Jiji si anjing sakit. Ia tidak bisa melaksanakan tugasnya, menjaga kebun Pak Tani. Padahal, beberapa hari lagi sayur-sayuran akan siap dipanen. Jiji sangat takut, bagaimana kalau hewan-hewan mencuri sayuran itu.
Dua hari kemudian, Jiji merasa tubuhnya sudah sehat. Sambil menggonggong riang, ia menuju kebun. Ketika sudah tiba. Ia bernapas lega, melihat terong ungu, kubis dan sawi yang besar-besar. Namun, betapa terkejutnya ia ketika sampai di kebun timun. Tananman yang merambat di bilah-bilah bambu itu dahan-dahannya banyak yang patah dan rusak. Timunnya sudah tidak ada satu pun.
"Oh, tidak! Siapa yang berani mencuri semua timun? Awas kalau ketemu!" Jiji mengendus-endus tanah, mencari jejak pencurinya. Ia menemukan banyak jejak Pak Kaki Pak Tani. Ia juga menemukan jejak kaki lain. "Ini ... ini pasti jejak kaki kancil! Aku yakin!"
"Awas kau kancil!"
Dengan kencang, Jiji berlari ke hutan. Mencari keberadaan si Kancil. Setelah bertanya pada beberapa hewan, ia pun menemukan rumah kancil. Digedornya keras-keras pintu kayu itu, hingga Kaci si Kancil membukanya.
"Kau harus bertanggung jawab dengan apa yang kau lakukan, Kaci.
Kaci tampak bingung. "Memang apa yang aku lakukan?"
"Kau jangan pura-pura tidak tahu!" bentak Jiji. "Dasar pencuri".
"Apa? Pencuri ?" Kaci semakin tampak bingung.
"Aku tahu, kau yang mencuri timun Pak Tani kan!"
"Tidak! Aku tidak melakukannya, aku tidak mencuri!" Kaci menggelengkan kepalanya.
"Mana ada pencuri yang mengaku!" Jiji mendengus kesal. "Kau terkenal suka mencuri timun! Sudah akui saja!"
"Sungguh aku tidak mencurinya, Jiji. Aku bisa mencari makanan di hutan. Di sana banyak sekali makanan. Aku tidak perlu mencuri di kebun Pak Tani lagi. "Kaci terus mencoba meyakinkan.
"Alah, berhenti pura-pura! Kau memang pencurinya, aku punya buktinya."
"Mana? Coba tunjukkan!"
"Baik, ikut aku!"
Jiji membawa kaci menuju ke kebun timun dan menunjukkan jejak kai kancil. "Ini jejak kakimu kan?"
Kaci melihat jejak kaki itu lebih dekat dan membandingkannya dengan telapak kakinya. Kok sama, pikirnya.
"Betul kan itu jejak kakimu?" tanya Jiji diulang. "Kau pencurinya!"
"Aku memang pernah melewati kebun ini saat pulang dari sungai. Jujur, saat itu aku memang lapar dan tergiur mengambil timun. Tetapi, tidak jadi. Aku ingat kejadian terakhir aku mencuri. "Aku kapok".
Jiji tertawa mengejek. "Jangan mengarang cerita, Kaci! Sudah akui saja kau mencuri semua timun di kebun ini."
"Sungguh, aku tidak mencuri! Dan bagaimana mungkin hewan kecil seperti aku bisa mencuri semua timun di kebun yang luas ini?" kata Kaci membela diri.
"Kau pasti mencuri bersama teman-temanmu ."
"Kalau seperti itu harusnya banyak jejak kaki kancil di sini?"
Jiji Bingung menjawab pertanyaan Kaci. Ia hanya menemukan jejak kaki seekor kancil. Tetapi, Jiji ingat, Kancil terkenal sangat licik.
"Jangan mencoba menjebakku, Kaci! Kau memang pencurinya!" Nada suara Jiji semakin keras. "Ikut aku! Kau harus aku adukan kepada Pak Tani."
Dengan gonggongannya yang seram, Jiji memerintahkan Kaci menuju halaman rumah Pak Tani. Kaci tanpak gemetaran. Ia ingat dulu saat ia hampir dihajar Pak Tani karena ketahuan mencuri timun. Untungnya ia bisa kabur.
Mereka berhenti, melihat mobil bak terbuka di halaman rumah Pak Tani. Pak Tani dan si sopir keluar dari rumah sambil memikul keranjang dan menaikkannya ke mobil. Ada benda hijau tak sengaja jatuh dari keranjang. Jiji menghampiri dan ternyata benda hijau itu timun. Ia ingat, kalau banyak jejak kaki Pak Petani di kebun Timun. Itu pasti karena Pak Tani sudah memanen timunnya.
Ia menoleh ke arah Kaci. Jiji merasa bersalah tetapi ia malu mengakuinya. Ia menggigit timun yang terjatuh itu dan mendekati Kaci.
"Ini untukmu, timun permintaan maaf," kata Jiji sambil meletakkan timun dari mulutnya ke tanah. "Maafkan aku telah menuduhmu mencuri. Aku menyesal."
"Kau tahu sekali, aku sangat lapar!" seru Kaci riang sambil menggigit timun pemberian Jiji.
"Terima kasih, Aku sudah memaafkanmu."
Jiji merasa lega. Kaci tidak marah. Ia janji tidak akan bersikap gegabah dan menuduh sembarang lagi.
Sumber: Padang Ekspress, Minggu 12 April 2015
Oleh : Diy Ara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar