Saya teringat sebuah cerita, Sang Maling yang berubah kehidupannya menjadi Sang Alim. Berawal dari sebuah peristiwa ketika Maling ini memasuki rumah Kyai di sebuah desa. Sang Maling ini menggondol sebuah peti yang ia kira berisi harta. Setelah ia buka di rumahnya, ternyata isinya adalah kitab-kitab kuning berbahasa Arab milik Sang Kyai. Malang nian nasib si Maling ini dalam aksinya kali ini. Harta yang diinginkan, tak ia dapat. Dalam penyesalannya, ia terpaksa mengambil kitab-kitab tersebut dan memajangnya di ruang tamu.
Sebagai Maling profesional, ia tak pernah beraksi di desanya sendiri. Di tempat tinggalnya ia dikenal sebagai warga biasa, dan bergaul dengan bermasyarakat. Suatu ketika, ada tetangganya yang lewat di depan rumahnya. Mendapati sebuah lemari ruang tamu yang di dalamnya berjejer kitab-kitab kuning bertulis kaligrafi Arab yang merupakan judul kitab tersebut. Lalu bertanya si tetangga tersebut padanya, apakah dulunya ia seorang santri. Tanpa ragu dan menjawab dengan penuh bualan, si Maling ini menjawab panjang lebar bahwa ia dulunya pernah nyantri di Pesantren A pada Kyai Fulan. Sambil mencari-cari penjelasan untuk meyakinkan si tetangga tersebut.
Pada suatu hari, si tetangga yang pernah bertanya pada si Maling mempunyai persoalan tentang masalah hukum waris. Ia tidak sungkan bertanya pada si Maling ini untuk diberikan jawabannya dari kitab-kitab yang ia miliki. Dengan perasaan serba salah, si Maling meminta padanya agar ia kembali setelah 3 hari dengan alasan bahwa masalah ini sangat sulit. Dalam kebingungannya, ia berpikir bahwa ia harus bisa menjawabnya agar ia tidak malu. Ide pun datang, ia berinisiatif untuk menanyakannya pada Kyai yang tempo dulu ia masuki rumahnya di desa sebelah.
Si Maling ini pun datang ke rumah Sang Kyai dengan membawa semua kitabnya. Ia datang menyamar sebagai orang yang ingin mendalami ilmu agama. Sang Kyai melihat kitab-kitab yang dibawanya, ingat betul bahwa itu adalah kitab-kitab miliknya yang hilang. Tanpa ingin mengecewakan dan merendahkan perasaan, Sang Kyai mendoakan agar si Maling ini mendapatkan hidayah.
Lalu, dialog tanya jawab antara mereka berdua berjalan panjang. Sang Maling yang berpura-pura tersebut, mencatat seluruh keterangan Sang Kyai. Jawaban yang ia butuhkan, ditulis lengkap dengan rujukan dari kitab-kitab yang dibawanya. Akhirnya ia pulang dengan perasaan puas, bahwa ia dapat menemukan jawaban dari masalah hukum waris yang ditanyakan tetangganya itu.
Hari yang ia janjikan pada tetangganya pun tiba, keduanya berbincang dengan penuh bijak. Seolah Sang Maling ini benar-benar alim menguasai masalahnya. Tetangga yang bertanya padanya tersenyum puas, ia sangat bangga. Lalu dari mulut ke mulut, tersebarlah cerita bahwa di desa ini ternyata ada orang alim yang tidak menampakkan ilmunya. Setelah kejadian tersebut, banyak dari warganya bertanya kepada Sang Maling. Ia pun selalu menjanjikan pada warga yang bertanya untuk kembali padanya setelah 3 hari. Tidak ingin ketahuan identitas aslinya, bahwa selama ini ia hanya orang bodoh dan berbohong. Dalam sela waktu 3 hari itu, Sang Maling terpaksa selalu bolak-balik bertanya pada Sang Kyai akan masalahnya.
Dalam keterpaksaannya harus memberikan jawaban masalah-masalah agama, Sang Maling lama kelamaan menjadi insaf dan bertaubat. Sang Maling, kini ia telah berubah menjadi Sang Alim. Keterpaksaannya berguru pada Sang Kyai, merubah jalan hidupnya. Doa Sang Kyai agar Sang Maling ini mendapat hidayah, Allah mengabulkannya seiring berjalannya waktu. Kini, terkenalah di desa tersebut seorang Alim yang dulunya berprofesi maling.
Oleh: Ayabi Ayumi
Sumber: Kompasiana.com
Post Top Ad
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar