Suatu ketika, ada seorang tua yang bijak. Ia tingga sendiri di sebuah gubuk yang terbuat dari ranting dan alang-alang. Suatu hari datang kepadanya seorang anak muda dan berkata," Hai, orang yang bijak, kalau aku bergabung denganmu, maukah kau mengajariku tentang kebijakan?"
"Hai, anak muda. "jawab orang tua itu. "Aku tidak dapat mengajarimu sesuatu. Segala sesuatu yang berguna bagi seseorang di dunia ini harus dipelajari lewat pengalaman."
Akan tetapi, pemuda itu berjanji, ia akan mengabdi pada orang tua itu selama hidupnya, jika diizinkan tinggal bersamanya. Ia meminta dengan sangat, karena dia tidak punya ayah dan ibu. Akhirnya, orang tua itu mengizinkan untuk tinggal di sana.
Setiap hari, murid yang bernama Abdul itu memasak untuk gurunya dan mencoba belajar dari kehidupan sehari-harinya.
Suatu hari, orang tua itu berkata,"Abdul, aku akan mengembara, jadi kita akan berpisah. Terima kasih atas semua yang kau lakukan untukku.
Dengan air mata yang menetes di pipinya, Abdul berkata," Guru, ajaklah aku bersamamu, aku berjanji akan selalu mengabdi padamu."
Melihat permintaan Abdul, orang tua itu merasa kasihan. Akhirnya, mereka pun pergi berdua. Desa demi desa dilaluinya. Kadang-kadang ada penduduk desa yang memberikan makanan kepada mereka. Mereka hidup dengan hemat, tapi mereka senang.
Pernah pada suatu ketika, mereka lewat pada di sebuah desa yang penduduknya tidak ramah. Mereka melemparkan batu kepada orang tua dan anak muda itu sambil berkata,"Biarkalanlah kami hidup tenang. Kami tidak mau ada pengemis di sini. Pergilah ke tempat lain."
Anjing-anjing desa mengikuti mereka sambil mendeking. Anak-anak desa mengolok-olok mereka dengan teriakan kasar. Abdul kelihatan tertekan. Mereka tidak makan sepanjang hari, karena tidak ada yang dapat dimakan, sementara sepanjang perjalanan, orang tua itu tidak sedikitpun menampakkan kecemasannya. Ketika tiba di pinggir desa, mereka berteduh di sebuah tembok rusak. Orang tua itu mengambil batu dan kayu, kemudian dengan hati-hati ia perbaiki tembok itu.
Mereka berjalan hingga malam hari. Akhirnya sampailah mereka di tepi sungai. Di sana, mereka melihat ada sebuah cahaya memancar di antara alang-alang.
"Itu gubuk nelayan,"kata Abdul."Ayo, kita ke sana, barangkali saja pemilik gubuk itu mau memberi makan kita."
"Bolehlah," kata orang tua itu. "kita dapat menumpang di sana untuk beristirahat."
Ketika mereka mengetuk pintu, di sana hanya ada seorang wanita tua yang miskin. Wanita itu menceritakan tentang kisah kehidupannya," Waktu itu aku punya seorang anak. Pekerjaannya mencari ikan. Tapi, sekarang, ia tidak di sini. Ia diberi tugas oleh raja untuk menjadi tentara. Hanya perahu inilah satu-satunya barang yang dapat menghidupiku. Dengan perahu ini aku dapat menyeberangi orang-orang yang melewati sungai itu."
Dengan ramah, wanita tua itu menyediakan sop kepada kedua orang tamunya. Setelah menyantap sop hangat yang disediakan oleh wanita tua itu, orang tua dan anak muda itu pun tidur di teras rumah itu.
Ketika Fajar tiba, wanita tua itu menyediakan susu kambing dan roti kepada kedua tamunya, kemudian ia menyeberangi kedua tamunya ke seberang sungai. Setelah orang tua itu memberikan ongkosnya, wanita tua itu pun kembali ke tepi sungai semula. Namun, ketika wanita tua itu masuk ke gubuknya, orang tua itu kembali ke tepi sungai itu, lalu membebani perahu itu dengan batu-batu besar, hingga tenggelam.
"Guru, apa yang kau lakukan?" tanya Abdul dengan bingung, "mengapa kau tenggelamkan perahu wanita tua itu? Ia tidak akan bisa mencari nafkah lagi kalau perahunya tenggelam, sementara anaknya sedang bertugas menjadi prajurit. Ia pasti akan mati kelaparan."
"Jangan takut, jangan takut. Inilah jalan yang terbaik." kata orang tua itu sambil berjalan kembali ke seberang sungai dengan terengah-engah.
Akan tetapi, anak muda itu tidak senang dengan tingkah laku guruya, lalu ia memutuskan untuk meninggalkan guru itu.
Ketika mereka tiba pada sebuah rombongan khafilah, di mana pada saat itu unta dan keledai beristirahat pada waktu malam, orang tua itu berkata," Hai muridku, tampaknya kau sedang sedih. Coba ceritakan padaku apa yang menyebabkanmu begitu."
"Aku harus meninggalkanmu, guru, karena kau telah melakukan sesuatu yang tidak dapat kumengerti. Pertama, kau perbaiki tembok penduduk yang jahat yang melempari kita dengan batu dan mencerca kita. Kemudian, kau rusak perahu wanita tua yang begitu baik pada kita. Dia memberi kita sop dan susu kambing. Mengapa kau melakukan itu, apa maksudnya?"
"Semua ini ada alasannya, anak muda." jawab orang tua itu.
"Coba jelaskan padaku alasan tersebut jadi aku dapat meninggalkanmu dengan tenang," pinta Abdul.
"Di bawah tembok yang rusak, ada harta karun berupa koin emas," kata orang tua itu dengan tenang." Kalau tembok itu rubuh, maka orang-orang jahat itu akan mengambilnya, tetapi mereka belum siap, jadi aku perbaiki tembok itu."
"Lalu, bagaimana dengan perahu wanita tua itu?"
"Mengenai masalah wanita tua itu, sekarang para prajurit raja sedang melakukan penyitaan terhadap perahu-perahu yang ada di pelosok negeri ini. Perahu wanita tua itu pasti tidak akan diperiksa, karena ada di dasar sungai, dan anak laki-laki wanita tua itu pasti akan kembali dari tugas prajuritnya untuk menaikkan perahu ibunya itu dan memperbaikinya. Tetapi, jika para prajurit itu mendapatkannya, maka wanita tua itu tidak akan punya perahu lagi. Ya, itulah alasan dariku."
Abdul meminta maaf pada orang tua itu dan mengatakan kepadanya bahwa ia tidak akan cemas terhadap apa yang akan dilakukan orang tua itu. Demikian juga, orang tua itu telah memaafkan anak muda itu. Abdul tinggal bersama orang tua itu selama hidupnya.
Sumber: Buku Kisah Anak-anak dari Asia Tengah "Orang Bijak dan Muridnya"
Penulis: Males Sutiasumarga
Penerbit: Zikrul Hakim - Jakarta
Post Top Ad
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Seruan temenan di twitter
BalasHapus@SurahmanBasofi