April 2015 - Blog Oblok Oblok

Hot

Post Top Ad

Dua Ekor Kambing Yang Congkak

18.19 1
Dua Ekor Kambing Yang Congkak
Ada seekor kambing yang sangat sehat meskipun tubuhnya kecil. Karena tanduknya bagus seperti pisau, teman temannya memanggilnya dengan julukan si Tanduk. Dia sangat bangga dengan panggilan itu. Jika pergi minum air ke sungai bersama teman temannya, dia selalu pulang paling akhir. Teman temannya sudah naik dan kembali ke padang, dia masih tetap di sungai. Apa gerangan yang dia kerjakan di situ ? Dia asyik memandangi bayangan tubuhnya dan bayangan kedua tanduknya yang tergambar di permukaan air.

Pada saat mengagumi dirinya seperti itu, dia berkata dalam hati, "Sungguh indah kedua tandukku. Mungkin akulah kambing tergagah di seluruh dunia. Pantas, semua kawanku segan padaku karena mereka takut akan ketajaman tandukku."

Setelah puas memandangi bayang bayang dirinya, barulah dia menaiki tebing sungai dan berkumpul dengan teman temannya.

Padang tempat si Tanduk makan rumput itu terletak di sebelah timur sungai. Sesekali si Tanduk ingin berjalan jalan ke barat sungai untuk memperluas pengalaman. Selain itu, dia ingin memperlihatkan tanduknya yang bagus kepda bangsa kambing yang tinggal di sebelah barat sungai. Meskipun lebar sungai itu hanya lima meter, bangsa kambing agak sulit menyeberang karena sir sungai cukup dalam.
Jembatan yang dipasang manusia untuk menyeberang sungai itu hanya berupa jembatan bambu yang tidak mungkin dilewati kambing. Oleh karena itu, keinginan si Tanduk untuk berjalan jalan ke barat sungai tinggal impian belaka.

Pada bulan Februari, angin barat di Pulau Madura sangat keras bertiup. Curah hujan juga deras. Angin yang bertiup keras itu merobohkan banyak pohon. Sebtang pohon kelapa yang tumbuh di tebing barat sungai roboh. Batang pohon kelapa itu tepat melintang sungai. Orang orang yang akan melintasi sungai itu kini menggunakan pohon kelapa yang roboh itu sebagai jembatan . Enak sekali mereka berjalan di atas pohon kelapa itu.

Melihat manusia lalu lalang melintasi sungai, si Tanduk ingat akan ke inginannya untuk berjalan jalan ke barat sungai. Pikirnya,"Kini tibalah saatku untuk memperlihatkan tandukku ke barat sungai. Kambing kambing yang ada disana pasti kagum akan keindahan tandukku."

Tanpa bicara kepada teman temannya, si Tanduk cepat melangkah mendekati jembatan yang berasal dari pohon kelapa yang roboh itu. Ketika ia mulai naik dari ujung jembatan sebelah timur, dari tebing sebelah barat naik pula seekor kambing hitam berjenggot lebat.

"Hei, kambing hitam," tegur si Tanduk,. "mau kemana engkau?"

"Jangan seenaknya engkau memanggil aku kambing hitam. Apa engkau tidak melihat jenggotku yang lebat?"

"Ya, aku melihat," jawab si Tanduk.

"Karena itu, panggil aku si Jenggot. Semua kambing kagum akan kehebatan jenggotku yang indah ini. Aku akan berjalan jalan ke timur sungai. Kambing kambing di sana akan kagum pada jenggotku ini. Tolong Kawan, beri aku jalan. Turunlah engkau dari ujung titian sebelah timur itu!" kata si Jenggot.

" Aku yang lebih dulu menginjakkan kaki di atas jembatan ini, " kata si Tanduk bertahan," aku mau ke sebelah  barat sungai. Engkaulah yang harus turun dari jembatan di tebing sebelah barat itu."

" Engkau harus mengalah," kata si Jenggot.

" Engkau yang harus mengalah," desak si Tanduk.

"Apa engkau tidak kenal, siapa aku?"

"Akulah si Tanduk. Lihat tandukku, panjang dan tajam bukan?" kata si Tanduk.

Sambil berdebat, kedua kambing itu terus berjalan.
" Meskipun tandukmu hebat,"kata si Jenggot," aku minta engkau mundur dan memberikan jalan untuk ku."

"Tidak bisa, engkau harus mengalah," kata si Tanduk.

"Semua kambing hormat kepadaku. mentang mentang tandukmu hebat tidak memberikan jalan kepadaku. Ayo mundur!" kata si Jenggot.

"Tidak," jawab si Tanduk," aku tidak akan mundur."

Hati si Jenggot semakin panas. Dia berkata, " Kalau tidak mau mundur, engkau akan ku hantam."

"Baik," sahut si Tanduk," kalau engkau tidak mau mengalah dan tidak mau mundur, kedua matamu akan kutusuk dengan tandukku."

Di atas jembatan itu, si Jenggot menyerang si Tanduk. Si Tanduk pun tidak tinggal diam. Dia segera menanduk si Jenggot sehingga pelipis si Jenggot terluka dan berdarah. Kedua kambing itu terus berlaga dengan hati panas. Mereka lupa bahwa mereka bertarung di atas sungai.

Ketika si Jenggot menyerang dengan seluruh kekuatannya, si Tanduk bertubuh kecil itu tidak mampu bertahan. Akhirnya, dia jatuh ke sungai. Si Jenggot yang menyerang sekuat tenaga terpeleset dan jatuh ke sungai. Kedua kambing yang tidak bisa berenangitu tetap berusaha untuk hidup, tetapi air sungai yang deras menghanyutkan keduanya ke hilir. Beberapa menit kemudian kedua kambing yang malang itu menemui ajalnya.

Kesimpulan
Cerita ini termasuk fabel, yaitu dongeng tentang binatang yang bisa berbicara seperti manusia. Dalam ceritra ini kita mendapatkan pelajaran bahwa sifat sombong dan mementingkan diri sendiri bisa mendatangkan malapetaka. Seandainya kedua kambing itu rendah hati, atau salah satu di antaranya ada yang mau mengalah , tentu keduanya akan selamat.,

Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Sumatera
Oleh : James Danandjaya
Penerbit : Grasindo

Read More

Pak Jalmo

19.52 1
pak jalmo sombong setelah menjadi orang kaya
Pak Jalmo Sombong Setelah Kaya
Di salah satu pulau yang terletak jauh di sebelah timur Pulau Madura pernah hidup seorang petani sederhana, Pak Jalmo namanya. Ia hidup dengan seorang istri dan dua orang anaknya. Pak Jalmo adalah orang yang sabar, rendah hati, serta suka membantu tetangganya.

Pada suatu ketika, berkunjunglah seorang sahabat Pak Jalmo. Pak Jalmo pun menceritakan kepada sahabatnya itu bahwa hasil panen yang ia dapatkan selalu tidak cukup dimakan selama satu tahun. 

Sahabat yang baik itu merasa kasihan kepada Pak Jalmo. Kemudian, ia berkata, "Hutan di sebelah selatan pekaranganmu ini sebenarnya bisa dibuka untuk pertanian. Tanahnya cukup bagus untuk dijadikan ladang jagung." 

"Tetapi, saya tidak punya biaya untuk membuka hutan," jawab Pak Jalmo. 

"Kalau engkau minta tolong kepada para tetangga, aku kira mereka siap membantumu," kata sahabatnya. 

"Tetapi saya malu minta tolong kepada para tetangga," jawab Pak Jalmo. 

"Kalau engkau malu, biarlah aku akan berbicara dengan mereka. Aku yakin mereka akan sangat senang membantumu." 

Beberapa hari kemudian, orang-orang desa berkumpul di halaman rumah Pak Jalmo. Mereka bekerja menebang pohon-pohon di hutan yang terletak di sebelah selatan rumah Pak Jalmo. Mereka bekerja sambil bernyanyi dengan gembira. Mereka membantu Pak Jalmo dengan hati ikhlas tanpa mengharap imbalan. 

Dua minggu lamanya mereka bekerja menebang hutan, akhirnya terbentanglah tanah ladang seluas empat hektar, Pak Jalmo dan istrinya sangat gembira mempunyai ladang seluas itu. 

"Kini kita menunggu datangnya musim hujan," kata Pak Jalmo kepada istrinya

"Kalau hujan turun, ladang kita itu hendak kau tanam apa?" tanya istrinya. 

"Jagung, ketela, kacang, dan sayur-sayuran," jawab Pak Jalmo. 

Suami istri itu berharap hujan segera turun. Mereka ingin segera mengolah tanah ladangnya menjadi sumber rezeki. Akhirnya, musim hujan pun datang. Pak Jalmo dan istrinya menyambut turunnya hujan dengan hati gembira. Ladang baru itu pun mulai dikerjakan. Karena Pak Jalmo tidak punya sapi untuk membajak, sebagian tetangga membantu membajakkan sawahnya. Demikian pula halnya bibit yang hendak ditanam, karena Pak Jalmo tidak punya persediaan, para tetangga menyumbang bibit padi untuk ditanam. 

Apa pun yang ditanam Pak yang Jalmo di ladangnya, ternyata bisa tumbuh dengan baik, meskipun tidak terlalu subur. Pak Jalmo bersama istrinya tidak bosan-bosannya menyiangi rumput-rumput liar yang dirasa menganggu tanaman. 

Musim panen pun tiba. Hasil panen yang diperoleh Pak Jalmo cukup menggembirakan. 

"Apakah tidak sebaiknya sebagian hasil panen kita itu dijual?" kata istrinya. 

"Untuk apa?" tanya Pak Jalmo

"Untuk dibelikan seekor anak sapi" 

"Usul yang baik," jawab Pak Jalmo sambil tersenyum. 

"Tahun depan, kalau panen baik, kita beli seekor sapi lagi," kata istrinya. "Tiga atau empat tahun lagi setelah anak sapi itu besar, kalau kita hendak membajak tanah tidak perlu pinjam atau minta bantuan tetangga lagi. 

"Terima kasih atas usulmu itu," jawab Pak Jalmo dengan gembira. 

Keesokan harinya, sebagian hasil panen Pak Jalmo dijual. Dari hasil penjualan itu, Pak Jalmo membeli seekor anak sapi. Ia sangat sayang pada sapinya itu. Ia selalu mencarikan rumput yang bagus untuk sapi itu. Tahun berikutnya, hasil panen Pak Jalmo semakin bagus, ia pun membeli seekor anak sapi yang sebaya dengan anak sapi sebelumnya. 

Dua tahun kemudian, Pak Jalmo sudah bisa membajak ladang tanpa bantuan para tetangga. Ia semakin tekun bertani. Kotoran dua ekor sapinya dibakar dengan daun dan rumput, kemudian dijadikan pupuk untuk menyuburkan tanah. Oleh sebab itu, panen yang diperolehnya semakin melimpah. Kini Pak Jalmo telah menjadi orang berkecukupan menurut ukuran orang di pulau itu. 

Kehidupan Pak Jalmo sekeluarga memang sudah berubah. Akan tetapi, perubahan itu bukan hanya dari miskin menjadi kaya. Dulu, ia dikenal sebagai orang yang rendah hati serta suka membantu tetangga, sekarang ia menjadi orang yang kurang senang bergaul. Ia hanya sibuk mengurus pertaniannya sendiri sehingga tidak sempat membantu para tetangga yang memerlukan bantuannya.

Pada suatu hari, dua orang tetangganya bercakap-cakap di sebuah kebun. Salah seorang berkata," Ketika Pak Jalmo belum punya sapi, setiap hendak membajak ladangnya selalu pinjam sapiku. Sekarang, setelah menjadi petani agak kaya, ketika aku mau pinjam sapinya untuk membajak sawahku, ia tak mau membantu. Katanya, sapinya akan dipakai untuk membajak ladangnya sendiri. Setelah aku selidiki, ternyata hari itu ia tidak membajak."

"Yang aku herankan," jawab yang lain," sebelum ia kaya seperti sekarang, ia sering datang ke rumahku. Ia bersahabat akrab denganku. Tetapi setelah berkecukupan, ia tak pernah datang ke rumahku. Aku mencoba mengalah, aku sendiri yang mendatangi rumahnya pada hari raya yang lalu. Ternyata, ia menyambutku dengan dingin, tidak segembira ketika aku bersilaturahmi ke rumahnya lima atau enam tahun yang lalu."

Itulah antara lain kesan-kesan sebagian tetangga Pak Jalmo. Akan tetapi, tidak ada satu orang pun berani mengingatkannya. Tahun pun terus berjalan. Pak Jalmo semakin kaya.

Pada tahun kesepuluh sejak ladang baru itu dibuka, panen Pak Jalmo sungguh diluar dugaan. Jagung, ketela, labu, kacang panjang, kacang hijau, dan lain-lain melimpah memenuhi lumbungnya. Pak Jalmo benar-benar menjadi orang kaya di kampung itu.

Sikap Jalmo yang semakin angkuh dengan kekayaannya itu membuat guru mengajinya sewaktu kecil perlu menjumpainya.

Jalmo, kata guru mengaji itu, "apakah engkau masih mengakui aku sebagai gurumu?"

"Ya, Pak, dulu saya memang pernah berguru kepada Bapak," jawab Pak Jalmo.

"Nah, sebagai guru, aku merasa berkewajiban memberi nasihat padamu. Dulu engkau miskin, sekarang engkau telah kaya. Ketika engkau kaya, perbanyaklah engkau memberi kepada fakir miskin supaya kalau engkau jatuh miskin, engkau tetap diperhatikan orang."

"Apakah saya yang mempunyai harta sebanyak ini masih bisa miskin lagi?" tanya Pak Jalmo.

"Bisa saja kalau Allah menghendaki," jawab pak guru tua itu.

"Tidak bisa, Pak Guru," ujar Pak Jalmo dengan angkuh, "tak ada jalan kemiskinan untuk masuk ke pekarangan rumah saya."

Mendengar jawaban bekas muridnya itu, guru mengaji yang bertongkat itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia tidak menyangka nasihatnya akan ditolak mentah-mentah. Dengan kesal ia segera meninggalkan rumah Pak Jalmo.

Di pulau itu, setiap tahun diadakan selamatan desa. Semua orang berkumpul di sebuah tanah lapang sambil berdoa dan diakhiri dengan makan bersama. Pada saat selamatan desa itu. Pak Jalmo mengadakan pesta sendiri di rumahnya. Ia tidak mau bergabung dengan orang desa yang miskin.

Pak Jalmo tidak banyak mengundang orang, hanya beberapa kuli yang selalu membantunya bekerja di ladang. Meskipun orang yang hadir hanya sedikit, Pak Jalmo yakin orang-orang akan berdatangan ke rumahnya karena ia telah menyiapkan ribuan petasan besar dan kecil untuk menarik perhatian.

"Aku sengaja memesan mercon yang tidak pernah dibakar orang di pulau ini," kata Pak Jalmo sambil menggantung rentengan petasan besar-besar di dahan jambu di halaman rumahnya. Sebagian mercon yang lain diletakkannya di atas tikar di halaman.

Setelah makan sampai kenyang, di mulailah acara pembakaran petasan. Semua orang kagum pada petasan yang besar-besar itu. Seseorang bertanya kepada temannya,"Berapa harga petasan sebesar botol itu?" temannya hanya bisa menggeleng.

Pak Jalmo pun memantik korek api. Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi letusan memekakkan telinga. Mereka terkejut. Ada yang mundur jauh-jauh, ada juga yang menutup telinga.

Tiba-tiba sebuah petasan terbang dan jatuh tepat di atas tumpukan petasan di atas tikar. Satu per satu petasan itu meledak. Ada yang terbang ke atas atap. Pak Jalmo panik. Hadirin kebingungan. Beberapa saat kemudian, atap rumah Pak Jalmo sudah di makan api. Orang orang yang hadir semakin takut. mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat.

" Tolong, toloooong!' teriak Pak Jalmo sekeluarga. Api telah menjalar ke rumah sebelah, ke lumbung, dan akhirnya ke kandang.

Pak Jalmo, Bu Jalmo, dan anak anaknya hanya bisa berteriak sambil menangis. Karena bingung dengan letusan petasan yang berloncatan kesana kemari, mereka tidak bisa berbuat apa apa untuk menyelamatkan harta mereka. Beberapa saat kemudian, seluruh tempat tinggal Pak Jalmo telah menjadi lautan Api. Asap hitam mengepul ke udara, seolah olah memberitahukan kepada seluruh dunia bahwa ada orang kaya yang jatuh miskin.

Tidak lama kemudian , rumah Pak Jalmo roboh diikuti lumbung dan dapur nya. Pak Jalmo, Bu Jalmo, dan anak anaknya duduk bersimpuh di sudut pekarangan sambil menangis tersedu sedu.

Kesimpulan
Cerita ini mengandung pelajaran bahwa orang yang miskin kemudian menjadi kaya harus tetap ingat akan asalnya. Selain itu, orang kaya tidak boleh menyombongkan kekayaannya. Tuhan Yang Mahakuasa mempunyai banyak bara untuk mencabut kekayaan seseorang. 
 
Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Sumatera
Oleh : James Danandjaya
Penerbit : Grasindo
Read More

Persahabatan Empat Ekor Binatang

17.52 1
cerita fabel burung gagak, kura-kura, musang dan kijang
Pada suatu hari, burung gagak, kijang, musang, dan kura-kura berjanji bertemu di bawah pohon kesambi besar di kaki bukit. Mereka telah lama menjalin persahabatan dan saling membantu dalam kehidupan. Jika musang menginginkan buah mangga, burung gagak akan mencarikannya. Jika burung gagak memerlukan udang, kura-kura akan mencarikannya di sungai. Jika Kijang ingin makan rumput hijau, burung gagak akan terbang mencari padang dan lembah berumput hijau, kemudian menunjukkan tempat itu kepada sahabatnya. 

Binatang yang pertama datang di bawah pohon kesambi adalah kijang dan musang. Lama sekali mereka menunggu dua temannya yang lain di tempat itu. 

"Heran, biasanya gagak selalu datang lebih dahulu," kata Kijang. 

"Mungkin ia menjemput kura-kura," jawab musang. 

Saat kijang dan musang sedang mempercakapkan kedua temannya, dari kejauhan terdegar suara gagak berkaok-kaok. 

"Nah, gagak telah datang," ujar musang. 

"Ya, tapi suaranya tidak seperti biasanya," kata kijang. 

Beberapa detik kemudian burung gagak telah hinggap di punggung kijang.

"Mengapa terlambat, kawan?" tanya musang. 

"Kura-kura tidak ada di tempat," jawab gagak. 

"Tidak kau cari?" tanya kijang. 

"Telah kucari di sekitar kediamannya, tetapi tidak kutemukan. Aku segera kemari agar kalian tidak menunggu dengan penuh tanda tanya, Sekarang, aku akan kembali mencari kura-kura. Kalian sekarang berangkat juga. Nanti kita bertemu di dekat batu besar di tikungan sungai itu," kata burung gagak. 

"Ya, segeralah kauterbang," ujar kijang. 

Burung gagak segera membuka sayapnya, terbang cepat sambil berkaok-kaok di angkasa. Dia terbang berkeliling ke sana kemari, kemudian menuju sebuah lembah. Dengan mata jeli, dia memperhatikan ke bawah untuk menemukan kura-kura. Hampir satu jam lamanya dia berputar-putar di atas lembah itu, tetapi dia tidak melihat kura-kura. 

Pada saat burung gagak hampir putus asa mencari sahabatnya, tiba-tiba tampak satu titik kecil di tengah sawah. Dia segera membelokkan haluan menuju titik itu. Setelah dekat, ternyata tampak seorang laki-laki sedang menggendong sesuatu. Gagak tertarik pada gendongan orang itu. Setelah diperhatikan dengan cermat, ternyata gendongan itu berupa jaring perangkap. Burung gagak semakin ingin tahu isi jaring yang telah diikat dengan rapi itu. Dia pun terbang rendah mendekati lelaki itu. Alangkah terkejut hatinya setelah melihat kaki kura-kura tersembul dari sela-sela lubang jaring. 

Tanpa pikir panjang, burung gagak segera terbang menemui kedua sahabatnya, kijang dan musang. Mereka telah menunggu di dekat batu besar di tikungan sungai. Gagak hinggap dengan tergopoh-gopoh. 

"Malang sahabat kita," kata gagak dengan napas tersengal-sengal. 

"Apa yang terjadi pada kura-kura? Tanya Kijang. 

"Dia ditangkap seorang pemburu." 

"Di mana kaujumpai dia?" tanya musang. 

"Di tengah sawah yang luas itu. Kura-kura diikat dalam jaring perangkap. Pemburu itu menuju ke arah tenggara. Kira-kira ia akan lewat di jalan sebelah selatan karena tidak ada jalan lain yang bisa melintasi sungai ini." 

"Begitu pemburu itu lewat langsung akan kuserang," kata musang. 

"Pemburu itu biasanya membawa senjata," kata kijang. " Kalau kauserang, enak saja ia memukulmu dengan senjatanya. Apalagi pemburu itu sudah terlatih menggunakan senjatanya. Engkau bisa celaka kalau menyerang tanpa perhitungan." 

"Tidak apa aku mati demi membela sahabatku," jawab musang. 

"Kalau kaucinta kepada kura-kura," kata kijang, "Kita harus kompak, kita atur cara sebaik-baiknya sehingga kura-kura bisa terlepas dari si pemburu." 

"Ya, itu pikiran yang baik," ucap gagak."Ayo sekarang bermusyawarah mencari jalan terbaik untuk menolong kura-kura." 

Ketiga binatang itu bertukar pikiran untuk menolong kura-kura. Setelah bermusyawarah agak lama, mereka bertiga berangkat ke selatan untuk mengatur siasat. 

Kijang dan gagak siap di ladang dekat sungai, sedangkan musang bersembunyi di semak-semak dekat jalan yang akan dilalui si pemburu. 

Beberapa saat lamanya kijang dan gagak menunggu, muncullah si pemburu. Burung gagak berteriak keras-keras lalu pura-pura menyerang kijang. Kijang melompat kesana kemari untuk menghindari serangan gagak. 

Si pemburu sangat tertarik melihat gagak berkelahi dengan kijang. Pikirnya," Wah, kijang yang sedang bertarung dengan gagak itu gemuk sekali. Dagingnya pasti empuk dimakan. Pada saat berkelahi seperti itu dia pasti lalai dan mudah kutangkap." 

Pemburu meletakkan gendongannya ke tanah di tepi jalan. Pelan-pelan ia melewati sela-sela pohon perdu yang tumbuh di situ. Ia mengendap-ngendap mendekati kijang yang sedang berkelahi melawan gagak. Setelah agak dekat, kijang melompat dan gagak terbang agak menjauh. 

Ketika pemburu itu sedang berusaha mendekati kijang, musang pun keluar dari persembunyiannya dan menuju gendongan yang tadi diletakkan si pemburu. Dengan giginya yang tajam, musang cepat memutuskan tali yang mengikat kura-kura. Dalam beberapa menit saja kura-kura sudah bebas. 

"Terima kasih, Sahabatku," kata Kura-kura kepada musang. 

"Cepat ceburkan dirimu ke dalam sungai!" ujar musang."nanti kau tertangkap lagi." 

Dengan cepat, kura-kura berlari dan masuk ke dalam sungai. Sementara itu, musang segera masuk ke dalam rumpun bambu berduri sambil memekik nyaring. 

Mendengar suara musang yang kecil dan nyaring itu, Kijang dan gagak mengerti bahwa kura-kura sudah bebas dan aman. Burung gagak pun terbang ke udara sambil berkaok gembira, sedangkan kijang segera berlari kencang menuju semak belukar. 

Pemburu itu keheranan karena perkelahian kijang dan gagak selesai tanpa ada yang melerai. Kemudian, ia mengambil kura-kura yang tadi ditangkapnya, betapa terkejut hatinya karena ia hanya menemukan jaring perangkapnya yang koyak. 

Kesimpulan
Cerita ini termasuk fabel karena menceritakan kehidupan binatang yang bisa berbicara seperti manusia. Cerita ini menarik karena berisi pelajaran tentang pentingnya persahabatan yang penuh kesetiaan dan kekompakan. Banyak kesulitan hidup yang tidak bisa dipecahkan sendiri, tetapi dapat diselesaikan dengan baik setelah bantuan para sahabat. Oleh karena itu, kita perlu memperbanyak sahabat serta suka menolong orang lain. 

Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Sumatera
Oleh : James Danandjaya
Penerbit : Grasindo
Read More

Legenda Jaka Tole

22.50 1
Legenda Jaka Tole
Tersebutlah seorang anak Madura bernama Jaka Tole. Karena kesaktiannya, ia berhasil menegakkan pintu gerbang Keraton Majapahit.

Agaknya nama Jaka Tole mempunyai nilai tersendiri di hati Raja Majapahit. Oleh karena itu, jika ada hal-hal yang sulit diatasi, Jaka Tole disuruh mengatasinya. Jika ada pemberontakan yang bertujuan mengurangi wilayah kekuasaan Majapahit. Jaka Tole diperintahkan Raja memimpin pasukan untuk memadamkan pemberontakan itu. 

Jaka Tole ternyata seorang prajurit yang tangkas dan cekatan dalam memimpin pasukan. Setiap pemberontakan terhadap Majapahit selalu berhasil ia padamkan dengan tidak terlalu banyak memakan korban. Tidak aneh kalau Raja sangat sayang kepadanya. Ia sering mendapat hadiah dari Raja. 

Karena Raja sangat sayang kepada Jaka Tole, ada beberapa orang iri hati kepadanya. Mereka yang merasa tidak senang itu menyebarkan fitnah bahwa kesetiaan Jaka Tole kepada Raja hanya setengah-setengah. Jaka Tole berjuang bukan untuk kejayaan Majapahit, tetapi sekadar mendapatkan hadiah dari Paduka Raja. 

Fitnah itu akhirnya sampai ke telinga Raja. Raja sebenarnya ragu akan kebenaran berita itu. Raja pun memutuskan untuk menguji kesetiaan Jaka Tole. 

"Jaka Tole, akan ku nikahkan engkau dengan putriku yang buta," pikir Raja dalam hati. "kalau ia menolak, pertanda ia tidak taat kepadaku. Berarti berita bahwa ia tidak setia kepadaku itu memang benar, Tetapi, apabila ia mau menikah dengan Dewi Ratnadi, putriku yang buta, berarti berita yang dilaporkan orang kepadaku hanya fitnah belaka." 

Raja pun memanggil Jaka Tole. Setelah Jaka Tole menghadap, Raja mulai berbicara,"Jaka Tole, aku mempunyai seorang putri bernama Dewi Ratnadi. Maukah engkau seandainya ia kujodohkan denganmu?" 

"Saya siap untuk dijodohkan dengan Putri Paduka," jawab Jaka Tole dengan suara tegas. 

"Tetapi, apakah engkau tidak akan menyesal kemudian hari?" tanya Raja. 

"Mengapa saya akan menyesal?" tanya Jaka Tole. 

"Ketahuilah," kata Raja, "Putriku ini buta. Apakah engkau bersedia mengawininya?" 

"Saya tetap bersedia," jawab Jaka Tole dengan suara mantap.

Raja tersenyum gembira mendengar jawaban Jaka Tole yang meyakinkan itu.

Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Jaka Tole dengan Dewi Ratnadi dirayakan di pusat Kerajaan Majapahit. Ada bermacam-macam komentar atas pernikahan itu. Orang-orang yang tidak senang kepada Jaka Tole menganggap pengantin yang sedang bersanding merupakan lelucon yang tidak lucu. Mengapa ?? Karena mempelai pria gagah seperti Arjuna, sedangkan mempelai wanita buta. Pihak yang senang kepada Jaka Tole merasa tidak puas karena Jaka Tole yang besar jasanya kepada negara Majapahit dinikahkan dengan putri yang buta. Menurut mereka, Jaka Tole sepantasnya dijodohkan dengan putri Raja yang paling cantik.

Setelah upacara dan pesta pernikahan itu selesai, Jaka Tole dan istrinya minta izin kepada Raja untuk pulang ke Sumenep, tetapi Jaka Tole menolak untuk diantar. Katanya, " Selagi badan saya masih kuat menggendong Dewi Ratnadi, izinkanlah kami pulang berdua saja."

Sambil menggendong istrinya, Jaka Tole berangkat ke arah timur meninggalkan pusat pemerintahan Majapahit yang indah permai. Meskipun Dewi Ratnadi buta, Jaka Tole tetap menunjukkan rasa sayang kepada istrinya itu. Dalam perjalanan, ia selalu mencarikan buah-buahan yang disukai Dewi Ratnadi. Putri tidak menyangka Jaka Tole akan mencintainya sedemikian rupa.

Setelah sampai di pelabuhan Gresik, Jaka Tole dan istrinya beristirahat beberapa hari di bandar yang ramai disinggahi perahu-perahu dari berbagai negeri. Kemudian, mereka menyeberang laut menuju ujung barat Pulau Madura. Setelah naik ke darat, Dewi Ratnadi ingin mandi. Jaka Tole bingung karena di sekitar tempat itu tidak ada sumur atau sungai. Lalu, ia mengambil tongkat Dewi Ratnadi dan menancapkannya ke tanah. Setelah tongkat itu dicabut, keluarlah air yang memancar dari dalam tanah langsung menyemprot wajah Dewi Ratnadi.

"Kanda Jaka Tole," teriak Dewi Ratnadi dengan gembira," aneh sekali, mata saya sekarang bisa melihat."

"Benarkah itu, Dewi?" tanya Jaka Tole setengah tidak percaya.

"Betul," jawab Dewi Ratnadi," untuk apa saya berdusta. Coba lihatlah kedua mata saya. Saya sekarang sudah bisa memandang wajah Kanda."

Jaka Tole pun memperhatikan mata istrinya. Tampak mata Dewi Ratnadi sudah terbuka dengan biji mata seindah bintang kejora. Hati Jaka Tole sangat gembira.

Setelah puas mandi. Dewi Ratnadi pun berganti pakaian. Kini, ia bisa memilih sendiri pakaiannya karena kedua belah matanya dapat melihat dengan sempurna.

Air yang keluar dari dalam tanah itu akhirnya menjadi sumber air yang sangat jernih. Tempat itu sampai sekarang di sebut Soca, artinya mata. Mungkin karena di tempat itu mata Dewi Ratnadi yang buta dapat melihat.

Dalam perjalanan selanjutnya, Dewi Ratnadi tidak perlu digendong. Selain sudah bisa melihat, badannya terasa sehat sekali. Mereka terus berjalan ke arah timur.

Berhari-hari lamanya mereka berjalan melewati dataran rendah yang luas dan naik turun perbukitan. Mereka tidak susah mencari makanan karena di daerah yang mereka lalui itu banyak terdapat buah.

Ketika tiba di sebuah tempat, Dewi Ratnadi ingin mandi, Jaka pun menancapkan tongkatnya ke tanah. Keluarlah air yang sangat deras.

Setelah selesai mandi, Dewi Ratnadi terkejut karena pakaian dalamnya dihanyutkan air yang sangat deras alirannya. Ia segera memberi tahu suaminya. Tanpa pikir panjang, Jaka Tole pun memanggil air yang menghanyutkan pakaian dalam istrinya. Air yang jauh mengalir itu pun membelok dan mendekat ke arah Jaka Tole. Setelah pakaian itu tiba di dekatnya, Jaka Tole cepat memungut dan mengembalikannya kepada Dewi Ratnadi.

Sumber besar yang terletak di seberang timur laut kota sampang itu sampai sekarang disebut "Omben". Kata omben berasal dari bahasa Madura, amben, yang berarti pakaian dalam wanita.

Perjalanan Jaka Tole dan Dewi Ratnadi pun diteruskan menuju ke timur. Setelah sampai di Sumenep, Jaka Tole disambut dengan gembira oleh Ayah Bundanya serta masyarakat Sumenep. Apalagi Jaka Tole membawa pulang seorang istri yang cantik rupawan.

Kakak Jaka Tole dari pihak ibu bernama Pangeran Saccadiningrat adalah seorang raja yang memerintah negeri Sumenep. Pemerintahannya berada di bawah kekuasaan Majapahit. Setelah Saccadiningrat mamasuki usia tua, Jaka Tole pun dinobatkan sebagai adipati yang memerintah wilayah Sumenep. Di bawah kepemimpinan Jaka Tole. Masyarakat Sumenep benar-benar merasakan kemakmuran dan keadilan.

Kesimpulan
Cerita ini termasuk legenda karena mengisahkan asal-usul nama sebuah tempat. Legenda ini memberi pelajaran agar orang yang ingin hidup mulia harus tahan hidup menderita. Manusia yang bermental baja dan tahan menderita dalam menggapai cita-cita dengan tetap menghargai hak dan kepentingan orang lain, niscaya akan cepat mencapai cita-cita itu. 
 
Sumber : Buku Cerita Dari Madura
Penulis: D. Zamawi Imron 
Penerbit : Grasindo
Read More

Para Pedagang Kucing

20.31 1
para pedagang kucing (pulau tikus)
"Di kampung kita ini aku seperti tak bisa berbuat apa-apa," kata Jadrin kepada istrinya. "Berdagang kecil-kecilan sudah kucoba, tetapi rugi terus. Bertani sudah kulakukan, tetapi karena tanah yang kumiliki hanya sedikit, hasilnya hanya cukup dimakan tiga bulan. Kali ini aku akan mengadu untung di Pulau Jawa.

"Pekerjaan apa yang hendak kaulakukan di sana?" tanya istrinya. 

"Telah kupikirkan masak-masak, aku akan menjadi kuli. Pekerjaan apa saja yang diberikan orang kepadaku, akan kukerjakan. Pokoknya aku mendapatkan rezeki yang halal."

"Kalau begitu, aku akan ikut ke Jawa," kata istrinya. 

"Jangan dulu! Kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan dan punya penghasilan tetap, engkau akan kujemput." 

"Baiklah kalau begitu," sahut istrinya. 

Tiga hari kemudian, berangkatlah Jadrin menuju pelabuhan. Di jalan ia bertemu dengan seorang perempuan yang menggendong seorang anak kecil. Baju perempuan itu compang-camping, pertanda bahwa ia orang yang sangat miskin. 

"Tolong, Pak," seru perempuan itu kepada Jadrin, "Kucing-kucing ini tolong dibeli. Anak saya ini yatim. Ia ditinggal mati ayahnya sejak dalam kandungan. Ia sekarang sakit karena kurang makan. Kalau Bapak mau membeli tiga ekor kucing saya ini, anak yatim ini baru bisa makan. 

Jadrin memperhatikan anak busung lapar yang berada dalam gendongan ibunya itu. Wajahnya sangat kuyu dan matanya cekung mengundang rasa kasihan. Jadrin pun memperhatikan ketiga ekor kucing dalam kurungan bambu yang ada di dekat kaki perempuan miskin itu. Kucing-kucing itu tampak meronta kesana kemari, ingin keluar dari kurungan. 

Sebenarnya, Jadrin tidak tertarik membeli kucing-kucing itu. Ia tidak yakin, setibanya di Pulau Jawa ada orang yang mau membeli kucing itu. Akan tetapi, kalau kucing itu tidak ia beli, anak yatim itu tidak akan segera mendapatkan makanan. 

"Berapa harga kucing yang akan ibu jual?" tanya Jadrin.

"Bayarlah lima gobang (1 gobang = 2,5 sen) saja!" 

"Saya hanya membawa sepuluh gobang untuk ongkos berlayar ke Jawa. Kalau Ibu setuju, akan saya bayar tiga gobang." 

Wajah perempuan itu tampak berseri-seri. Ia tidak menyangka kucingnya akan terjual semahal itu. Setelah disetujui, Jadrin pun membayar dengan uang tunai. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan sambil menjinjing kurungan berisi tiga ekor kucing. 

Tiba di pelabuhan, Jadrin langsung naik ke perahu. Di atas perahu, kucing-kucing itu mengeong. Orang-orang menjadi heran karena ada kucing akan dibawa ke Pulau Jawa. Lebih heran lagi setelah mereka mendapat penjelasan dari Jadrin bahwa kucing itu akan dijual. Sejak dulu, di Madura tidak ada orang berdagang kucing.

Perahu yang dinaiki Jadrin kini berada di laut lepas. Angin barat yang kencang membawa perahu layar itu melaju cepat. Para penumpang gembira karena perahu yang mereka naiki akan segera sampai di daratan Pulau Jawa. 

Pada malam harinya, turunlah gerimis bersama angin kencang. Bunyi petir bersahut-sahutan di udara memekakkan telinga. Para penumpang ketakutan. Juru mudi tidak mampu mengendalikan perahu karena angin dan arus yang bergerak ke timur. Seharusnya perahu itu menuju ke Selatan, tetapi untuk keselamatan penumpang, perahu dibiarkan mengikuti arah arus dan angin saja.

Keesokan harinya, mereka melihat daratan. Karena ada peralatan perahu yang perlu diperbaiki, pemilik perahu dan para penumpang bersepakat untuk singgah di pulau itu. Setelah tiba di darat, tahulah mereka bahwa daratan yang mereka singgahi itu bernama Pulau Tikus.

"Mengapa disebut Pulau Tikus?" tanya Jadrin kepada penguasa pulau yang ketika itu berada di pelabuhan.

"Sebab di sini banyak sekali tikus. Penduduk pulau tidak berdaya menghadapi puluhan ribu tikus yang setiap waktu menyerang tanaman dan simpanan makanan di dalam lumbung. Pada mulanya, pulau ini sangat makmur. Akan tetapi, setelah adanya tikus yang sangat banyak itu, hidup penduduk menjadi susah."

Kemudian Jadrin memberi tahu penguasa pulau bahwa ia membawa binatang yang suka sekali memakan tikus. Penguasa pulau sangat tertarik pada binatang yang dibawa Jadrin. Ia pun meminta Jadrin untuk mengambil binatang itu di perahu.

Setelah Jadrin menunjukkan ketiga ekor kucing itu, penguasa pulau dan sebagian penduduk di pelabuhan merasa kagum. Itulah kali pertama mereka melihat kucing. Kucing-kucing itu meronta ingin keluar dari kurungan karena mereka sangat lapar.

"Jika binatang ini benar-benar suka makan tikus, saya mau membeli dengan harga lima dinar (mata uang emas lama) seekor," ujar penguasa pula,"tetapi saya ingin melihat bukti dulu."

Bersama penguasa pulau dan para penduduk, Jadrin membawa kucingnya ke perkampungan yang banyak tikusnya. Kucing-kucing  lapar itu tampak semakin liar setelah melihat tikus. Jadrin pun membuka pintu kurungan. Dengan cepat, ketiga ekor kucing itu mengejar tikus-tikus yang sedang berkeliaran. Setelah melahap seekor tikus, kucing-kucing itu pun mengejar tikus yang lain. Berpuluh-puluh ekor tikus berhasil diterkam dan dicabik kucing-kucing itu. Penduduk yang menonton pun bersorak kegirangan.

Saat ketiga ekor kucing itu memburu tikus, penguasa pulau dan beberapa orang kaya membayar harga kucing itu kepada Jadrin. Jadrin menerima lima belas keping uang emas. Setelah itu, ia kembali ke pelabuhan dengan riang gembira.

Perahu yang dinaiki Jadrin sudah selesai diperbaiki. Beberapa saat kemudian, perahu itu mengangkat sauh dan bertolak menuju Pulau Jawa.

Tiba di Pulau Jawa, Jadrin merasa tidak perlu mencari pekerjaan karena ia telah banyak mengantongi uang emas. Ketika ada perahu yang hendak berlayar ke Madura, ia pun pulang untuk menjumpai istrinya. Ia berniat menetap di kampungnya lagi. Uang emas yang dimilikinya akan dipakai untuk membeli tanah pertanian yang subur.

Satu tahun kemudian, Jadrin telah menjadi orang yang hidup layak. Segala keperluan sehari-harinya terpenuhi karena ia rajin mengerjakan tanah dan ladangnya.

Kehidupan Jadrin yang berubah menjadi baik itu membuat heran para tetangganya. Ada yang bertanya langsung kepada Jadri, dari mana dan bagaimana bisa memperoleh harta sebanyak itu. Jadrin mengaku dengan jujur bahwa kekayaan itu didapatnya dengan menjual kucing ketika perahu yang ditumpanginya dihanyutkan arus ke Pulau Tikus.

Secara diam-diam, tiga orang tetangga Jadrin mulai membeli kucing ke kampung-kampung di sekitarnya. Ada  yang berhasil membeli dua puluh lima ekor, dua puluh ekor, dan tiga puluh dua ekor. Semua kucing itu mereka beli dengan dengan harga sangat murah.

Kemudian, mereka bertiga menyewa sebuah perahu untuk mengangkut kucing-kucing itu ke Pulau Tikus. Dalam perjalanan, tidak hentinya mereka membicarakan keuntungan yang akan mereka dapat. Bahkan, mereka sempat pula merencanakan rumah yang akan dibangun, serta memilih sawah yang hendak mereka beli. Deru ombak tidak mereka perhatikan lagi.

Setelah tiga hari tiga malam berlayar, sampailah mereka ke Pulau Tikus. Kurungan-kurungan kucing diturunkan ke darat. Kemudian mereka menjumpai penguasa pulau dan menyampaikan maksud bahwa mereka membawa tujuh puluh tujuh ekor kucing untuk dijual.

"Perlu kalian ketahui bahwa tikus di pulau ini sekarang sudah habis," kata penguasa pulau dengan suara tenang. "Setahun yang lalu, kami membeli tiga ekor kucing. Kucing-kucing itu membantu kami sehingga tikus-tikus punah. Kalaupun masih ada, sudah tinggal sedikit. Jadi, penduduk pulau ini sudah tidak memerlukan kucing lagi."

Ketiga pedagang kucing itu terkulai bagai orang letih. Mereka tidak menyangka akan rugi besar seperti itu. Mereka pun pulang ke Pulau Madura dengan penuh rasa kecewa.

Kesimpulan
Cerita yang bisa digolongkan dalam dongeng ini berisi aneka macam pelajaran, antara lain, orang yang senang membantu anak yatim dan orang yang sedang mengalami penderitaan akan mendapat bantuan tidak terduga. Selain itu, setiap kebaikan di balas Tuhan dengan kebaikan pula. Cerita ini juga menyarankan bagi orang yang akan berdagang atau bekerja untuk tidak berbuat hanya karena latah. Orang yang bekerja hanya karena latah, tanpa perhitungan matang dan seksama, akan tidak memperoleh keuntungan yang diharapkan.


Sumber : Buku Cerita Dari Madura
Penulis: D. Zamawi Imron 
Penerbit : Grasindo
Read More

Kartini Bagi Lili

19.48 0
Kartini bagi Lili
Siang itu di sebuah rumah singgah di Jakarta, tampak beberapa anak kurang mampu sedang bermain main.
" Siapa yang mau pinjam buku?" tiba tiba seorang anak perempuan berpakaian bagus datang ke rumah singgah.

" Aku mau pinjam, Kak," ujar Dito salah seorang anak di rumah singgah.

" Akh, kamu Dito! Anak-anak di sini kan pada tidak sekolah.  Tidak bisa baca,"ujar Lili, seorang anak tuna netra di rumah singgah. Sesungguhnya, Lili iri. Pasti dalam buku itu banyak cerita menarik. Sayangnya, Lili tak bisa melihat, apalagi membacanya.

" Ya sudah, kalau belum pada bisa membaca, aku bacakan, ya", kata Arin, si anak permpuan berpakaian bagus itu. Arin memang dari keluarga berada. Ia bersimpati pada anak anak di rumah singgah.

" Di sebuah istana tinggallah seorang putri..."

" Yang cantik,baik hati dan penolong," potong Lili." Bosan, ah dengar cerita itu," omel Lili.

" Tapi cerita ini lain, lho. Ini kisah putri yang pemberani dan tangguh,yang berjuang mewujudkan mimpi."

Namun, Lili menukas." Mimpi? Kalau aku bilang, aku ingin melihat dunia, apa itu akan terjadi?"

Arin diam sebentar lalu berkata," Aku bisa membantu. Aku akan membacakan buku setiap hari untukmu. Dari buku kamu bisa melihat dunia," ujar Arin.

Lili akhirnya tersenyum. Tawaran Arin sangat menarik. 

Besok siangnya, Arin kembali untuk membacakan buku untuk Lili, Setelah membaca buku, Arin dan Lili berbincang.

" Kalau besar nanti, aku mau jadi guru," kata Lili sehabis Arin membacakan cerita tentang Ibu Kartini yang mendirikan sekolah untuk para perempuan. " Tapi... mana ada guru yang buta?"

" Tentu saja ada. Kamu, Li," sergah Arin." Aku punya sesuatu buatmu."Arin meletakkan sebuah buku di pangkuan Lili. Lili meraba buku itu. Ada titik - titik membentuk pola dalam lembaran- lembaran buku." Apa ini?" tanya Lili.

" Namanya hruf Braille. Huruf khusus untuk tunanetra. Supaya kamu juga bisa baca buku," Jelas Arin.

" Bagaimana cara membacanya?"

" Sini, aku ajari," ujar Arin membimbing tangan Lili." Yang ini haruf A, lalu B,C..."
Mulut Lili komat kamit menghapal huruf-huruf Braille itu.
" Dari mana kamu tahu huruf ini?" Tanya Lili penasaran.

"Tanteku. Seorang guru yang mengajar anak-anak tuna netra. Kelak, kamu bisa seperti dia," kata Arin. 

Hati Lili berdebar senang. Ia kini punya harapan untuk bisa membaca buku. Tiba-tiba Lili ingat cerita yang dibaca Arin tadi. 

"Arin, kamu adalah Kartini bagiku," ujar Lili. "Berkat kamu, aku yakin bisa menjadi guru kelak." 

Arin tersenyum senang. Hatinya bahagia. 

Hikmah Cerita
Meskipun kau punya kekurangan , tetapi jangan berputus asa. Selalu ada jalan bagi mereka yang ingin maju. Tanggal 21 April diperingati di Tanah Air sebagai Hari Kartini yang memperjuangkan kemajuan wanita dan perbaikan kondisi masyarakat Indonesia. 

Sumber : Kompas Minggu 19 April 2015 
Nusantara Bertutur 
Penulis : Fita Chakra
Ilustrasi : Regina Primalita 
 
Read More

Seorang Penyadap Nira

21.51 0
penyadap nira
Ada seorang laki-laki yang pekerjaannya memanjat pohon siwalan untuk menyadap nira. Hasil sadapan itu itu kemudian dimasak menjadi gula. Dari menjual gula itulah ia bisa memberi nafkah keluarganya. 

Pada suatu pagi, udara sangat lembab. Seluruh langit tertutup awan hitam yang mengandung air hujan. Laki-laki penyadap nira itu seperti tidak memperhatikan tanda-tanda alam bahwa sebentar lagi hujan akan turun. Dengan tubuhnya yang kuat, tetap saja ia memanjat pohon siwalan untuk mengambil nira dan turun membawa timba yang penuh berisi nira.

Telah tiga pohon Siwalan ia ambil niranya. Kini, ia naik ke pohon keempat. Sejak ia naik ke pohon itu, gerimis sudah turun ke bumi. Akan tetapi, ia masih terus memanjat. Tiba diatas pohon itu, hujan datang bersama angin yang bertiup keras. Pohon-pohon pun bergoyang-goyang dipermainkan angin. Angin kencang itu ternyata bukan angin biasa. Pohon siwalan yang sedang dipanjat si penyadap nira itu meliuk-liuk ke sana kemari dan daunnya yang lebat melambai-lambai seolah-olah hendak lepas dari tangkainya.

"Celaka!" seru si penyadap dalam hati. Ini angin topan."

Pohon siwalan itu seakan-akan hendak roboh ke tanah. Penyadap nira sangat ketakutan. Pikirnya dalam hati,"Kalau pohon siwalan ini tumbang, aku pasti mati."

"Ya, Tuhan," ujar penyadap nira itu dengan khusyuk. "Tolong, selamatkanlah diriku yang kini tidak berdaya. Kalau aku selamat karena pohon yang kupanjat ini tidak tumbang, aku berjanji kepada-Mu akan kupotong seekor sapiku yang paling gemuk dan akan kuundang orang-orang miskin untuk makan enak di rumahku."

Setelah penyadap itu berdoa dan mengucapkan janjinya kepada Tuhan, angin agak reda sehingga ia bisa turun pelan-pelan. Tiba di bawah pelepah, penyadap itu sudah mulai punya harapan untuk hidup. Ia mulai merasa sedikit gembira. Akan tetapi, ia menyesal karena telah berjanji kepada Tuhan akan menyembelih sapi untuk fakir miskin.

"Mohon ampun, ya Tuhan. Aku telah terlanjur berjanji akan memotong sapiku yang paling gemuk, padahal sapi itu sangat aku sayangi. Biarlah, kalau aku selamat tiba di bawah, sapi itu akan kuganti dengan kambingku yang paling besar dan gemuk."

Angin pun semakin reda sehingga pohon siwalan itu tidak lagi keras bergoyang. Penyadap itu beringsut lagi agak ke bawah. Kemudian, ia berhenti tepat di tengah pohon siwalan.

"Tuhanku yang baik, kambing barangkali terlalu besar untuk selamatan angin yang tak terlalu lama ini. Biarlah, aku akan menyembelih ayam saja. Apalagi tetanggaku yang miskin tidak banyak. Dengan memotong seekor ayam saja sudah cukup memuaskan mereka."

Kini, angin benar-benar telah reda. Dengan cepat penyadap nira itu meluncur ke bawah. Di atas pangkal batang siwalan ia berhenti lagi. Kemudian ia berucap kepada Tuhan. "Tuhan, ayam yang akan kupotong itu kalau bertelur banyak sekali, sayang sekali kalau ayam itu kupotong. Lebih baik lima butir telurnya kusisihkan untuk memenuhi kaulku mengadakan selamatan."

Sesudah itu meloncatlah si penyadap ke tanah, ia merasa sangat gembira karena selamat. "Yang kusangka topan itu ternyata hanya angin lewat." kata penyadap itu kepada dirinya sendiri. "Mesikipun aku tidak mengucapkan kaul, pasti aku tetap selamat. Kalau begitu baiklah, aku tidak usah mengadakan syukuran. Daripada digunakan untuk menjamu orang miskin, lebik baik telur itu kumakan sendiri."

Sesudah mengucapkan kalimat-kalimat itu, penyadap itu mulai memanjat pohon siwalan kelima, keenam dan seterusnya. Sekarang ia berada diatas pohon siwalan terakhir yang ia panjat. Ia sudah lupa pada peristiwa mengerikan yang hampir merenggut nyawanya.Ia bersiul keras-keras sebagai tanda kegembiraan hatinya. Suara siulnya berkumandang di atas lembah yang banyak ditumbuhi pohon siwalan.

Timba yang penuh dengan nira itu ia bawa turun. Siulnya yang merdu terus berkumandang. Ia turun dengan cepat. Tiba di tengah agak kebawah, tiba-tiba ia tergelincir karena pohon yang dipanjatnya masih basah oleh air hujan. Tubuh pemanjat itu jatuh berdebum dan terkapar di tanah.

Telah satu jam lebih istri penyadap nira menunggu suaminya yang tidak kunjung pulang. Padahal ia telah siap memasak nira sadapan suaminya. Karena tidak sabar menunggu, ia segera menjemput suaminya ke kebun. Alangkah terkejut perempuan itu melihat suaminya tergolek di tanah. Ia menjerit keras-keras sehingga orang kampung berdatangan ke tempat itu.

Kesimpulan
Cerita ini berisi pelajaran yang sangat berharga, yaitu manusia harus setia menepati janji. Selain itu, ada hikmah lain yaitu orang yang mempermainkan Tuhan pada akhirnya akan celaka.

Sumber : Buku Cerita Dari Madura
Penulis: D. Zamawi Imron 
Penerbit : Grasindo
Read More

Asal-Usul Nama Madura

18.51 0
Asal-Usul Nama Madura
Tersebutlah sebuah kerajaan di atas Pegunungan Tengger bernama Medangkamulan. Pada zaman itu, Kerajaan Medangkamulan diperintah oleh Prabu Gilingwesi yang sangat dihormati dan ditaati rakyatnya. Raja dibantu seorang perdana menteri yang cerdik bernama Patih Pranggulang. 

Meskipun Kerajaan Medangkamulan adil dan makmur, ada satu hal yang membuat Prabu Gilingwesi agak bersusah hati. Putrinya yang cantik jelita bernama Raden Ayu Tunjungsekar tidak mau bersuami. Telah banyak lamaran dari para putra mahkota negara-negara tetangga, namun semua ditolak sang Putri dengan alasan belum waktunya untuk berkeluarga. 

Pada suatu malam, Tunjungsekar tidur amat pulas. Dalam tidurnya, ia bermimpi sedang berjalan-jalan di tengah kebun yang sangat indah. Ketika ia sedang menikmati keindahan itu, tiba-tiba bulan purnama muncul di langit yang bersih tanpa awan. Ia sangat terpesona melihat sinar bulan yang sangat lembut itu. 

Bulan itu pun turun. Makin lama makin rendah. Tunjungsekar heran melihat peristiwa itu. Setelah dekat, bulan itu masuk ke dalam tubuh Tunjungsekar. Pada saat itu, Tunjungsekar terbangun. Ia sangat terkejut. Kemudian ia membangunkan inang pengasuhnya dan menanyakan arti mimpi aneh itu. 

"Mimpi itu hanya kembang angan-angan saat tidur," jawab inang pengasuh. "Sebaiknya Tuan Putri Tidur kembali." 

Beberapa bulan sesudah mimpi itu, Tunjungsekar hamil. Untunglah berita itu hanya diketahui beberapa orang di kalangan istana, belum tersebar ke masyarakat.

Prabu Gilingwesi merasa sangat terpukul mendengar putrinya hamil tanpa suami. Baginda juga sangat heran  mengapa masih ada orang bisa masuk ke kamar putrinya, padahal penjagaan sangat ketat.

Tunjungsekar dipanggil menghadap baginda. Ia menjelaskan bahwa sebelum hamil, terlebih dahulu ia bermimpi ada bulan purnama masuk ke dalam tubuhnya. Akan tetapi, Prabu Gilingwesi tidak percaya pada pengakuan putrinya. Dengan wajah merah, Baginda pun memanggil Patih Pranggulang.

"Patih," kata Raja dengan nada sangat marah, "bawahlah Tunjungsekar ke hutan. Kemudian, bunuhlah ia sebagai hukuman atas dosanya mencemarkan kehormatan negara!"

Patih Pranggulang pun berangkat bersama Tunjungsekar menuju ke hutan. Setelah sehari semalam berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan lebat dekat laut. Putri Tunjungsekar berhenti dan duduk di atas sebuah batu.

"Ki Patih," ujar Tunjungsekar,"Silakan hukuman mati untukku dilaksanakan. Tetapi ingat, kalau aku tidak bersalah, engkau tidak akan bisa membunuhku."

Patih Pranggulang pun menghunus pedangnya. Dengan cepat ia mengayunkan pedang itu ke tubuh Tunjungsekar. Akan tetapi, sebelum menyentuh tubuh Tunjungsekar, pedang itu jatuh ke tanah. Patih Pranggulang pun memungut pedang itu kembali. Sewaktu diayunkan ke leher sang putri, pedang itu jatuh lagi. Tiga kali Patih Pranggulang melakukan hal seperti itu, tetapi gagal semua.

Sang Putri ternyata tidak bisa dijatuhi hukuman. Patih Pranggulang menyimpulkan dalam hati bahwa
Tunjungsekar tidak bersalah. Ia pun menyembah di hadapan Tunjungsekar. Katanya," Tuan Putri sebaiknya segera pergi dari tempat ini. Saya akan membuatkan rakit untuk Tuan Putri naiki menyeberang laut. Saya sendiri tidak akan kembali ke keraton. Saya akan bertapa sambil mendoakan Tuan Putri agar selalu selamat."

Setelah rakit itu jadi, Tunjungsekar naik ke atasnya. Perlahan-lahan rakit itu bergerak meninggalkan pantai. Makin lama, makin jauh ke tengah laut. Patih Pranggulang dengan mata hampir tak berkedip memperhatikan rakit yang dinaiki sang putri.Lama sekali ia berdiri di tepi pantai. Setelah malam tiba, Patih Pranggulang masuk ke dalam hutan. Sejak itu, ia mengganti namanya menjadi Ki Poleng.

Rakit yang dinaiki Tunjungsekar dibawa arus ke utara. Beberapa hari lamanya ia terkatung-katung di tengah laut. Ia pasrah pada kehendak Tuhan, kemana saja rakit bergerak dipermainkan ombak, ia tetap tenang.

Pada suatu malam, bulan sedang purnama. Cahaya bulan tampak menerangi laut yang hitam kebiru-biruan. Ketika bulan purnama sedang rembang, tiba-tiba perut Tunjungsekar terasa sakit. Beberapa saat kemudian, ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang elok parasnya. Lalu, bayi itu didekapnya dengan penuh kasih sayang. Karena anak itu lahir di tengah laut, Tunjungsekar memberinya nama Raden Sagara. Menurut istilah Madura, Sagara berarti laut.

Beberapa hari kemudian, tampaklah sebuah pulau. Rakit yang dinaiki Tunjungsekar bergerak semakin dekat ke pulau itu. Tunjungsekar sangat gembira sebab ia berpikir akan tinggal di pulau itu bersama Raden Sagara.

Rakit itu pun menepi. Tunjungsekar segera turun ke darat sambil menggendong putranya. Ketika tiba di darat, sebuah keajaiban terjadi. Raden Sagara meloncat ke tanah sambil berlari ke sana kemari. Tubuhnya semakin besar, seperti anak berumur dua tahun.

Raden Sagara dan ibunya terus berjalan. Pulau itu sepi. Mereka tidak berjumpa dengan manusia, hanya burung-burung beraneka jenis serta margasatwa lainnya.

Raden Sagara dan ibunya pun tiba di sebuah tanah lapang yang luas. Di sudut tanah lapang itu, Raden Sagara melihat sebatang pohon. Ia mendekati pohon itu. Di dahan paling rendah ada sarang lebah yang cukup besar. Ketika Raden Sagara mendekat, lebah-lebah itu beterbangan menjauhi sarangnya seakan-akan memberi kesempatan kepada Raden Sagara untuk menikmati madu. Tidak ayal lagi, Raden Sagara pun mengambil madu dan menikmatinya bersama ibunya.

Karena mereka menemukan madu di tanah lapang yang luas, tempat itu kemudian diberi nama Madura yang berasal dari kata maddu e ra-ra. Artnya, madu di tanah daratan.

Kemudian Tunjungsekar bersama putranya tinggal di pulau itu. Setelah dewasa, Raden Sagara naik tahta sebagai raja yang memerintah Pulau Madura.

Kesimpulan

Cerita ini termasuk legenda karena mengisahkan asal-usul nama sebuah tempat. Selain menarik, cerita ini juga berisi pelajaran bahwa orang yang tabah menghadapi rintangan dan cobaan akan mendapatkan kebahagiaan yang tidak diduga sebelumnya. 

Sumber : Buku Cerita Dari Madura
Penulis: D. Zamawi Imron 
Penerbit : Grasindo
Read More

Asal-usul Mado-Mado (Marga) Di Nias

22.09 0
Asal-usul mado-mado (marga) di nias
Menurut Mitologi Nias, alam dan isinya ini diciptakan oleh Lowalangi. Ia menciptakan langit berlapis sembilan. Setelah selesai, ia menciptakan suatu pohon kehidupan yang disebut Toraa. Pohon suci ini berbuah dua buah. Setelah dierami seekor laba-laba emas, yang juga diciptakan Lowalangi, "menetaslah" sepasang dewa pertama di alam semesta ini. Masing-masing bernama Tuhamoraangi Tuhamoraanaa (laki-laki) dan Burutiraoangi Burutiraoanaa (perempuan). Keturunan sepasang dewa ini kemudian mendiami kesembilan lapis langit. 

Dalam menciptakan sesuatu ini, Lowalangi mempergunakan beberapa warna sebagai bahan. Warna-warna tersebut diaduknya dengan tongkat gaibnya yang disebut Sihai. Salah satu keturunan sepasang dewa itu bernama Sirao. Kemudian menjadi raja di lapisan langit pertama, yaitu lapisan paling dengan bumi. Langit ini disebut Teteholi Anaa. Nama lengkap Dewa Sirao adalah Uwu Zihono atau Sirao Uwu Zato. Sirao mempunyai tiga orang istri. Masing-masing berputra tiga orang anak. 

Nah, ketika Sirao sudah tua dan ingin mengundurkan diri dari pemerintahan, kesembilan Putra Sirao ini bertengkar, memperebutkan singgasana. Untuk memecahkan masalah yang gawat dan pelik ini. Sirao mengadakan sayembara ketangkasan menari di atas sembilan mata tombak yang dipancangkan di lapangan di muka istana. Sayembara ini dimenangkan oleh putra bungsunya, yang bernama Luo Mewona. Kebetulan sekali Luo Mewona adalah putra yang paling dikasihi oleh orang tuanya dan juga yang amat dihormati oleh rakyatnya. Ia memiliki sifat-sifat rendah hati, lagi pula, ia seorang yang bijaksana. Luo Mewona segera dikukuhkan menjadi Raja Teteholi Anaa menggantikan Sirao. 

Untuk menentramkan hati kedelapan putra lainnya, Sirao mengabulkan permohonan mereka untuk di-nidada-kan, yaitu diturunkan ke Tano Niha atau tanah manusia (Nias). Untuk mengawasi tingkah laku kakak-kakaknya itu, Raja Luo Mewona juga me-nidada-kan putra sulungnya, bernama Silogu di Hiambauna Onomondra, Ulu Moroo, yang terletak di Kecamatan Mandrehe sekarang, Nias bagian barat. 

Dari kedelapan putra Sirao, empat orang dapat diturunkan dengan selamat sehingga dapat menjadi leluhur mado atau marga orang Nias pada zaman sekarang. Mereka ini ialah; 
(1) Hiawalangi Sinada atau disebut dengan singkatan Hia, yang diturunkan di Boronadu, Kecamatan Gomo, Nias bagian tengah dan menjadi leluhur mado-mado Telaumbanua, Gulo, Mendrofa, Harefa dan lain-lain. 
(2) Gozo Helahela Dano atau disebut Gozo yang diturunkan di sebelah barat laut Hilimaziaya, Kecamatan Lahewa, Nias Utara dan menjadi leluhur mado baheha.
(3) Daeli Bagambolangi atau Daeli, diturunkan di Tolamera Idanoi, Kecamatan Gunung Sitoli, Nias Timur, dan yang menjadi leluhur mado-mado Gea, Daeli, Larosa, dan lain-lain. 
(4) Hulu Booroodano atau Hulu, yang diturunkan di suatu tempat di Laehuwa, Kecamatan Alasa, Nias Barat laut, dan yang menjadi leluhur mado-mado Nduru, Buulooloo, Hulu, dan lain-lain. 

Silogu, putra sulung Luo Mewona yang diturunkan di Nias Barat menjadi leluhur mado-mado Zebua, Bawo, Zega dan lain-lain. 

Empat putra Sirao lainnya kurang beruntung, karena mengalami kecelakaan  sehingga tidak dapat mendarat di Nias. Mereka tidak dapat menjadi leluhur orang Nias. Mereka itu adalah Bauwadanoo Hia atau disebut juga Latura Dano. Ia terlalu berat badannya, sehingga waktu diturunkan terus menembus bumi, ia menjelma menjadi ular besar yang disebut Dao Zanaya Tanoo Sisagoro atau Dao Zanaya Tabo Sebolo, yang berarti adalah yang menjadi penadah bumi. 

Jika timbul perang dan darah manusia yang merembes ke bumi mengenai tubuhnya, ia akan marah. Ia akan menggoncang-goncangkan tubuhnya sehingga timbullah gempa bumi. 

Untuk menghentikan guncangan bumi itu, orang Nias akan berteriak-teriak, Biha Tua! Biha Tua," Artinya "Sudah Nenek, sudah Nenek!" 

Ucapan itu diteriakkan untuk menyatakan kepada ular itu bahwa mereka telah insaf dan tidak akan berperang lagi. 

Putra lainnya yang bernama Gozo Tuhazanga Rofa, ketika diturunkan rantainya putus sehingga ia tercebur ke dalam sungai. Sejak itu ia menjadi dewa sungai yang menjadi pujaan para nelayan, sebab ia penguasa ikan-ikan. 

Putra lainnya lagi yang bernama Lakindrolai Sitambalina, pada waktu ia diturunkan ke Bumi Nias ia tidak langsung jatuh, tetapi terbang terbawa angin dan tersangkut di pohon. Lalu, ia menjelma menjadi Bela Hugugeu, yaitu dewa hutan, yang menjadi pujaan para pemburu. 

Putra Sirao yang kurang beruntung adalah Situsoo Kara. Pada waktu ia diturunkan ayahnya ke bumi
Nias, ia jatuh di daerah berbatu-batu, di daerah Laraga. Ia menjadi leluhur orang-orang gaib yang mempunyai kesaktian kebal. 

Kisah mengenai terjadinya mado-mado (marga) di Niha atau Pulau Nias ini dijadikan syair yang disebut hoho. Biasanya hoho dinyanyikan pada pesta-pesta adat, seperti pesta perkawinan dan pesta untuk kenaikan pangkat seorang tokoh dalam masyarakat. 

Kesimpulan
Cerita ini dapat digolongkan ke dalam mite, karena oleh orang Nias dianggap benar-benar pernah terjadi dan dianggap suci. 

Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Sumatera
Oleh : James Danandjaya
Penerbit : Grasindo

Read More

Timun Untuk Permintaan Maaf

00.11 0
Timun Untuk Permintaan Maaf
Jiji si anjing sakit. Ia tidak bisa melaksanakan tugasnya, menjaga kebun Pak Tani. Padahal, beberapa hari lagi sayur-sayuran akan siap dipanen. Jiji sangat takut, bagaimana kalau hewan-hewan mencuri sayuran itu. 

Dua hari kemudian, Jiji merasa tubuhnya sudah sehat. Sambil menggonggong riang, ia menuju kebun. Ketika sudah tiba. Ia bernapas lega, melihat terong ungu, kubis dan sawi yang besar-besar. Namun, betapa terkejutnya ia ketika sampai di kebun timun. Tananman yang merambat di bilah-bilah bambu itu dahan-dahannya banyak yang patah dan rusak. Timunnya sudah tidak ada satu pun. 

"Oh, tidak! Siapa yang berani mencuri semua timun? Awas kalau ketemu!" Jiji mengendus-endus tanah, mencari jejak pencurinya. Ia menemukan banyak jejak Pak Kaki Pak Tani. Ia juga menemukan jejak kaki lain. "Ini ... ini pasti jejak kaki kancil! Aku yakin!" 

"Awas kau kancil!" 

Dengan kencang, Jiji berlari ke hutan. Mencari keberadaan si Kancil. Setelah bertanya pada beberapa hewan, ia pun menemukan rumah kancil. Digedornya keras-keras pintu kayu itu, hingga Kaci si Kancil membukanya. 

"Kau harus bertanggung jawab dengan apa yang kau lakukan, Kaci. 

Kaci tampak bingung. "Memang apa yang aku lakukan?"

"Kau jangan pura-pura tidak tahu!" bentak Jiji. "Dasar pencuri".

"Apa? Pencuri ?" Kaci semakin tampak bingung. 

"Aku tahu, kau yang mencuri timun Pak Tani kan!" 

"Tidak! Aku tidak melakukannya, aku tidak mencuri!" Kaci menggelengkan kepalanya. 

"Mana ada pencuri yang mengaku!" Jiji mendengus kesal. "Kau terkenal suka mencuri timun! Sudah akui saja!" 

"Sungguh aku tidak mencurinya, Jiji. Aku bisa mencari makanan di hutan. Di sana banyak sekali makanan. Aku tidak perlu mencuri di kebun Pak Tani lagi. "Kaci terus mencoba meyakinkan. 

"Alah, berhenti pura-pura! Kau memang pencurinya, aku punya buktinya." 

"Mana? Coba tunjukkan!" 

"Baik, ikut aku!" 

Jiji membawa kaci menuju ke kebun timun dan menunjukkan jejak kai kancil. "Ini jejak kakimu kan?" 

Kaci melihat jejak kaki itu lebih dekat dan membandingkannya dengan telapak kakinya. Kok sama, pikirnya. 

"Betul kan itu jejak kakimu?" tanya Jiji diulang. "Kau pencurinya!" 

"Aku memang pernah melewati kebun ini saat pulang dari sungai. Jujur, saat itu aku memang lapar dan tergiur mengambil timun. Tetapi, tidak jadi. Aku ingat kejadian terakhir aku mencuri. "Aku kapok".

Jiji tertawa mengejek. "Jangan mengarang cerita, Kaci! Sudah akui saja kau mencuri semua timun di kebun ini." 

"Sungguh, aku tidak mencuri! Dan bagaimana mungkin hewan kecil seperti aku bisa mencuri semua timun di kebun yang luas ini?" kata Kaci membela diri. 

"Kau pasti mencuri bersama teman-temanmu ." 

"Kalau seperti itu harusnya banyak jejak kaki kancil di sini?" 

Jiji Bingung menjawab pertanyaan Kaci. Ia hanya menemukan jejak kaki seekor kancil. Tetapi, Jiji ingat, Kancil terkenal sangat licik. 

"Jangan mencoba menjebakku, Kaci! Kau memang pencurinya!" Nada suara Jiji semakin keras. "Ikut aku! Kau harus aku adukan kepada Pak Tani." 

Dengan gonggongannya yang seram, Jiji memerintahkan Kaci menuju halaman rumah Pak Tani. Kaci tanpak gemetaran. Ia ingat dulu saat ia hampir dihajar Pak Tani karena ketahuan mencuri timun. Untungnya ia bisa kabur. 

Mereka berhenti, melihat mobil bak terbuka di halaman rumah Pak Tani. Pak Tani dan si sopir keluar dari rumah sambil memikul keranjang dan menaikkannya ke mobil. Ada benda hijau tak sengaja jatuh dari keranjang. Jiji menghampiri dan ternyata benda hijau itu timun. Ia ingat, kalau banyak jejak kaki Pak Petani di kebun Timun. Itu pasti karena Pak Tani sudah memanen timunnya. 

Ia menoleh ke arah Kaci. Jiji merasa bersalah tetapi ia malu mengakuinya. Ia menggigit timun yang terjatuh itu dan mendekati Kaci. 

"Ini untukmu, timun permintaan maaf," kata Jiji sambil meletakkan timun dari mulutnya ke tanah. "Maafkan aku telah menuduhmu mencuri. Aku menyesal." 

"Kau tahu sekali, aku sangat lapar!" seru Kaci riang sambil menggigit timun pemberian Jiji. 
"Terima kasih, Aku sudah memaafkanmu." 

Jiji merasa lega. Kaci tidak marah. Ia janji tidak akan bersikap gegabah dan menuduh sembarang lagi. 

Sumber: Padang Ekspress, Minggu 12 April 2015
Oleh : Diy Ara 



Read More

Payung Sakti

01.50 0
payung sakti
Pak Esmo sering mendapat ke berbagai negara. Kini setelah tugas-tugasnya selesai, Pak Esmo dan keluarganya kembali ke tanah air. Pak Esmo dikaruniai dua orang anak. Soraj dan Meyko. Kedua anak ini lahir di luar negeri. 

Pada saat liburan panjang, Pak Esmo mengajak istri dan anak-anaknya mengunjungi Keraton Vohig, milik leluhur mereka. Soraj dan Meyko sangat gembira mendengar rencana liburan itu. Keluarga mereka yang tinggal di Keraton Vohig juga sangat gembira. Sebab mereka pun telah lama tidak berjumpa dengan Pak Esmo yang sering berada di luar negeri. 

Hari yang ditunggu-tunggu Soraj dan Meyko akhirnya tiba juga. Mereka kini tiba di depan gerbang Keraton Vohig. Pertama-tama mereka harus menghadap Pak Edfo, penasehat keraton itu. Pak Edfo tersenyum ramah. Walau sudah lama tidak berjumpa, ia masih mengingat nama Pak Esmo dan istrinya. 
"Esmo dan Eyda, senang sekali bisa melihat kalian lagi. Selamat datang di Keraton Vohig ini." 

Kini keluarga Esmo bisa bebas memasuki semua wilayah keraton. Beberapa prajurit keraton mengawal mereka. Namun Soraj dan Meyko tidak diizinkan masuk ke Kastil Yeik, tempat tersimpan rahasia pusaka Keraton Vohig. 

Pada suatu hari, Soraj dan Meyko bermain bersama sepupu mereka. 
"Hei, Digha!Tolong antar kami ke kastil Yeik, ya!" bujuk Soraj. 

"Untuk apa ? Kamu kan belum diwisuda. Hanya anggota keluarga yang sudah diwisuda yang boleh ke Kastil Yeik. Disitu disimpan payung sakti milik leluhur kita," ujar Digha melotot. 

"Waaah, kamu pelit Digha. Oylu, kamu saja deh yang mengantarkan kami," Soraj kini membujuk Oylu, adik Digha. 

"Aku tidak berani. Kalian kan belum di wisuda," jawab Oylu. 

"Malamnya, Soraj bercerita dan mengeluh pada ayahnya.

"Pak, kata Digha, aku dan Meyko harus di wisuda dulu baru bisa masuk ke Kastil Yeik. 

"Diwisuda apa sih?" Seperti kuliah saja!" 
"Oh, wisuda yang dimaksud Digha adalah wisuda di Keraton Vohig. Anggota keluarga yang sudah di wisuda berhak memakai gelar bangsawan. Juga ikut memiliki segala kekayaan Keraton Vohig," kata Pak Esmo. 

"Termasuk boleh ke Yeik tempat rahasia itu ?" tanya Meyko. 

"Iya," jawab Pak Esmo singkat. 

Agar anaknya tidak penasaran, Pak Esmo mengajak mereka berkeliling wilayah kekuasaan keraton. Mereka berjalan didampingi pengawal keraton. Mereka mengunjungi peternakan, juga perkebunan sayur mayur. Lalu mengunjungi pantai dan gunung yang masih berada di wilayah kekuasaan keraton. Di sepanjang pantai terdapat benteng dan meriam-meriam kuno. 

Ketika malam pertama, bulan purnama tiba,  Keraton Vohig mengadakan wisuda. Kali ini untuk memberi gelar kepada Soraj dan Meyko. Wisuda kali ini memang agak unik. Sebab wisuda biasanya dilaksanakan tidak lama setelah si bayi lahir. Soraj dan Meyko pun bisa melihat pusaka di Kastil Yeik. 

Pada puncak acara wisuda, Soraj dan Meyko diizinkan melihat kastil Yeik. Pak Edfo, penasehat keraton menerangkan pada mereka. 
"Inilah payung pusaka leluhur kita. Payung ini terbuat dari kulit binatang. Jari-jarinya terbuat dari tiga anak panah yang ujungnya dari emas putih. Jika payung ini dikembangkan, bisa menghentikan hujan. Jika dikuncupkan bisa mendatangkan hujan. Benda pusaka ini hanya digunakan jika diperlukan saja. Dan kesaktiaannya hanya di sekitar wilayah Keraton Vohig. 

Kini Soraj dan Meyko baru mengerti, mengapa Digha dan Oylu dulu tidak mau mengantar mereka ke Kastil Yeik. Pusaka leluhur mereka itu ternyata hebat sekali. Berbahaya kalau jatuh ke tangan orang jahat. 

Keesokan paginya, Soraj dan Meyko minta diantar oleh pengawal untuk berkeliling desa. Di desa, kedua anak itu melihat penduduk desa mengangkut dari sungai. Anak-anak seumur mereka juga tampak giat mengangkut air. Air itu digunakan untuk menyiram kebun buah-buahan dan sayuran. 

"Pak, mengapa tidak mengambil air dari sumur?" Meyko bertanya pada salah seorang petani. 

"Ini musim kemarau, Nak. Sumur kami kering. Sudah lama hujan tidak turun," jawab si petani. Mendengar itu Soraj dan Meyko jadi sedih. Kasihan petani itu. Kasihan juga anak-anak di desa ini. Di saat liburan, mereka harus bekerja keras mengangkat air. Timbul keinginan Soraj dan Meyko untuk menolong penduduk desa. 

"Meyko, ayo kita kuncupkan payung sakti agar hujan turun," kata Soraj kepada adiknya. 

"Aku setuju, ini kan untuk kepentingan orang banyak, " jawab Meyko. 

Malam harinya, kakak beradik itu masuk ke Kastil Yeik. Mereka menguncupkan payung sakti. Baru saja mereka menguncupkan payung itu, terdengar suara petir menggelegar. Soraj dan Meyko lega karena hujan turun membasahi wilayah Keraton Vohig. Pagi harinya mereka segera mengembangkan payung sakti itu. Hujan pun berhenti. 

Soraj dan Meyko kembali berkeliling desa, para petani tampak sudah mengambil air dari sumur. Dan, anak-anak bermain riang di sungai. 

Sumber : Majalah Bobo Tanggal 19 Juni 2015. 
Penulis : Hernadi Setiawan

Read More

Rangge Kediwai dan Putri Rangrung

07.58 0
Rangge Kediwai dan Putri Rangrung
Di bawah ini adalah kisah tentang seorang putra raja bernama Rangge Kediwai. Ia jatuh pada pada Putri Rangrung dari kerajaan di seberang lautan.

Mereka sudah saling mengikat janji dan ingin menikah. Rangge Kediwai berjanji akan datang 100 hari lagi untuk menjemput kekasihnya. Akan tetapi, malang bagi Rangge Kediwai. Beberapa hari kemudian ia meninggal. Ayah Bunda Rangge amat sedih hatinya.

Untuk upacara kematiannya, tiga hari kemudian disembelihlah seekor kambing. Setelah tujuh hari disembelih seekor sapi dan setelah 40 hari dikurbankan seekor kerbau. Ketiga kulit binatang itu dibentangkan untuk dijemur.

Lewat 100 hari, roh Rangge Kediwai menjemput Putri Rangrung. Sang Putri tidak mengetahui bahwa Rangge telah meninggal. Setelah pamit kepada kedua orang tuanya, Putri Rangrung mengikuti kekasihnya.

Sebelum berangkat Putri Rangrung membawa jeringo (tanaman penawar hantu), karena ia akan pergi jauh. Setibanya di daratan, sepanjang malam sang putri diajak berjalan terus, hingga ia amat ketakutan. Lalu disemburkannya air jeringo kepada Rangge Kediwai. Rangge Kediwai mengeluh," Aduh, Dik, alangkah hebatnya sembadi (semut besar) ini menggigit tubuhku."

Putri Rangrung menjawab," Bukan sembadi, tetapi binatang air."

Subuh hari mereka tiba di kerajaan Rangge Kediwai. Rangge Kediwai berkata kepada calon istrinya," Itu tempat orang mandi, Kakak hendak pulang dahulu memberi tahu kepada Ayah Bunda mengenai kedatangan Adik. Harap Adik tunggu di sini ya...."

Rangge Kediwai bukan pergi ke istana, tetapi ke makamnya. Lama sang Putri menunggu, tetapi Rangge Kediwai tidak muncul juga, lalu sang Putri pun mandilah.

Tiba-tiba setelah dipergunakan oleh Putri Rangrung air pancuran bersinar. Hal ini menyebabkan orang-orang berdatangan untuk menyaksikan keajaiban itu.

Kejadian luar biasa ini akhrinya terdengar oleh raja. Putri Rangrung dipanggil menghadap raja. Dalam percakapan itu tahulah raja, siapa sebenarnya Putri Rangrung dan bagaimana ia dapat sampai di tempat mandi itu. Raja bersepakat dengan seluruh keluarga dan warganya untuk merahasiakan kematian Rangge.

Berbulan-bulan berlalu. Putri tetap menantikan kedatangan Rangge. Pada suatu hari sang Putri berjalan-jalan ditemani oleh anak kecil. Putri melihat kulit kambing, kulit sapi, dan kulit kerbau yang dibentangkan. Setengah heran sang Putri bertanya kepada anak kecil itu. Akan tetapi si anak kecil tidak mau menjawab, sebab ia takut dibunuh raja.

Putri Rangrung membujuk terus. Akhirnya anak kecil itu menjawab bahwa kulit kambing, kulit sapi dan kulit kerbau itu adalah bekas upacara kematian Rangge Kediwai, putra sang raja. Putri Rangrung menangis mendengar cerita anak itu. Ia meratap terus.

"Ai kambinng, mengapa engkau sampai menjadi begini?" jerit sang Putri.

"Oh, Putri Rangrung, aku disembelih untuk  meniga hari sang Pangeran.

"Ah, sapi, mengapa engkau smapai jadi begini? jerit sang Putri lagi.

"Oh, Putri, aku menjadi begini untuk menujuh hari sang Pangeran."

"Oh kerbau, mengapa engkau jadi begini?"  

"Putri, aku disembelih untuk memperingati hari ke-40 meninggalnya sang pangeran Rangge Kediwai." 

Tatkala raja pergi ke sawah (pada zaman dulu seorang raja juga pergi ke sawah), diam-diam sang putri menuju ke makam sang Pangeran. Ia membawa daun selasih tujuh tangkai, dan air semangkuk untuk dipercikkan di makamnya. 

Di depan makam kekasihnya, Putri Rangrung meratap, "Aduh, Kakak, jika engkau mencintaiku, bukalah makammu ini." 

Seketika makamnya membuka secara gaib. Sang putri pun masuklah. Setelah itu makam pun tertutup kembali. 

Di dalam makam, ada jalan. Putri Rangrung mengikuti jalan itu, sehingga tiba di suatu tempat. Dilihatnya ada seekor lipan sebesar pohon kelapa. 

"Hai, ini bau manusia dunia?" teriak lipan raksasa. 

"Nenek, aku ini Putri Rangrung," jawab sang putri. 

"Apa keperluanmu datang kemari?" tanya lipan lagi. 

"Saya ingin bertemu dengan Rangge Kediwai," sahut sang Putri. 

"Oh, Putri, lekas susul dia ... sebentar lagi Rangge akan dikawinkan dengan orang lain." 

Sang Putri berlari mengejar Rangge Kediwai. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang pria yang membawa ayam. Putri bertanya kepadanya, apakah ia melihat Rangge. 
"Ya," jawab pria itu. "Ia berjalan terus ..." 
Putri Rangrung berjalan terus. Di suatu tempat, ia benar-benar bertemu dengan Rangge Kediwai. Lama dua kekasih itu bercakap-cakap. Sang Putri tertidur karena lelah. Ketika bangun Rangge Kediwai  dari sisinya. 

Sang Putri terus berjalan lagi mencari kekasihnya. Ia berjumpa dengan seorang nenek yang sedang bermain-main dengan seorang anak kecil. Kedua orang itu menegur sang putri," Aduuuuuhhhh ... dari dunia mana putri yang cantik ini? Hendak pergi ke mana, putriku?"

"Mau menyusul Rangga Kediwai," jawab sang Putri.

"Saya baru saja melihat ia tidur-tiduran di sini. Lihat, itulah bekas abu rokoknya."

Akhirnya sang Putri bertemu dengan Rangge Kediwai. Setelah bercakap-cakap sang Putri tertidur kelelahan. Tatkala sang Putri terjaga, kekasihnya tidak ada lagi di tempatnya.

Putri Rangrung melanjutkan pencariannya. Ia bertemu dengan gadis yang sedang menenun. Setelah diberi tahu, sang Putri meneruskan perjalanannya. Putri Rangrung bertemu dengan seorang wanita tua yang sedang makan sirih dan seorang pria tua yang sedang menebar jala. Sang Putri bertanya kepada kedua orang ini.

Setelah melalui banyak kesukaran, sang Putri sangat kecewa, karena ia tiba di depan gua yang pintunya tertutup rapat. Putri Rangrung amat putus asa. Air matanya meleleh ke pipinya. Untunglah ada Nenek Sepat yang merasa kasihan, sehingga ia menolong sang Putri. Sang Putri diubah menjadi seorang anak kecil yang membawa cincin wasiat. Si nenek mengajaknya masuk ke gua.

Ternyat di dunia orang mati sedang musim panen. Di sawah banyak sekali pemuda dan pemudi yang sedang bekerja dengan gembira. Diantara mereka adalah Rangge Kediwai. Rangge juga melihat seorang bocah yang membawa cincin. Rangge minta kepada Nenek  Sepat agar diperkenankan memandikan anak itu.

Ketika mereka hanya berdua, Rangge berkata," Aduh adikku sayang .... mengapa engkau begini?"

"Aku menjadi begini agar dapat memasuki gua dan menyusulmu, Abang ..."

Anak kecil itu beberapa lamanya diasuh oleh Nenek Sepat. Ia diajar menganyam bunga. Kemudian anak kecil itu diubahnya kembali menjadi Putri Rangrung yang molek. Kemudian Rangge Kediwai menjemput Putri Rangrung dan memohon kepada Nenek Sepat,  agar mereka berdua dikembalikan ke  dunia luar. Nenek Sepat mengabulkannya. Mereka berdua disuruhnya menutup mata sejenak dan setelah mereka membuka mata, mereka sudah ada di bumi.

Kedua insan yang bahagia itu mendatangi ayah Rangge Kediwai. Mereka dinikahkan dan hidup bahagia di istana.

Kesimpulan
Cerita ini mengingatkan kepada cerita yunani mengenai seorang tokoh mitologi yang bernama Orpheus. Orpheus juga menuju ke dunia orang mati untuk mengambil kembali istrinya yang bernama Euridice yang telah meninggal. 
Bedanya pada cerita Rangge Kediwai, yang meninggal adalah pihak laki-laki dan yang menyusul ialah pihak perempuan. Perbedaan yang lain adalah jika Putri Rangrung berhasil membawa calon suaminya kembali ke dunia orang hidup, Orpheus justru gagal membawa istrinya ke dunia orang hidup. 
Cerita ini mengajarkan bahwa kesetiaan yang murni itu selalu akan mendapatkan rahmat dari Yang Maha Kuasa. 

Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Sumatera
Oleh : James Danandjaya
Penerbit : Grasindo
Read More

Post Top Ad