Mei 2015 - Blog Oblok Oblok

Hot

Post Top Ad

Keli Si Kelinci Kecil

23.59 0
Keli Si Kelinci Kecil
PAGI yang cerah di hari Minggu seperti hari biasanya, Keli si kelinci kecil yang lucu mulai membantu mamanya memungut sisa-sisa wortel yang telah di panen. Keli mulai bosan dengan apa yang telah dikerjakan. Dia kemudian duduk di sudut ladang wortel dekat pondok yang didirikan oleh si pemilik kebun. Ia mulai menatap langit cerah sambil bergumam, "Hmm, kenapa ya kelinci kerjanya cuma memungut wortel sisa panen manusia? Kenapa tidak seperti hewan yang lainnya yang mencari makanan yang berbeda?"

Lama ia melihat langit cerah yang tidak ada awannya. Tiba-tiba ia melihat elang terbang di langit membawa seekor anak ayam. "Kemarin bawa ikan, sekarang bawa anak aya. Huh, enak banget hidup si elang," gumamnya lirih.

Tanpa ia sadari, mamanya memperhatikan semua gerak-geriknya. Mama Keli mulai mendekati anaknya. "Nak, elang itu dikasih tuhan sebuah kelebihan yakni punya sayap, sehingga ia bisa terbang dengan sayapnya dan mencari makanan."

"Tuhan nggak adil ma. Masa elang saja yang dikasih sayap. Kenapa kelinci nggak dikasih sayap juga?" jawab Keli.

"Kata siapa Tuhan itu nggak adil. Tuhan itu adil terhadap ciptaannya. Setiap hewan diberikan kelebihan masing-masing. Elang dikasih sayap untuk terbang, harimau dan singa dikasih taring dan kecepatan untuk berlari juga untuk menangkap mangsanya. Kancil dikasih kecerdasan yang luar biasa sehingga ia bisa memecahkan setiap permasalahan yang ada di hutan." ujar mamanya menerangkan dengan panjang lebar.

"Lalu kelinci dikasih kelebihan apa sama Tuhan ma?"

Mamanya berpikir sejenak. "Kelinci dikasih kelincahan dalam berlari dan juga wajah yang lucu dan manis, Sama kayak Keli."

"Ihh mama, cuma dikasih itu saja? Keli pengen juga dikasih sayap kayak elang, pengen nangkap ayam dan ikan, ingin kayak harimau dan singa yang selalu ditakuti semua binatang di hutan."

Mendengar keluhan Keli, mamanya hanya tersenyum tipis.

Keesokan harinya, setelah memilih wortel di ladang yang berbeda. Keli berjalan di tengah hutan. Tiba-tiba datanglah pemburu. Ia mulai menembak elang yang sedang terbang. Tembakannya tepat mengenai badan si elang. Burung pemangsa itupun tumbang ke tanah. "Ha, ini dia si elang yang mencuri anak ayam saya dan ikan saya yang ada di kolam," gumam si pemburu.

Keli yang ketakutan, bersembunyi di balik pohon tepat di belakang si pemburu.

Setelah menembak elang, pemburu pun langsung memasukkan elang ke dalam karung dan dibawanya. Perjalanan pemburu itu pun dilanjutkan. Karena penasaran, Keli mengikuti sang pemburu dari belakang. Tiba-tiba pemburu melihat harimau. Dia bergumam, "Ini dia harimau yang mencuri kambing saya. "Pemburu itu langsung menembak si harimau. Door, harimau pun mati terkapar.

Karena terkejut, Keli terpeleset dan langsung mengenai tubuh si pemburu. Keli pun takut, takut kalau ia juga akan dibunuh seperti elang dan harimau. Si pemburu bergumam sambil tersenyum. "Ini dia si kelinci yang baik yang telah membantu saya memungut sisa wortel di kebun sehingga saya tidak merasa rugi."

Tiba-tiba si pemburu langsung menggendong Keli sambil menciumnya. "Kau kelinci yang manis, bulumu lembut, kau pantas hidup.

Lalu, si pemburu melepaskan kelinci. Keli berlari sekencang-kencangnya ke rumah. Sesampai di rumah Keli langsung terduduk di tempat tidur. Mamanya heran melihat kelakuan anaknya. Rupanya Keli bermimpi kalau ia bertemu kakeknya, dan kakeknya itu mengatakan, "Apa yang kau lihat hari ini, apakah setelah melihat kejadian hari ini kau masih mau menjadi elang, harimau. Kalau iya, biar saya ubah kau dengan kekuatan."

"Nggak kek, Keli hanya ingin jadi kelinci." Keli pun terbangun dari tidurnya, keringatnya pun bercucuran. Keesokan harinya Keli memungut wortel dengan semangat. Mamanya pun terheran-heran dengan apa yang dilakukan anaknya. Hanya Keli yang tahu bahwa ia bersyukur ditakdirkan sebagai seekor kelinci yang manis dan menjadi kesayangan si pemburu. Ia pun bersyukur kepada Tuhan atas segala kelebihan yang telah dikaruniakan kepadanya.

Sumber:
Harian Padang Ekspress, Minggu 10 Mei 2015
Penulis: Wetri Rahayu 
Read More

Cerita Rakyat Propinsi DKI Jakarta, Legenda Si Jampang Jawara Betawi

20.51 1
Cerita Rakyat Propinsi DKI Jakarta, Legenda Si Jampang Jawara Betawi
Terdapat sebuah rumah di atas perbukitan yang sangat tinggi, bukit itu disebut Gunung Kepuh. Rumah yang terdapat di sana merupakan sebuah perguruan bela diri yang terkenal seantero betawi. Pemimpin dari perguruan itu bernama Ki Samad ( Shomad ), ia seorang jawara yang terkenal dan sulit di cari tandingannya. Pak Samad atau Ki Samad mempunyai dua murid kesayangan yang bernama Jampang dan Sarba. Kedua pemuda itu konon selain gagah dan tampan, juga mempunyai ilmu silat yang tinggi dan tangguh. Setelah sekian lama Jampang dan Sarba menuntut ilmu, tibalah waktunya bagi mereka untuk kembali ke kampung halaman masing masing. Inti ringkasan dari nasihat Ki Samad yang selalu mereka ingat adalah "Berhati hatilah dalam mempergunakan ilmu kalian. Jangan sampai di amalkan di jalan yang salah."

Di tengah perjalanan Jampang dan Sarba mampir di sebuah warung nasi untuk mengisi perut mereka yang kosong setelah menempuh perjalanan jauh. Di sana mereka melihat Gabus dan Subro, dua orang anak buah Juragan Saud (Gan Saud), seorang tuan tanah. Dua orang ini terkenal karena perbuatannya yang semena mena, selalu berbuat onar, dan kebetulan pada waktu mereka telah makan di warung itu, tetapi tidak mau membayarnya.

Jampang dan Sarba pun tak mau tinggal diam. Mereka menghadapi centeng-centeng yang sombong itu. Gabus dan Subro merasa terkejut melihat ada dua orang pemuda yang berani menghalangi tindakan mereka. Selama ini setiap orang selalu takut dan tunduk kepada mereka. 

Mereka meremehkan Jampang dan Sarba. Saat terjadi pertarungan, mereka kena batunya, ternyata Jampang dan Sarba bukanlah orang biasa. Disinilah nama Jampang dan Sarba menjadi terkenal. Kedua centeng itu dibuat kewalahan, dan mereka berhasil kabur membawa dendam yang membara. 

Konon ceritanya, setelah menangani kedua orang itu, Jampang dan Sarba berpisah menuju kampung halamannya masing-masing. Di kampungnya, Jampang mengajarkan ilmu pengetahuan silatnya ke santri-santri Haji Baasyir.  Salah satu ucapan beliau," sebagai seorang muslim, kita tidak boleh lemah.Kita harus kuat agar bisa membela diri dan melindungi orang yang lemah dari para penjahat." Haji Baasyir sangat menyukai pemuda yang bersemangat seperti Jampang.

Suatu hari, Haji Baasyir memberi tugas kepada Jampang untuk mengantarkan sebuah surat kepada adik seperguruannya yang bernama Haji Hasan yang tinggal di Kebayoran. Jampang sangat patuh kepada Haji Baasyir dan menerima tugas itu dengan senang hati. Selepas dzuhur, Jampang telah berada di daerah Kebayoran dan melihat serombongan pejabat sedang mengontrol daerah kekuasaan mereka. Para penduduk yang berada di pinggir jalan menunduk seraya memberi hormat layaknya seorang raja jaman dahulu memberi hormat. 

Jampang merasa kesal. Untuk apa mereka memberi hormat seperti itu. "Sekarang bukan jamannya raja-raja. Setiap manusia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Jadi apa perlunya memberi hormat seperti itu. Kekesalannya membuat tekad di hati dan pikirannya untuk membela dan berjuang bagi hak-hak rakyat kecil. 

Saat Jampang sedang berada di dekat aliran sungai. Ia mendengar suara seorang wanita menjerit meminta pertolongan. Tampak di matanya seorang laki-laki kasar hendak berbuat tidak senonoh kepada seorang wanita yang baru selesai mandi. Laki-laki bejat itu bernama Kepeng, anak buah si Jabrik, jawara di daerah itu, dan gadis itu bernama Siti, putri Pak Sudin. 

Dia pun marah dan menolong wanita tersebut. Pertarungan sengit tak bisa dielakkan. Dengan kesaktiannya Jampang berhasil mengalahkan Kepeng. Usai perkelahian itu, Jampang mengantar Siti ke Rumahnya. Lalu Pak Sudin orang tua Siti, mengantar beliau ke rumah Haji Hasan untuk mengantarkan sebuat surat titipan Haji Baasyir ke Haji Hasan.

Ternyata surat itu berisi anjuran agar Haji Hasan menyuruh agar anak muda asuhan beliau untuk belajar ilmu bela diri. Dengan demikian mereka mampu menjaga keamanan di daerahnya. Memang kala itu tanah-tanah di pinggir Kota Betawi sering tidak aman, dan Jampang mendapat tugas untuk melatih para pemuda itu. Jampang pun melakukan tugasnya dengan baik. Dididiknya para pemuda dengan sungguh-sungguh. Kehadiran Jampang di daerah itu membuat Jabrig dan anak buahnya merasa tidak aman dan berniat menyingkirkan beliau.

Suatu hari, gerombolan si jabrig menyerangnya, namun Jampang bukanlah pemuda sembarangan. Ia adalah jebolan perguruan silat Gunung Kepuh, baginya gebrakan Jabrig dan anak buahnya tidak berarti apa-apa. Ia bahkan mampu menghancurkan gerombolan itu. Keadaan kampung pun menjadi aman. Hancurnya gerombolan Jabrig membuat tugas Jampang selesai. Ia pun segera pamit untuk kembali ke kampung halamannya. Hal ini membuat nama Jampang kembali terkenal karena kehebatannya. 

Setibanya di Kampung, sebuah fitnah menanti. Sebuah fitnah yang dibuat Subro dan Gabus yang menyatakan bahwa Jampang telah mencuri dua ekor kerbau milik Juragan Saud. Mereka yang pernah dikalahkan Jampang ternyata masih merasa dendam dan mereka ingin menjebloskan Jampang ke penjara dengan cara melaporkan Jampang ke pihak kepolisian. Jampang tahu bahwa ini adalah sebuah jebakan. Beliau menghadap Haji Baasyir untuk diberi petunjuk. Haji Baasyir menyarankan pada Jampang untuk menemui Juragan Saud dan menyadarkannya. 

Akhirnya Jampang pergi ke rumah Juragan Saud. Di sana ia malah mengambil kerbau dan barang-barang berharga milik Juragan Saud lalu membagikannya kepada masyarakat kecil yang membutuhkan. Juragan Saud yang kesal kepada Jampang yang ia fitnah , malah telah merampoknya. Ia meminta pihak kepolisian agar mengerahkan pasukan untuk menangkap beliau. Polisi pun dikerahkan di mana-mana. Mereka berhasil menemukan Jampang. Beberapa dari mereka telah menembak Jampang hingga tewas.

Namun menurut mitos yang beredar, Jampang tidaklah tewas. Dengan kesaktiannya, Jampang berhasil mengelabui mereka dengan mengubah sebuah batang pohon pisang seolah-olah menjadi dirinya. Jadi, yang mereka bunuh adalah sebuah batang pisang, bukan Jampang yang sebenarnya. Setelah keadaan aman, Jampang menikahi Siti, anak dari Pak Sudin, orang yang pernah ditolongnya dulu.

Sumber 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011
Read More

Cerita Rakyat Kepulauan Riau, Putri Pandan Berduri

19.06 0
Cerita Rakyat Kepulauan Riau, Putri Pandan Berduri
Asal Mula Persukuan di Pulau Bintan

Pulau Bintan merupakan pulau terbesar di Propinsi Kepulauan Riau (Kepri). Di Pulau ini terdapat Kota Tanjung Pinang, Ibu kota Propinsi Kepulauan Riau. Pulau ini dihuni oleh berbagai macam suku bangsa seperti Melayu, Thionghoa, Minang, Batak, Jawa dan lain-lain. Dahulu, di Pulau Bintan juga pernah berdiam sekelompok suku bangsa yang terkenal dengan nama Suku Sampan atu Suku Laut. Terkait dengan hal ini, ada sebuah cerita rakyat yang masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat Kepulauan Riau, khususnya masyarakat Bintan. Cerita ini berkisah tentang Batin Lagoi, pemimpin Suku Laut atau Suku Sampan di Pulau Bintan, yang menemukan seorang bayi perempuan du semak-semak pandan di tepi laut. Batin Lagoi kemudian mengangkat bayi itu sebagai anak dan diberinya nama Putri Pandan Berduri. Berikut ini adalah cerita lengkapnya. 

****
Alkisah pada zaman dahulu kala, di Pulau Bintan berdiam sekumpulan orang Sampan atau orang Suku Laut. Mereka dipimpin oleh Batin Lagoi yang gagah perkasa. Untuk masuk ke kawasan Batin Lagoi itu, harus melalui sebuah betung yang ditumbuhi semak belukar yang rimbun.

Pada suatu hari, Batin Lagoi menyusuri pantai. Ketika tengah berjalan santai, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara tangisan bayi dari arah semak-semak pandan. Dengan perasaan heran, ia menerobos semak pandan itu dengan hati-hati. Tak berapa lama didapatinya seorang bayi perempuan tergeletak beralaskan daun diantara semak pandan itu. "Anak siapakah ini? Mengapa berada di sini? Di manakah orang tuanya?" Batin Lagoi bertanya dalam hati. 

Setelah menengok ke sekelilingnya. Batin Lagoi tidak melihat tanda-tanda ada orang disekitarnya. Karena ia tidak mempunyai anak, terbersit keinginan untuk mengangkat bayi itu sebagai anak. Dengan hati-hati, di ambilnya bayi dan diambilnya dan dibawanya pulang. Bayi itu kemudian ia beri nama Putri Pandan Berduri. Ia membesarkan Putri Pandan Berduri dengan penuh kasih sayang layaknya memelihara seorang putri raja. Setiap hari Batin Lagoi juga memberinya pelajaran budi pekerti yang luhur. 

Waktu terus berjalan. Putri Pandan Berduri tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Tutur bahasa dan sopan-santunnya mencerminkan sifat seorang putri raja. Kecantikan dan keelokan perangai Putri Pandan Berduri mengundang decak kagum para pemuda di Pulau Bintan. Namun, tak seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena Batin Lagoi menginginkan putrinya menjadi istri seorang anak raja atau anak megat.

Sementara itu, di Pulau Galang tersebutlah seorang Megat yang mempunyai dua orang anak laki-laki. Anak yang tua bernama Julela dan yang muda bernama Jenang Perkasa. Sejak mereka kecil, Megat itu mendidik dua anaknya agar saling membantu dan saling menghormati. Setelah keduanya beranjak dewasa. Megat menginginkan Julela menjabat sebagai batin di Galang. Hal ini kemudian membuat Julela menjadi sombong. Ia sudah tidak peduli dengan adiknya, sehingga hubungan mereka menjadi tidak harmonis lagi. Mereka pun menjalani hidup masing-masing secara terpisah. 

 Dari hari ke hari kesombongan Julela semakin menjadi-jadi. Ia sering mencaci dan memusuhi adiknya tanpa sebab. Pada suatu hari, Julela berkata kepada adiknya, "Hei Jenang bodoh! kelak aku akan menjadi batin di kampung ini, maka kamu harus mematuhi segala perintahku. Jika tidak, kamu akan aku usir dari kampung ini." 

Jenang Perkasa sangat sedih mendengar ucapan abangnya itu. Ia merasa tidak lagi dianggap sebagai saudara. Hal ini menyebabkan Jenang Perkasa merasa semakin terasing dari keluarga. Oleh karena itu timbullah keinginannya untuk meninggalkan Pulau Galang. Keesokan harinya, secara diam-diam, Jenang Perkasa berlayar tak tentu arah. Setelah berhari-hari mengarungi lautan luas, sampailah ia di Pulau Bintan. Di sana, ia tidak mengaku sebagai anak seorang megat. Ia selalu bertutur kata lembut kepada setiap orang yang diajaknya berbicara. Sikap dan perilaku Jenang Perkasa itu telah menarik perhatian Batin Lagoi. 

Pada suatu hari, Batin Lagoi mengadakan perjamuan makan bersama orang-orang Suku Sampan lainnya. Tak ketinggalan pula Jenang Perkasa diundang dalam perjamuan itu. Jenang Perkasa pun pergi memenuhi undangan itu. Saat jamuan makan akan dimulai, ia memilih tempat yang agak jauh dari kawan-kawannya, agar air cuci tangannya tak jatuh di hidangan yang ia makan. Tanpa disadarinya, ternyata sejak ia datang sepasang mata telah memperhatikan perilakunya, yang tak lain adalah Batin Lagoi. Tingkah laku dan budi pekerti Jenang Perkasa itu sungguh mengesankan hati Batin Lagoi. 

Usai perjamuan, Batin Lagoi menghampiri Jenang Perkasa."Wahai, Jenang Perkasa! Aku sangat terkesan dan kagum dengan keelokan budi pekertimu. Bersediakah engkau aku nikahkan dengan putriku, Pandan Berduri?" tanya Batin Lagoi. 

"Dengan segala kerendahan hati, saya bersedia menerima putri tuan sebagai istri saya," jawab Jenang Perkasa dengan sopannya. 

Rupanya, Batin Lagoi sudah lupa dengan cita-citanya untuk menikahkan putrinya dengan anak raja atau megat. Meskipun sebenarnya Jenang Perkasa adalah anak seorang megat, tetapi Batin Lagoi tidak mengetahui hal itu. Ia sungguh-sungguh tertarik dengan perangai Jenang Perkasa yang baik itu. 

Seminggu kemudian, Jenang Perkasa pun dinikahkan dengan Putri Pandan Berduri. Pernikahan mereka dilangsungkan sangat meriah. Aneka minuman dan makanan dihidangkan. Tari-tarian juga disuguhkan untuk menghibur para pengantin dan para undangan. 

Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri pun hidup bahagia. Tak berapa lama kemudian, Batin Lagoi mengangkat Jenang Perkasa sebagai Batin di Bintan untuk menggantikan dirinya. Jenang Perkasa memimpin rakyat Bintan dengan bijaksana sesuai dengan adat yang berlaku di Bintan. 

Kepemimpinan Jenang Perkasa yang bijaksana itu terdengar oleh masyarakat Galang. Hingga suatu hari, datanglah sekumpulan orang dari Galang ke Pulau Bintan. 
"Wahai Jenang Perkasa! Kami sudah mengetahui tentang kepemimpinanmu di Pulau Bintan ini. Maksud kedatangan kami ke sini untuk mengajak engkau kembali ke Galang menggantikan abang Engkau yang sombong itu sebagai Batin," kata salah seorang dari mereka.

Namun Jenang Perkasa menolaknya. Ia lebih memilih menjadi Batin di Pulau Bintan. Sekumpulan orang dari Galang itu pun kembali dengan tangan hampa. 

Sementara itu Jenang Perkasa hidup berbahagia bersama Putri Pandan Berduri. Mereka mempunyai tiga orang putra, yang sulung bernama Batin Mantang, yang tengah bernama Batin Mapoi, dan yang bungsu bernama Batin Kelong. Jenang Perkasa mendidik ketiga anaknya dengan baik, agar mereka tidak menjadi orang yang sombong. Ia berharap kelak mereka akan menjadi pemimpin suku yang bertanggung jawab. Maka pada ketiga anaknya diadatkan dengan adat Suku Laut dan dinamakan dinamakan dengan adat kesukuan. 

Setelah beranjak dewasa, ketiga anaknya tersebut memimpin suku mereka masing-masing. Batin Mantang berhijrah ke bagian utara Pulau Bintan, Batin Mapoi dengan sukunya ke barat, dan Batin Kelong dengan sukunya ke timur Pulau Bintan. Ketiga suku tersebut kemudian menjadi suku terbesar dan termasyur di daerah Bintan. Jika mereka mengalami kesulitan, mereka kembali kepada yang pertama, yaitu adat kesukuan. 

Tak lama kemudian, Jenang Perkasa meninggal dunia, disusul Putri Pandan Berduri. Walaupun keduanya telah tiada, tetapi anak cucu mereka banyak sekali, sehingga adat kesukuan terus berlanjut. Hingga kini, Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri tetap dikenang karena dari merekalah lahir persukuan di Teluk Bintan. Suku Laut atau Suku Sampan ini masih banyak ditemukan berdiam di perairan Pulau Bintan.

Sumber 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Provinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Bangka Belitung, Si Penyumpit

21.03 0
Cerita Rakyat Propinsi Bangka Belitung, Si Penyumpit
Kepulauan Bangka Belitung (Babel) adalah salah satu propinsi di Pulau Sumatera, Indonesia. Disebut kepulauan karena wilayah propinsi ini terdiri dari beberapa pulau. Salah satu diantaranya adalah Pulau Bangka, yang terletak di sebelah timur Pulau Sumatera. Secara topografis, wilayah Pulau Bangka terdiri dari rawa-rawa, dataran rendah dan perbukitan. Di daerah perbukitan terdapat hutan lebat. Sedangkan pada daerah rawa terdapat hutan bakau. 

Menurut sebuah cerita, pada zaman dahulu kala di sebuah daerah di Pulau Bangka, hiduplah seorang pemuda yang sangat mahir menyumpit binatang buruan. Sumpitannya selalu mengenai sasaran. Oleh karenanya, masyarakat memanggilnya si Penyumpit. Selain mahir menyumpit, ia juga pandai mengobati berbagai macam penyakit. Bakat menyumpit dan mengobati tersebut ia peroleh dari ayahnya. 

Pada suatu hari, Pak Raje, Kepala Desa di kampung itu, meminta si Penyumpit untuk mengusir kawanan babi hutan yang telah merusak tanaman padinya yang sedang berbuah, dengan dalih bahwa orang tua si Penyumpit sewaktu masih hidup pernah berhutang kepadanya. Demi membayar utang orang tuanya, si Penyumpit rela bekerja pada Pak Raje. 

Keesokan harinya, berangkatlah si Penyumpit ke ladang Pak Raje untuk melaksanakan tugas. Sesampainya di ladang, ia membakar kemenyan untuk memohon kepada dewa-dewa dan mentemau (dewa babi), agar kawanan babi tersebut tidak merusak tanaman padi Pak Raje. si Penyumpit kemudian melakukan ronda dengan memantau seluruh sudut ladang hingga larut malam. Sudah tiga malam si Penyumpit meronda, namun belum terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Meskipun situasi aman, si Penyumpit terus berjaga-jaga.

Ketika memasuki malam ketujuh, dari kejauhan tampak oleh si Penyumpit tujuh kawanan babi hutan sedang beriring-iringan hendak memasuki ladang. Satu per satu babi hutan itu melompati pagar batu yang telah dibuat oleh Pak Raje. Mengetahui hal itu, si Penyumpit segera bersembunyi dibalik sebuah pohon besar dengan sumpit di tangan yang siap untuk digunakan. Ketika kawanan babi tersebut mulai mulai mengobrak-abrik tanaman padi yang tak jauh dari pohon tempat ia bersembunyi, dengan hati-hati pemuda itu mengangkat sumpitnya, lalu disumpitkannya ke arah babi yang paling dekat dengannya. Sumpitannya tepat mengenai sisi sebelah kiri perut babi itu. Sesaat kemudian, kawanan babi itu tiba-tiba menghilang bersama dengan anak sumpitnya. Melihat peristiwa aneh itu, si Penyumpit menjadi penasaran. 

Keesokan harinya, si Penyumpit menyusuri ceceran darah hingga ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah gua yang di sekelilingnya ditumbuhi semak belukar. Dengan hati-hati, pemuda itu memasuki gua tersebut. Sesampainya di dalam. Ia sangat terkejut, karena melihat seorang putri yang tergeletak di atas pembaringan yang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Salah seorang dari wanita tersebut adalah Ibu sang Putri. 

"Hai, anak muda! Engkau siapa?" tanya ibu sang Putri.

"Saya si Penyumpit," jawab si Pemuda dengan ramah. 

"Ada perlu apa Engkau ke sini?" tanya ibu sang putri dengan nada menyelidik. 

"Saya sedang mencari anak sumpit saya yang hilang bersama dengan seekor babi hutan," jawabnya. 

"Benda yang engkau cari itu ada pada putriku," kata ibu sang Putri. 

"Bagaimana bisa anak sumpit saya ada pada putri Bibi?" tanya si Penyumpit heran. 

"Ketahuilah, anak muda! Babi yang engkau sumpit itu adalah penjelmaan putriku," jelas ibu sang Putri. 

Si Penyumpit sangat kaget mendengar penjelasan ibu sang Putri. 
"Jadi...., kalian adalah babi jadi-jadian?" tanya si Penyumpit dengan heran.

"Benar, anak muda," jawab ibu sang putri. 

"Kalau begitu, saya minta maaf, karena tidak mengetahui hal itu," kata si Penyumpit dengan rasa menyesal. 

"Sudahlah, anak muda. Lupakan saja semua kejadian itu. Yang penting sekarang adalah bagaimana melepaskan benda ini dari perut putriku," kata ibu sang putri. 

"Baiklah. Saya akan melepaskan anak sumpit itu dan mengobati luka putri Bibi. Tolong saya dicarikan beberapa helai daun keremunting dan tumbuklah dengan halus," pinta si Penyumpit. 

Untuk memenuhi permintaan itu, ibu sang Putri segera memerintahkan beberapa dayangnya untuk mencari daun keremunting yang banyak terdapat di sekitar mereka. Tak berapa lama, dayang-dayang tersebut sudah kembali dengan membawa daun yang dimaksud. Setelah semuanya siap, si Penyumpit mendekati gadis cantik yang sedang terbaring lemas itu. Lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Tampaklah sebuah benda runcing yang menancap di perut sang Putri, yang tak lain adalah mata sumpit miliknya. Sambil mulutnya komat-kamit membaca mantra, si Penyumpit mencabut mata sumpit itu dengan pelan-pelan. Setelah mata sumpit terlepas, bekas luka tersebut kemudian ditutupinya dengan daun keremunting yang sudah dihaluskan untuk menahan cucuran darah yang keluar. Beberapa saat kemudian, luka sang Putri sembuh dan tidak meninggalkan bekas luka sedikitpun. 

"Sekarang putri Bibi sudah sembuh. Izinkanlah saya mohon diri," pamit pemuda itu dengan sopan. 

"Baiklah, anak muda! Ini ada oleh-oleh sebagai ucapan terima kasih kami, karena engkau telah menyembuhkan putriku. Bungkusan ini berisi kunyit, buah nyatoh, daun simpur dan buah jering. Tapi, bungkusan ini jangan dibuka sebelum engkau sampai di rumah," pesan ibu sang Putri. 

"Baik, Bi! "Jawab pemuda itu, lalu pergi meninggalkan gua. 

Setibanya di rumah, si Penyumpit segera membuka bungkusan tersebut. Alangkah terkejutnya ia, karena isi bungkusan itu tidak seperti yang disebutkan ibu sang Putri. Bungkusan itu ternyata berisi perhiasan berupa emas, berlian, dan intan permata. 

"Wow...., berharga sekali benda ini!" seru si Penyumpit dengan rasa kagum. 

"Dengan benda ini, aku akan menjadi kaya raya," gumamnya dengan perasaan gembira. 

Keesokan harinya, si Penyumpit pergi menjual seluruh benda berharga itu kepada seorang saudagar kaya di kampung itu. Hasil penjualannya ia gunakan untuk membeli ladang yang luas, rumah mewah, dan melunasi seluruh hutang ayahnya kepada Pak Raje. 

Sejak itu, tersiarlah kabar bahwa si Penyumpit telah menjadi kaya-raya. Berita itu juga didengar oleh Pak Raje. Ia pun berniat untuk mengikuti jejak si Penyumpit. Suatu hari, Pak Raje meminjam sumpit pemuda itu dan kemudian pergi berburu babi hutan di ladang miliknya. Dalam perburuannya, ia berhasil menyumpit seekor babi. Setelah itu, ia mengikuti jejak dan menemukan babi hutan itu, yang ternyata penjelmaan sang putri. Pak Raje berusaha menyembuhkan luka yang diderita oleh sang Putri, namun tidak berhasil karena ia tidak memiliki keahlian mengobati penyakit. Akhirnya, ia diserang berpuluh-puluh babi hutan. Dengan tubuh yang penuh luka-luka, ia berjalan sempoyongan pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Pak Raje langsung tergeletak tidak sadarkan diri, karena tidak tahan lagi menahan rasa sakit. 

Putri sulung Pak Raje segera menyampaikan nasib malang yang menimpa ayahnya itu kepada si Penyumpit. Mendengar kabar itu, si Penyumpit segera ke rumah Pak Raje untuk menolongnya. si Penyumpit kemudian mengobati Pak Raje dengan 7 helai daun. Setelah itu, ia membakar kemenyan, lalu menyebut satu persatu anggota tubuh Pak Raje, seperti tangan, kaki, kepala, dan lain-lain. Terakhir, ia menyebut nama Pak Raje. Ketika asap kemenyan itu mengepul, si Penyumpit kemudian membaca mentera. Tak lama kemudian, tampak jari tangan Pak Raje bergerak-gerak. Dengan pelan-pelan ia mengusap-ngusap matanya hingga tiga kali. Akhirnya, Pak Raje sadarkan diri dan sembuh dari penyakitnya. Setelah itu, Pak Raje insyaf dan mengakui semua kesalahannya kepada si Penyumpit. 

"Terima kasih, Penyumpit! Kamu telah menyembuhkan penyakitku. Aku minta maaf karena telah memaksamu menjaga ladangku. Untuk menebus kesalahanku ini, aku akan menikahkanmu dengan putri bungsuku. Setelah itu, aku akan mengangkatmu menjadi Kepala Desa untuk menggantikanku. Bersediakah kamu menerima tawaranku ini, wahai penyumpit?" tanya Pak Raje. 

"Terima kasih, Pak Raje! Dengan senang hati, saya bersedia," jawab si Penyumpit. 

"Baiklah kalau begitu. Berita gembira ini akan segera aku sampaikan kepada seluruh warga kampung ini," kata Pak Raje. 

Satu minggu kemudian, pernikahan si Penyumpit dengan putri bungsu Pak Raje dilangsungkan dengan meriah. Berbagai macam seni pertunjukan ditampilkan dalam acara tersebut. Pak Raje bersama keluarganya beserta seluruh warga turut bergembira atas pernikahan itu. Di akhir acara, Pak Raje menyerahkan jabatannya sebagai Kepala Desa kepada menantunya yang baik hati itu. Sepasang insan yang baru menjadi suami istri itu hidup berbahagia. Warganya pun hidup tentram dan damai di bawah perintah Kepala Desa yang baru, si Penyumpit.


Sumber 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Provinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Lampung, Buaya Perompak

09.51 0
Cerita Rakyat Propinsi Lampung, Buaya Perompak
Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan buayanya. Setiap nelayan yang melewati sungai itu harus selalu berhati-hati. Begitu pula dengan penduduk yang sering mandi dan mencuci di tepi sungai itu. Menurut cerita, sudah banyak manusia yang hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali. 

Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang gadis cantik yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi sungai itu. Anehnya, walaupun warga sudah berhari-hari mencarinya dengan menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu hilang tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Sepertinya ia sirna bagai ditelan bumi. Warga pun berhenti melakukan pencarian, karena menganggap Aminah telah mati dimakan buaya.

Sementara itu di sebuah tempat di dasar sungai, tampak seorang gadis tergolek lemas. Ia adalah Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya. 

"Ayah, Ibu, aku ada di mana?" gumam Aminah setengah sadar memanggil kedua orangtuanya. 

Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejut ia ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih mengejutkan lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh harta benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang menempel di dinding-dinding gua. 

"Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?" tanya Aminah dalam hati. Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lelaki menggema. 

"Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku." 

Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat samar-samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua. 

"Anda siapa? Wujud Anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti manusia?" tanya Aminah dengan perasaan takut. 

"Tenang, Gadis cantik!  Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama tiba," kata Buaya itu. 

"Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya?" tanya Aminah ingin tahu. 

"Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu merampas harta benda setiap saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini," jelas buaya itu. 

"Lalu, bagaimana jika Anda lapar?" Darimana Anda memperoleh makanan?" tanya Aminah.

"Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang pun penduduk yang tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu bahwa aku telah membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini dengan desa tersebut," ungkap buaya itu. 

Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat kediamannya. Hal ini tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama ia telah menyimak dan selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu. 

"Hai gadis cantik! Siapa namamu?" tanya Buaya itu. 

"Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang Bawang," jawab Aminah. 

"Wahai Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu?" tanya Aminah. 

"Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah!" jawab buaya itu. 

"Mengapa anda menculikku dan tidak memakanku sekalian?" tanya Aminah heran. 

"Ketahuilah Aminah! Aku membawamu ketempat ini dan tidak memangsamu, karena aku suka kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan dan lemah lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku di dalam gua ini?" tanya Buaya itu.

Mendengar pertanyaan Buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam dan termenung.
"Ma... maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti akan mencariku," jawab Aminah menolak. 

Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya hadiah perhiasan. 
"Jika engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta benda yang ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan memangsamu," ancam buaya itu. 

 Aminah terkejut mendengar ancaman buaya itu. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya bisa selamat dari terkaman buaya itu. 

"Baiklah Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini," jawab Aminah setuju. Rupanya Aminah menerima permintaan Buaya tersebut agar terhindar dari ancaman Buaya itu, sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa melarikan diri dari gua itu. Akhirnya Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua. Setiap hari Buaya itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya yang molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra. Tangan dan lehernya dipenuhi oleh perhiasan emas yang dihiasi batu permata. 

Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan meninggalkan pintu gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. 

"Wah ini kesempatan baik untuk keluar dari sini," kata Aminah dalam hati. 

Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya itu bahwa ada sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah desa di tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan sangat hati-hati, Aminah pun keluar sambil berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk membawa harta benda milik Sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya. 

Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan yang sempit di balik gua itu dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak jauh dari depannya terlihat sinar matahari memancar masuk ke dalam terowongan. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut terowongan. Dengan perasaan was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali menoleh ke belakang, karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan membuntutinya. Ketika ia sampai di mulut terowongan, terlihatlah di depannya sebuah hutan lebat. Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman Buaya Perompak itu. 

"Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu," Aminah berucap syukur. 

Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah beberapa jauh berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang sedang mencari rotan. 

"Hai, Anak Gadis! Kamu siapa?" Kenapa berada di tengah hutan ini seorang diri?" tanya penduduk desa itu. 

"Aku Aminah Tuan!" jawab Aminah. 

Setelah itu Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun mengantarkan Aminah ke kampung halamannya. Sesampai di rumahnya, Aminah pun memberikan penduduk desa itu sebagian perhiasan yang melekat di tubuhnya sebagai ucapan terima kasih. 

Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh penduduk di kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya kepada kedua orangtuanya dan seluruh warga di kampungnya. Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk mandi dan mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang.


Sumber 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Provinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011
Read More

Cerita Pendek, Namanya Massa

04.50 0
Cerita Pendek, Namanya Massa
INI memang kota Jakarta! di kafe ini, saya ketemu massa, matanya bagus! Tapi, dia tak secantik maminya yang artis terkenal. Papinya sutradara andalam dalam dunia perfilman kita. Massa acuh tak acuh saja, kala Mas Beny, teman sama-sama wartawan mengajaknya ngobrol. Dia minum wiski (seperti minum air putih). Saya mungkin kelewat asyik melihatnya, sehingga Mas Beny berbisik,"Kalau kau sudah lama di Jakarta, ada banyak perempuan, seperti itu. 

Barangkali, sulit bagiku untuk menyesuaikan diri dengan watak kota Jakarta. Sejak ditugaskan sebagai wartawan di Jakarta, saya merasa sering sepi dan jenuh dengan pekerjaan yang sudah saya geluti selama tujuh tahun. Dalam malam yang hujannya rintik-rintik ini, di diskotik yang musiknya hingar bingar, saya temukan Massa yang mabuk. Saya antarkan dia sampai ke rumahnya. Saya memotret Massa yang sedang mabuk. Mengapa keinginan itu muncul? Karena, saya lihat anaknya Bony (menurut Mas Beny anaknya di luar nikah dengan salah satu pemain film papinya), yang mungkin baru berumur tiga tahun, biasa-biasa saja, melihat Massa yang sedang mabuk itu. 

Saya dan Mas Beny melihat hasil foto Massa yang mabuk. Mas Beny bilang, "Foto ini kelihatannya bisa dijual. Massa kan anaknya orang terkenal. Tanyakan ke redaksi apakah foto ini bisa dimuat di media kita. Kalau tidak, jual saja ke media itu, pasti laku! Karena, ada nilai beritanya." 

***
SEBELUM saya beranjak ke ruang redaksi, ada telepon dari Massa. "Ini alamat pengacara orangtuaku, kau kan butuh uang! Apa kau tidak butuh uangku? Lantas, apa kau ingin tidur denganku? Juga tidak! Kalau begitu jelaskan apa maumu, jangan berbelit-belit." 

Saya dengar suara Massa menangis, sebelum telepon ini diputusnya. Dan malam itu, saya ke rumahnya menemui Massa. Dia sedang minum wiski (dia minum seperti air putih), "Don, kalau foto ini tidak membahayakan kebahagiaan Boni kelak, saya tidak akan risi, sekalipun foto itu dimuat di media massa. Kau tanyakan siapa bapak Boni, saya sudah lupa. Sekarang saya adalah bapak dan ibunya Boni. Oleh karena itu, saya keras mendidiknya, agar kelak dia jadi laki-laki yang sehat jiwanya." 

Saya tahu, malam itu Massa ingin bercerita banyak (istriku tidak mau mengakui kalau saya bisa jadi pendengar yang baik). 
"Don kau tanyakan, apakah saya bahagia menjadi anaknya orang terkenal. Entahlah. Yang saya ingat, saya lebih sering di rumah hanya dengan pembantu. Don, waktu itu saya kelas dua SMP. Saya baru saja menceritakan kepada orangtuaku, kalau saya diangkat sebagai ketua rombongan paduan suara sekolah kami yang akan bertanding dengan SMP di luar Jakarta. Kala saya sedang sibuk mengatur ini dan itu, temanku bilang, "Massa, semalam kamu dimana? Kala orangtuamu mengumumkan perceraiannya, kok mau disuruh foto berdua, mesra lagi! Itu akting atau beneran sih?"

"Kamu bohong! Semalam orangtuaku shooting di luar kota. Dan sampai hari ini, mereka masih berada di tempat shooting. Ayahkku punya pengacara yang bisa menuntut orang yang menfitnah." 

"Don, seketika dia menyodorkan koran yang memuat perceraian orangtuaku. Yah, bukan hanya satu koran, tapi berpuluh koran. Saya seperti masuk ke sumur tanpa dasar. Sejak itu, saya malu bersekolah. Sekalipun orangtuaku bilang perceraian itu bisa terjadi pada pernikahan siapa pun, bahkan zaman sekarang, raja dan ratu pun bisa bercerai. Keluar dari sekolah dan masih berumur empat belas tahun, saya diterima bekerja sebagai penata lampu di sebuah diskotik. Karena bekerja di sana, saya berkenalan dengan banyak laki-laki. Pengalamanku dengan laki-laki itu, membuat saya cepat mengerti hidup ini. Kau tahu nama-nama ini kan? Mereka cuma bisa omong besar di luar ranjang. 

"Saya tahu sekarang pacarmu, ada tiga orang. Mengapa kau tidak menikah dengan salah satu dari mereka? Atau kalau kau mau kan bisa menikah denganku," saya berseloroh.

"Don, saya akan menikah kalau pacarku yang di Jerman sudah selesai sekolahnya. Dia tahu kelahiran Boni. Dia bisa bilang itu kesalahan manusiawiku. Sementara ketiga pacarku itu, sangat saya perlukan. Sebab yang satu bisa jadi Bapak Boni, dia dan Boni saling menyanyangi. Pacarku yang anak konglomerat adalah penyandang danaku. Uang saku dari orangtuaku tidak pernah cukup. Yang mahasiswa itu teman mengasah intelektual, kami cocok di ranjang." 

"Kau tanyakan, mengapa saya tidak jadi bintang film saja? Don, saya berbakat menjadi pelukis. Tapi orangtuaku tidak percaya. Cuma eyang yang tahu, waktu saya di Malang, Eyang menyuruhku belajar pada seorang pelukis. Eyang masih menaruh di kamarnya lukisanku waktu kecil. Don, kalau Boni sudah berumur empat tahun, saya akan jual rumah ini untuk biaya hidupku dengan Boni di mancanegara. Saya ingin belajar melukis di sana." 

Saya seperti mendengarkan sebuah imajinasi, tapi dongeng memang tidak harus sama dengan realitas ini. Saya lihat mata Massa melihatku lekat-lekat. "Massa, saya kira kau pasti bisa sama besarnya dengan orangtuamu." 

***

SUATU kali dengan alasan yang tidak jelass, redaksi marah kepadaku. Dia bilang beritaku kurang konfirmasi sekalipun aktual sehingga tidak layak muat. Dengan kesal saya keluar dari kantor. Di rumahnya, saya lihat Massa asyik nonton film di laser disk. "Kamu ini enak betul. Kalau setiap orang harus stres dalam mencari biaya hidup dan pekerjaannya, jam segini kau sudah bisa berleha-leha." 

Massa, menciumku. "Don, cobalah bir kalengan ini, ringan kok. Don, sebagai seorang seniman saya harus mencari pengalaman di mana saja, juga di film ini. Sebelum berkontemplasi. Tapi, kau tidak bisa seenaknya ke rumahku, kalau kelak saya sudah jadi pelukis, waktu itu untukku." 

"Saya kepingin punya koran sendiri. Koranku pasti bisa menjawab semua aspirasi masyarakat, karena apresiasi kami yang jujur dan intelek," kataku. 

Massa melebarkan matanya yang bagus, "Don, itu sebuah gagasan yang bagus. Sebabnya banyak media massa sekarang, beritanya seragam. Sehingga kita tidak tahu, apakah berita tersebut, dan siapakah sasaran pembacanya." 

Untuk pertama kali sejak kami berteman, malam itu kami tidur bersama. Setelah itu, tidak ada lagi percakapan, yang rasanya perlu kami ucapkan. 

***

SUATU kali, waktu liburan sekolah, saya minta cuti seminggu. Anakku Bunga dan istri mengajak liburan ke Toraja. Kami sangat menikmati liburan ini. Dan setelah cuti ini habis, dengan sangat malas saya kembali ke Jakarta untuk bekerja. Kala saya sedang mengetik berita, ada telepon dari Massa. "Don, saya perlu kamu. Bisa datang kan? OK, saya tunggu kamu." 

Massa memegang tanganku erat sekali. "Massa, ada yang bisa saya bantu?" 

Matanya basah. Massa merokok secara beruntun dan minum wiski (saya kira lebih dari kita yang suka minum air putih). 

"Don, tadi tanteku telepon dan bilang, Eyang sakit dan ingin sekali ketemu aku. Don, kau tahu kan sejak kelas dua SD sampai tamat SD saya ikut Eyang. Kalau saja mami tidak membawaku kembali ke Jakarta, pasti saya sudah jadi istri dan ibu yang baik seperti cita-cita Eyang. Don, Eyang memang tidak pernah diberitahu kalau saya sudah punya anak Boni. Kalau saya ke Malang tak mungkin meninggalkan Boni dengan susternya di sini. Saya khawatir kalau Eyang sedih, karena saya sekarang punya anak. Sering sekali diceritakan kepada orang yang dikenalnya, bahwa saya akan menjadi ibu dan istri saja. Dan tidak pernah ingin menjadi bintang film." 

"Massa pulang sajalah agar baik kau maupun Eyang tidak tambah stres. Saya memang belum mengenal Eyang, tapi saya kira dengan lapang dada beliau akan menerima anakmu." 

Massa menghapus air matanya pelan-pelan.

***

 SUATU kali saya pulang ke Malang untuk menengok anak dan istriku. Rini istriku yang dokter dan biasanya kelewat sibuk dengan pasien-pasiennya, bilang ingin berbicara denganku. "Don, saya kira kau sudah terlampau jauh dengan Massa. Maksudku kau mulai menyukainya. Kau sekarang bisa memilih salah salah satu diantara kami. Jangan berdalil seperti ini, "Rini, kamu sih tak mau saya ajak pindah ke Jakarta. Padahal kau tahu setiap laki-laki yang sudah berkeluarga, kalau pulang kerja kepingin pulang ke rumah di mana tempatnya yang paling aman itu ada istri dan anaknya. Don, sejak dulu kau tahu saya dosen dan dokter yang tak mudah untuk pindah kerja. Don, kalau kita berpisah saya tak akan meributkan harta bersama. Uangku cukup untuk membesarkan bunga. 

Saya kaget mendengarkan omongan Rini. Seharusnya dia tahu tidak ada hubungan khusus antara saya dan Massa. Saya kira kami cuma berteman biasa, dan rasanya memang tidak mungkin untuk membesarkan Bunga bersama Massa. Yah, waktu awal kenalan sudah saya ceritakan tentang Massa pada Rini. Waktu itu istriku cima tersenyum dan bilang," Don jangan sok tahu perasaan Massa. Kamu tidak pernah tahu perasaan perempuan, sekalipun saya sudah lama menjadi istrimu." 

"Rini, kamu salah paham dan argumentasimu kali ini lemah..." 

Rini melihat saya dengan kemarahan dan keras kepala. "Don, ini bukan forum diskusi, yang saya minta kau cepat menentukan pilihanmu. Buatku, cinta itu tidak bisa dibagi-bagi. Sorry, saya tak bisa lama-lama ngobrol denganmu. Ada pasien penting, Pak Walikota yang harus dicek terus-menerus kesehatannya." 

"Rini, kalau begitu kapan kau punya waktu? Agar saya bisa menerangkan persoalan ini." 

Rini tidak menjawab. Dengan bergegas dia masuk ke mobilnya. 

***

Saya benci sekali dengan sikap Rini kali ini. Sejak awal pernikahan, kita sudah sepakat untuk mendiskusikan secara terbuka yang terasa tidak enak di hati, agar tercapai titik temu di antara kami. Kami juga sepakat untuk bebas berteman dengan siapa saja. Bukankah Rini kelihatan akrab dengan teman sekerjanya, dokter Rudi. Saya tidak pernah marah  dia dan Rudi saling menelepon, keluar bersama untuk mengurus pekerjaan mereka. Saya berjalan ke sembarang arah. Tahu-tahu sudah memijat bel rumah eyangnya Massa. 

"Don, Suprise sekali kita bisa bertemu di Malang!" kata Massa sambil merangkulku. 

Saya lihat Massa, dan juga merasa surprise, di tempat eyangnya, Massa kelihatan polos sekali. Kemudian, dia memperkenalkan saya dengan eyangnya. Seorang perempuan yang tidak kehilangan kehangatannya, sekalipun sakit. 

"Gus, jadi kamu temannya Massa di Jakarta. Sekarang kan sama-sama di Malang. Sering-seringlah main ke sini, biar Massa punya teman ngobrol yang sama mudanya. Massa, tadi tamunya sudah dibikinkan air minum? Gus, jangan cepat-cepat pulang, kita makan siang bersama. Eyang kan bisa makan enak, kalau punya teman makan."

Saya memang sering ke sini. Dan merasa diterima dengan hangat di sini daripada di rumah. Sekalipun Rini tidak mengungkit-ungkit hubunganku dengan Massa lagi, tapi sikapnya yang dingin dan formal membuat saya tidak betah. 

Kala saya main lagi ke rumah eyangnya Massa, Eyang ingin bicara denganku. 

"Gus, saya ini sudah berumur delapan puluh lima tahun, sakit jantung sudah lama sekali. Eyang ingin mati, tapi tak mungkin bisa mati, karena nazarnya Eyang belum terlaksana. Gus, memang banyak sekali cucu-cucu Eyang. Tapi, yang paling menderita itu Massa! Waktu itu, Eyang merasa tidak enak hati dan ingin ke Jakarta saja. Tanpa memberi tahu siapa pun Eyang ke rumah maminya Massa. Yang saya temukan, Massa yang waktu itu berumur enam tahun dihajar oleh pembantunya sampai luka-luka. Langsung hari itu juga, Massa Eyang bawa ke Malang. Maminya, yang anakku itu memang keras kepala, setelah tamat SD dibawanya kembali Massa ke Jakarta. Akibatnya Massa membuat kekeliruan dengan melahirkan Boni. Gus, kalau kau belum punya istri, nikahlah dengan cucuku. Dia adalah perempuan yang baik, percayalah pada Eyang. Tapi jadi pengantinnya di sini saja, agar Eyang bisa membayar nazar." 

Setelah Eyang tidur, Massa mengajakku ke beranda. "Don, harusnya secara tegas kau tadi bilang begini kepada Eyang, "Eyang saya sudah punya istri! Saya ingin membesarkan Bunga dengan ibunya, agar jiwanya tidak pecah. Eyang, Massa cantik, pasti banyak yang mau menikah dengannya. Hubungan kami selama ini... cuma teman. Dan belum tentu, Massa mau menikah dengan saya yang cuma wartawan biasa. "Don, saya memang cuma ingin menikah dengan pacarku yang di Jerman. Kisah cinta kita lebih indah daripada sayap-sayap patahnya Khalil Gibran. Karena itu kami akan mengakhiri percintaan kami dengan pernikahan." 

Saya rikuh mendengarkan ucapan Massa, bagaimana dia tahu jalan pikiranku. "Massa, kita masih teman kan?" 

Massa seperti tidak berada di tempat ini. Dia di dunianya dan enggan berbagi dengan siapapun. Saya merasa tidak bisa ngobrol lagi dengannya. Tiba-tiba seperti ada yang putus...

***

SAYA sedang sibuk mengetik di muka personal komputer ini. Mas Beny dengan tergesa-gesa bilang, "Don, setengah jam yang lampau ayahnya Massa mati terbunuh! Kamu dan saya dapat tugas meliput di sana. Don, kamu kan akrab dengan Massa, koreklah darinya hal-hal yang bisa menarik pembaca. Ayolah, nanti keburu diliput oleh wartawan lain. Ini berita besar! Ayolah Don, tunggu apa lagi." 

Saya memasukkan tape ini ke tas. Tiba-tiba saya ingat omongan Rini, juga omongan Massa. "Don, kamu ini penggali berita yang handal. Tapi, kau sekarang tidak peka lagi dengan perasaan manusia yang seharusnya menjadi subyek dari tulisanmu di media massa." 

Saya termangu di muka personal komputer ini.


Kompas, 16 Januari 1994

Sumber
Penulis : Ratna Indraswari Ibrahim
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995) 
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995
Read More

Cerita Rakyat Bengkulu, Legenda Ular n'Daung

04.30 0
Cerita Rakyat Bengkulu, Legenda Ular n'Daung
Dahulu kala, di kaki sebuah gunung di daerah Bengkulu hiduplah seorang wanita tua dengan tiga orang anaknya. Mereka sangat miskin dan hidup hanya dari penjualan hasil kebunnya yang sangat sempit. Pada suatu hari, perempuan tua itu sakit keras. Orang pintar di desanya itu meramalkan bahwa wanita itu akan tetap sakit apabila tidak diberikan obat khusus. Obatnya adalah daun-daunan hutan yang dimasak dengan bara gaib dari puncak gunung. 

Alangkah sedihnya keluarga tersebut demi mengetahui kenyataan itu. Persoalannya adalah bara dari puncak gunung itu konon dijaga oleh seekor ular gaib. Menurut cerita penduduk desa, ular tersebut akan memangsa siapa saja yang mencoba mendekati puncak gunung itu. 

Di antara ketiga anak perempuan ibu tua itu, hanya si Bungsu yang menyanggupi persyaratan tersebut. Dengan perasaan takut ia mendaki gunung kediaman si Ular n'Daung. Benar seperti cerita orang, tempat kediaman ular ini sangatlah menyeramkan. Pohon-pohon di sekitar gua itu besar dan berlumut. Daun-daunnya menutupi sinar matahari sehingga tempat tersebut menjadi temaram. 

Belum habis rasa khawatir si Bungsu, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh dan raungan yang keras. Tanah bergetar. Inilah pertanda si Ular n'Daung mendekati gua kediamannya. Mata ular itu menyorot tajam dan lidahnya menjulur-julur. Dengan sangat ketakutan si Bungsu mendekatinya dan berkata, "Ular yang keramat, berilah saya sebutir bara gaib guna memasak obat untuk ibuku yang sakit. Tanpa diduga, ular itu menjawab dengan ramahnya, "Bara itu akan kuberikan kalau engkau bersedia menjadi istriku!"

Si Bungsu menduga bahwa perkataan ular ini hanyalah untuk mengujinya. Maka ia pun menyanggupinya. Keesokan harinya setelah ia membawa bara api pulang, ia pun menepati janji pada ular n'Daung. Ia kembali ke gua puncak gunung untuk diperistri si ular. Alangkah terkejutnya si Bungsu menyaksikan kejadian ajaib. Yaitu, pada malam harinya, ternyata ular itu berubah menjadi seorang ksatria tampan bernama Pangeran Abdul Rahman Alamsjah.

Pagi harinya, ia akan kembali menjadi ular. Hal itu disebabkan karena ia disihir oleh pamannya menjadi ular. Pamannya tersebut menghendaki kedudukannya sebagai calon Raja.

Setelah kepergian si Bungsu, ibunya menjadi sehat dan hidup dengan kedua kakaknya yang pendengki. Mereka ingin mengetahui apa yang terjadi dengan si Bungsu. Maka mereka pun berangkat ke puncak gunung. Mereka tiba di sana pada malam hari.

Alangkah terkejutnya mereka saat menjumpai seorang pria tampan di sana, bukannya seekor ular ganas. Timbul perasaan iri dalam diri mereka bahwa pria itu telah memperistri adiknya. Mereka pun menyusun sebuah rencana jahat untuk menyingkirkan adiknya.

Mereka mengendap ke dalam gua dan mencuri kulit ular itu, kemudian mereka membakar kulit ular tersebut. Mereka mengira dengan demikian ksatria tersebut akan marah dan mengusir adiknya. Tetapi yang terjadi justru kebalikannya. Dengan dibakarnya kulit ular tersebut, secara tidak sengaja mereka membebaskan pangeran itu dari kutukan. Ketika menemukan kulit ular itu terbakar. Pangeran menjadi sangat gembira. Ia berlari dan memeluk si Bungsu. Diceritakannya bahwa sihir pamannya itu akan sirna jika ada orang yang secara sukarela membakar kulit ular itu.

Kemudian, si Ular n'Daung yang sudah selamanya menjadi Pangeran Alamsjah memboyong si Bungsu ke istananya. Pamannya yang jahat diusir dari istana. Si Bungsu pun kemudian mengajak keluarganya tinggal di istana, tetapi kedua kakaknya yang sirik menolak karena merasa malu akan perbuatannya.

Sumber 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Provinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011
Read More

Cerita Rakyat Sumatera Selatan, Hikayat Antu Ayek

23.59 0
Cerita Rakyat Sumatera Selatan, Hikayat Antu Ayek
Konon kabarnya, dahulu kala di wilayah Sumatera Selatan, hiduplah seorang gadis dari keluarga sederhana bernama Juani. Juani merupakan gadis kampung yang elok rupawan, berkulit kuning langsat dan memilik rambut yang hitam lebat. Keelokan wajah Juani telah terkenal di kalangan masyarakat, wajar kiranya jika banyak bujang yang berharap bisa duduk bersanding dengannya. Namun apalah daya. Gadis Juani belum mau menentukan pilihan hati kepada satu bujang pun di kampungnya. Hingga, pada suatu masa, bapak Gadis Juani terpaksa menerima pinangan dari Bujang Juandan, karena terjerat hutang dengan keluarga Bujang Juandan. Bujang Juandan adalah pemuda dari keluarga kaya raya, namun yang menjadi masalah adalah Bujang Juandan bukanlah pemuda tampan. Bahkan tidak sekedar kurang tampan, Bujang Juandan pun menderita penyakit kulit di sekujur tubuhnya, sehingga ia pun dikenal sebagai Bujang Kurap. 

Mendengar kabar itu, Gadis Juani pun bersedih hati. Ia hendak menolak. Namun, tak kuasa karena kasihan kepada bapaknya. Berhari-hari ia menangisi nasibnya yang begitu malang. Namun apa hendak dikata, pesta pernikahan pun telah dipersiapkan. Orang sekampung ikut sibuk menyiapkan upacara perkawinan Gadis Juani dan Bujang Juandan. Akhirnya malam perkawinan itu pun tiba, Gadis Juani yang cantik itu dirias dan mengenakan pakaian pengantin yang begitu anggun, ia menunggu di kamar tidurnya sambil berurai air mata. 

Ketika orang serumah turun menyambut kedatangan arak-arakan rombongan Bujang Juandan, hati Gadis Juani semakin hancur. Di tengah kekalutan pikiran, ia pun mengambil keputusan, dengan berurai air mata ia keluar lewat pintu belakang dan berlari menuju sungai. Akhirnya dengan berurai air mata Gadis Juani pun mengakhiri hidupnya dengan terjun ke sungai. Kematiannya yang penuh derita menjadikannya arwah penunggu sungai yang dikenal sebagai Antu Ayek yang sering mencari korban anak-anak.

Sumber 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Provinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Jambi, Putri Cermin Cina

22.17 0
Cerita Rakyat Propinsi Jambi, Putri Cermin Cina
Dahulu kala di daerah Jambi, terdapat sebuah negeri yang diperintah oleh Seorang raja yang bernama Sutan Mambang Matahari. Sutan mempunyai seorang anak laki-laki bernama Tuan Muda Selat dan seorang anak perempuan bernama Putri Cermin Cina.

Tuan Muda Selat adalah seorang anak muda yang tampan, namun sifatnya agak ceroboh. Putri Cermin Cina berwajah cantik jelita, Ia memiliki hati yang tulus dan penyayang.

Pada suatu hari, datanglah seorang saudagar Muda ke daerah itu. Ia bernama Tuan Muda Senaning. Mulanya tujuan kedatangan saudagar itu memang hanya untuk berdagang, namun saat ia dijamu di rumah Raja. Tuan Muda Senaning berjumpa dengan Putri Cermin Cina. Kecantikan putri raja itu memukaunya, Seketika Tuan Muda Senaning jatuh hati pada gadis jelita itu. Demikian pula, diam-diam Putri Cermin Cina juga menaruh hati pada Tuan Muda Senaning.

Namun, sebagai seorang gadis, tidak mungkin ia mengutarakan isi hatinya lebih dahulu. Pada suatu kesempatan kedua muda-mudi itu sempat bertemu. Kesempatan yang baik itu tidak disia-siakan oleh si pemuda. Akhirnya Putri Cermin Cina menyarankan kepada Tuan Muda Senaning untuk menghadap ayahandanya, Sutan Mambang Matahari untuk melamarnya. 

Tidak lama kemudian, Tuan Muda Senaning datang menghadap Sutan Mambang untuk melamar Putri Cermin Cina. Sutan Mambang  Matahari dengan senang hati menerima lamaran Tuan Muda Senaning karena memang Tuan Muda Senaning mempunyai perangai yang baik dan sopan. Tapi, Sutan Sutan Mambang Matahari terpaksa menunda pernikahan Tuan Muda Senaning dengan Putri Cermin Cina selama tiga bulan karena Sutan Mambang harus berlayar untuk mencari bekal pesta pernikahan putrinya. Sebelum berangkat berlayar, Sutan Mambang Matahari berpesan kepada Tuan Muda Selat agar menjaga adiknya Putri Cermin Cina dengan baik. 

Pada suatu hari, selepas keberangkatan Sutan Mambang Matahari, Tuan Muda Senaning dan Tuan Muda Selat asyik bermain gasing di halaman istana. Mereka tertawa bergelak-gelak, makin lama, makin asyik sehingga orang yang mendengar ikut tertawa senang. Hal itu membuat Putri Cermin Cina penasaran dan ingin melihat keasyikan kakak dan calon suaminya, ia melihat dari jendela.

Kehadiran Putri Cermin Cina terlihat oleh kedua orang itu. Sambil melihat ke jendela, Tuan Muda Senaning melepaskan gasingnya. Gasing Tuan Muda Senaning mengenai gasing Tuan Muda Selat. Karena berbenturan keras, Gasing Tuan Muda Selat melayang dan terpelanting tinggi.

Gasing itu terpelanting ke arah Putri Cermin Cina yang melihat dari jendela.  Gasing itu berputar persis di atas kening Putri Cermin Cina. Putri Cermin Cina menjerit kesakitan. Kening Putri Cermin Cina berlumuran darah, ia jatuh ke lantai tak sadarkan diri. Semua orang panik dan berusaha menolong Putri Cermin Cina. Namun, takdir berkata lain, Putri yang cantik jelita itu akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir.

Tuan Muda Senaning sangat merasa bersalah atas kematian Putri Cermin. Ia menjadi putus asa dan gelap mata. Ia melihat ada dua buah tombak bersilang di dinding.  Secepat kilat ditariknya tombak itu dan ditancapkan ke tanah dengan posisi mata tombak mencuat ke atas. Kemudian, dengan gerakan yang sukar diikuti mata. Tuan Muda Senaning melompat ke halaman. Tubuhnya meluncur ke arah mata tombak yang mencuat ke atas. Seketika, Mata tombak menembus perut hingga ke punggungnya. Tuan Muda Senaning meninggal dunia seketika menyusul calon istrinya, Putri Cermin Cina. 

Sementara kerabat istana merawat jenazah kedua insan yang saling jatuh cinta itu, hati Tuan Muda Selat kacau balau. Tak dapat dibayangkan, bagaimana marahnya si Ayahanda Sutan Mambang Matahari bila mengetahui kejadian ini.

Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, ia minta agar kedua mayat itu orang yang disayanginya itu dikuburkan segera. Mayat Putri Cermin Cina dimakamkan di tepi sungai. Sedangkan mayat Tuan Muda Senaning dibawa anak buahnya ke kapal. Kapal itu berlayar ke seberang dan Mayat Tuan Muda Senaning dikuburkan di sana. Tempat itu kemudian diberi nama Dusun Senaning.

Sejenak Tuan Muda Selat merasa lega. Namun tatkala ingat betapa Ayahandanya sebentar lagi akan datang, maka pikirannya menjadi kacau. Bukankah ia telah diserahi Ayahandanya untuk menjaga Putri Cermin Cina agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan?. Kenyataannya, adik yang sangat dikasihi oleh semua orang itu ternyata telah meninggal dunia. Dan salah satu penyebab kematian adiknya adalah dia sendiri.

Akhirnya Tuan Muda Selat pergi meninggalkan negerinya bersama orang-orang kampung. Orang-orang yang ikut dengannya ditinggal di suatu tempat dan tempat itu akhirnya disebut Kampung Selat.

Tidak lama kemudian, Sutan Mambang Matahari tiba di kampungnya. Sutan bingung karena kampungnya begitu sepi, ia menuju istananya, namun hanya tersisa beberapa orang saja yang menjaga istana. Setelah Sutan tahu tentang kejadian sebenarnya. Sutan Mambang Matahari merasa sedih, kemudian ia beserta pengikutnya pergi meninggalkan kampungnya. Mereka pergi ke seberang dusun dan mendirikan kampung di sana. Kampung itu terletak di antara kuburan Tuan Muda Senaning dan Kapat Tuan Muda Selat. Kampung itu diberi nama Dusun Tengah Lubuak Ruso.

Legenda cerita ini oleh rakyat daerah Jambi dianggap benar-benar terjadi karena ada hubungannya dengan nama-nama kampung di Kabupaten Batanghari, Jambi.

Sumber 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Provinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Riau, Putri Tujuh

20.02 0
Cerita Rakyat Provinsi Riau, Putri Tujuh
Dulu Dumai hanyalah desa nelayan yang sepi, berada di pasir timur Provinsi Riau, Indonesia. Kini, Dumai yang kaya akan minyak bumi itu menjelma menjadi kota Pelabuhan minyak yang sangat ramai sejak tahun 1999. Kapal-kapal tangki minyak raksasa setiap hari singgah dan merapat di pelabuhan ini. Kilang-kilang minyak yang tumbuh menjamur di sekitar pelabuhan  menjadikan kota Dumai pada malam hari gemerlapan bak permata berkilauan. 

Kekayaan Kota Dumai adalah keanekaragaman tradisi. Ada dua tradisi yang sejak lama berkembang di kalangan masyarakat Kota Dumai, yaitu tradisi tulisan dan lisan. Salah satu tradisi lisan. Salah satu tradisi lisan yang sangat populer di daerah ini adalah cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara turun temurun. Sampai saat ini, Kota Dumai masih menyimpan sejumlah cerita rakyat yang digemari dan memiliki fungsi moral yang amat penting bagi kehidupan masyarakat, misalnya sebagai alat pendidikan, pengajaran moral, hiburan, dan sebagainya. Salah satu cerita rakyat yang masih berkembang di Dumai adalah Legenda Putri Tujuh. Cerita legenda ini mengisahkan tentang asal mula nama Kota Dumai. 

Konon pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang ratu bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok rupawan, yang dikenal dengan sebutan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang putri juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai. 

Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersenda gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih," Gadis cantik di Lubuk Umai .... cantik di Umai. Ya, ya .... d'umai ....d'umai ..." kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya. 

Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang putri yang diketahuinya bernama Putri Mayang Mengurai.Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai tanda pinangan raja kepada keluarga kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar di antara tujuh buah combol yang ada dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu. 

Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran. "Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai." 

Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi. 

Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula Sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah tiga bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai. 

Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam, pasukan Pangeran Empang Kuala dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala. 

Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya, "Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?" 

Sang Utusan menjawab, "Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya," kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan. 

Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala. 

Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan. 

Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam sebuah lirik: 
Umbut mari mayang diumbut
Mari diumbut di rumpun buluh 
Jemput mari dayang dijemput 
Mari dijemput turun bertujuh 
Ketujuhnya berkain serong
Ketujuhnya bersubang gading 
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending

Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata "D'umai" yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai. 

Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa pesanggrahan Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT. Pertamina Dumai. Selain itu, ada beberapa nama tempat di Kota Dumai yang diabadikan untuk mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama Putri Tujuh; bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit.


Sumber 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Provinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011
Read More

Cerita Rakyat Sumatera Barat, Malin Kundang

07.27 0
Cerita Rakyat Sumatera Barat, Malin Kundang
Pada zaman dahulu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatera. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas.

Maka tinggallah si Malin dan Ibunya di gubug mereka. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, bahkan 1 tahun lebih lamanya, ayah Malin tidak juga kembali ke kampung halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah. Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya terluka oleh batu tersebut. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.

Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan pada ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berfikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nahkoda kapal yang dulu miskin sekarang menjadi kaya raya.


Malin kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin akhirnya menyetujui walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya."Anakku, jadi orang yang berkecukupan , jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamanmu ini, nak", ujar ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata.

Kapal yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal di rampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.

Malin Kundang terkatung-katung di tengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang di tolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, lama kelamaan ia berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.

Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.

Setelah beberpa lama menikah , Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia di sambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat bekas luka di lengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang." Malin Kundang, anakku, mengapa engkau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?" katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh." Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku". kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang camping.

" Wanita itu ibumu?" tanya istri Malin Kundang." Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan hartaku," sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan perlakuan yang semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata, " Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi ia menjadi sebuah batu",

Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Sampai saat ini batu Mali Kundang masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Aia Manih, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.
 
Sumber 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Provinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011
Read More

Post Top Ad