Hari sangat cerah. Perkampungan burung tampak ramai. Rupanya mereka sedang berbagi cerita. Sayang, Titi si burung sriti membawa kabar buruk.
" Aku baru saja diusir Leta si burung walet!" ujarnya kesal.
Geri si burung gereka juga sedang bersedih.
"Sarang baruku di rusak oleh manusia," keluhnya.
"Itu tidak seberapa," kata Toba si burung kenari.
"Kau masih bisa membuat sarang lagi! Sedangkan aku terpisah dari keluarga. Kami terlambat berlindung saat hujan datang...."
Sementara itu, Pak Burhan si burung hantu hanya berdiam diri . Matanya terlihat lelah.
"Apakah kau masih mengantuk, Pak Burhan?" tanya Geri.
"Ayo, berceritalah, Pak Burhan," bujuk Toba," agar beban pikiranmu berkurang."
"Tidak ada masalah apa-apa," jawab Pak Burhan lesu. "Aku 'kan mencari makan di malam hari. Jadi, wajar saja kalau pagi harinya aku mengantuk sekali," lanjut Pak Burhan sambil sesekali menguap,"Ooaaemm...."
"Hmm, rasanya memang tak ada masalah serius," gumam Titi.
"Hei, bukankah pengalaman adalah guru terbaik kita?" seru Toba.
"Ya!" sahut Titi. "Barangkali kita bisa mengambil pelajaran dari pengalaman Pak Burhan."
"Tapi, aku tidak memiliki pengalaman," ujar Pak Burhan.
"Malam hari kuhabiskan untuk mencari makan."
Tiba-tiba, terdengar suara mengejek dari balik pohon. "Ha ha ha, kau memang diciptakan tanpa pengalaman!" O-o....rupanya Giko si burung gagak yang ada di sana. Dia sedang tertawa terpingkal-pingkal.
"Tapi, kau tak perlu menertawakan Pak Burahan, Giko," tegur Titi. "Setiap binatang pasti memiliki kekurangan. Bukankah kau juga memiliki kekurangan? Kau selalu memakan bangkai binatang lain.
"Benar," tambah Toba. "Aku tak mengerti mengapa kau melakukan itu," kecam Toba
"Yah, beginilah keadaanku, teman! ujar Giko ringan."Tanpa bangkai, aku tak bisa hidup!" lanjut Giko memberi alasan.
Geri menjadi gemas. "Tapi, apa alasanmu melakukan itu?" cecarnya.
"Ya, apa alasanmu?" tambah Toba.
"Bukankah di hutan masih banyak buah-buahan atau serangga yang bisa kau makan?".
Giko mengeleng. "Tidak mungkin!" katanya. "Ribuan anak serangga akan bersedih jika aku memangsa orangtua mereka. Karena itu, aku tak mau memakan serangga."
"Hmm, kalau begitu, Giko memang ditakdirkan menjadi pemakan bangkai," kata Toba. Ia ikut prihatin.
Mendengar hal itu, Giko menangis. Pak Burhan segera menghampirinya dan berkata bijak,
"Tak perlu bersedih, Giko. Justru dengan memakan bangkai itu, kau sudah banyak berjasa. Tanpa kau, bangkai itu bisa menyebarkan penyakit di perkampungan ini."
Hati Giko menjadi lega. Pak Burhan sungguh memberinya semangat.
Geri, Titi dan Toba hanya tercenung. Ya, tak ada makhluk yang diciptakan tanpa arti.
Sumber: Buku Seri Pengantar Tidur 5
Takdir untuk si Gagak
Cerita: Kak Rasyid Akbar
Penerbit Bestari
Post Top Ad
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar