaknya." Kalau begitu, bawalah aku ke istana di negeri ini."
Hari itu, sinar bulan terang sekali. Di suatu tempat, karpet itu mulai turun sedikit demi sedikit. Ternyata ia mendarat di atap sebuah istana marmer. Habib bin Habib terkagum-kagum melihat istana itu. Di sana, ia melihat seorang putri sedang bermain kelereng. Tampaknya, itu Putri Bunga Emas. Usianya tak jauh berbeda dengan usia Habin bin Habib. Melihat kedatangan Habib bin Habib, Puteri itu senang sekali, karena ia mempunyai seorang teman bermain. Sang putri mengajak Habib bin Habib untuk bermain kelereng dengannya.
Akan tetapi, belum lama mereka bermain, sang pengasuh putri datang ke arah mereka. "Tuan puteri harus kembali untuk tidur." kata pengasuh putri itu.
"Bagaimana seorang anak kampung yang dekil ini bisa masuk ke sini dan bermain dengan tuan putri?"
Melihat pengasuh putri itu, Habib bin Habib lalu melompat ke karpet ajaibnya dan menyuruhnya untuk terbang. Tak lama kemudian, karpet itu pun terbang meninggalkan putri dan wanita tua itu. Di atas, angin bertiup kencang sekali dan langit sangat gelap. Habib bin Habib mulai terserang rasa kantuk dan akhirnya ia pun tertidur.
"Bangun, bangun, Nak!" kata si pembuat karpet itu sambil mengguncang-guncangkan Habib dengan tongkat, "Apakah kau ingin ikut rombongan khafilah dan keliling dunia? Aku telah berencana dengan pedagang dari Baghdad untuk mengajakmu dalam sebuah perjalanan."
Habib bin Habib sangat kaget melihat ayahnya. O, jadi, tadi itu hanya sebuah mimpi? Tetapi, di tangannya masih ada kelereng merah."Lihat, kelereng dari batu merah delima ini aku dapatkan dari tuan puteri," katanya sambil menunjukkan kelereng itu pada ayahnya.
"Dari mana kau dapatkan ini?" Tanya Ayahnya. "Kalau betul kelereng ini batu merah delima, pasti kita akan kaya, kalau kita jual kelereng ini ke tukang permata."
"Aku mendapatkan kelereng ini dari tuan putri," kata Habib bin Habib sekali lagi, lalu ia menceritakan pengalaman itu dari awal hingga akhir.
Habib sangat prihatin melihat tingkah laku anaknya, lalu ia ceritakan hal tersebut kepada istrinya. Ketika ibunya meminta penjelasan lagi, Habib bin Habib pun menceritakan hal yang sama.
"Lalu, mana karpet terbangnya?" tanya ibunya.
Ternyata, karpet itu tidak ada. Melihat tingkah laku anaknya yang aneh itu, kedua orang tua itu merasa iba juga. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk mengikutsertakan Habib bin Habib pada rombongan khafilah pedagang dari Baghdad selama enam bulan seperti yang telah mereka rencanakan.
Beberapa tahun kemudian, Habib bin Habib tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa dan menjadi seorang pedagang karpet. Ia menjual karpetnya dari satu negeri ke negeri lain, dan ia menjadi seorang pedagang yang berhasil.
Suatu ketika, ia tiba di Negeri Sogdiana. "Siapa nama puteri di negeri ini," tanya Habib bin Habib kepada orang-orang yang sedang duduk di sebuah kedai teh.
"Puteri Bunga Emas," mereka menjawab.
"Hah! Kata Habib bin Habib kaget, lalu tanpa buang-buang waktu lagi, ia kirimkan hadiah kepada sang raja dan meminta izin untuk meminang puterinya.
"Terserah pada puteriku," jawab sang raja, sambil menyuruh puterinya untuk melihat anak muda itu melalui tirai-tirai rahasia yang ada di dinding ruang penerima tamu.
Melihat kegagahan pedagang karpet itu, sang puteri langsung jatuh cinta. Ia menyatakan setuju kawin dengannya. Pada pesta perkawinan itu, Habib bin Habib memberikan batu permata merah delima yang sangat mahal.
Sumber: Buku Kisah Anak-anak dari Asia Tengah "Petualangan Habib Bin Habib"
Penulis: Males Sutiasumarga
Penerbit: Zikrul Hakim (Divisi Zikrul Kids) - Jakarta Timur
Post Top Ad
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar