Tiket dan nomor telepon Tante Hati sudah dibawa?" tanya Ibu memastikan, mungkin untuk keseratus kali. Aku mengintip tiket dan catatan nomor telepon Tante Hati di dalam dompet kain,"Sudah, Bu. Semua Siap.
"Turun pesawat, ikuti saja orang yang duduk di sampingmu."
"Perlu kenalan, Bu?" tanya iseng.
Ibu tidak mengomentari pertanyaanku."Kalau bingung, tanya petugas," pesan Ibu. Pesan ini juga sudah disampaikan berulang kali.
"Siiip, Bu."Aku mengangkat dua jempol. Setelah mencium Ibu, aku melangkah menuju meja check-in yang tadi ditunjuk Ibu.
Seharusnya, eh, sesuai rencana, Ibu menemaniku berlibur ke rumah Tante Hati di Padang. Tetapi, mendadak Ibu harus mendampingiku klien yang akan sidang esok hari. Sebagai pengacara, Ibu tidak bisa menolak.
Ibu mengatur perjalananku. Di pesawat nanti, aku akan bertemu Tante Andriani, sahabat Ibu, yang bekerja sebagai pramugari. Di bandara Minangkabau, aku akan dijemput oleh Tante Hati. Gampang, kan?
Anteran di meja check in agak panjang. Maklum ini musim liburan. Seorang petugas menyapa dan melayaniku dengan ramah. Ia menyerahkan boarding pass, lalu menunjukkan ruang tunggu.
Di kiri kanan, banyak ruangan yang bentuknya serupa, Ruang tunggukku terletak di ujung koridor. Kucocokkan sekali lagi nomor ruang tunggu di monitor dan nomor boarding pass. Hmm, enak juga pergi sendiri seperti ini. Seru!
"Hai, Giana!" sapa Tante Andriani di pintu pesawat. "Hebat, kamu berani pergi sendiri."
"Pertamanya, sih, enggak mau, Tante. Takut," jawabku pelan." Ternyata seru juga . Ada deg-degannya."
Tante Andriani tertawa." Sini, Tante bantu cari kursimu."
"Nomor 8 F."
Tante Andriani membantuku meletakkan ransel ke lemari penyimpanan di atas tempat duduk. "Kalau ada perlu, Giana bisa panggil Tante atau pramugari lain. Sekarang Tante tinggal dulu, ya."
Aku duduk di kursi empuk yang agak kebesaran buatku. Di sebelah kanan, ada jendela kecil yang menyorotkan sinar matahari pagi. Dua kursi di sebelahku masih kosong.
Tak lama kemudian, dua orang perempuan sebaya Ibu duduk di kursi sebelahku. Satu orang tersenyum dan satu orang lain hanya diam. Tangannya sedikit gemetar ketika memasang sabuk pengaman. Ia duduk di kursi tengah.
"Matahari terang, tetapi tidak lama," bisik Ibu yang duduk di tengah.
"Aku menoleh. "Apa, Tante?"tanyaku bingung.
Ibu itu hanya menunjuk jendela kecil tanpa menjelaskan maksud kalimat tadi. Butir-butir keringat membasahi mukanya. Beberapa kali tangannya gemetar.
"Tante sakit?" tanyaku cemas. Kalau ia sakit, aku harus segera memanggil pramugari.
Ibu itu menggeleng pelan. Sekali lagi ia melihat jendela, lalu menutup muka dengan kedua tangan.
"Silau ya, Tante?" Aku hendak menutup jendela ketika kudengar jeritannya.
"Tidak, tidak! Biarkan saja jendela itu terbuka."
Gak usah jerit, dong. Bikin kaget aja.
Terdengar suara pramugari melalui pengeras suara. Ia meminta penumpang mengenakan sabuk pengaman dan memberikan penjelasan jika terjadi keadaan darurat.
Pesawat mulanya bergerak pelan sekali, kemudian menambah kecepatan. Sekarang pesawat sudah berada di atas, jauh meninggalkan landasan.
Tiba-tiba, tangan kiriku yang ada di pegangan kursi dicengkeram. Ih, tangan Ibu di sampingku basah. Dengan susah payah, aku berhasil melepaskan tangan kiriku.
Mukanya tegang. Dengan tangan gemetar, ia mengambil majalah di saku kursi. Majalah itu hanya ia letakkan di pangkuan, tanpa dibaca. Kemudian, ia meletakkan kepala di atas lutut.
Tante ini kenapa, sih? Aneh amat. Tetapi, aku tidak berani bertanya, takut ia menjerit lagi.
Beberapa menit setelah mengudara, pesawat berada di atas awan-awan putih yang tampak empuk seperti kapas. Ah, andai jendela ini bisa dibuka....pikiranku terhenti karena tiba-tiba aku merasa ada benda yang mengenai kepalaku.
Masker oksigen jatuh dari tempat penyimpanan secara otomatis. Ini menunjukkan bahwa tekanan udah di dalam kabin pesawat berkurang. Teriakan penuh kepanikan segera terdengar di seluruh pesawat. Aku menjadi panik dan napasku tersengal-sengal seperti sesak napas.
Ibu di sebelahku tiba-tiba mengangkat kepalanya dari lutut."Ini hanya sebentar, kok. Kita akan selamat. Tenang, ya, Nak..."
Ibu tersenyum sambil membantuku memasang masker oksigen. Ah, Ibu ini berusaha memberanikan dirinya agar aku tidak panik. Padahal, ia sendiri tadi panik sekali. Aku menyesal telah kesal kepadanya.
"Namaku Giana, terima kasih, ya, Tante, sudah membantuku tadi," ujarku sambil tersenyum manis dan mengulurkan tanganku.
"Nini! Panggil saja Tante Nini," ujar ibu itu sambil tersenyum manis.
Tante Nini..., ini teman baruku di penerbanganku yang pertama dengan pesawat. Sungguh menyenangkan.
Oleh: Erna Fitrini
Sumber: Majalah Bobo
Post Top Ad
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar