Desember 2014 - Blog Oblok Oblok

Hot

Post Top Ad

Teguh Dalam Iman

20.31 0
teguh dalam iman
Ketika terjadi perang melawan tentara Romawi, tiga orang bersaudara dari negeri Syam (Syiria) yang menjadi tentara Islam tertawan. Mereka bertiga dihadapkan kepada raja Rhoma yang terkenal kejam.

"Jika kalian mau mengikuti agamaku dan menjadi tentaraku, kalian akan kuberi kedudukan yang tinggi dan akan kukawinkan dengan putriku yang cantik," kata Raja Roma itu.

Namun tawaran dari sang Raja yang cukup menyenangkan itu ditolak oleh tiga bersaudara itu dengan tegas.

"Meskipun Baginda memberi janji dengan kedudukan maupun kemewahan dengan imbalan agar kami mengikuti kehendak paduka, kami menolak. Dan kami tetap memilih Islam sebagai agama kami serta muhammad sebagai panutan kami.

Merasa tawarannya ditolak mentah-mentah oleh ketiga ketiga tentara islam itu. Baginda Raja Roma menjadi murka. Diperintahkan prajuritnya untuk memanaskan minyak dalam kuali yang sangat besar, terbuat dari besi baja. Hal itu menteror mental ketiga prajurit bersaudara itu.

Hari pertama dipanggilnya si sulung untuk diinterogasi. Tetapi pemuda itu tetap teguh pada pendiriannya, ia tidak ingin berpaling dari islam dan tetap sebagai umat Muhammad.

Sang raja menjadi jengkel, ia menyuruh pengawalnya untuk memasukkan pemuda itu ke dalam kuali yang berisi minyak panas mendidih, dan tewaslah pemuda itu.

Kebiadaban raja itu juga dilakukan kepada pemuda kedua, yang juga mati syahid menyusul kakaknya.

Ketika tiba giliran si bungsu, seorang pengawal berkata kepada rajanya.
"Ampun Baginda, rasanya kita tak akan berhasil dengan menggunakan cara kekerasan. Serahkan pemuda itu kepada hamba. Biarkan hamba menggunakan cara yang halus untuk membujuknya, akan hamba buat dia ingkar dari agamanya."

Bagaimana caranya?" tanya sang raja.

"Hamba mengerti dengan kebiasaan seorang pemuda. Ia akan mudah terpikat oleh seorang wanita. Biarkan putriku merayu dan membujuknya." jawab pengawal itu.

"Hm baiklah, kusetujui usulmu. Kau kuberi waktu 40 hari untuk melakukan itu, jika dalam waktu yang kutetapkan itu kau tidak berhasil, bawa dia kembali kesini. Kita habisi saja pemuda bodoh ini."

Maka, si pemuda dibawa oleh pengawal itu pulang ke rumahnya. Putrinya yang cantik diminta untuk membujuknya. Namun ternyata rayuan dan bujukan wanita cantik tak mampu menggoyahkan  iman pemuda itu.

Siang hari pemuda itu selalu berpuasa, dan bila malam hari ia selalu shalat tahajud. Karena usahanya tak berhasil pengawal raja dan putrinya kehabisan akal.

"Pemuda itu telah kehilangan kedua saudaranya. Penolakan itu barangkali karena ia selalu teringat kedua kakaknya," kata putri itu kepada ayahnya.

"Mungkin benar apa yang kau katakan itu, anakku."

"Tapi aku tak akan berputus asa, Ayah. Mintalah perpanjangan waktu kepada Baginda raja, akan kubawa dia ke suatu tempat untuk membujuknya."

Baginda raja menyetujui perpanjangan waktu itu. Meskipun demikian putri pengawal itu masih saja gagal membujuk pemuda itu. Hingga suatu hari perempuan itu akhirnya menyerah.

"Kau begitu teguh beriman kepada Tuhanmu. Aku sangat simpati kepada dirimu, kau yang benar-benar teguh dalam memegang keyakinan. Maka, mulai saat ini kuputuskan untuk mengikutimu, termasuk agamamu, "kata putri pengawal itu.

Mendengar pernyataan itu. Si pemuda menerimanya dengan tangan terbuka. Tapi ia sangat mengkhawatirkan keselamatan perempuan itu.

"Aku adalah seorang tawanan. Setiap saat hidupku akan berakhir oleh keputusan Baginda raja. Dan jika kau mengikutiku, keselamatanmu pun akan terancam." kata pemuda itu.

"Aku tak peduli apapun yang terjadi pada diriku. Kita berdua bisa lari sejauh mungkin, akan kusediakan kuda untuk kita berdua."

Setelah mempersiapkan semuanya, akhirnya dua orang laki dan perempuan itu melarikan diri dengan menunggang kuda. Bila malam hari mereka meneruskan perjalanannya, dan bila siang hari mereka bersembunyi untuk menghindari pengejaran pasukan raja.

Suatu malam, ketika dua orang itu meneruskan perjalanannya, mereka mendengar suara derap kuda mengejarnya. Tetapi, pemuda itu justru menghentikan lari kudanya.

"Aku mendengar suara derap kuda dibelakang kita. Aku yakin mereka adalah saudara-saudaraku," kata pemuda itu.

"Tapi, bukankah dua saudaramu itu telah meninggal dibunuh oleh Baginda raja?" kata puteri pengawal itu tak mengerti.

"Benar, tapi jelas mereka adalah saudaraku." jawab pemuda itu penuh keyakinan.

Apa yang dikatakan oleh pemuda itu ternyata memang benar. Dua kakaknya yang telah mati syahid itu tiba-tiba muncul mendekat menyampaikan salam bersama malaikat yang mengantarnya.

"Bagaimana kakak berdua begitu tahan menerima siksaan dari raja Romawi yang kejam itu?" tanya si pemuda kepada saudaranya.

"Siksaan itu memang sangat menyakitkan, tetapi hanya sebentar kami rasakan. Setelah itu kami langsung dibawa oleh malaikat ke surga," jawab mereka.

"Dan sekarang, apa maksud kedatangan kakak berdua menemuiku?"

"Kami ingin menyaksikan pernikahanmu dengan gadis yang shaliha ini."

Setelah menikahkan adiknya dan memberikan ucapan selamat, kedua kakak beradik yang telah mati syahid karena siksaan raja yang kejam itu kembali ke surga. Sementara, sang adik bersama istri yang baru dinikahinya itu meneruskan perjalanannya menuju negeri Syam untuk menetap di sana. Dan berbahagialah mereka berdua berkat keyakinannya.


Sumber: Buku 30 Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak Muslim
Penyusun: KidhHidayat, MB. Rahimsyah
Diterbitkan oleh: Mitra Ummat Surabaya
Read More

Tiga Anak Gadis Pemberani

17.27 0
Tiga anak gadis pemberani
Dahulu kala, hiduplah seorang pembakar kayu miskin, ia mempunyai tiga orang anak wanita. Yang paling tua bernama Farida, yang tengah bernama Semina dan yang terakhir Soyria. Ibu mereka telah lama meninggal dunia.

Seperti biasanya, setiap malam mereka duduk-duduk di dekat perapian, menunggu sang ayah pulang dari hutan. "Sssst!" kata Farida." Apa kalian mendengar sesuatu.

Baru saja kata-kata itu keluar dari mulut Soyria, sebuah bayangan besar muncul di jendela.
"O, seekor beruang, masuklah." kata Soyria.

Beruang itu duduk dekat perapian. Badannya menggigil gemetaran.

"Saudaraku, berikanlah sop pada beruang itu." kata Soyria.

Dengan lahap, Sop itu dimakannya. "Terima kasih," kata beruang itu. "Sekarang aku harus kembali ke gua, nanti aku kembali lagi.

Ketika hari hampir gelap, Pembakar Kayu itu pun pulang. Ia sangat khawatir pada ketiga putrinya, karena ia melihat banyak jejak beruang menuju arah gubuknya.

"Jangan takut, Ayah, tadi beruang itu kemari, ia berbicara kepada kami. Karena kedinginan, maka kami berikan ia sop panas," kata Farida.

"Mana mungkin seekor beruang bisa berbicara dan makan sop? Kalian pasti sedang bermimpi" kata sang ayah keheranan.
"Hai, Anak-anakku, kalau salju terus menerus turun seperti ini, kita bisa mati kelaparan, karena kita tidak dapat mencari kayu di hutan?"

"Jangan khawatir, Ayah," kata Soyria." Kami bertiga akan mencari kayu  hari ini. Ayah diam saja di rumah, karena ayah sedang sakit."

Meskipun Pembakar kayu itu melarang, mereka tetap pergi ke tengah hutan. Akhirnya tibalah waktu malam. Namun, mereka baru mendapatkan kayu sedikit, sementara salju semakin tebal menutupi kaki mereka." Saudaraku, itu ada gua, Mari kita berteduh." ucap Farida.

Di Gua itulah, kemudian mereka tidur. Pagi harinya, ketika bangun, mereka melihat sudah ada api unggun dan semangkuk susu. Mereka mencari-cari orang di sekitar gua itu, tetapi tidak ada. Ketika mereka mau meninggalkan gua itu. "Lihat, itu beruang yang pernah datang ke pondok kita. Dia membawa setumpuk kayu di punggungnya." teriak Semina.

"Selamat pagi, Beruang!" sapa mereka. "Sangat senang bertemu kau kembali." Apakah kau yang membuat api unggun dan menyediakan kami semangkuk susu hangat?"

"Ya," kata beruang itu. "Bukankah kalian pernah memberiku semangkuk sop panas, ketika aku kedinginan dan gemetar? Aku hanya ingin membalas kebaikan kalian."

"Baiklah, Sang Beruang, sekarang kami harus pergi. Kami harus masuk ke hutan lagi untuk mencari kayu, karena kemarin kami hanya dapat sedikit," kata Farida.

"Tak usah." kata beruang itu. "Bawa saja kayu ini ke rumah kalian. Biar kuantar."

Ketika sampai di rumah Semina berteriak, "Ayah, ini kami. Semalam kami berlindung di gua Beruang ini."

"Lihatlah kayu yang kami bawa. Semua ini dia yang mencari," tambah saudaranya.

Orang tua itu sama sekali tidak percaya. Ia yakin bahwa beruang ini pasti bukan beruang biasa, karena ia dapat berbicara.

"Terima kasih, Beruang yang Baik." kata Si Pembakar Kayu itu kepada Beruang ketika hendak kembali ke gua.

Suatu hari, datanglah ke pondok mereka beberapa pemburu.
"Apa kau melihat seekor beruang hitam besar di sekitar sini? Kami mengejarnya beberapa jam yang lalu, tetapi ia menghilang." kata salah seorang dari pemburu itu.

"O, tidak,! Kami tidak melihatnya lewat di sini." kata Farida dengan berani.

"Ayo, kita pergi dari sini." kata kepala pemburu itu.

Setelah mereka pergi, ketiga anak wanita itu saling berpegangan tangan ketakutan. " Oh, Beruang yang malang, bagaimana nasibmu?"

"Anak-anakku, hanya ada jalan yang dapat kita lakukan, yaitu menemui Beruang itu dan membawanya ke mari, lalu kita sembunyikan sampai para pemburu itu pulang ke kota." kata si Pembakar Kayu itu ketika pulang dari hutan.

Bersamaan dengan itu terdengarlah suara ketukan. Ketika dibuka, ternyata beruang yang datang. "Pemburu mengejarku" kata Beruang itu sambil terengah-engah.

"Jangan takut, Beruang yang baik," kata si Pembakar kayu. "Masuklah ke dalam lemari ini. Jangan keluar sebelum kami mengeluarkanmu."

Tanpa membuang-buang waktu lagi, masuklah Beruang itu ke dalam lemari. Sementara itu, diluar mereka mendengar suara teriakan dari para pemburu. "Cepat, masukkan kayu ini ke dalam api. Buatlah agar asapnya banyak." kata si pembakar kayu.

Dengan segera, ketiga Puterinya pun memasukkan kayu ke dalam api, sementara Orang Tua itu keluar menemui para pemburu itu. "Hai orang tua," teriak pemburu yang duduk di atas kuda. "Apa kau melihat seekor beruang? kulihat jejaknya ada di sekitar pondok ini?"

Asap mulai keluar dari jendela dari cerobong asap pondok itu. Asap itu menyebabkan anjing-anjing tak bisa menciumi bau jejak.
"Aku tak bisa mendengar Tuan," kata si pembakar kayu itu.
"Aku baru pulang dari hutan mengumpulkan kayu, dan anak-anakku sedang membakar kayu."

"Apa kau melihat beruang di sekitar sini?" tanya pemburu itu lagi dengan keras. Tetapi, orang tua itu pura-pura tidak mendengar. Sementara, anjing-anjing itu telah kehilangan penciumannya. Asap semakin mengepul dan mengganggu pemburu tersebut. 

"Ayo, kita pergi. Percuma bicara dengan orang tua itu." kata pemburu itu, sambil pergi dengan marah-marah dan tidak kembali-kembali lagi.

"Kita sudah aman." bisik si pembakar kayu. " Mari kita keluarkan beruang itu."

Ketika mereka membuka pintu lemari, Beruang itu jatuh ke lantai. Mereka sangat takut, karena Beruang itu sepertinya sudah mati. Lalu, mereka mengangkat Beruang itu ke Dapur, dan menyiramnya dengan air. Mereka menunggu Beruang itu sadar. Akhirnya, Beruang itu bergerak sedikit demi sedikit dan bangun dengan pelan.
"Dia hidup!" teriak Soyria, sambil tangannya memegang pundak Beruang itu. Mereka sangat senang melihat Beruang itu hidup kembali.

"Aku harus pulang sekarang," katanya. "terima kasih, kalian telah menyelamatkan hidupku."

Selang beberapa hari, datang pula ke pondok itu dua orang laki-laki. Namanya Daud dan Ahmad.
"Maaf, pak,"kata Daud. "Dapatkah Bapak memberitahukan, di mana kami ini sekarang. Perampok telah merampas kuda dan uang kami, sehingga kami kehilangan jejak."

Ketika si pembakar kayu itu sedang memberi petunjuk pada kedua orang itu, terdengarlah suara ketukan dari arah pintu. Ternyata, yang datang adalah Sang Beruang. Melihat Beruang itu, kedua orang itu berteriak, lalu mereka berpelukan.

"Ini Saudara kami, Mahmud. Ia telah diubah jadi seekor beruang oleh ibu tiri kami yang jahat lima tahun lalu. Sekarang, kami sudah menemukan bubuk ajaib yang dapat mengembalikannya ke bentuk semula." kata Ahmad sambil menaburkan bubuk itu ke badan saudaranya. Dalam sekejap, Beruang itu berubah menjadi manusia.

Si Pembakar kayu dan puteri-puterinya kaget melihat beruang hitam itu berubah menjadi seorang pangeran yang ganteng. Senang sekali para putera raja itu berkumpul kembali. Mereka akan hidup kembali bersama ayah mereka di istana.

Ketika satu bulan berlalu, datanglah sebuah rombongan dari istana ke rumah si pembakar kayu itu,. "Hai, Pembakar kayu yang baik, Raja mengutusku untuk membawamu dan ketiga puterimu ke istana. Ia ingin puteri-puterimu kawin dengan putera-puteranya. Kau dapat hidup dengan damai dan senang bersama mereka di sana."

"Bawalah anak-anakku ke istana," kata si pembakar kayu itu. "Aku hanyalah seorang Pembakar Kayu biasa. Tempatku yang cocok hanya di sini, di hutan ini."

Tiga anak pembakar kayu itu kini menjadi puteri. Mereka hidup bahagia dengan suami mereka di istana. Setiap bulan mereka datang menjenguk dan membawakan hadiah untuk ayah mereka. Kini, ayah mereka dibantu oleh seorang anak yang bertugas membakar kayu dan dua ekor keledai untuk membawa kayu dari hutan dan ke pasar. Ia hidup bahagia sampai akhir hidupnya.

Sumber: Buku Kisah Anak-anak dari Asia Tengah "Orang Bijak dan Muridnya"
Penulis: Males Sutiasumarga 
Penerbit: Zikrul Hakim  - Jakarta





Read More

Akibat Minuman Keras

17.20 0
akibat minuman keras
Diceritakan, Barshiha adalah seorang Ulama yang karena alimnya, selama 200 tahun dalam kehidupannya tak pernah berbuat maksiat, meski hanya sekejab. Diceritakan pula, berkat ibadah dan kealiman Barshiba sampai-sampai para malaikat pun kagum terhadap hamba Allah yang satu ini.

"Apa yang kau herankan terhadapnya. Sesungguhnya aku lebih mengetahui apa yang kamu ketahui. Dan sesungguhnya Barshiha adalah dalam pengetahuan-Ku" kata Allah atas kekaguman malaikat kepada Barshiha. Diakhir hayatnya Barshiha yang terkenal karena alimnya itu berbalik menjadi kafir dan masuk neraka selama-lamanya hanya karena minum khamr (minuman keras).

Iblis yang mendengar ramalan itu merasa menemukan kunci kelemahan Barshiha. Dan memang pekerjaan iblislah untuk menggoda manusia agar masuk neraka bersama-sama mereka.

Maka datanglah iblis ke biara Barshiha dengan menyamar sebagai seorang alim dengan mengenakan pakaian zuhudnya berupa kain tenun.

"Siapa kau ini?" tanya Barshiha," dan apa keperluanmu?"

"Aku adalah hamba Allah yang datang untuk menolongmu dalam penyempurnaan mengabdi dan menyembah Allah," jawab iblis.

"Siapa yang hendak mengabdi dan beribadah kepada Allah, hanya Allah yang menolong dan bukan dirimu," kata Barshiha dengan hati yang mantap.

Merasa mangsanya tak termakan oleh bujuk rayunya, iblis melancarkan cara lain. Selama tiga hari tiga malam, iblis menyembah Allah tanpa makan dan minum.

Melihat tamunya beribadah sekhusyuk itu, hati Barshiha mulai goyah. Dia sangat kagum atas kekhusyukan tamunya yang terus menerus beribadah selama tiga hari tiga malam tanpa tidur, makan dan minum sedikitpun. "Bagaimana dia bisa melakukannya. Sedangkan aku yang seperti ini masih tetap memerlukan makan dan tidur bila beribadah kepada Allah," suara mengusik di dalam hatinya.

Didorong rasa penasaran, Barshiha lalu bertanya kepada tamunya, bagaimana dia bisa beribadah sampai sedemikian rupa.

"Aku pernah berbuat dosa, bila teringat dosaku itu aku menjadi tak bisa makan, minum dan tidur," kata iblis mulai melancarkan muslihatnya.

"Bagaimana caranya agar aku bisa beribadah seperti dirimu?" tanya Barshiha yang mulai terpikat oleh taktik iblis itu.

Melihat mangsanya mulai masuk dalam perangkapnya, iblis lalu menyarankan agar Barshiha sekali waktu melakukan perbuatan maksiat kepada Allah, dan kemudian bertobat kepada-Nya. Dengan demikian, Barshiha akan dapat merasakan kenikmatan beribadah setelah mengenang dosanya.

"Apa yang harus kukerjakan ?" tanya Barshiha lagi. Benteng keimanannya semakin goyah.


"Berzina!" jawab iblis spontan.


"Itu tidak mungkin ! Aku tak akan melakukan perbuatan maksiat itu. Sungguh suatu dosa besar!" sahut Barshiha.


"Jika tak mau melakukan itu, membunuh orang saja. Bagaimana?" ujar iblis itu.


"Tidak! Aku tak berani melakukannya. Perbuatan itu sangat dikutuk Allah!"


"Bagaimana kalau minum khamr, yang dosanya lebih ringan?" desak iblis semakin gencar melakukan godaan.

"Aku memilih minum khamr. Tapi, dimana aku akan mendapatkannya?" tanya Barshiha yang telah termakan oleh bujukan iblis itu.

"Pergilah ke desa ini," menunjukkan nama dan tempat yang dimaksud.

Atas saran iblis, pergilah Barshiha menuju desa yang dimaksud. Disana ia bertemu dengan seorang wanita cantik yang berjualan khamr. Ia membelinya dan langsung meneguknya.

Karena tak biasa minum-minuman keras, Barshiha menjadi mabuk, ia kehilangan kontrol. Dengan nafsu ia memaksa perempuan penjual khamr untuk diajaknya berzina. Dan saat ia memperkosa itu, suaminya datang memergokinya. Barshiha menjadi takut dan bingung, dengan gelap mata dipukulnya suami perempuan penjual khamr itu hingga tewas.

Saat Barshiha kepayahan, iblis yang menyamar sebagai orang yang alim itu berubah menjadi orang biasa. Ia melaporkan peristiwa itu ke pengadilan dan Barshiha sebagai terdakwanya.

Oleh pengadilan  Barshiha dijatuhi hukuman cambuk 80 kali karena minum khamr, dan 100 kali hukuman cambuk karena berbuat zina atau memperkosa. Sedangkan karena membunuh suami perempuan penjual khamr tiu, Barshiha dijatuhi hukuman gantung sebagai ganti darah.

Saat Barshiha digantung, datanglah iblis menghampiri.
"Bagaimana keadaanmu, Barshiha?" tanya iblis.

"Siapa yang mengikuti ajakan orang jahat beginilah akibatnya," jawab Barshiha menyesali diri.

"Selama 200 tahun aku telah berupaya untuk menggodamu sampai berhasil hari ini dan hingga kau digantung. Aku dapat menolongmu, menurunkan dirimu dari tiang gantungan. Tapi ada syaratnya..." kata iblis itu yang masih saja berusaha memperdaya korbannya.

"Apa syaratnya?" tanya Barshiha.
"Kau harus bersujud padaku."

"Bagaimana aku bisa bersujud padamu, sedangkan leherku terikat tali gantungan?" ujar Barshiha yang sudah kehilangan benteng keimanannya.

"Tak perlu bersusah payah. Kau cukup bersujud dan beriman kepadaku dalam hati saja," kata iblis.

Tanpa pikir panjang lagi, Barshiha bersujud dalam hatinya menurut saran iblis. Maka matilah Barshiha dalam kekafiran menyembah iblis. Masya Allah!

Iblis punya seribu satu cara untuk menggoda manusia, ia tak akan mundur memburu mangsanya sebelum berhasil. Makin teguh iman yang dibujuknya, semakin canggih pula cara yang ditempuhnya. Dengan keuletan iblis itu, jatuh pulalah benteng keimanan Barshiha, manusia alim yang tiada tara.

Sumber: Buku 30 Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak Muslim
Penyusun: KidhHidayat, MB. Rahimsyah
Diterbitkan oleh: Mitra Ummat Surabaya
Read More

Tipu Muslihat Tukang Sihir

23.12 0
tipu muslihat tukang sihir
Suatu hari, ada seorang tukang sihir yang datang dari jauh, ingin bertemu dengan raja. Tukang sihir itu dibawa oleh Perdana Menteri ke sebuah ruangan.
"Dari negara mana kau datang?" tanya raja.
"Dan ada perlu apa kau ingin bertemu denganku?"

"Aku, dari Arab, Yang Mulia."jawab tukang sihir itu. "Aku membawa seekor kuda ajaib yang akan kuperlihatkan kepada Tuan. Kuda ini adalah satu-satunya kuda ajaib di dunia."

"Apa keajaiban dari kuda ini?" tanya raja.

"Akan kutunjukkan kepadamu, Yang Mulia," kata tukang sihir itu.

Dengan cepat tukang sihir itu naik ke kuda. Tak lama kemudian, terbanglah kuda itu. Semua orang sangat kagum melihatnya. Ketika kuda itu turun, Sang Raja menyuruh Sang Pangeran untuk mencobanya." Ayo, bawa aku terbang." teriak Feroz-Shah.

"Peganglah leher kuda ini, ia akan terbang ke udara." kata tukang sihir itu. Tapi, sebelum tukang sihir itu melanjutkan bicaranya, Feroz-Shah sudah naik ke atas punggung kuda itu dan memegang lehernya, hingga kuda itu terbang.

"Ya, ampun, " teriak tukang sihir."Aku belum selesai bicara." Rupanya Tukang Sihir itu akan memberitahukan bagaimana cara menghentikan kuda itu, tapi Feroz Shah sudah terbang.

Sang Raja melihat kuda itu makin lama makin meninggi, hingga tak terlihat oleh mata. Setelah satu jam, Feroz-Shah belum juga kembali. Sang Raja sangat sedih melihat kejadian ini, karena ia tak pernah berpisah dengan anak kesayangannya selama hidupnya.

Sementara itu, tampaknya , Feroz-Shah telah tiba di negeri lain. Ia berusaha untuk menurunkan kudanya, tapi tidak bisa, karena ia tidak tahu bagaimana cara menurunkannya. Ketika sedang kebingungan, secara tidak sengaja ia memegang sebuah gagang kayu di leher kuda itu, dan ketika ia memegangnya, kuda itu mendarat.

Kuda itu tampaknya mendarat di sebuah istana.Di sana, ia melihat seorang gadis cantik yang sedang bermain di taman. Gadis itu terkejut ketika melihatnya.
"Maaf, Nona." kata .Feroz-Shah
"Aku tidak bermaksud mengganggumu. Kebetulan, kudaku turun di sini."

"Turun di sini?" tanya gadis itu. "Memang kudamu dapat terbang?" Apakah kau jin?"

"O, bukan, aku , Feroz-Shah, pangeran dari Persia. Di manakah aku sekarang ini." kata sang pangeran.

"Sekarang kau ada di Bengal,"kata gadis itu. " Aku adalah puteri raja negeri ini. Bolehkah aku melihat kuda terbangmu?"

"O, tentu saja," jawab Feroz-Shah pada puteri yang bernama Shirindil itu.

Ketika mereka sedang bercakap-cakap, salah seorang pengawal raja melihat mereka dari jendela. Lalu, ia mengadukan hal itu pada Raja Bengal, dan raja itu menyuruh pengawal itu untuk memanggil mereka. Feroz-Shah dan Shirindil, lalu datang ke singgasana. "Hai, anak muda? Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?" tanya raja.

Lalu, Feroz-Shah memperkenalkan siapa dirinya dan mengapa ia bisa sampai di tempat itu. Raja Bengal kagum sekali melihat kuda terbang itu, lalu Feroz-Shah pamit pada Sang Raja dan puterinya untuk pulang ke negerinya. Setibanya di Persia, Feroz-Shah menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Sang Raja bermaksud menghukum Tukang Sihir itu, tapi Feroz-Shah melarangnya. Akhirnya Sang Raja setuju membebaskan Tukang Sihir itu.

"Sekarang, hati-hatilah anakku, kuda ini bisa membahayakanmu." kata raja.

Akan tetapi, Feroz-Shah sama sekali tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh ayahnya. Malam harinya, ia naiki kuda itu lagi dan terbang menuju ke Istana Bengal.
"Oh, Sang Pangeran." teriak Shirindil." Betapa gembiranya bisa bertemu denganmu lagi.
Mari kita temui ayah. Katakan padanya bahwa kita akan kawin."

"Tapi, sebelum itu." kata Feroz-Shah. "Ikutlah dulu ke istanaku di Persia menemui keluargaku. Setelah itu, baru kita kembali ke sini."

Akhirnya, sampailah kuda terbang itu di taman bunga Istana Ispahan.
"Tunggu di sini," Kata Feroz-Shah. " Aku akan memberitahu Ayahku dulu, agar ia dapat menyambutumu dengan penghormatan."

Setelah Feroz-Shah memberi tahu ayahnya, maka berangkatlah Feroz-Shah dan Sang Raja ke taman bunga. Ketika sampai di sana, Feroz-Shah berteriak," Tuan Putri, tunjukkan dirimu, ayahku akan memberi penghormatan padamu."

Namun, tak ada jawaban. Feroz-Shah melihat kudanya dan putri tidak ada. Semua penghuni istana kebingungan, tapi Feroz-Shah tahu bahwa ini pasti ulah tukang sihir itu, karena dialah satu-satunya orang yang mengerti bagaimana mengendarai kuda itu. Ternyata benar. Ketika Feroz-Shah dan Shirindil tiba di taman bunga itu, tukang sihir itu sedang berada di sana. Sebenarnya, ia hanya ingin mengambil kuda miliknya, tapi ketika ia melihat ada seorang gadis yang memakai permata dan kalung emas, maka muncullah niat jahatnya.

Shirindil dibawa ke sebuah negeri asing. Shirindil sangat sedih memikirkan nasibnya. Tak henti-hentinya ia menangis. Ketika itu, lewatlah seorang gubernur. Gubernur itu merasa curiga melihat tingkah tukang sihir itu. Lalu, ia menyuruh pengawalnya untuk menanyainya. Karena terlihat ketakutan, tukang sihir itu lalu dibawa menghadap gubernur.

"Aku adalah Puteri Bengal. Aku telah diculik oleh orang tua ini," kata Shirindil.

"Kalau begitu, ikutlah denganku," kata gubernur itu. "Hai orang pengawal, tangkap orang tua ini! masukkan dia ke dalam penjara."

Shirindil dibawa oleh gubernur ke kota. Di sana ia ditempatkan di sebuah rumah yang mewah. Sementara itu, Feroz-Shah sibuk mencarinya dari satu negeri ke negeri lainnya. Pada suatu malam, ketika sedang minum di kedai kopi, tempat berkumpul para pengembara, ia mendengar berita tentang gubernur telah menangkap seorang tua, karena dicurigai telah menculik seorang gadis cantik dan merampas seekor kuda yang terbuat dari kayu hitam dan emas. Mendengar berita itu, Feroz-Shah langsung melakukan perjalanan menuju ke sana.

Sementara itu, Shirindil yang telah beberapa bulan tinggal di rumah itu, sedang berusaha mencari akal untuk bisa melarikan diri dari rumah itu. Ia bermaksud menggunakan kuda terbang itu untuk kembali ke istana ayahnya. Tapi, kuda itu diletakkan di ruang tempat perhiasan yang terkunci. Di rumah itu, Shirindil dijga oleh beberapa orang budak. Ia tidak diperkenankan keluar oleh gubernur. Ia diperlakukan seperti itu, karena gubernur menyangka bahwa ia mengalami sakit gangguan jiwa. Berita tentang penyakit Shirindil ini telah diketahui oleh masyarakat umum. Banyak dokter yang telah datang ke sana untuk mengobati Shirindil, tapi hasilnya sia-sia. Karena sebenarnya Shirindil hanya berpura-pura sakit ingatan, karena ia tidak mau dikawini oleh gubernur.

Pertama kali sampai di kota gubernur itu, Feroz-Shah sengaja duduk-duduk di sebuah kedai teh untuk melihat situasi kota itu. Di sanalah, ia mendengar berita tentang penyakit Shirindil itu. "Bagaimana aku bisa bertemu dengan gubernur? Ah, aku akan menyamar jadi dokter," kata Feroz dalam hati.

"Yang Mulia, Aku dengar Puteri dari Bengal mengalami gangguan jiwa. Bolehkah aku mengobatinya. Mudah-mudahan saja ia bisa sembuh dari penyakitnya," kata Feroz-Shah.

"Baiklah," kata gubernur. "Ikutlah denganku ke tempat tinggalnya."

Ketika sampai di sana, Shirindil sempat terkejut, karena dokter yang datang tidak lain adalah kekasihnya. Tapi, Feroz-Shah cepat-cepat memberi tanda, agar rahasianya tidak ketahuan.
"Sebetulnya penyakit Tuan Puteri gampang disembuhkan. Ia hanya ingin melihat barang kesayangannya."

"Barang kesayangan? O, mungkin kuda kayu emas yang aku kunci di gudang perhiasanku? "jawab gubernur, lalu ia membawa kuda itu pada Shirindil.

Melihat kuda itu, Shirindil pura-pura sembuh. Gubernur pun jadi gembira. Ia mengucapkan terima kasih pada Feroz-Shah. Sebelum meninggalkan rumah itu, Feroz-Shah meminta izin pada gubernur agar ia diizinkan melihat kondisi pasiennya. Setelah mendapat izin dari gubernur, Feroz-Shah naik ke punggung kuda itu, dan memberikan tanda pada Shirindil agar naik di belakangnya. Mereka pun terbang ke udara meninggalkan kota itu.

Gubernur sangat marah mendengar berita itu, kemudian ia datang menemui si tukang sihir itu dan berkata." Mengapa tidak katakan kalau kuda itu bisa terbang. Pengawal, hukum mati dia!"

Sementara itu, Feroz-Shah mengarahkan kuda terbangnya itu menuju ke Negeri Bengal. "Pangeran Persia," ucap Raja Bengal. "Bawalah puteriku, karena aku tahu kau akan membahagiakannya."

Keesokan harinya, Feroz-Shah dan Shirindil pamit pada Raja Bengal untuk pulang ke Persia. Di sana, Sang Raja lalu memotong-motong kuda ajaib itu menjadi beberapa bagian kecil, agar kuda itu tidak dapat dipakai oleh anaknya lagi dan potongan-potongan emas itu dibagi-bagikan kepada orang miskin. Feroz-Shah dan Shirindil hidup bahagia di istana. Tuhan mengaruniakan mereka beberapa orang anak. 


Sumber: Buku Kisah Anak-anak dari Asia Tengah "Anak Gadis Di Sarang Jin"
Penulis: Males Sutiasumarga 
Penerbit: Zikrul Hakim  - Jakarta
Read More

Khalifah Umar bin Abdul Azil; Menjaga Milik Rakyat

21.45 0
khalifah umar bin abdul aziz
Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah seorang pemimpin yang jujur, adil dan bijaksana. Kekuasaan di tangannya berarti kemakmuran bagi rakyatnya, bukan untuk dirinya atau keluarganya.

Ia sangat hati-hati menggunakan uang negara, agar tak sampai bocor serta jatuh kepada yang bukan haknya. Rakyatnya hidup dalam kerukunan yang damai, tanpa kebimbangan dan rasa takut menyampaikan keluhan atau kesulitan hidup mereka. Terutama terhadap tindak-tanduk para pejabat pemerintah yang sering melakukan perbuatan tanpa mempertimbangkan baik buruknya bagi rakyat dan wibawa pemerintah.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz tak ingin melihat rakyat berbuat tidak senonoh karena diawali oleh perbuatan para pemimpinnya. Karena itu ia tidak segan-segan menjatuhkan hukuman kepada siapapun yang berbuat salah, termasuk kepada orang-orang kepercayaannya atau keluarganya.

Pada suatu malam, ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz berada di ruang kerjanya, memeriksa catatan keluar masuknya dana Baitul Mal, terdengar ketukan di pintu.

Ruang kerja itu diterangi lampu minyak sekedarnya, hanya cukup terang untuk membaca di dekatnya, tetapi tidak terlalu terang untuk bercermin di kaca. Khalifah tidak pernah bercermin kecuali kepada keteladanan Rasulullah dan para sahabat Nabi.

"Siapa di luar?" tanya Khalifah tanpa membuka pintu
"Saya Ayah," terdengar suara seorang pemuda.
"Ada keperluan apa?" tanya Khalifah
"Saya disuruh ibu, untuk membicarakan tentang beberapa masalah."
"Masalah apa?"
"Buka pintu dulu, Ayah. Izinkan saya masuk," jawab anaknya mendesak ingin masuk.

"Terangkan dulu, apa masalahnya? soal keluarga, soal masyarakat atau soal negara?" tanya Khalifah masih tetap tidak membukakan pintu untuk anaknya.

"Tentu saja urusan keluarga kita, Ayah," jawab anaknya keheranan melihat sikap ayahnya.

"Kalau begitu tunggu sebentar," sahut Khalifah dari dalam.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz kemudian bangkit dari tempat duduknya mendekati satu-satunya lampu minyak di kamar itu, dan kemudian meniupnya hingga padam. Ruang kerja itu berubah menjadi gelap gulita. Lalu Khalifah membuka pintu dan anaknya disuruh masuk.

Pemuda itu semakin heran melihat tingkah ayahnya. Masak berbicara dalam ruangan yang gelap seperti ini? Apakah ayahnya sudah bingung atau berubah ingatan? Apakah karena terlalu bekerja keras, tindakannya menjadi aneh, di luar kebiasaan orang waras?

Dengan agak was-was dan sedikit rasa takut, pemuda itu bertanya ingin tahu kepada ayahnya.

"Ayah, di ruangan ini cuma ada satu lampu, mengapa ayah padamkan? Apakah kita akan berbincang-bincang dalam gelap?"

"Benar. Kalau kita berbicara di dalam kamar ini, kita akan berbicara dalam keadaan gelap," jawab Khalifah.

"Mengapa, Ayah?"

"Siapakah ayahmu?"

"Amirul Mukminin. Khalifah, seorang pemimpin negara,"  jawab anak muda itu semakin tak mengerti. Bahkan ia menjadi curiga ayahnya telah mabuk kekuasaan, sehingga hilang akal sehatnya.

"Itulah jawabannya. Karena ayahmu seorang peminpin, maka kita akan berbicara tanpa lampu penerangan di ruangan ini.

"Mengapa?"

Yang akan kita bicarakan adalah masalah keluarga. Sedangkan lampu  itu, minyaknya dibeli dengan uang negara, uang rakyat, aku tidak mau urusan keluarga sampai merugikan milik rakyat, kepunyaan negara. Ruangan ini adalah kamar kerja untuk kepentingan rakyat dan negara. Tidakkah kau tahu bahwa kekuasaan adalah amanat yang akan dimintai pertanggung jawab oleh Allah kelak di Hari Pembalasan?"

Mendengar penjelasan ayahnya, barulah pemuda itu mengerti tentang apa yang dilakukan ayahnya. Yang tak mau merugikan rakyat dan negara karena urusan pribadinya.

Sumber: Buku 30 Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak Muslim
Penyusun: KidhHidayat, MB. Rahimsyah
Diterbitkan oleh: Mitra Ummat Surabaya
Read More

Nasib Si Penjual Manik-Manik

08.15 0
nasib si penjual manik-manik
Dahulu kala, ada seorang penjual manik-manik bernama Mahbub. Ia punya seorang istri yang cantik, bernama Kubra. Suatu kali, ketika sedang menjual barang-barang di depan istana, sultan melihat mereka berdua. Ia sangat kagum dengan kecantikan Kubra.

"Duh, cantik sekali wanita itu. Kurasa, tak ada satu pun yang dapat menyamainya di istanaku. Aku harus bisa kawin dengannya."kata sultan dalam hati.

"Hai, Perdana Menteri," kata Sultan dengan suara yang tinggi. "Bawa kemari istri penjual manik-manik itu. Aku ingin ia jadi istriku. Suaminya, bunuh saja."

"Baik, Tuanku," jawab perdana menteri itu. "Aku akan berusaha membawa istrinya, tapi kita tidak perlu membunuhnya. Sebab kalau rakyat tahu, mereka akan memberontak dan Tuan bisa bahaya. Aku punya usul, Tuan. Panggillah dia, dan suruh dia membuat gorden panjang dan lebar untuk singgasana. Dia pasti tidak akan mau, karena dia tidak bisa. Kalau dia bersedia, katakan lagi padanya bahwa gorden tersebut harus selesai dalam waktu tujuh hari. Kalau dia tidak sanggup, suruh dia membayar denda. Dia pasti akan melarikan diri meninggalkan negeri ini, dan kita dapat mengambil istrinya dengan aman."

"Bagus, sekali idemu." jawab sultan. "Lakukanlah dengan segera."

Mahbub sedang menjajakan barang dagangannya, ketika sang perdana menteri sampai di sana.
"Manik-manik, dari Bukhara, dari Damaskus," kata Mahbub berteriak.

Sang Perdana Menteri datang mendekatinya. "Hai, Penjual Manik-Manik," sapa Sang Perdana Menteri. "Datanglah ke istana. "Sultan ingin memesan sesuatu kepadamu."

"Aku? Sultan ingin memesan sesuatu padaku? Mana mungkin?" tanya Mahbub.

"Sudahlah, tinggalkan daganganmu dan segera ikut kami," bentak Pengawal Istana.

Mahbub menyerahkan barang dagangannya pada istrinya. Sesampainya di istana Mahbub disuruh untuk membuat gorden untuk Singgasana dan segera mengukurnya. "Aku hanya penjual manik-manik biasa, tidak dapat memintal atau menganyam. Bagaimana aku bisa melakukannya?"

"Kau harus bisa menyelesaikannya dalam waktu tujuh hari. Jika pada waktunya, tidak dapat kau selesaikan, sangsinya kau akan dipenggal," kata Perdana Menteri itu.

Ketika Mahbub kembali, Kubra bertanya, "Apa yang diinginkan Sultan darimu?"

"Sri Baginda menyuruhku untuk membuat gorden yang sangat panjang dan lebar." Kata Mahbub dengan nada sedih. "Padahal aku tidak bisa. Apalagi dalam waktu tujuh hari. Karena itu, aku harus pergi, Pergi melarikan diri. Kalau tidak, aku bisa dipenggal.

"Jangan takut, suamiku, jangan takut. Aku akan mengatakan sesuatu padamu." kata Kubra menghibur suaminya.

Kubra pun mulai menjelaskan bahwa ia sebenarnya adalah saudara perempuan dari jin perempuan yang ada di sebuah sumur tua. "Pergilah ke sumur di samping pintu gerbang yang rusak itu, kemudian berteriaklah ke dalamnya, Hai saudara perempuan Kubra, Aku disuruh oleh saudaramu untuk meminta mesin pemintal ajaib dan alat penganyam yang bagus, karena dia sangat membutuhkan."

Setelah mendengar cerita istrinya, Mahbub pun pergi dengan segera menuju ke sumur rusak itu dan berteriak ke dalamnya seperti yang dikatakan oleh istrinya. Tidak lama kemudian, keluarlah dua buah alat yang disebutkan tadi di atas sumur itu, lalu ia bawa kedua alat itu kepada istrinya.

Oleh Kubra, kedua alat itu kemudian diletakkan di dalam sebuah kamar. Rupanya, dialah yang akan mengerjakan pesanan itu. Ia melakukan pekerjaan sepanjang malam. Setelah pagi, ketika ayam mulai berkokok, barulah ia tidur melepaskan lelahnya. Begitulah seterusnya ia lakukan selama enam hari.

Pada hari ke tujuh, Kubra keluar dari kamar itu dengan sebuah gorden yang sangat panjang dan lebar. Warnanya biru gelap, berkilauan seperti langit dengan ribuan bintang. Indah sekali. Mahbub sangat kagum dan senang melihat gorden itu.

"Oh, istriku, alangkah indahnya gorden itu?" kata Mahbub. "Gorden ini sangat cocok untuk jendela di istana Sultan. Oh, terima kasih istriku, atas bantuanmu hidupku jadi selamat.

Ketika matahari mulai meninggi, Mahbub pun pergi menuju ke istana dengan pakaian yang sangat bagus untuk menemui Sang Perdana Menteri. Sultan sangat kaget melihat apa yang dibawa oleh Mahbub dan menyuruh para pembantu istana untuk menggantung gorden itu di belakang singgasana. Mahbub pulang ke rumah dengan hadiah emas yang diberikan oleh Sultan kepadanya.

"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" tanya Sultan pada Sang Perdana Menteri. "Ternyata, penjual manik-manik itu lebih pintar dari kita. Sekarang, kita tidak bisa memberikan hukuman apa-apa padanya."

"Jangan takut, Sri Baginda, aku punya ide lain. Dia pasti tidak bisa melakukannya. Tapi, beri aku waktu lebih dari seminggu untuk melakukan ide ini."

Hari berikutnya, seperti biasanya, Mahbub dan istrinya menjajakan barang dagangannya kepada orang yang lewat. Pada saat itulah, Sang Perdana Menteri itu melakukan aksinya.
"Hai, penjual manik-manik. Sri Baginda memerintahkan kepadaku untuk memberitahukan padamu bahwa kau harus bisa melahirkan anak dalam jangka waktu tujuh hari dan pada hari ke tujuh anak itu harus dapat bercerita  di hadapan Sultan. Jika tidak bisa, maka hidupmu akan menjadi dendanya."

Mendengar ancaman itu, Mahbub sangat kaget.
"Oh, istriku!" ucap Mahbub sambil menangis. "Sultan menyuruh kita lagi, tapi mustahil hal ini dapat kita lakukan. Bagaimana aku dapat menemukan seorang anak dalam waktu tujuh hari dan pada hari ke tujuh, anak itu harus dapat bercerita di hadapan Sultan. Jika aku tidak sanggup, maka, aku akan mati. O, istriku, relakanlah aku pergi meninggalkanmu."

"Jangan, jangan suamiku, dengarkanlah kataku," kata Kubra. "Bukankah kita bisa meminta bantuan pada saudaraku seperti sebelumnya? Pergilah ke sumur itu.

"Lalu, apa yang harus aku katakan," tanyanya.

"Katakan pada saudaraku, kirimlah seorang anaknya pada hari ke tujuh, kami hanya perlu untuk satu malam."

Mahbub hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh istrinya, tetapi ia tetap menunggu. Pada waktu yang ditentukan, datanglah ia ke sumur tua itu dan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh istrinya.

Dalam waktu sekejab, keluarlah suara dari dalam sumur itu, "Bukalah keranjang di atas itu.

Dengan segera, Mahbub membuka keranjang itu. Ternyata benar, di dalamnya ada seorang bayi. Ia perlihatkan bayi itu pada istrinya di rumah.
"Inilah bayinya. Sekarang apa yang harus kulakukan?"

"Bawalah ia ke istana," kata Kubra, "karena Sultan dan para penghuni istana telah menunggu di sana. Hari ini adalah hari ketujuh."

Semua penjaga istana mempersilakan Mahbub masuk, ketika ia tiba di istana. Sultan duduk di singgasana, untuk melihat bayi yang diletakkan di atas bantal di hadapannya. Ketika suasana di ruang itu tenang, maka bayi itu pun mulai duduk dan membuka mulutnya.
"O, Sultan, bolehkan aku bicara?"

Sultan sangat kaget mendengar bayi itu, kemudian ia mengangguk tanda setuju. Anak itu pun memulai ceritanya;
"Suatu ketika, ada seorang laki-laki membeli sebuah melon di pasar, dengan harga satu buah koin tembaga. Ketika Melon itu dibuka, ia lihat ada sebuah kota di dalamnya, maka masuklah ia ke kota itu. Setelah berjalan-jalan ke sana ke mari, akhirnya sampailah ia pada sebuah halaman istana. Namun, ia melihat sesuatu yang aneh. Di sana, ayam betina dapat berkokok, ayam jago dapat bertelur. Kalau minum teh di kedai, tidak bayar, malah diberi emas, dan raja-raja tidak memakai baju bagus, melainkan baju yang compang-camping, sementara rakyatnya mengenakan baju bagus."

"Berhenti, Aku tidak percaya itu. Itu pasti cerita bohong," teriak Sultan.

"Sri Baginda," jawab bayi itu. "Siapa pula yang mau percaya jika ada seorang raja mau kawin dengan istri seorang penjual manik-manik."

Mendengar jawaban bayi itu, Sultan sangat malu, lalu ia putuskan untuk tidak mencintai istri penjual manik-manik itu lagi. Ia menyuruh Mahbub untuk membawa bayi itu pergi. Mahbub mengucapkan rasa syukur pada Tuhan karena telah melindunginya. Kemudian anak itu dikembalikan lagi kepada ibunya, Jin. Dan, penjual manik-manik itu pindah dengan istrinya yang cantik ke kota yang lain.


Sumber: Buku Kisah Anak-anak dari Asia Tengah "Orang Bijak dan Muridnya"
Penulis: Males Sutiasumarga 
Penerbit: Zikrul Hakim  - Jakarta
Read More

Ganjaran Bagi Yang Syahid

05.37 0
ganjaran bagi yang syahid
Ketika tentara Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah mengepung benteng Khubar, beliau bertemu dengan seorang pengembala kambing. Pengembala itu bernama Aswad ar-Ra'i yang mengembalakan kambing milik orang Yahudi. Aswad ar-Ra'i sudah sedikit mengenal Islam, namun ia belum menjalankan shalat.

"Ya Rasulullah, berilah pengertian padaku tentang Islam," kata Aswad sambil mendekati Nabi.

Rasulullah kemudian memberi pengertian tentang Islam dan beberapa ajarannya kepada Aswad, hingga pengembala itu membaca syahadat. Maka masuklah Aswad ke dalam agama Islam dan bergabung dengan tentara muslim untuk mengepung benteng Khubar.

Tetapi, dalam diri Aswad ada ganjalan dan kegalauan dalam pikirannya, karena kambing-kambing yang digembalakan itu adalah milik orang Yahudi. Dan tuannya itu berada di dalam benteng Khubar.

"Apa yang harus saya lakukan, Rasulullah? Kambing-kambing ini merupakan amanat dan menjadi tanggung jawab saya," kata Aswad.

"Kembalikan kepada orang yang berhak," jawab Rasulullah.

"Kalau aku mengembalikan kambing-kambing ini kepada pemiliknya yang berada di dalam benteng itu, pasti aku akan ditawannya."

"Cambuk kambing itu dari sini, mereka pasti akan lari dan kembali ke kandang pemiliknya."

Benar juga apa yang disarankan Rasulullah. Setelah Aswad mencambuk kambing-kambing itu, mereka lari dan kembali ke dalam benteng tempat pemiliknya berada.

Aswad ar-Ra'i yang telah bergabung dengan tentara Islam kemudian menembus benteng Khubar. Dalam penyerbuan itu, Aswad terbunuh akibat lemparan batu besar musuh. Padahal, Aswad belum pernah melakukan shalat sama sekali.

Jenazah para tentara Muslim yang gugur dalam penyerbuan itu disemayamkan di belakang barisan Rasulullah dengan ditutupi selimut, termasuk juga jenazah Aswad.

Rasulullah menolehkan pandangan ke arah jenazah bersama dengan para sahabat yang lain. Tetapi, beliau cepat-cepat melemparkan pandangannya ke arah lain.

"Ya, Rasulullah, mengapa Anda membuang muka, melempar pandangan ke tempat lain?" tanya salah seorang sahabat.

"Kulihat Aswad sedang duduk bersanding dan bercengkrama dengan seorang bidadari yang menjadi istrinya," jawab Rasulullah tersipu.


Sumber: Buku 30 Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak Muslim
Penyusun: KidhHidayat, MB. Rahimsyah
Diterbitkan oleh: Mitra Ummat Surabaya
Read More

Umar Bin Khatab: Al Faruq Singa Padang Pasir

02.30 0
Umar bin Khatab: Al Faruq Singa Padang Pasir
Selain Bergelar Al Faruq yaitu orang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan, Umar Ibnul Khathab juga dijuluki Singa Padang Pasir. Kecepatan pedangnya bagaikan kilat yang membelah angkasa, sehingga sangat ditakuti oleh penduduk Kota Mekah. Rasulullah sampai pernah berdoa, andaikata Allah berkenan, Umar bin Khathab yang diharapkan untuk segera masuk Islam di antara orang-orang yang memusuhinya.

Semasa belum memeluk agama Islam, Umar merupakan seorang yang kejam. Banyak darah yang dianggap musuh dihirupnya dan banyak nyawa melayang di ujung pedangnya. Bahkan begitu kejamnya saat itu, anak perempuannya sendiri yang masih kecil dikubur hidup-hidup demi memelihara wibawanya sebagai pemuka Suku Quraisy yang terpandang.

Umar adalah seorang saudagar yang berhasil. Ia putra Nufail dari Bani Adi, sebuah suku Arab yang sangat terpandang. Umar terkenal sangat gagah perkasa, garang dan kejam. Dan ia sangat teguh dengan keyakinan yang dianutnya serta rela berkorban apa saja, demi menjaga martabatnya selaku orang Quraisy dan sesuai dengan kepercayaan jahiliyah.

Umar bin Khatahab masuk Islam pada tahun kelima Bi'tsah atau lima tahun setelah Rasulullah menyerukan dakwahnya, dan ia memperoleh gelar Al Faruq dari Nabi, artinya orang yang mampu memisahkan kebenaran dan kebatilan.

Peristiwa Umar masuk ke dalam agama Islam sangat menarik, yang mencerminkan kepribadian Umar yang jujur dan berhati lembut, meskipun ia memiliki sifat yang kasar dan fisiknya kelihatan keras. Ada yang berpendapat bahwa keislaman Umar terjadi karena Mukjizat Alquran.

Kejadian yang mengharukan itu berlangsung di Makkah Almukarromah. Kekejaman Umar bin Khathab ketika berada pada puncaknya. Kemana-mana ia selalu menghunus pedangnya untuk membunuh Rasulullah. Seluruh warga kota sangat ketakutan melihat keberingasan wajah Umar.

Suatu ketika Umar berjalan ditengah terik matahari yang menyengat. Ia memergoki Laila dan Suaminya, Amir bin Rabiah, yang hendak menaiki untanya untuk pergi ke negeri Habsyi.

"Hei, hendak kemana kalian?!" teriak Umar.

"Engkau telah menganiaya kami dan seluruh kawan-kawan yang mengikuti seruan Muhammad dengan kejam. Sekarang kami mau mengungsi ke bumi Allah, ke tempat dimana kami dapat beribadah dengan tenang tanpa terganggu lagi," jawab Laila dengan pasrah.

"Hm, mudah-mudahan Allahmu yang tak kelihatan itu menyertai kalian," sahut Umar dengan sebal. Kemudian ia pun pergi sambil mulutnya menyumpah-nyumpah.

Di persimpangan jalan, Umar bertemu dengan Saad bin Abi Waqash, salah seorang sahabat dekatnya.

"Mau kemana kau, anak Khathab. Mengapa kau menghunus pedangmu?" sapa Saat bin Abi Waqash.

"Aku hendak mencari Muhammad, si budak celaka itu. Akan kucincang tubuhnya dengan pedangku ini sampai lumat. Si bodoh itu sungguh berani mendirikan agama baru, sehingga terputuslah hubungan persaudaraan kita. Orang-orang kita dianggapnya tolol, berhala-berhala kita dicaci-maki, agama nenek moyang kita dicemoohnya, dan masih bertumpuk-tumpuk lagi kejahatannya. Akan kuhabisi nyawa si bedebah laknat itu!"

"Ah, Umar! Kau ini lebih kecil dan lebih hina dari Muhammada," kata Saad, seperti tak melihat wajah Umar yang merah padam menahan amarah. "Bagaimana kau akan membunuhnya? kau kira semua keluarga keturunan Abdul Muthalib akan diam berpangku tangan. Mereka pasti akan memburu dan membunuhmu."

Sejenak Umar melongo, ia tak menyangka bahwa sahabatnya akan berkata seperti itu kepada dirinya. Dengan kasar kemudian ia membentak.
"Rupanya kau sekarang telah berani terhadapku, Saad! Ini petanda kau juga telah berganti agama. Benar apa yang kukatakan?!"

Saad bin Abi Waqash diam hanya mengangguk.

"Kurang ajar!" teriak Umar dengan gusar. "Jadi kau sudah mengikuti ajakan Muhammad itu? Hm, dengan demikian antara kita halal untuk saling menumpahkan darah, Saad. Akan kuhabisi nyawamu sekarang juga!"


"Hai Umar! kepada orang lain dan sahabatmu kau berani bersikap kejam, tapi kepada adik dan iparmu kau diam saja!" kata Saad seraya mencabut pedangnya untuk menghadapi serangan Umar.

"Apa yang kamu katakan?!" teriak Umar memelototkan matanya. "Apakah Fatimah dan suaminya juga menjadi pengikut Muhammad?"

"Apakah kamu berpura-pura tak tahu, atau memang tahu bahwa mereka telah lama menjadi pengikut Muhammad yang taat?"

"Kurang ajar!" gemeletuk gigi Umar menahan geram. Tak disangka adik dan suaminya juga telah memeluk islam. "Akan kubunuh mereka berdua. Akan kupotong kepala mereka!"

Dengan cepat Umar meninggalkan Saad untuk menuju rumah adiknya dengan masih menghunus pedang. Didobraknya pintu rumah Fatimah dengan keras, yang saat itu bersama suaminya, Said bin Zaid, tengah belajar Al Quran dari Khabab bin Art, bekas budak Umar sendiri.

Jika tiba-tiba ada geledek, barangkali tidaklah sekaget Fatimah dan suaminya, serta Khabab saat itu. Mereka sangat ketakutan dengan kedatangan Umar yang nampak marah-marah.

"Kudengar kau dan suamimu telah bertukar agama. Kuharap berita itu tak benar, Fatimah!" tanya Umar dengan nada tinggi.

Fatimah dan suaminya diam tak menjawab.

Melihat hal itu Umar semakin melonjak darahnya. Ia melompat ke arah Said bin Zaid, dipukulnya suami adikny itu hingga terjerambab. Tak sampai disitu Umar menendang perutnya berkali-kali seperti kesetanan.

Fatimah yang selama ini sangat menghormati kakaknya, melihat hal itu spontan ia menerjang ke arah kakaknya, namun segera tangan Umar menampar mukanya. Darah menetes dari sudut bibir Fatimah, tapi seperti tak dirasakannya, ia membusungkan dadanya dan berkata;
"Hai, seteru Allah. Bunuhlah kami! Kami adalah pengikut Muhammad, kami tak gentar sedikitpun menghadapi kematian. Silakan kau aniaya diri kami sepuasnya, tapi seujung rambut pun kami tak akan berbalik langkah. Kami tetap mengikuti ajaran Muhammad, yang menjadi Nabi Allah, sampai akhir hayat kami."

Mendengar ucapan adik perempuannya yang sangat berani dan penuh keteguhan, hati Umar tergetar. Ia sangat heran melihat sikap adiknya saat ini. Padahal biasanya, adik yang disayanginya itu begitu patuh dan selalu mendengar apa yang diucapkannya tanpa berani membantah. Tetapi hari ini telah berubah. Apalagi ketika dilihat bibir Fatimah berlumuran darah, hatinya menjadi luluh, seakan menyesal apa yang telah diperbuatnya.

Perlahan Umar menolong adik iparnya, Said bin Zaid, untuk berdiri dan membantunya duduk di kursi.

Saat Umar sedang bimbang, tak tahu apa yang selanjutnya dilakukan, ia melihat lembaran kulit kambing yang digenggam Fatimah.

"Fatimah, apa yang kau pegang itu. Coba kau bawa kemari, aku ingin melihatnya sebentar," kata Umar.

"Tidak boleh! Kau adalah seteru Allah, kau tak boleh melihatnya. Kau nanti pasti akan merobek-robeknya!" jawab Fatimah dengan ketus.

"Aku bersumpah tak akan merusaknya. Jika kau tak mau memperlihatkannya padaku, coba kau bacakan untukku."

Perlahan-lahan Fatimah membaca lembara Al-Qur'an surat Thaha ayat 1 sampai 8. Dengan penuh perhatian Umar mendengarkan, hatinya begitu terpesona oleh keindahan bahasa dan keagungan isi ayat yang dikumandangkan adiknya. Ia benar-benar terbuai.

"Thaha. Kami tidak turunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar engkau menjadi berat, tetapi sebagai peringatan bagi orang-orang yang takut. Diturunkan oleh Allah yang menciptakan bumi dan langit. Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayan di atas Arasy. Kepunyaan-Nya lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, dan semua yang terdapat diantara keduanya, serta semua yang terpendam di bawah tanah. Jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya. Dia mengetahui rahasia dan semua yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Dia yang memiliki nama-nama sempurna." 

Tergetar hati Umar. Singa Padang Pasir itu lunglai sekujur tubuhnya, dan menetes air matanya. Mulutnya yang biasa mencaci dan mengumpat, saat itu ia bergumam dengan ucapan penuh kekaguman.

"Oh, betapa indah dan mulianya."

Dan kemudian sekonyong-konyong ia berteriak dengan lantang;
"Asyhadu alla illaaha illallah, wa asyhadu anna muhammad Rasulullah." 
Kemudian ia berpaling ke arah Fatimah. "Dimana Muhammad sekarang? Aku harus bertemu dengannya. Aku akan berikrar dihadapannya."

Melihat keadaan saat itu menjadi berbalik. Khabab yang sejak tadi menggigil ketakutan, sekarang berani menjawab, "Beliau berada di rumah Al Arqam, sedang berdakwah.

"Di mana rumah Al Arqam?" tanya Umar.
"Di kampung Shafa."

Umar bin Khathab dengan segera ke luar rumah adiknya masih dengan pedang terhunus. Kali ini bukan untuk membunuh Rasulullah, melainkan untuk melindungi keselamatannya.

Sejak itu Umar memeluk agama Islam. Hal itu membuat sahabat-sahabatnya yang dulu semasa kafir, menjadi sedikit segan untuk menganggu Rasulullah.

Sumber: Buku 30 Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak Muslim
Penyusun: KidhHidayat, MB. Rahimsyah
Diterbitkan oleh: Mitra Ummat Surabaya
Read More

Anak Bungsu Yang Sabar

06.02 0
anak bungsu yang sabar
Dahulu kala, ada tiga orang bersaudara yang tinggal di sebuah desa kecil, tidak jauh dari kota Herat.Yang paling tua bernama Masud, yang tengah bernama Hamid dan yang terakhir bernama Wali. Orang tua mereka telah meninggal dunia, karena kelaparan. Meskipun ada tetangga yang menawarkan mereka untuk dijadikan sebagai saudara, mereka memutuskan untuk pergi dan mencari keberuntungan sendiri.

Setelah menempuh perjalanan yang jauh, mereka bermalam di kaki gunung. Dalam tidurnya, Masud bermimpi aneh. Ia mendengar bel berbunyi dan suara yang mengatakan, "Masud, galilah tanah di bawahmu, kau akan mendapatkan emas".

Ketika bangun, Masud lalu mengambil sekop untuk menggali tanah itu, ternyata benar, ia menemukan emas. "Hai, Saudaraku, aku telah menemukan emas. Kurasa emas ini cukup untuk mendirikan rumah dan kawin. Jadi, selamat tinggal, saudaraku, kuharap perjalanan kalian akan membawa nasib baik sepertiku."

Hamid dan Wali melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan sepanjang hari, akhirnya mereka tiba di tepi hutan. Mereka tidur di atas pohon besar. Dalam tidurnya, Hamid pun bermimpi aneh. Ia mendengar suara terompet dan suara,"Hamid, galilah tanah yang ada di bawahmu, kau akan mendapatkan permata."

Ketika pagi tiba, Hamid pun mengambil sekop kecilnya dan menggali tanah yang ada di bawahnya. Setelah dalam menggali, akhirnya ia mendapatkan sebuah guci yang berisi permata.

"Saudaraku," teriak Hamid. "Lihatlah aku dapat permata. Aku akan membuat rumah dan kawin seperti Masud. Selamat tinggal, saudaraku."

Setelah saudaranya pulang, Wali tinggal sendirian, tetapi ia tidak putus asa. Ia meneruskan perjalanannya ke dalam hutan. Tampaknya hutan itu tak berujung. Jika tak dapat menembus hutan itu, maka ia akan mati. Karena itulah, ia memanjat puncak pohon yang tinggi untuk melihat ke seluruh arah, tetapi ia tidak melihat sesuatu pun, kecuali pepohonan.

Ketika turun dari pohon, ia terkejut melihat ada sebuah tas di tanah. Ia lihat ke sekelilingnya, tak ada orang di sana, Ia pikir, tas itu berisi sesuatu, tetapi ternyata kosong.

"Aku sangat tidak beruntung." katanya dalam hati. "Yang kudapat hanya sebuah tas kosong. Coba, tas ini berisi makanan yang lezat-lezat, jadi bisa kumakan."

Segera, setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya, tas yang kosong itu menjadi berisi. Maka, dibukalah tas itu, ternyata ada ayam bakar, anggur, kue dan minuman di dalamnya. Karena laparnya, dilahapnya makanan itu."Ini pasti tas ajaib."katanya dalam hati.

Wali mencoba meminta sesuatu pada tas itu. Kali ini ia meminta pakaian. Dalam sekejap, di dalam tas  itu ada celana dan baju jubah berbulu. Ia coba lagi meminta sepatu bot, dalam sekejap sepatu itupun ada. Ia sangat senang memiliki tas itu. Setelah lama berjalan, sampailah ia pada sebuah rumah yang ada di pinggir ladang. Ketika diketuk, keluarlah seorang wanita gemuk.

"Bu," sapanya. "Bolehkah aku menginap di sini satu malam saja."

"O, masuklah," jawab ibu itu, "aku juga punya anak seumurmu. Mungkin bisa kau jadikan sebagai teman, karena kami tinggal di daerah yang terpencil."

Ketika anaknya pulang dari ladang, wanita itu menyediakan makan untuk mereka. "Maaf, kami tak bisa menyediakan apa-apa, kecuali nasi." kata wanita tua itu.

"O, jangan takut, Bu. Aku akan memberimu lauk," kata Wali, lalu ia memasukkan tangannya ke dalam tas itu, dan meminta lauk pauk yang cukup untuk tiga orang.

Ketika Wali memberikan lauk pauk, wanita itu bertanya, "Apakah kau ini jin?."

"O, bukan, aku hanya manusia biasa. Tas inilah yang ajaib," jawab Wali.

Mendengar kata-kata Wali, anak ibu itu mulai ingin tahu. Ia berniat melihat tas itu pada saat tamunya tidur. Ketika malam tiba, anak itu mulai mengendap-ngendap mendekati Wali. Ia ingin melihat, apakah ada sesuatu di dalamnya. Ternyata, tas itu kosong. Wali melihat tingkah laku anak itu, karena itu ia memutuskan untuk pergi. Kalau tidak, mereka pasti akan mencurinya.

Ketika pagi tiba, Wali meninggalkan rumah itu. Ia tiba di sebuah gubuk nelayan di pinggir sungai. "Selamat datang, anak muda." kata nelayan itu ketika membukakan pintu.
"Darimanakah gerangan engkau, dan akan menuju kemana?"

"Aku datang dari sebuah desa dekat Herat," jawab Wali.
"Bolehkah aku tinggal di sini semalam saja, agar aku dapat beristirahat, menghilangkan rasa capek."

"O, tentu," jawab nelayan itu,"tinggallah di sini sesukamu." Lalu nelayan itu memberi Wali sebuah kamar dan makanan yang terbuat dari ikan. Setelah berbincang-bincang sebentar, lalu nelayan itu mulai menceritakan kisah hidupnya yang sangat menyedihkan. Istrinya telah dibawa oleh para perampok.

"Mungkin aku bisa membantumu, Pak," kata Wali kepada nelayan itu. "Lihatlah ke arah lain sebentar saja, istrimu akan kembali kepadamu."

Nelayan itu melakukan apa yang dikatakan oleh Wali, lalu Wali membuka tas itu, dan muncullah istri nelayan itu.
"Terima kasih," kata nelayan itu. "Apakah kau jin?"

"O, bukan," jawab Wali. "Aku hanya manusia biasa, tas inilah yang ajaib.


Keesokan harinya, ketika Wali sedang mencari udara segar di luar, ia mendengar suara istri nelayan itu berkata, "Suamiku usahakanlah agar kau dapat mengambil tas itu, karena tas itu sangat berguna bagi kita. Semua yang kita inginkan, bisa kita peroleh dari tas itu."

Mendengar obrolan itu, Wali memutuskan untuk segera pergi, karena istri nelayan itu tidak akan puas sebelum suaminya mendapatkan tas. Ia berjalan menyeberangi sungai itu. Setelah lama berjalan di pinggir sungai, akhirnya Wali berhenti, karena sepatunya rusak. Tapi, tiba-tiba ia mendengar teriakan minta tolong dari belakang pepohonan. Wali mencari-cari sumber suara itu. Ternyata, berasal dari seorang gadis. Wali mengambil pisau dari pinggangnya dan memotong tali yang mengikat tangan dan kaki gadis itu.

"Siapa yang mengikatmu?" tanya Wali.
"Bagaimana kau bisa seperti ini?"

"Namaku Zulaikha," jawabnya dengan pelan. "Ayahku kawin lagi sebulan yang lalu, tetapi ibu tiriku tidak suka kepadaku. "Akhirnya, aku kabur dari rumah. Tetapi, di perjalanan, aku ditangkap oleh seorang perampok. Ia mengambil perhiasanku dan meninggalkanku di sini."

"Untung kau lewat di sini. Terima kasih kau telah menyelamatkanku. Tapi, maukah kau mengantarkanku ke rumahku. Rumahku tidak jauh dari sini?" kata gadis itu.

"O, tentu," kata Wali." Tapi, supaya ayahmu percaya, kita harus ganti baju dulu. "Lalu Wali meminta baju sutera, kerudung ungu, jubah beludru dan sandal emas, untuk gadis itu, lalu meminta makanan yang lezat-lezat untuk mereka makan berdua, air kembang ros untuk mencuci tangan mereka, dan sepasang sepatu boot untuknya sendiri. Setelah permintaan dikabulkan, Wali dan Zulaikha pergi menuju ke rumah ayahnya yang terletak di tepi bukit.

Wali mengetuk pintu rumah itu, sementara Zulaikha menutup wajahnya dengan kerudung, takut kelihatan ibu tirinya.

"Apa yang kau inginkan, Hai, Anak Muda !" Kata orang yang membukakan pintu.

"Katakan bahwa kau membawa kabar tentang anak wanitanya, Zulaikha. "Bisik gadis itu, dan Wali melakukannya.

"Pak, "ucap Wali."anak Bapak, Zulaikha dalam keadaan aman dan baik, Bapak akan segera melihatnya."

"O, syukurlah." kata bapak itu. "Aku takut anak kesayanganku mati. Katakanlah sekarang, di mana dia? Apakah kau menemukannya."

Zulaikha tak dapat menahan air mata ketika mendengar ayahnya berbicara, lalu ia bersujud dan menciumi tangan ayahnya. Ia menceritakan tentang apa yang dilakukan oleh ibu tirinya. Ketika mendengar cerita itu, ayahnya menceraikan istrinya dan mengembalikan pada keluarganya.

Wali dan Zulaikha pun menikah. Mereka hidup dengan bahagia. Segala sesuatu yang ia butuhkan, ia minta pada tas itu. Tas itu selalu mengabulkan apa yang diminta oleh Wali, karena Wali hanya meminta yang ia butuhkan, tidak lebih. Kalau mereka tamak, meminta apa saja yang berlebihan pasti tas itu tidak akan mengabulkannya.


Sumber: Buku Kisah Anak-anak dari Asia Tengah "Orang Bijak dan Muridnya"
Penulis: Males Sutiasumarga 
Penerbit: Zikrul Hakim  - Jakarta
Read More

Wanita Pertama Yang Masuk Surga

22.42 0
wanita pertama yang masuk surga
Suatu ketika, Fatimah bertanya kepada Rasullullah. Siapakah perempuan yang kelak pertama kali masuk surga? Rasulullah menjawab, dia adalah seorang wanita yang bernama Mutiah.

Fatimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang dibayangkannya. Mengapa justru orang lain, padahal dia adalah putri Rasulullah sendiri? Maka timbullah keinginan Fatimah untuk mengetahui siapakah gerangan perempuan itu? Dan apakah yang telah diperbuatnya hingga dia mendapat kehormatan yang begitu tinggi?

Setelah minta izin kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib. Fatimah berangkat mencari rumah kediaman Mutiah. Putranya yang masih kecil bernama Hasan diajak ikut serta.

Ketika tiba di rumah Mutiah, Fatimah mengetuk pintu seraya memberi salam,"Assalamualaikum....!"

"Wa Alaikumsalam ! Siapa di luar?" terdengar jawaban yang lemah lembut dari dalam rumah. Suaranya cerah dan merdu.

"Saya Fatimah, putri Rasulullah," sahut Fatimah kembali.

"Alhamdulillah, alangkah bahagia saya hari ini Fatimah, putri Rasulullah, sudi berkunjung ke gubuk saya," terdengar kembali jawaban dari dalam. Suara itu terdengar ceria dan semakin mendekat ke pintu.

"Sendirian, Fatimah," tanya seorang perempuan sebaya dengan Fatimah, yaitu Mutiah seraya membukakan pintu.

"Aku ditemani Hasan,' jawab Fatimah.

"Aduh, maaf ya," kata Mutiah. Suaranya terdengar menyesal. "Saya belum mendapat izin dari suami untuk menerima tamu laki-laki."

"Tapi Hasan kan masih kecil?" jelas Fatimah.

"Meskipun kecil, Hasan adalah seorang laki-laki. Besok saja Anda datang lagi, ya?, saya akan minta izin dulu kepada suami saya," kata Mutiah dengan menyesal.

Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Fatimah pamit dan kembali pulang.

Besoknya, Fatimah datang lagi ke rumah Mutiah, kali ini ia ditemani oleh Hasan dan Husain. Bertiga mereka mendatangi rumah Mutiah. Setelah memberi salam dan dijawab gembira, masih dari dalam rumah, Mutiah bertanya:
"Kau masih ditemani oleh Hasan, Fatimah? Suami saya sudah memberi izin."

Ya, juga ditemani oleh Husain," jawab Fatimah.

"Ha? Kenapa kemarin tidak bilang? Yang dapat izin cuma Hasan, dan Husain belum. Terpaksa saya tidak bisa menerimanya juga," dengan perasaan menyesal, Mutiah kali ini juga menolak.

Hari ini Fatimah gagal lagi untuk bertemu dengan Mutiah. Dan keesokan harinya Fatimah kembali lagi, mereka disambut baik oleh perempuan itu di rumahnya.

Keadaan Rumah Mutiah sangat sederhana, tak ada satupun perabot mewah yang menghiasi rumah itu. Namun, semuanya teratur rapi. Tempat tidur yang terbuat dengan kasar juga terlihat bersih, alasnya yang putih, dan baru dicuci. Bau dalam ruangan itu harum dan sangat segar, membuat orang betah tinggal di rumah.

Fatimah sangat kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu, sehingga Hasan dan Husain yang biasanya tak begitu betah berada di rumah orang, kali ini nampak asyik bermain-main.

"Maaf ya, saya tak bisa menemani Fatimah duduk dengan tenang, sebab saya harus menyiapkan makan buat suami saya," kata Mutiah sambil mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu.

Mendekati tengah hari, masakan itu sudah siap semuanya, kemudian ditaruh di atas nampan. Mutiah mengambil cambuk, yang juga di taruh di atas nampan.

"Suamimu bekerja di mana?" tanya Fatimah.

"Di ladang,"jawab Mutiah.
"Pengembala?" tanya Fatimah lagi.
"Bukan, Bercocok tanam."
"Tapi, mengapa kau bawakan cambuk?"

"Oh, itu?" sahut Mutiah dengan tersenyum. "Cambuk itu kusediakan untuk keperluan lain. Maksudnya begini, kalau suami saya sedang makan, lalu kutanyakan apakah masakan saya cocok atau tidak? kalau dia mengatakan cocok, maka tak akan terjadi apa-apa. Tetapi, kalau dia bilang tidak cocok. Cambuk itu akan saya berikan padanya, agar punggung saya dicambuknya, sebab berarti saya tidak bisa melayani suami dan menyenangkan hatinya. "

"Apakah itu kehendak suamimu?" tanya Fatimah keheranan.

"Oh, bukan ! Suami saya adalah seorang yang penuh kasih sayang. Ini semua adalah kehendakku sendiri, agar aku jangan sampai menjadi istri yang durhaka kepada suami."

Mendengar penjelasan itu, Fatimah menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia minta diri, pamit pulang.

"Pantas kalau Mutiah kelak menjadi seorang perempuan yang pertama masuk surga," kata Fatimah dalam hati, di tengah perjalanannya pulang, "Dia sangat berbakti kepada suami dengna tulus. Perilaku kesetiaan semacam itu bukanlah lambang perbudakan wanita oleh kaum lelaki. Tapi, merupakan cermin bagi citra ketulusan dan pengorbanan kaum wanita yang harus dihargai dengan perilaku yang sama.

Sumber: Buku 30 Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak Muslim
Penyusun: KidhHidayat, MB. Rahimsyah
Diterbitkan oleh: Mitra Ummat Surabaya
Read More

Orang Bijak dan Muridnya

05.55 1
orang bijak dan muridnya
Suatu ketika, ada seorang tua yang bijak. Ia tingga sendiri di sebuah gubuk yang terbuat dari ranting dan alang-alang. Suatu hari datang kepadanya seorang anak muda dan berkata," Hai, orang yang bijak, kalau aku bergabung denganmu, maukah kau mengajariku tentang kebijakan?"

"Hai, anak muda. "jawab orang tua itu. "Aku tidak dapat mengajarimu sesuatu. Segala sesuatu yang berguna bagi seseorang di dunia ini harus dipelajari lewat pengalaman."

Akan tetapi, pemuda itu berjanji, ia akan mengabdi pada orang tua itu selama hidupnya, jika diizinkan tinggal bersamanya. Ia meminta dengan sangat, karena dia tidak punya ayah dan ibu. Akhirnya, orang tua itu mengizinkan untuk tinggal di sana.

Setiap hari, murid yang bernama Abdul itu memasak untuk gurunya dan mencoba belajar dari kehidupan sehari-harinya.

Suatu hari, orang tua itu berkata,"Abdul, aku akan mengembara, jadi kita akan berpisah. Terima kasih atas semua yang kau lakukan untukku.

Dengan air mata yang menetes di pipinya, Abdul berkata," Guru, ajaklah aku bersamamu, aku berjanji akan selalu mengabdi padamu."

Melihat permintaan Abdul, orang tua itu merasa kasihan. Akhirnya, mereka pun pergi berdua. Desa demi desa dilaluinya. Kadang-kadang ada penduduk desa yang memberikan makanan kepada mereka. Mereka hidup dengan hemat, tapi mereka senang.

Pernah pada suatu ketika, mereka lewat pada di sebuah desa yang penduduknya tidak ramah. Mereka melemparkan batu kepada orang tua dan anak muda itu sambil berkata,"Biarkalanlah kami hidup tenang. Kami tidak mau ada pengemis di sini. Pergilah ke tempat lain."

Anjing-anjing desa mengikuti mereka sambil mendeking. Anak-anak desa mengolok-olok mereka dengan teriakan kasar. Abdul kelihatan tertekan. Mereka tidak makan sepanjang hari, karena tidak ada yang dapat dimakan, sementara sepanjang perjalanan, orang tua itu tidak sedikitpun menampakkan kecemasannya. Ketika tiba di pinggir desa, mereka berteduh di sebuah tembok rusak. Orang tua itu mengambil batu dan kayu, kemudian dengan hati-hati ia perbaiki tembok itu.

Mereka berjalan hingga malam hari. Akhirnya sampailah mereka di tepi sungai. Di sana, mereka melihat ada sebuah cahaya memancar di antara alang-alang.

"Itu gubuk nelayan,"kata Abdul."Ayo, kita ke sana, barangkali saja pemilik gubuk itu mau memberi makan kita."

"Bolehlah," kata orang tua itu. "kita dapat menumpang di sana untuk beristirahat."

Ketika mereka mengetuk pintu, di sana hanya ada seorang wanita tua yang miskin. Wanita itu menceritakan tentang kisah kehidupannya," Waktu itu aku punya seorang anak. Pekerjaannya mencari ikan. Tapi, sekarang, ia tidak di sini. Ia diberi tugas oleh raja untuk menjadi tentara. Hanya perahu inilah satu-satunya barang yang dapat menghidupiku. Dengan perahu ini aku dapat menyeberangi orang-orang yang melewati sungai itu."

Dengan ramah, wanita tua itu menyediakan sop kepada kedua orang tamunya. Setelah menyantap sop hangat yang disediakan oleh wanita tua itu, orang tua dan anak muda itu pun tidur di teras rumah itu.

Ketika Fajar tiba, wanita tua itu menyediakan susu kambing  dan roti kepada kedua tamunya, kemudian ia menyeberangi kedua tamunya ke seberang sungai.  Setelah orang tua itu memberikan ongkosnya, wanita tua itu pun kembali ke tepi sungai semula. Namun, ketika wanita tua itu masuk ke gubuknya, orang tua itu kembali ke tepi sungai itu, lalu membebani perahu itu dengan batu-batu besar, hingga tenggelam.

"Guru, apa yang kau lakukan?" tanya Abdul dengan bingung, "mengapa kau tenggelamkan perahu wanita tua itu? Ia tidak akan bisa mencari nafkah lagi kalau perahunya tenggelam, sementara anaknya sedang bertugas menjadi prajurit. Ia pasti akan mati kelaparan."

"Jangan takut, jangan takut. Inilah jalan yang terbaik." kata orang tua itu sambil berjalan kembali ke seberang sungai dengan terengah-engah.

Akan tetapi, anak muda itu tidak senang dengan tingkah laku guruya, lalu ia memutuskan untuk meninggalkan guru itu.

Ketika mereka tiba pada sebuah rombongan khafilah, di mana pada saat itu unta dan keledai beristirahat pada waktu malam, orang tua itu berkata," Hai muridku, tampaknya kau sedang sedih. Coba ceritakan padaku apa yang menyebabkanmu begitu."

"Aku harus meninggalkanmu, guru, karena kau telah melakukan sesuatu yang tidak dapat kumengerti. Pertama, kau perbaiki tembok penduduk yang jahat yang melempari kita dengan batu dan mencerca kita. Kemudian, kau rusak perahu wanita tua yang begitu baik pada kita. Dia memberi kita sop dan susu kambing. Mengapa kau melakukan itu, apa maksudnya?"

"Semua ini ada alasannya, anak muda." jawab orang tua itu.

"Coba jelaskan padaku alasan tersebut jadi aku dapat meninggalkanmu dengan tenang," pinta Abdul.

"Di bawah tembok yang rusak, ada harta karun berupa koin emas," kata orang tua itu dengan tenang." Kalau tembok itu rubuh, maka orang-orang jahat itu akan mengambilnya, tetapi mereka belum siap, jadi aku perbaiki tembok itu."

"Lalu, bagaimana dengan perahu wanita tua itu?"

"Mengenai masalah wanita tua itu, sekarang para prajurit raja sedang melakukan penyitaan terhadap perahu-perahu yang ada di pelosok negeri ini. Perahu wanita tua itu pasti tidak akan diperiksa, karena ada di dasar sungai, dan anak laki-laki wanita tua itu pasti akan kembali dari tugas prajuritnya untuk menaikkan perahu ibunya itu dan memperbaikinya. Tetapi, jika para prajurit itu mendapatkannya, maka wanita tua itu tidak akan punya perahu lagi. Ya, itulah alasan dariku."

Abdul meminta maaf pada orang tua itu dan mengatakan kepadanya bahwa ia tidak akan cemas terhadap apa yang akan dilakukan orang tua itu. Demikian juga, orang tua itu telah memaafkan anak muda itu. Abdul tinggal bersama orang tua itu selama hidupnya.


Sumber: Buku Kisah Anak-anak dari Asia Tengah "Orang Bijak dan Muridnya"
Penulis: Males Sutiasumarga 
Penerbit: Zikrul Hakim  - Jakarta
Read More

Mencari Jejak Sang Ayah

19.51 0
Suatu hari, Rustam, pahlawan besar dari Persia pergi berburu. Begitu semangatnya mengejar singa, ia tidak sadar bahwa telah jauh meninggalkan kudanya, Rakhsh. Kuda itu ia tambatkan pada sebuah pohon. Setelah berhasil membunuh singa itu, ia letakkan singa di pundaknya dan ia kembali ke tempat kudanya diikat. Ketika sampai di sana, ternyata kudanya telah hilang dan tali pengikatnya sudah putus. Lalu, ia cari kuda itu dengan mengikuti jejaknya. Sampai malam tiba, kuda itu belum juga ditemukan olehnya. Sementara tenaganya sudah mulai habis, akibat beratnya mengendong singa yang baru diburunya itu. Akhirnya, ia putuskan untuk beristirahat di kaki gunung, dan membuat api unggun di dekatnya.

Tanpa diduga, nyala api unggun itu terlihat oleh para pembantu seorang bangsawan yang berkuasa di daerah itu. Para pembantu itu, kemudian mengadukan hal tersebut kepada majikannya. Mendengar kabar itu, lalu sang majikan menyuruh mereka untuk menemui Rustam dan mempersilakannya tinggal di rumahnya. Di sana, Rustam dijamu dengan baik oleh bangsawan itu. Sementara, para pembantunya disuruh mencari kuda Rustam yang hilang.

"Selamat datang di rumah kami, Tuan," sapa bangsawan itu. "Beristirahatlah dulu disini, kudamu akan segera kami temukan selama masih dalam daerah kekuasaan kami."

Mendengar kata-kata bangsawan itu, Rustam agak tenang, karena ia sangat sayang pada kuda itu. Ia akan memberikan apa saja yang ia miliki, asal kuda itu dapat kembali dengan selamat.

Di rumah bangsawan, yang bernama Samagan itu, Rustam dihibur sampai pagi hari. Setelah itu, barulah ia masuk ke kamar tidurnya, yang telah dipersiapkan oleh seorang gadis budak hitam milik Bangsawan itu.

"Tidurlah yang enak, Tuan. Mudah-mudahan Tuan mimpi yang indah! Jangan bersedih, karena kuda Tuan akan segera dibawa kembali oleh para pembantu majikanku," kata budak hitam yang cantik itu.

Rustam sangat kagum dengan kecantikan serta kata-kata budak hitam itu, kemudian ia bertanya," Siapa yang menyuruhmu mempersiapkan semua ini?"

"Anak perempuan Tuan Samagan, yaitu Nona Tahmina. Ia menguasai ilmu gaib dan ilmu sihir. Ibunya adalah seorang peri, tapi ia telah kembali pada keluarga peri, setelah Nona Tahmina dilahirkan, karena perkawinannya dengan manusia tidak membuat hidupnya bahagia. Ia tidak memahami kehidupan manusia." kata gadis budak hitam itu sambil mematikan lampu.

Rustam yakin bahwa Tahmina yang mempunyai kekuatan gaib tahu bagaimana nasib kudanya , Rakhsh. Akhirnya ia tertidur  dengan lelap. Ternyata benar, apa yang dikatakan oleh gadis budak itu. Pada waktu pagi, ketika bangun dari tidurnya, ia mendengar ringkikan kuda dari jendelanya.

Rustam sangat kagum dengan kekuatan gaib yang dimiliki oleh Tahmina. Maka ia bermaksud untuk bertemu dengan Tahmina, dan meminta kepadanya, agar ia mau kawin dengannya. Permintaan itu ia sampaikan pada Samagan.

"Hai, Tuan yang baik, suatu kehormatan bagi kami, jika Tuan mau bertemu dengan anak perempuan kami. Tuan bisa menemuinya pada pesta malam ini." kata Samagan.

Rustam berusaha untuk bisa bertemu dan berbicara panjang dengan Tahmina pada pesta malam itu, agar ia dapat mengutarakan isi hatinya, tapi tampaknya suasananya tidak mengizinkan. Barulah setelah pesta selesai, dan para tamu bubar. Ia dapat kesempatan mendekati Tahmina. Ketika itu, ia bertanya apakah Tahmina mau menjadi istrinya, tapi Tahmina hanya tersenyum. Hal ini membuat Rustam jadi penasaran. Maka, ketika Tahmina berjalan hendak kembali ke kamarnya, Rustam menarik tangannya. Ia meminta agar Tahmina menjawab pertanyaannya.

Namun, apa yang terjadi? Ketika Rustam memegang tangannya, Tahmina berubah menjadi seekor kucing buas dengan posisi yang siap mencakar Rustam. Tapi ketika Rustam melepaskan pegangannya, Tahmina berubah lagi menjadi seorang wanita.

"Ini untuk yang ketiga kali aku tanyakan padamu, maukah kau menjadi istriku?" tanya Rustam.

Ketika Rustam memegang tangannya lagi, Tahmina berubah menjadi seekor ular hitam besar yang siap melilitnya. Dan ketika Rustam melepaskan pegangannya, Tahmina berubah lagi menjadi seorang wanita.

Rustam terus bertanya dengan pertanyaan yang sama, dan Tahmina terus berubah-rubah ketika tangannya dipegang oleh Rustam. Adakalanya berubah menjadi singa, kemudian menjadi kijang, dan lain-lain. Melihat keuletan Rustam, akhirnya Tahmina menerima permintaan Rustam," Baiklah aku setuju kawin denganmu. Mari kita rayakan perkawinan kita."

Rustam dan Tahmina merayakan perkawinan mereka dengan membagi-bagikan ribuan koin emas kepada orang miskin. Selain itu, juga Rustam memegang jimat di tangannya, agar perkawinan mereka tidak diganggu oleh jin-jin jahat.

"Suamiku, Rustam," kata Tahmina."Aku akan meninggalkan semua kekuatan gaib dan ilmu sihirku pada perkawinan ini, karena aku sudah jadi istrimu, maka pedangmulah yang akan menjagaku sekarang, bukan mantera-mantera dari ibuku."

Setelah pesta selama tujuh hari tujuh malam, Rustam membawa Tahmina ke rumahnya. Setahun berikutnya, lahirlah seorang anak yang diberi nama Suhrab. Namun, kelahiran anak tidak dihadiri oleh ayahnya, karena Rustam sedang pergi ke medan perang mempertahankan Kerajaan Iran.

Hal itu terjadi sampai Suhrab berumur empat belas tahun. "Bu, di manakah Ayah? Sudah bertahun-tahun ia tidak pulang ke rumah? Bolehkah aku mencarinya?" tanya Suhrab.

Mendengar pertanyaan anaknya, Tahmina menangis. Lalu, sambil meletakkan sebuah jimat pada tangan kanan anak laki-lakinya itu ia berkata,"Ayahmu sedang bertempur membela kerajaan sejak kau lahir, kalau kamu mau mencarinya, pergi saja ke daerah Chin, di sanalah sekarang tentara kerajaan berada."

Setelah mendapat restu dari ibunya, akhirnya Suhrab pun pergi mencari ayahnya. Di dalam perjalanan, Suhrab mendapat kabar bahwa Raja Chin telah kalah dan prajurit Iran yang menang akan kembali ke tanah airnya. Mendengar hal itu, lalu Suhrab segera pergi ke perkampungan prajurit dan menanyakan kepada setiap orang di mana Rustam berada. akan tetapi, karena takut Suhrab itu mata-mata, semua orang yang ditanyai mengatakan bahwa Rustam tidak ada di sana.

Hari berikutnya, Suhrab datang lagi. Ia masih penasaran kalau belum bertemu dengan ayahnya, dan ia yakin bahwa ayahnya ada di perkampungan itu. "Hai siapa kau, berani-beraninya berjalan di perkampungan prajurit dan mencari Rustam. Apakah kau bangsawan?" tanya seorang prajurit.

"Aku adalah anak Rustam. Ia telah meninggalkanku ibuku dan aku sejak aku lahir untuk pergi ke medan perang mempertahankan Kerajaan Iran."

"Apa buktinya bahwa kau anak Rustam?" tanya prajurit itu tidak percaya.

"Lihatlah jimat ini yang dipasang ibuku di tanganku," kata Suhrab."Ini milik ayahku yang ia berikan padanya pada waktu hari pernikahannya."

Barulah prajurit itu yakin bahwa itu aalah anak Rustam, karena prajurit itu sendiri ternyata orang yang dicari-cari oleh Suhrab, yaitu Rustam ayahnya. Lalu, Rustam memeluk anaknya. Pada hari berikutnya, mereka pun kembali ke rumah. Tahmina sangat senang bertemu lagi dengannya, setelah lama berpisah.


Sumber: Buku Kisah Anak-anak dari Asia Tengah "Anak Gadis Di Sarang Jin"
Penulis: Males Sutiasumarga 
Penerbit: Zikrul Hakim  - Jakarta
Read More

Kembalinya Si Anak Hilang

19.55 0
kembalinya si anak hilang (tentara romawi)
Dulu, di Iran ada seorang Pangeran, namanya Gushtasp. Ayahnya bernama Raja Luhsrap, yang berkuasa di Negeri Kai Kusrau. Gushtasp adalah adalah anak yang paling tua, tapi ia tidak pernah tinggal di istana. Ia selalu mengembara ke negeri-negeri orang. Jadi, ayahnya sangat khawatir kepadanya.

Sekarang, Gushtasp sedang berada di Negeri Roma. Seperti biasanya, setiap kali berkunjung ke negara orang, ia langsung  pergi ke istananya. Di sana, ia mengatakan bahwa ia akan mengadakan kunjungan kehormatan pada sang raja. Tapi, Ia tidak mengatakan bahwa ia seorang pangeran, karena ia ingin mendapatkan pekerjaan di istana itu.

"Hai, Orang Asing," Kata salah seorang bangsawan Roma. "Kalau mau bertemu Yang Mulia, datanglah pagi-pagi. Untuk itu, kau boleh tinggal di wisma istana, tempat menginap khusus bagi orang-orang asing yang datang ke negeri kami."

Keesokan harinya, Gushtasp datang menghadap Sang Raja. Ia didampingi oleh para bangsawan di kerajaan itu. Selain mengadakan kunjungan kehormatan, ia juga mengungkapkan keinginannya untuk bekerja di istana tersebut. Namun, untuk saat itu tampaknya belum ada lowongan yang tepat baginya. Akhirnya, ia putuskan untuk melakukan perjalanan ke negeri lain. Sebelum melakukan perjalanan, ia habiskan sisa-sisa waktunya di kota itu untuk melakukan kegiatan.

Suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan di kota itu, Gushtasp mendengar bahwa para petani di kota itu sedang dilanda keresahan. Mereka takut masa panen mereka akan gagal, karena ada babi hutan yang suka mengganggu ladang mereka. Sementara, di kota itu, tidak ada seorang pun yang dapat membunuh binatang liar itu.

Mendengar keresahan para penduduk, Gushtasp tergerak hatinya untuk melakukan sesuatu. Akhirnya, masuklah ia ke dalam hutan. Dalam waktu yang singkat , ia berhasil membunuh babi hutan itu. Para penduduk kagum sekali dengan keberanian Gushtasp. Mereka mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Gushtasp.

Untuk mengisi masa senggangnya, pada hari yang lain, Gushtasp pun ikut serta dalam pertandingan bola tangan. Ia masuk dalam klub orang-orang asing. Dalam pertandingan itu, tampak Sang Raja dengan ketiga puterinya ikut menonton.

"Ayah, lihat, orang asing baru itu! Siapakah dia?" tanya Katayun, Puteri tertua raja.

"O, itu orang asing yang pernah mengadakan kunjungan kehormatan dan meminta pekerjaan pada kita." jawab raja. "Memangnya kenapa?".

"Ah, tidak! O, ya, Ayah, bolehkan aku mengutarakan sesuatu padamu?" kata Katayun.

"O, tentu, tentu, anakku!" jawab raja," Apa yang ingin kau katakan.?"

"Begini, Ayah, bolehkah aku memilih dia untuk menjadi suamiku? Kurasa ia cocok jadi suamiku. Tampaknya, ia berasal dari keturunan bangsawan."

"Ah, ada-ada saja, kamu," jawab raja.

Mendengar jawaban dari ayahnya, Katayun merasa kecewa, karena ia menganggap ayahnya tidak bersungguh-sungguh menanggapi kata-katanya. Maka, dengan diam-diam, ia menyuruh pengasuhnya untuk menemui Gushtasp dan mengundangnya untuk hadir di salah satu jendela istana pada malam hari.

"Hai, orang asing," sapa Katayun dari jendela istana. "Ketika pertama kali melihatmu di pertandingan bola tangan, aku merasa bahwa aku telah bertemu dengan orang yang cocok denganku. Oleh karena itu, kalau kau mau menjadikanku sebagai istrimu, datanglah pada ayahku dan mintalah padanya agar aku jadi istrimu."

Oh, Tuan Puteri, betapa beruntungnya aku, jika kau mau kujadikan sebagai istriku. Aku akan segera menemui ayahmu," jawab Gushtasp.

Keesokan harinya, Gushtasp pergi menghadap Sang Raja. "Maafkan aku, Yang Mulia," kata Gushtasp sambil bersujud. "Kedatanganku kemari kali ini, bukanlah untuk mencari pekerjaan, tapi untuk meminang puterimu."

"Kembalilah nanti malam." jawab Raja. "Kalau puteriku setuju kawin denganmu, kau akan diberi tanda."

Malam itu, Sang Raja mengundang para pejabat istana dan para tamu asing untuk menyaksikan apakah Katayun setuju dipinang oleh Gushtasp. Sesuai dengan adat di kota itu, bahwa jika seorang pemudi setuju dipinang oleh seorang pemuda, maka ia akan memberikan sekuntum bunga pada pemuda yang dipilihnya. Malam itu Katayun telah hadir di sana dengan membawa sekuntum bunga di tangannya. Sementara, Gushtasp duduk di deretan para tamu orang asing.

Setelah diberi aba-aba, Katayun mulai berjalan menuju para tamu, Ia akan meletakkan bunga itu pada salah seorang tamu yang hadir di situ. Suasana ketika itu cukup tegang juga. Akhirnya, sesuai dengan yang telah direncanakan, maka diletakkanlah bunga itu di pangkuan Gushtasp.

Gushtasp sangat gembira, karena Sang Puteri telah mengumumkan pilihannya di depan orang banyak.

Akan tetapi, Sang Raja tampak gelisah, karena ia berpikir, bukan Gushtasplah yang akan dipilih menjadi suami oleh puteri pertamanya, lalu ia memanggil Gushtasp untuk masuk ke sebuah ruangan khusus.

"Hai, anak muda! Sebelum kau bawa puteriku jadi istrimu, aku ingin tahu dulu siapakah kau sebenarnya, karena tidak mungkin puteriku kawin dengan rakyat biasa." tanya Sang Raja.

"O, Yang Mulia, meski aku tidak pernah memakai pakaian pangeran, tapi, sebenarnya aku ini adalah seorang pangeran Iran. Aku putera Raja Luhsrap." Jawab Gushtasp.

"Apa? Kau seorang Pangeran? Kalau begitu, bawalah puteriku," kata raja.

Sebelum Katayun dibawa ke Iran, raja memerintahkan untuk mengadakan pesta besar-besaran. Orang miskin diberi makan selama tujuh hari tujuh malam. Setelah pesta selesai, barulah, Katayun dibawa ke Iran, disertai dengan beratus-ratus unta yang berisi sutera, gading, permata, dan lain-lain.

Raja Lushrap sangat gembira, ketika melihat Gushtasp tiba di Iran, karena ia telah mendapatkan kembali puteranya yang selama ini menghilang. Terlebih lagi, puteranya telah membawa seorang puteri yang cantik dari Roma.
"O, anakku, aku sudah tua, tidak bisa lagi memikul urusan kerajaan ini. Aku minta kembalilah kau ke Iran, menggantikanku mengurus kerajaan ini."

Akhirnya, Gushtasp pun duduk di singgasana Gading Kai Kusrau menggantikan ayahnya. Ia hidup bahagia bersama Katayun sampai akhir hayatnya.


Sumber: Buku Kisah Anak-anak dari Asia Tengah "Anak Gadis Di Sarang Jin"
Penulis: Males Sutiasumarga 
Penerbit: Zikrul Hakim  - Jakarta
Read More

Balasan Untuk Si Anak Malas

17.35 0
Balasan untuk Si Malas
Pada zaman dahulu, di sebuah ladang, sepuluh mil dari kabul, tinggallah seorang petani miskin. Ia bekerja sepanjang hari di ladang untuk menghidupi istri dan anaknya. Sementara, anaknya, yang bernama Feroz, hanya duduk-duduk di bukit. Ia tidak mau membantu ayahnya bekerja, seperti membajak sawah atau memberi makan hewan piaraannya. Ia ingin bekerja di kota besar Teheran, agar ia bisa mengirimkan uang kepada ayah dan ibunya.

"Sebetulnya, yang kuinginkan dalam hidup ini, hanya tiga." kata Feroz dalam hati.

Pada saat ia berkata, muncullah sesosok makhluk aneh tinggi dan besar. "Hai, manusia, aku jin bukit ini. Kudengar kau menginginkan sesuatu." kata jin itu. " Sebutkanlah, apa-apa saja yang kau mau, aku akan mengabulkannya."

"Pertama, Aku ingin ayahku mempunyai rumah dan ladang yang besar dan indah, serta beberapa hewan dan pembantu. Kedua, aku ingin ibuku punya pakaian yang bagus-bagus serta emas permata, dan ketiga, aku ingin punya seekor kuda yang dapat mengerti bahasa manusia sehingga ia patuh terhadap apa yang kuperintahkan." jawab Feroz.

"Baiklah akan kuturuti semua permintaanmu." kata jin itu. "Tapi, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku."

"Apa yang harus kulakukan untukmu?" tanya Feroz.

"Nanti sajalah, setelah keinginanmu kupenuhi." jawab jin itu.

Dalam sekejab, Jin itu telah memenuhi apa yang diminta oleh Feroz. Ia punya seekor kuda yang pintar, rumah dan ladang yang besar dan bagus, beberapa binatang dan pembantu dan pakaian yang bagus-bagus.

Sejak saat itu, mereka hidup berkecukupan. Tapi, Feroz masih merasa tidak bahagia. Setelah semuanya berubah, Ia merasa hubungannya dengan kedua orang tuanya menjadi jauh. Orang tuanya tak pernah punya waktu lagi untuknya. Padahal, dialah yang menyebabkan semua itu terjadi. Satu-satunya yang dapat membuatnya semangat adalah kudanya.

Suatu sore, ketika ia sedang berjalan-jalan di bukit, Jin itu datang lagi dan menanyakan," Hai, Feroz! Apakah kau sudah puas dengan apa yang telah kuberi?"

"O, tentu saja, Jin yang baik, semua keperluan keluargaku telah kau penuhi, tapi aku bosan hidup seperti ini terus. Rasanya aku ingin pergi yang jauh" jawab Feroz.

"Kalau begitu, pergi saja ke kabul. Di sana kau bisa melihat istana dan bertemu dengan Puteri Ayesha," kata jin itu.

"Bagus juga idemu," jawab Feroz, lalu ia mengajak kudanya menuju kabul.

Feroz tiba disana pada waktu malam hari. Keesokan harinya, ketika melewati sekumpulan kafilah, seorang laki-laki bertanya kepadanya," Hai, anak muda, bagus sekali kudamu. Apa kau ingin menjualnya?"

"Menjualnya? O tidak, tidak." jawab Feroz.

Ketika Feroz sedang berbicara dengan pedagang itu, lewatlah Puteri Gubernur Kabul, yang bernama Ayesha. Puteri itu juga tertarik pada kuda Feroz. Ia ingin sekali memilikinya. Maka dari itu, dikirimlah pengasuhnya untuk menemui Feroz.

"Tuan Muda," sapa Pengasuh Tua itu. "Majikanku, Ayesha, puteri Gubernur di kota ini, ingin melihat kudamu. Kalau kau bersedia, datanglah ke istana.

Mendapat undangan itu, Feroz merasa sangat terpuji, karena ia bisa bertemu langsung dengan Puteri Ayesha. Tanpa dipikir panjang lagi, maka ia terima undangan itu. Pengasuh Tua itu membawa Feroz ke sebuah Taman Istana. Di sana Puteri Ayesha sudah menunggu. "Hai, anak muda, maukah kau menjual kudamu padaku?"

"O, tidak, Tuan Puteri, aku tidak akan menjual kudaku," kata Feroz.

"Ya, sudah kalau begitu, sekarang pergilah," kata Ayesha.

"Tapi, kalau kau mau, biarlah kuberikan padamu sebagai hadiah." kata Feroz.

"O, jangan, jangan, kulihat kuda itu sangat berarti bagi dirimu." jawab Ayesha.

Akhirnya Feroz keluar dari istana. Dalam perjalanan pulang. Ia bertanya pada kudanya."Hai, Kuda yang baik, maukah kau kuberikan pada Tuan Puteri?"

"O, Jangan, Tuan, Ketahuilah bahwa jin yang ada di bukit itu adalah jin jahat. Ia berharap agar kau memberikan aku pada Puteri itu. Setelah itu, ia akan menyuruhku untuk membawa lari puteri itu ke bukit."

"O, begitu, mengapa baru sekarang kau ceritakan itu padaku," kata Feroz.

"Aku dapat mengerti bahasa manusia, karena sebenarnya aku juga manusia. Aku adalah pangeran dari sebuah kerajaan yang jauh dari sini. Beberapa tahun lalu, sebelum aku lahir, ayahku diculik oleh jin itu. Setelah aku berumur dua puluh tahun, Jin itu mengembalikan ayahku dan mengambilku. Jin itulah yang merubahku menjadi kuda seperti sekarang ini," kata Kuda itu bercerita.

"Oh, Kuda yang malang, jadi apa yang sekarang harus kulakukan," tanya Feroz.

"Kembalilah ke rumahmu dan hiduplah seperti dahulu," jawab kuda itu.

Feroz mengikuti apa yang disarankan oleh kuda itu. Ia kembali tinggal di rumahnya bersama kedua orangtuanya. Tapi, setelah satu bulan berlalu, Jin Bukit itu datang lagi. "Hai Feroz, sekarang tibalah saatnya aku meminta sesuatu padamu."

"Sekarang, pergilah ke istana, dan bawalah ke mari anak Gubernur itu."kata jin itu."Kalau kau tidak mau, akan kuambil kembali semua yang pernah kuberikan padamu."

"Mengapa kau tidak menculiknya sendiri?" tanya Feroz.

"O, tidak bisa, karena istana itu dilindungi oleh Peri. Bawalah ia kemari tengah malam nanti" jawab jin itu.

Feroz bingung mendengar ancaman dari jin itu.
"Hai Feroz, aku punya ide."kata kuda itu. Nanti malam kita bawa puteri Ayesha ke pinggir danau dekat bukit itu. Kalau jin itu ingin merampasnya, kita bawa Puteri itu ke seberang danau. Ia pasti akan aman di sana, karena ada istana ayahku."

"Kalau Jin itu menyusul kita?" tanya Feroz.

"O, jangan takut. Jin itu tidak bisa lewat di danau berair garam." jawab kuda itu.
Akhirnya, Feroz datang menemui Ayesha di Taman Istana, menceritakan apa yang terjadi. Ayesha sangat terkejut mendengar cerita itu. Lalu, ia ikuti apa yang direncanakan oleh Feroz dan kudanya. Mereka pergi bersama-sama ke pinggir danau. Ketika Jin itu muncul dan akan mengambil Ayesha, dengan cepat kuda itu melompat menyeberangi danau air garam. Jin itu tidak berhasil mengambilnya.

Setelah menyeberangi danau itu, sampailah mereka di sebuah istana. Kepada Raja di istana itu, Feroz dan Ayesha mengatakan bahwa mereka membawa pesan dari putera Sang Raja yang telah hilang dua puluh tahun yang lalu. Mendengar berita itu, Sang Raja sangat gembira. "Mana anakku?" tanya Raja itu sambil mencari-cari di sekeliling mereka.

"Ini aku, ayah. Akulah puteramu yang telah disihir menjadi seekor kuda." jawab Si Kuda. "Tapi aku tahu penawarnya. Aku bisa berubah lagi menjadi manusia, jika ada seorang gadis cantik keturunan bangsawan yang mau menciumku."

Mendengar kata-kata itu, Ayesha mencoba mencium kuda itu. Ternyata benar, setelah dicium, dalam sekejap kuda itu berubah menjadi seorang pangeran. Ayesha pun langsung jatuh cinta kepadanya. Pangeran itu lalu memberi kuda yang baru kepada Feroz. Dengan kuda itu, Feroz pulang ke kampung halamannya.

Dalam perjalanan pulangnya ke kampung halaman, Feroz mampir ke Istana Gubernur, menceritakan apa yang telah terjadi pada puterinya. Gubernur itu sangat gembira mendengar puterinya masih hidup dan akan kawin dengan Pangeran dari negeri seberang. Diberinya Feroz jubah kehormatan dan sejumlah emas permata.

Feroz kembali ke rumahnya dengan wajah sedih. Ladang yang tadinya besar dan indah, kini tidak ada lagi. Barang-barang yang dulunya mewah, kini kembali seperti dulu. Semuanya telah diambil kembali oleh Jin itu. Akhirnya dengan bekal sejumlah emas permata dari Sang Gubernur, Feroz dan keluarganya hidup seperti dulu lagi, sebagai petani.


Sumber: Buku Kisah Anak-anak dari Asia Tengah "Petualangan Habib Bin Habib"
Penulis: Males Sutiasumarga 
Penerbit: Zikrul Hakim (Divisi Zikrul Kids) - Jakarta Timur
Read More

Post Top Ad