"Di kampung kita ini aku seperti tak bisa berbuat apa-apa," kata Jadrin kepada istrinya. "Berdagang kecil-kecilan sudah kucoba, tetapi rugi terus. Bertani sudah kulakukan, tetapi karena tanah yang kumiliki hanya sedikit, hasilnya hanya cukup dimakan tiga bulan. Kali ini aku akan mengadu untung di Pulau Jawa.
"Pekerjaan apa yang hendak kaulakukan di sana?" tanya istrinya.
"Telah kupikirkan masak-masak, aku akan menjadi kuli. Pekerjaan apa saja yang diberikan orang kepadaku, akan kukerjakan. Pokoknya aku mendapatkan rezeki yang halal."
"Kalau begitu, aku akan ikut ke Jawa," kata istrinya.
"Jangan dulu! Kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan dan punya penghasilan tetap, engkau akan kujemput."
"Baiklah kalau begitu," sahut istrinya.
Tiga hari kemudian, berangkatlah Jadrin menuju pelabuhan. Di jalan ia bertemu dengan seorang perempuan yang menggendong seorang anak kecil. Baju perempuan itu compang-camping, pertanda bahwa ia orang yang sangat miskin.
"Tolong, Pak," seru perempuan itu kepada Jadrin, "Kucing-kucing ini tolong dibeli. Anak saya ini yatim. Ia ditinggal mati ayahnya sejak dalam kandungan. Ia sekarang sakit karena kurang makan. Kalau Bapak mau membeli tiga ekor kucing saya ini, anak yatim ini baru bisa makan.
Jadrin memperhatikan anak busung lapar yang berada dalam gendongan ibunya itu. Wajahnya sangat kuyu dan matanya cekung mengundang rasa kasihan. Jadrin pun memperhatikan ketiga ekor kucing dalam kurungan bambu yang ada di dekat kaki perempuan miskin itu. Kucing-kucing itu tampak meronta kesana kemari, ingin keluar dari kurungan.
Sebenarnya, Jadrin tidak tertarik membeli kucing-kucing itu. Ia tidak yakin, setibanya di Pulau Jawa ada orang yang mau membeli kucing itu. Akan tetapi, kalau kucing itu tidak ia beli, anak yatim itu tidak akan segera mendapatkan makanan.
"Berapa harga kucing yang akan ibu jual?" tanya Jadrin.
"Bayarlah lima gobang (1 gobang = 2,5 sen) saja!"
"Saya hanya membawa sepuluh gobang untuk ongkos berlayar ke Jawa. Kalau Ibu setuju, akan saya bayar tiga gobang."
Wajah perempuan itu tampak berseri-seri. Ia tidak menyangka kucingnya akan terjual semahal itu. Setelah disetujui, Jadrin pun membayar dengan uang tunai. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan sambil menjinjing kurungan berisi tiga ekor kucing.
Tiba di pelabuhan, Jadrin langsung naik ke perahu. Di atas perahu, kucing-kucing itu mengeong. Orang-orang menjadi heran karena ada kucing akan dibawa ke Pulau Jawa. Lebih heran lagi setelah mereka mendapat penjelasan dari Jadrin bahwa kucing itu akan dijual. Sejak dulu, di Madura tidak ada orang berdagang kucing.
Perahu yang dinaiki Jadrin kini berada di laut lepas. Angin barat yang kencang membawa perahu layar itu melaju cepat. Para penumpang gembira karena perahu yang mereka naiki akan segera sampai di daratan Pulau Jawa.
Pada malam harinya, turunlah gerimis bersama angin kencang. Bunyi petir bersahut-sahutan di udara memekakkan telinga. Para penumpang ketakutan. Juru mudi tidak mampu mengendalikan perahu karena angin dan arus yang bergerak ke timur. Seharusnya perahu itu menuju ke Selatan, tetapi untuk keselamatan penumpang, perahu dibiarkan mengikuti arah arus dan angin saja.
Keesokan harinya, mereka melihat daratan. Karena ada peralatan perahu yang perlu diperbaiki, pemilik perahu dan para penumpang bersepakat untuk singgah di pulau itu. Setelah tiba di darat, tahulah mereka bahwa daratan yang mereka singgahi itu bernama Pulau Tikus.
"Mengapa disebut Pulau Tikus?" tanya Jadrin kepada penguasa pulau yang ketika itu berada di pelabuhan.
"Sebab di sini banyak sekali tikus. Penduduk pulau tidak berdaya menghadapi puluhan ribu tikus yang setiap waktu menyerang tanaman dan simpanan makanan di dalam lumbung. Pada mulanya, pulau ini sangat makmur. Akan tetapi, setelah adanya tikus yang sangat banyak itu, hidup penduduk menjadi susah."
Kemudian Jadrin memberi tahu penguasa pulau bahwa ia membawa binatang yang suka sekali memakan tikus. Penguasa pulau sangat tertarik pada binatang yang dibawa Jadrin. Ia pun meminta Jadrin untuk mengambil binatang itu di perahu.
Setelah Jadrin menunjukkan ketiga ekor kucing itu, penguasa pulau dan sebagian penduduk di pelabuhan merasa kagum. Itulah kali pertama mereka melihat kucing. Kucing-kucing itu meronta ingin keluar dari kurungan karena mereka sangat lapar.
"Jika binatang ini benar-benar suka makan tikus, saya mau membeli dengan harga lima dinar (mata uang emas lama) seekor," ujar penguasa pula,"tetapi saya ingin melihat bukti dulu."
Bersama penguasa pulau dan para penduduk, Jadrin membawa kucingnya ke perkampungan yang banyak tikusnya. Kucing-kucing lapar itu tampak semakin liar setelah melihat tikus. Jadrin pun membuka pintu kurungan. Dengan cepat, ketiga ekor kucing itu mengejar tikus-tikus yang sedang berkeliaran. Setelah melahap seekor tikus, kucing-kucing itu pun mengejar tikus yang lain. Berpuluh-puluh ekor tikus berhasil diterkam dan dicabik kucing-kucing itu. Penduduk yang menonton pun bersorak kegirangan.
Saat ketiga ekor kucing itu memburu tikus, penguasa pulau dan beberapa orang kaya membayar harga kucing itu kepada Jadrin. Jadrin menerima lima belas keping uang emas. Setelah itu, ia kembali ke pelabuhan dengan riang gembira.
Perahu yang dinaiki Jadrin sudah selesai diperbaiki. Beberapa saat kemudian, perahu itu mengangkat sauh dan bertolak menuju Pulau Jawa.
Tiba di Pulau Jawa, Jadrin merasa tidak perlu mencari pekerjaan karena ia telah banyak mengantongi uang emas. Ketika ada perahu yang hendak berlayar ke Madura, ia pun pulang untuk menjumpai istrinya. Ia berniat menetap di kampungnya lagi. Uang emas yang dimilikinya akan dipakai untuk membeli tanah pertanian yang subur.
Satu tahun kemudian, Jadrin telah menjadi orang yang hidup layak. Segala keperluan sehari-harinya terpenuhi karena ia rajin mengerjakan tanah dan ladangnya.
Kehidupan Jadrin yang berubah menjadi baik itu membuat heran para tetangganya. Ada yang bertanya langsung kepada Jadri, dari mana dan bagaimana bisa memperoleh harta sebanyak itu. Jadrin mengaku dengan jujur bahwa kekayaan itu didapatnya dengan menjual kucing ketika perahu yang ditumpanginya dihanyutkan arus ke Pulau Tikus.
Secara diam-diam, tiga orang tetangga Jadrin mulai membeli kucing ke kampung-kampung di sekitarnya. Ada yang berhasil membeli dua puluh lima ekor, dua puluh ekor, dan tiga puluh dua ekor. Semua kucing itu mereka beli dengan dengan harga sangat murah.
Kemudian, mereka bertiga menyewa sebuah perahu untuk mengangkut kucing-kucing itu ke Pulau Tikus. Dalam perjalanan, tidak hentinya mereka membicarakan keuntungan yang akan mereka dapat. Bahkan, mereka sempat pula merencanakan rumah yang akan dibangun, serta memilih sawah yang hendak mereka beli. Deru ombak tidak mereka perhatikan lagi.
Setelah tiga hari tiga malam berlayar, sampailah mereka ke Pulau Tikus. Kurungan-kurungan kucing diturunkan ke darat. Kemudian mereka menjumpai penguasa pulau dan menyampaikan maksud bahwa mereka membawa tujuh puluh tujuh ekor kucing untuk dijual.
"Perlu kalian ketahui bahwa tikus di pulau ini sekarang sudah habis," kata penguasa pulau dengan suara tenang. "Setahun yang lalu, kami membeli tiga ekor kucing. Kucing-kucing itu membantu kami sehingga tikus-tikus punah. Kalaupun masih ada, sudah tinggal sedikit. Jadi, penduduk pulau ini sudah tidak memerlukan kucing lagi."
Ketiga pedagang kucing itu terkulai bagai orang letih. Mereka tidak menyangka akan rugi besar seperti itu. Mereka pun pulang ke Pulau Madura dengan penuh rasa kecewa.
Kesimpulan
Cerita yang bisa digolongkan dalam dongeng ini berisi aneka macam pelajaran, antara lain, orang yang senang membantu anak yatim dan orang yang sedang mengalami penderitaan akan mendapat bantuan tidak terduga. Selain itu, setiap kebaikan di balas Tuhan dengan kebaikan pula. Cerita ini juga menyarankan bagi orang yang akan berdagang atau bekerja untuk tidak berbuat hanya karena latah. Orang yang bekerja hanya karena latah, tanpa perhitungan matang dan seksama, akan tidak memperoleh keuntungan yang diharapkan.
Sumber : Buku Cerita Dari Madura
Penulis: D. Zamawi Imron
Penerbit : Grasindo
Keesokan harinya, mereka melihat daratan. Karena ada peralatan perahu yang perlu diperbaiki, pemilik perahu dan para penumpang bersepakat untuk singgah di pulau itu. Setelah tiba di darat, tahulah mereka bahwa daratan yang mereka singgahi itu bernama Pulau Tikus.
"Mengapa disebut Pulau Tikus?" tanya Jadrin kepada penguasa pulau yang ketika itu berada di pelabuhan.
"Sebab di sini banyak sekali tikus. Penduduk pulau tidak berdaya menghadapi puluhan ribu tikus yang setiap waktu menyerang tanaman dan simpanan makanan di dalam lumbung. Pada mulanya, pulau ini sangat makmur. Akan tetapi, setelah adanya tikus yang sangat banyak itu, hidup penduduk menjadi susah."
Kemudian Jadrin memberi tahu penguasa pulau bahwa ia membawa binatang yang suka sekali memakan tikus. Penguasa pulau sangat tertarik pada binatang yang dibawa Jadrin. Ia pun meminta Jadrin untuk mengambil binatang itu di perahu.
Setelah Jadrin menunjukkan ketiga ekor kucing itu, penguasa pulau dan sebagian penduduk di pelabuhan merasa kagum. Itulah kali pertama mereka melihat kucing. Kucing-kucing itu meronta ingin keluar dari kurungan karena mereka sangat lapar.
"Jika binatang ini benar-benar suka makan tikus, saya mau membeli dengan harga lima dinar (mata uang emas lama) seekor," ujar penguasa pula,"tetapi saya ingin melihat bukti dulu."
Bersama penguasa pulau dan para penduduk, Jadrin membawa kucingnya ke perkampungan yang banyak tikusnya. Kucing-kucing lapar itu tampak semakin liar setelah melihat tikus. Jadrin pun membuka pintu kurungan. Dengan cepat, ketiga ekor kucing itu mengejar tikus-tikus yang sedang berkeliaran. Setelah melahap seekor tikus, kucing-kucing itu pun mengejar tikus yang lain. Berpuluh-puluh ekor tikus berhasil diterkam dan dicabik kucing-kucing itu. Penduduk yang menonton pun bersorak kegirangan.
Saat ketiga ekor kucing itu memburu tikus, penguasa pulau dan beberapa orang kaya membayar harga kucing itu kepada Jadrin. Jadrin menerima lima belas keping uang emas. Setelah itu, ia kembali ke pelabuhan dengan riang gembira.
Perahu yang dinaiki Jadrin sudah selesai diperbaiki. Beberapa saat kemudian, perahu itu mengangkat sauh dan bertolak menuju Pulau Jawa.
Tiba di Pulau Jawa, Jadrin merasa tidak perlu mencari pekerjaan karena ia telah banyak mengantongi uang emas. Ketika ada perahu yang hendak berlayar ke Madura, ia pun pulang untuk menjumpai istrinya. Ia berniat menetap di kampungnya lagi. Uang emas yang dimilikinya akan dipakai untuk membeli tanah pertanian yang subur.
Satu tahun kemudian, Jadrin telah menjadi orang yang hidup layak. Segala keperluan sehari-harinya terpenuhi karena ia rajin mengerjakan tanah dan ladangnya.
Kehidupan Jadrin yang berubah menjadi baik itu membuat heran para tetangganya. Ada yang bertanya langsung kepada Jadri, dari mana dan bagaimana bisa memperoleh harta sebanyak itu. Jadrin mengaku dengan jujur bahwa kekayaan itu didapatnya dengan menjual kucing ketika perahu yang ditumpanginya dihanyutkan arus ke Pulau Tikus.
Secara diam-diam, tiga orang tetangga Jadrin mulai membeli kucing ke kampung-kampung di sekitarnya. Ada yang berhasil membeli dua puluh lima ekor, dua puluh ekor, dan tiga puluh dua ekor. Semua kucing itu mereka beli dengan dengan harga sangat murah.
Kemudian, mereka bertiga menyewa sebuah perahu untuk mengangkut kucing-kucing itu ke Pulau Tikus. Dalam perjalanan, tidak hentinya mereka membicarakan keuntungan yang akan mereka dapat. Bahkan, mereka sempat pula merencanakan rumah yang akan dibangun, serta memilih sawah yang hendak mereka beli. Deru ombak tidak mereka perhatikan lagi.
Setelah tiga hari tiga malam berlayar, sampailah mereka ke Pulau Tikus. Kurungan-kurungan kucing diturunkan ke darat. Kemudian mereka menjumpai penguasa pulau dan menyampaikan maksud bahwa mereka membawa tujuh puluh tujuh ekor kucing untuk dijual.
"Perlu kalian ketahui bahwa tikus di pulau ini sekarang sudah habis," kata penguasa pulau dengan suara tenang. "Setahun yang lalu, kami membeli tiga ekor kucing. Kucing-kucing itu membantu kami sehingga tikus-tikus punah. Kalaupun masih ada, sudah tinggal sedikit. Jadi, penduduk pulau ini sudah tidak memerlukan kucing lagi."
Ketiga pedagang kucing itu terkulai bagai orang letih. Mereka tidak menyangka akan rugi besar seperti itu. Mereka pun pulang ke Pulau Madura dengan penuh rasa kecewa.
Kesimpulan
Cerita yang bisa digolongkan dalam dongeng ini berisi aneka macam pelajaran, antara lain, orang yang senang membantu anak yatim dan orang yang sedang mengalami penderitaan akan mendapat bantuan tidak terduga. Selain itu, setiap kebaikan di balas Tuhan dengan kebaikan pula. Cerita ini juga menyarankan bagi orang yang akan berdagang atau bekerja untuk tidak berbuat hanya karena latah. Orang yang bekerja hanya karena latah, tanpa perhitungan matang dan seksama, akan tidak memperoleh keuntungan yang diharapkan.
Sumber : Buku Cerita Dari Madura
Penulis: D. Zamawi Imron
Penerbit : Grasindo
seru banget kak ceritanya
BalasHapuscara bayar angsuran motor di alfamart