Perang tidak saja terjadi di Irak, tapi juga di kelas Sonya. Bahkan, lebih seru karena setiap anak perempuan berteriak-teriak saat pipinya terkena sumpit kertas, plop!.
Bagaimana cara membuat senjata ini?
Gampang saja, ambil sedotan bekas teh botol sebagai sumpit, kemudian kertas basah yang dibulatkan kecil sebagai pelurunya. Yang lebih menjijikkan lagi, mungkin juga karena malas ambil air hanya untuk membasahi kertas, anak-anak biasa mengulum dulu kertas ini sebelum dipakai.
Siapa sih pencetus permainan ini?
Tidak ada yang tahu. Permainan ini telah ada turun temurun. Bahkan orang kita dulu pernah melakukannya.
Sonya juga suka melakukan permainan ini. Tentu saja, saat tidak ada guru di kelas. Ane, Jean dan Martha lebih berani lagi. Mereka melakukan kapan saja mereka mau. Dengan sasaran siapa saja. Yang lebih berani lagi, Ane menyiapkan peluru berwarna. Sekali tembak langsung membekas.
"Hari ini pelajaran kosong!" kata Ane bersemangat sekembali dari ruang guru.
"Hore! Ayo kita main sumpit!" teriak Jean tak kalah semangat.
Murid-murid tak perlu menunggu waktu lama, kata-kata Jean belum habis, tiba-tiba, plop, sebuah peluru kertas mendarat tepat di pipinya.
"Au, ulah siapa ini?" katanya sambil meloto.
Plop, satu lagi peluru mendarat di jidat Jean. Anak-anak tertawa.
Jean langsung ngumpet di balik meja. Ia menyiapkan peluru berwarna. Dengan bergerak merangkak seperti seorang prajurit, Jean mendekati sasaran, kemudian menyerang tiba-tiba. Plop, plop, plop, bertubi-tubi Jean meniup sumpitnya. Sonya yang tepat berdiri di depannya tidak bisa menghindar. Wajahnya penuh totol merah akibat serangan Jean.
"Au, aku menyerah!" kata Sonya kelabakan.
Tapi Jean makin bersemangat. Teman-teman yang lain jadi ikut-ikutan menyerang. Sonya makin kewalahan.
"Awas ya kalian semua, aku masih punya senjata rahasia!" kata Sonya sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
Hoho, Sonya menyiapkan mantera sihir!
"Ini dia sumpit mata seribu!" teriak Sonya sambil memulai serangan.
Sonya meraup beberapa sedotan sekaligus, kemudian menembak. Keadaan kini terbalik, teman-temannya mulai kewalahan.
Mendadak Pak Kepsek masuk sambil mengeluarkan suara halilintar.
"Tenang semua!"
Hihihi, dalam sekejab semua seolah jadi patung.
"Aku tidak mau dengar ada keributan lagi. Kalian semua bersihkan peluru-peluru kertas ini. Cepat lakukan, atau aku akan menghukum kalian semua berdiri di lapangan!"
Murid-murid segera melakukan perintah. Pak Kepsek tersenyum puas. Tiba-tiba, plop, sebuah peluru mengenai hidungnya.
"Maaf, Pak, tidak sengaja. Saya pikir sedotan saya sudah nggak ada pelurunya...." kata Jean terbata-bata.
Untunglah Pak Kepsek tidak marah. Murid-murid jadi lega. Mereka cekikikan melihat wajah Jean yang pucat pasi.
Tanpa di duga-duga, plop, sebuah tembakan tepat mendarat di puncak hidung Jean. Siapa yang berani melakukan?
Hoho, Sonya sempat melihat ujung sedotan di saku Pak Kepsek.
"Hus, jangan bilang-bilang kalau aku yang nembak ya," kata Pak Kepsek berbisik pada Sonya. "Aku jadi ingat waktu aku sekolah dulu, hihihi."
"Ah, kenangan lama memang selalu membekas," kata Sonya dalam hati.
Sumber: Majalah Bobo Edisi 02 tahun III, 27 Mei - 3 Juni 2003
Penulis : Sony
Ilustrasi : Sabariman Rubianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar