Maret 2015 - Blog Oblok Oblok

Hot

Post Top Ad

Kisah Sutina

23.15 0
kisah sutina
Sutina adalah seorang gadis yang tinggal di sebuah desa terpencil dan jauh dari keramaian. Bila senja tiba, warga desa tidak ada satupun yang keluar rumah. Seolah tidak ada kehidupan di sana. Walaupun demikian, warga desa hidup dengan damai tentram dan sejahtera. 

Sutina anak sulung dari empat bersaudara. Jika tidak sedang membantu orang tuanya di sawah, Sutina mengerjakan pekerjaan rumah karena adiknya masih kecil-kecil. Meskipun demikian Sutina tak pernah mengeluh meski sekolah pun tak tamat. 

Suatu ketika datanglah Pak Jaya, orang kaya di desa. "Begini, maksud kedatangan saya adalah ingin mengajak Sutina ke kota. Di sana nanti ia bisa belajar menyanyi dengan serius dan melanjutkan sekolahnya lagi." 

"Tapi Pak Jaya, apa Sutina punya kemampuan seperti itu?" 

"Semalam saat Sutina menyanyi pada hajatan anak saya, saya yakin dia punya bakat. Kalau diasah pasti akan bagus." 

"Saya tidak yakin, Pak," kata Ayah Sutina. 

"Percayalah pada saya, Pak. Saya hanya kasihan pada Sutina yang memiliki bakat bagus, tapi tak bisa dikembangkan. Kalau di desa terus kapan bisa maju?" 

"Saya bicarakan dengan istri saya dulu. Saya juga harus tanya Sutina." 

Pak Jaya memberikan waktu tiga hari untuk berpikir. Sutina sempat menolak karena tak bisa hidup jauh dari keluarganya. Namun orang tua Sutina menyadari, jika Sutina hanya terus hidup seperti ini juga kasihan. 

Akhirnya orang tua Sutina menyetujui saran Pak Jaya. Maka dua hari kemudian, berangkatlah Sutina diiringi isak tangis ibu dan adik-adiknya. 

Sutina tinggal bersama adik Pak Jaya yang memiliki stuidio rekaman. Sutina diajarkan teknik menyanyi, mengatur napas hingga Sutina benar-benar menguasai. 

Sampai enam bulan, Sutina masih rajin memberi kabar. Namun setahun kemudian, dandanan, pakaian, gaya hidup Sutina telah berubah total. Apalagi ia mulai menjadi penyanyi terkenal. Hingga akhirnya ia Sutina melupakan orang tua, adik-adik, dan juga kampung halamannya. 

Sutina pun telah merubah namanya menjadi Inas. Dan setiap kali ditanya asalnya, Sutina tak pernah mau mengatakan, bahkan Sutina mengaku sebagai anak tunggal dan sudah tak memiliki orang tua lagi. Meski orang tua dan adik-adiknya sakit hati, mereka tidak ingin menuntut. Orangtuanya menyadari bahwa Sutina malu berasal dari keluarga miskin dan mereka yakin suatu saat Sutina akan sadar akan kekeliruannya. 

Sumber : Majalah Bobo Edisi 02 Thn III 
Terbitan : 27 Mei - 3 Juni 2003.
Read More

Legenda Batu Kepampang

07.37 0
Batu Kepampang
Di Lampung Utara tepatnya di daerah Kinali sekarang, pada zaman dahulu kala terdapat sebuah kerajaan kecil yang maju. Kerajaan itu di bawah pengaruh kerajaan besar Sriwijaya di Palembang sekarang ini.

Menurut buku-buku sejarah dan cerita rakyat di daerah Kinali, pada zaman itu keadaan masyarakat sangat aman sebab sudah ada peraturan hukum yang berlaku secara menyeluruh bagi masyarakat yang menganut kepercayaan dinamisme. 

Untuk keamanan seluruh kerajaan, ditetapkan hukum yang melarang orang berbuat jahat, membunuh, mencuri, dan menganggu orang lain. Bila ada anggota masyarakat berbuat jahat, akan dikenakan hukuman pemotongan leher di sebuah batu, sekaligus sebagai persembahan kepada dewa yang menguasai bumi.

Batu tempat pengawal kerajaan memotong leher orang yang bersalah itu dinamakan Batu Kepampang. Hingga kini batu itu masih ada di daerah Kinali. Sudah banyak orang yang dibunuh di atas Batu Kepampang. Akan tetapi, sejak zaman kolonial hukuman pemotongan leher itu dilarang dan diganti dengan hukuman yang sesuai dengan perkembangan zaman. 

Menurut cerita orang-orang tua yang masih ada di Kinali, masyarakat pada zaman dahulu sangat takut mendengar Batu Kepampang. Banyak penjahat bertobat karena mereka akan mendapat hukuman berat dari raja apabila ketahuan melakukan kejahatan di wilayah kerajaan yang sampai sekarang tidak diketahui namanya itu. 

Para penjahat yang sekaligus dijadikan korban para dewa dan dipotong lehernya di atas Batu Kepampang disebut Irawan. Masyarakat Lampung kuno sangat percaya bahwa orang yang bersalah harus dianiaya sampai mati. Maksudnya untuk menghapus rasa malu di tengah masyarakat. Apabila sudah menganiaya orang sampai mati, rasa malu keluarga akan terobati. Akan tetapi, setelah masuknya pengaruh agama Islam dan Lampung didatangi  orang-orang kolonial, cara itu tidak dibenarkan lagi. 

Sampai sekarang, legenda Batu Kepampang  masih saja didongengkan orang-orang tua di daerah Lampung Utara. Maksudnya, untuk mendidik anak cucu mereka agar selalu berbuat baik dan tidak menganggu orang lain. Oleh karena itu, sampai kini orang Lampung sangat terbuka kepada setiap orang yang datang dari luar Lampung. Mereka dengan cepat dan mudah bergaul secara akrab dengan kaum pendatang. 

Batu Kepampang sebagai bukti legenda, dan sampai saat ini masih ada di Kinali. 

Kesimpulan
Pelajaran yang dapat kita ambil dari legenda ini bahwa orang yang melakukan kesalahan atau berbuat jahat harus mendapat hukuman yang setimpal. Demikian pula orang yang berbuat baik dalam kehidupan sehari-harinya akan mendapat pahala, baik penghargaan dari sesama manusia, maupun dari Tuhan Yang Menciptakan Alam Semesta ini. 

Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Lampung 
Penulis : Naim Emel Prahara 
Penerbit : Grasindo Jakarta

Read More

Pengorbanan Alexander

23.04 0
Pengorbanan Alexander
Malam itu Yuri dan Anna, istrinya, dalam perjalanan pulang dari kota. Dmitry, bayi mereka tidur lelap di pelukan. Mobil tua bak terbuka milik Yuri menderu-deru di tengah lebatnya salju. Ketika sudah dekat rumah, lampu mobil menyorot benda berbulu tergeletak di jalan. Yuri turun untuk memeriksa. Ternyata seekor beruang. Jantungnya masih berdenyut. Yuri menaikkan beruang itu ke bak belakang dan menyelimutinya dengan karung bekas gandum.

Setiba di rumah, Yuri segera membasuh dan membalut luka-luka beruang itu. "Bagaimana kalau ia kita beri nama Alexander?" Yuri meminta pendapat istrinya. Anna mengangguk setuju. 

Tiga hari kemudian, Alexander mulai pulih. Ia sudah bisa leluasa bergerak, bergulungan di salju. Yuri dan Anna sangat kagum, ternyata beruang itu sangat lembut dan bersahabat. Alexander lebih sering menyembunyikan kuku-kukunya yang tajam dibalik tebalnya bulu-bulunya. 

Yuri dan Anna menganggap Alexander sebagai anggota keluarga mereka. Anna mengajari beruang itu cara menggoyang-goyang boks Dmitry dan memegangi botol susunya. Alexander melakukan semua itu dengan sempurna. 

Pada mulanya, orang-orang di sekitar mereka menganggap tindakan keluarga Yuri sangatlah berbahaya. Mereka buru-buru menutup pintu rumah jika melihat Alexander bermain-main di luar. 

"Kau harus membuktikan bahwa kau seperti mereka kira, Alexander," kata Yuri sambil mengelus-ngelus bulu Alexander. 

Alexander seperti mengerti perkataan Yuri. Ia menunjukkan kasih sayangnya pada lingkungan sekitarnya. Ia bercanda dengan Angus si sapi. Serta menggiring Olga domba ketika Yuri hendak memangkas bulu-bulu mereka untuk dibuat wool yang hangat. Ow, Alexander juga membantu Pak Tua Oliver mendorong gerobak jeraminya menaiki tanjakan. 

"Ouf, terima kasih, Alexander," kata Pak Tua Oliver sambil menyeka peluhnya. Pak Tua Oliver lalu memberikan Alexander sebuah apel.

Lambat laun, orang-orang mulai menerima Alexander di tengah-tengah mereka. Ia tidak lagi dianggap sebagai binatang buas berbahaya. 

Suatu malam, Yuri dan Anna diundang ke sebuah pesta agak jauh di kota. Dmitry ditinggal di rumah ditemani Alexander. Pintu rumah dikunci dari luar agar tidak dimasuki orang jahat. Yuri sangat percaya pada Alexander. 

Melihat Dmitry tidur nyenyak, Alexander merebahkan tubuhnya di dekat boks bayi. Semua keperluan Dmitry telah disiapkan di dekatnya. Jika bayi itu terbangun, Alexander tinggal memberikan botol susu, atau menggoyang-goyangkan boks bayinya. 

Ketika sedang terkantuk-kantuk. Hidung Alexander mencium bau benda terbakar. Ya ampun, ternyata api telah berkobar di dapur. Dan mulai menjilat gorden dan benda-benda mudah terbakar lainnya. Alexander agak panik. Untunglah ia teringat untuk menyelamatkan tuannya. Alexander segera mengangkat Dmitry dan menggendongnya di pundak. Di pecahkannya kaca jendela dan melompat keluar. Api yang mengganas membuatnya semakin takut dan berlari tak tentu arah. Tanpa sadar ia telah jauh masuk ke dalam hutan yang dihuni kawanan serigala. 

Kekalutan makin mencekam. Serigala-serigala pembunuh itu mengepung Alexander dan Dmitry . Arrgh! Alexander berulang kali mengeluarkan auman yang menakutkan. Serigala-serigala itu menggonggong sambil memamerkan tajamnya taring-taring mereka. 

Susah payah Alexander mencoba mengadakan perlawanan. Untuk pertama kalinya ia menggunakan cakar-cakarnya untuk mengusir serigala yang menyerangnya. Sementara sebelah tangannya erat memeluk Dmitry. Beberapa cakaran sempat bersarang di tubuh serigala-serigala itu. Namun, karena jumlah yang tak seimbang, justru Alexanderlah yang lebih banyak terluka. Dengan auman terakhir yang sangat keras, ia memaksa kawanan serigala itu lari tunggang langgang. Tak kuasa menahan pedihnya luka-luka di sekujur tubuhnya, Alexander roboh ke tanah yang diliputi salju. 

Orang-orang desa membantu keluarga Yuri memadamkan api di rumahnya yang sebagian besar telah hangus. Mereka menemukan keranjang Dmitry kosong tanpa pemiliknya. 

"Oh...Yuri! Di mana Dmitry, anak kita?" Anna menangis histeris. 

Tiba-tiba seseorang dari mereka berteriak, "Hei! Ada jejak Alexander di salju!" warga desa sepakat mengikuti jejak-jejak itu. 

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar tangis kecil Dmitry. Ketika ditemukan, ia dalam pelukan Alexander yang hangat. Ada bercak-bercak darah di wajah Dmitry, namun tak ditemukan sedikitpun luka padanya. Tapi sungguh tragis, si beruang sahabat warga desa itu tak dapat diselamatkan nyawanya. Ia telah kehilangan banyak darah. 

Alexander dikuburkan tak jauh dari peternakan. Pemakamannya dihadiri orang-orang yang pernah ditolong dan disapanya tiap pagi. Semua terharu akan pengorbanan seekor beruang untuk sahabat manusianya. 

Sumber : Majalah Bobo Terbitan 19 Juni 2003
Diterjemahkan oleh Tatas Ajidharma
Read More

Legenda Sultan Domas

18.01 0
legenda sultan domas
Pada zaman dahulu kala, di Lampung terdapat sebuah dusun yang cukup ramai di pinggir sebuah sungai yang mengalir ke Lau Jawa. Dusun atau kampung itu kini terletak di kota tua Sukadana, Lampung Tengah. Pada waktu itu belum ada jalan raya, apalagi mobil, sepeda motor, atau kendaraans lain. Rakyat hidup sederhana. Rumah-rumah masih jarang. Mata pencaharian rakyat di kampung hanya berladang dan berkebun. 

Di kampung itu hidup seorang pemuda bernama Domas. Ibu dan ayahnya sudah meninggal dunia. Karena miskin dan tidak punya harta, Domas sering dihina penduduk kampung sehingga ia jarang keluar dari gubuk peninggalan orang tuanya. Tiap hari kerjanya memancing ikan di sungai yang tidak jauh dari gubuknya. Domas yang miskin dan yatim piatu itu tidak mau membenci penduduk kampung meski mereka suka menghina dirinya. 

Pada suatu hari, ketika Domas pulang dari mencari kayu bakar di hutan, ia mendapatkan gubuknya sudah dibakar orang. Perasaan Domas yang hidup sebatang kara itu hancur lebur. Ia merenungi nasibnya yang malang dan ingin bunuh diri. Akan tetapi, pada suatu malam, Domas yang tidak punya rumah dan tinggal di bawah atap daun pisang yang ia buat, bermimpi didatangi kakek tua berjanggut putih panjang terurai itu berpesan kepada Domas agar ia pergi ke arah selatan. 

"Apabila cucu bertemu sebuah sungai besar yan dikelilingi banyak pohon besar, menetaplah di sana. Jangan lupa membuka ladang untuk ditanami sayur-sayuran dan buah-buahan sebagai bekal sehari-hari," kata kakek dalam mimpi itu. 

Setelah mendengar pesan itu, Domas terbangu. Ia mencari kakek tua itu, tetapi tidak ada. Karena sering dihina oleh orang sekampungnya, Domas pun mengikuti pesan dalam mimpi. 

Pada suatu hari, menjelang fajar, dengan berat hati Domas meninggalkan kampug halamannya menuju tempat yang disebutkan kakek tua dalam mimpi itu. Masuk kampug keluar kampung, masuk hutan keluar hutan. Berhari-hari ia melakukan perjalanan dan sering menghadapi berbagai gangguan. Kadang-kadang ia bertemu dengan binatang buas seperti harimau, buaya dan ular. Ia pun menghadapi gangguan jin penunggu hutan. Akan tetapi, ia sudah bertekad pergi jauh meninggalkan kampungnya. Ia yakin, suatu saat hidupnya akan tenteram dan mempunyai ilmu tinggi. 

Setelah berjalan berbulan-bulan, akhirnya sampailah Domas di sebuah hutan lebat. Di hutan itu ada sebuah sungai besar, airnya sangat jernih. Domas tercengang! Tiba-tiba ia ingat pesan kakek tua dalam mimpinya dulu. 

Tanpa berpikir lama, Domas memutuskan untuk tinggal di tepi sungai yang sekarang bernama Sungai Way Sekampung. Berhari-hari ia mengumpulkan kayu untuk membuat pondok. Setelah itu, ia pun menebang pohon untuk dibuat ladang. Hati Domas semakin tenteram. Di sungai itu banyak terdapat ikan yang bisa didapat dengan mudah. 

Karena tidak ada pekerjaan lain, Domas sering melakukan semadi atau bertapa. Waktu pun berlalu dengan cepat. Pada suatu hari, saat bertapa pada malam hari, ia mendapat pesan gaib. Ia diberi ilmu kesaktian serta sebilah pedang dan tongkat kayu berbentuk ular. Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Domas menerima semua pemberian itu dan akan menggunakannya dengan baik untuk membantu orang yang memerlukan pertolongan dan orang yang mengalami musibah. 

Sejak menerima pemberian itu. Domas diberi tambahan nama dengan sebutan Sultan. Nama lengkapnya menjadi Sultan Domas. Karena perkembangan zaman, sekitar tempat Sultan Domas bertempat tinggal sering dikunjungi orang. Ada yang mencari ikan di sungai. Ada pula yang mencari rotan. Mereka pun bertemu dengan Sultan Domas yang sudah tua di tengah hutan. 

Pada mulanya mereka merasa takut dengan Sultan Domas. Akan tetapi, lama-kelamaan mereka tahu bahwa orang yang berada sendirian di tengah hutan itu orang baik. Berkali-kali para pencari ikan ditolong oleh Sultan Domas ketika mereka diserang buaya-buaya penunggu sungai. Orang yang diganggu binatang buas di dalam hutan pun ditolong Sultan Domas tanpa imbalan jasa. 

Meskipun demikian, tidak semua orang yang ditolong Sultan Domas mau menerima pertolongan itu dengan ikhlas. Diantara mereka ada yang berniat jahat, walaupun pernah dibantu Sultan Domas. Apalagi mereka tahu bahwa Sultan Domas mempunyai ilmu yang sakti serta memiliki sebilah pedang dan tongkat kayu yang bagus. 
Menurut  kisah penduduk kampung, pada suatu hari ketika Sultan Domas mencari ikan di hulu Sungai Way Sekampung, datanglah lima orang lelaki berwajah seram ke pondoknya. Ternyata, mereka sudah lama mengintip dan menunggu Sultan Domas pergi dari pondok. Mereka ingin mencuri pedang dan tongkat Sultan Domas. Konon, ketika Sultan Domas pergi agak jauh menyusuri aliran sungai, mereka segera menuju ke pondok. Semua barang milik Sultan Domas diambil, termasuk sebilah pedang dan tongkat kayu. 

Setelah mendapatkan semua yang diinginkan, mereka bermaksud meninggalkan pondok Sultan Domas dan membakar pondok. Akan tetapi, setiap kali mereka akan membakar pondok, api tidak bisa hidup. Akhirnya, niat untuk membakar pondok dibatalkan. Mereka segera pergi, tetapi di depan pintu pondok mereka terhenti karena ada seekor ular besar yang mengeluarkan semburan berhawa panas. Mereka panik dan membuka dinding bagian belakang pondok. Akan tetapi, di sana juga ada seekor buaya besar yang siap menerkam. Dengan perasan takut, kelima orang jahat itu terkepung di dalam pondok sampai Sultan Domas pulang. 

Sultan Domas tidak terkejut ketika melihat orang-orang jahat itu di dalam pondok. Bahkan, dengan ramah ia menyapa kelima orang yang sedang ketakutan itu. Mereka tidak bisa berbicara, mulut mereka serasa terkunci. 

Sultan Domas memberi salam satu per satu kepada kelima orang itu. Aneh bin ajaib, kelima orang yang bermaksud jahat itu bisa membuka mulut. Sultan Domas hanya tersenyum dan mengajak mereka bermalam di pondoknya. Karena hari sudah menjelang malam dan karena takut, mereka menerima tawaran itu. Malam itu baru Sultan Domas tahu kalau disekitar hutan tempat tinggalnya ada perkampungan yang bisa dicapai dengan berjalan kaki selama satu hari. 

Setelah kelima orang itu pulang, tersebarlah di seluruh daerah bahwa di pinggir sungai dalam hutan Way Sekampung ada orang sakti yang sangat baik sifatnya. Menurut cerita orang tua, banyak orang ingin membuka ladang di sekitar tempat tinggal Sultan Domas dulu. Lama-kelamaan, tempat itu menjadi perkampungan. Sultan Domas pun diangkat menjadi pemimpin. 

Sampai sekarang legenda Sultan Domas masih dikenal masyarakat. Bahkan, makam Sultan Domas yang ada di pinggir Sungai Way Sekampung dianggap keramat. Banyak orang melakukan semadi meminta petunjuk lewat makam Sultan Domas yang terletak di desa Sidomukti, kecamatan Sekampung, Kabupaten Lampung Tengah. 

Sungai di pinggir makan itu sering banjir. Anehnya, Jika sungai Way Sekampung banjir besar, makam itu tidak pernah tenggelam sementara tempat-tempat di sekitarnya digenangi air sungai. 

Kesimpulan
Cerita rakyat ini berisi ajaran pendidikan, yaitu orang yang tabah dan mengalah bukan berarti kalah. Tuhan selalu memberikan petunjuk bagi orang yang sabar, tidak selalu mengejar harta benda, lupa diri, atau sombong. Demikianlah jalan hidup Sultan Domas, dari anak yatim piatu yang tidak mempunyai pangkat, harta benda, berkat ketabahan hatinya, akhirnya berhasil menjadi orang yang disegani dan memiliki kesaktian yang tinggi. 

Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Lampung 
Penulis : Naim Emel Prahara 
Penerbit : Grasindo Jakarta
Read More

Legenda Minak Kejalo Ratu dan Minak Kejalo Bidin

05.54 0
legenda minak kejalo ratu dan minak kejalo bidinMenurut cerita masyarakat Lampung yang tinggal di daerah Pungung, Lampung Tengah dan sekitarnya, setelah Raja Banten menikah dengan Putri Kandang Rarang dan Putri Sinar Alam, raja itu pun pulang ke istananya di Banten tanpa membawa kedua istrinya.

Kedua istri Raja Banten yang tinggal di Kerajaan Pungung, akhirnya melahirkan masing-masing seorang anak lelaki. Putri Kandang Rarang melahirkan seorang putra yang diberi nama Minak Kejalo Ratu bergelar Ratu Darah Putrih, sedangkan Putri Sinar Alam melahirkan seorang putra yang diberi nama Minak Kejalo Bidin. Kedua putra Raja Banten dari istri keturunan Raja Pungung itu kian hari kian besar. Keduanya bersaudara sebab ibu mereka kakak beradik, satu keturunan. 

Tersebutlah cerita, pada suatu hari Minak Kejalo Ratu dan Minak Kejalo Bidin bermain-main dengan kawan-kawan sekampung. Ternyata, mereka kalah. Karena kalah, keduanya diejek dan dihina kawan-kawan sepermainan. Anak-anak itu mengatakan bahwa Minak Kejalo Ratu dan Minak Kejalo Bidin tidak punya ayah. Mendengar hinaan itu, Minak Kejalo Ratu dan Minak Kejalo Bidin pulang mengadukannya kepada ibu mereka. Tiba di rumah, keduanya menyampaikan apa yang mereka dengar dari anak-anak kampung tadi. 

"Benar, kalian tidak mempunyai ayah!" jawab Putri Kandang Rarang maupun Putri Sinar Alam setelah mendengar pertanyaan putra-putranya. Mendengar jawaban itu, Minak Kejalo Ratu maupun Minak Kejalo Bidin termenung, lalu keduanya ke luar rumah. Saat termenung, mereka melihat ada tiga ekor burung di daun kelapa. Ketiga burung itu adalah burung tekukur yang sedang mengapit anaknya. Bergegaslah kedua anak Raja Banten itu masuk ke rumah. Mereka bertanya kepada ibu mereka. 
"Bu, apakah burung tekukur di atas daun kelapa itu mempunyai ayah dan ibu?" tanya Minak Kejalo Ratu. 

"Benar, burung tekukur itu adalah ayah dan ibu dari anak burung yang sedang mereka asuh," jawab Putri Kandang Rarang. 

"Kalau begitu, kami juga punya ayah?" tanya Minak Kejalo Bidin. 

"Benar, ayah kalian adalah Raja Banten. Letak Banten jauh dari sini," jawab Putri Kandang Rarang kepada Minak Kejalo Ratu dan Minak Kejalo Bidin.

Setelah agak besar, Minak Kejalo Ratu dan Minak Kejalo Bidin berunding. Keduanya bermufakat akan pergi ke Banten menemui ayah mereka. Akhrinya, diputuskanlah bahwa suatu hari kelak mereka akan pergi ke Banten menyusuri Sungai Sekampung. 

Sesuai dengan keputusan. Keduanya pun berangkatlah. Setiba di Muara Kula, Minak Kejalo Ratu berkata kepada adiknya, "Hai Adikku, sekarang kita kelaparan ..." 

Karena bekal mereka kuang, Minak Kejalo Bidin meneruskan perjalanan berlayar menuju Banten. Sementara itu, Minak Kejalo Ratu, sang kakak tinggal di Pelabuhan Ratu. 

Akhirnya, Minak Kejalo Bidin sampai di Banten. Ia langsung menghadap Raja Banten, ayahnya. Ketika ia hendak pulang ke Lampung, ayahnya memberi hadiah berupa tiga buah keris pusaka; Kelambi Sani, Atteu Lawet, dan Cemmai Segannik namanya, serta sebuah peti, Ayah Minak Kejalo Bidin berpesan agar peti itu jangan dibuka sebelum tiba di Lampung. 

Kemudian, pulanglah Minak Kejalo Bidin ke Lampung. Di tengah laut, Minak Kejalo Bidin tidak sabar ingin mengetahui isi peti pemberian ayahnya. 

Isi peti itu ternyata bula-bula (guci dari tanah, berisi air tertentu). Ketika dibuka, bula-bula itu melompat keluar. Satu melompat ke Pulau Sengiang dan yang lain ke Pulau Tempurung. Sebelum bula-bula melompat, terjadi perkataan/perjanjian dari bula-bula itu, apabila kelak di kemudian hari Minak Kejalo Bidin mendapat kesusahan, panggillah bula-bula yang keluar dari peti itu. 

Sementara itu, Minak Kejalo Ratu berlayar menumpang sebuah perahu menuju Banten menemui ayahnya. Menurut cerita orang tua di Pungung, ketika sampai di hadapan Raja Banten, berceritalah Minak Kejalo Ratu. Akan tetapi, Raja Banten tidak percaya. 

"Alangkah banyak anak saya di Lampung," kata Raja Banten mendengar pengakuan Minak Kejalo Ratu. " Kalau begitu saya uji engkau," kata Raja. 

Minak Kejalo Ratu bersedia diuji. Ia disuruh tidur di atas daun pisang selama tiga hari tiga malam. Apabila daun pisang tidak layu, berarti benar ia anak Raja Banten. 

Setelah tiga hari tiga malam, ternyata daun pisang alas tidur Minak Kejalo Ratu tidak layu. Daun pisang itu tetap segar dan hijau. Setelah itu, resmilah pengakuan Raja Banten terhadap Minak Kejalo Ratu sebagai anaknya yang berasal dari istrinya, Putri Kandang Rarang di Lampung. 

Setelah beberapa hari, Minak Kejalo Ratu pun minta diri untuk pulang ke Lampung. Karena tidak ada yang diberikan kepada Minak Kejalo Ratu, Raja Banten hanya memberi Kancing Lawang Kuri dengan pesan agar tidak dibuka sebelum tiba di Lampung. 

Di tengah perjalanan, di laut, Minak Kejalo Ratu berkata dalam hati bahwa kancing Lawang Kuri pemberian ayahnya banyak terdapat di Lampung. Oleh karena itu, Kancing Lawang Kuri itu dibuang ke laut. Karena terbuat dari kayu, Kancing Lawang itu mengapung dan berubah menjadi keris. Ketika Minak Kejalo Ratu mengambil keris itu, ternyata berubah kembali menjadi kayu. Begitu seterusnya. Akhirnya keris itu dibawa pulang ke Lampung dalam bentuk Kancing Lawang Kuri. Itulah asal usul keris pusaka Lampung yang bernama Keris Stemen Piteu. Sampai sekarang keris itu dianggap memiliki kekutan gaib.

Ketika Minak Kejalo Ratu sampai di Lampung, ia bertemu dengan adiknya, Minak Kejalo Bidin. Beberapa waktu setelah setelah itu atau kurang lebih tiga tahun. Minak Kejalo Ratu dan Minak Kejalo Bidin bermufakat membuat kampung yang diberi nama Pakuwen Ratu, sekarang bernama Asahan, pindah dari Sri Kulo.

Setelah kampung Pakuwen Ratu terbentuk, Minak Kejalo Ratu dan Minak Kejalo Bidin berselisih paham karena keduanya ingin menjadi pemimpin kampung. Karena tidak ada yang mau mengalah, keduanya memutuskan calaon pemimpin melalui adu kerbau.

Minak Kejalo Ratu mempunyai seekor kerbau kecil, sedangkan adiknya mempunyai kerbau besar. Ketika kerbau mereka diadu di tengah lapangan dan ditonton orang, kerbau kecil segera memburu kerbau besar. Dia ingin menyusu. Entah bagaimana, kerbau besar merasa geli dan lari tunggang langgang. Dengan demikian, kalahlah Minak Kejalo Bidin.

Karena malu, Minak Kejalo Bidin meninggalkan kampungnya dan pergi menyeberang Air Sekampung di Kali Andak. Kedua bersaudara itu membagi tanah sebelah Air Sekampung sampai Way Kubang Repipue dan Dawak Buring Sebelah Tigeneneng menjadi kekuasaan Ratu Melinting alias Minak Kejalo Bidin.

Sebelah Air Sekampung, Batu Andak sampai Belimbing Tanjung Cina menjadi kekuasaan Ratu Darah Putih alias Minak Kejalo Ratu di Kali Andak.

Kesimpulan
Cerita Minak Kejalo Ratu dan Minak Kejalo Bidin adalah legenda nenek moyang orang Lampung. Legenda ini memberikan pelajaran kepada kita untuk memahami sejarah dan kebudayaan negeri sendiri dan menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sekarang serta masa yang akan datang. Selain itu, cerita di atas mengajarkan kepada kita bahwa harta benda dan jabatan sering membuat orang lupa diri. Bahkan, kakak beradik bisa ribut karenanya.

Oleh karena itu, janganlah hidup ini digunakan semata-mata untuk memikirkan harta dan jabatan. Pikirkan juga masalah sesudah hidup ini ada kehidupan lain yang harus dipersiapkan sejak sekarang. 

Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Lampung 
Penulis : Naim Emel Prahara 
Penerbit : Grasindo Jakarta
Read More

Legenda Asal-Usul Sukadana

05.51 0
Legenda Asal-Usul Sukadana
Ada sebuah kampung besar berpenduduk banyak. Akan tetapi, kampung itu belum bernama. Walaupun tokoh-tokoh masyarakat sudah berkali-kali mengadakan rapat. Mereka belum sepakat dengan nama-nama yang diusulkan. 

Penduduk kampung itu bertambah setiap hari karena banyaknya kaum pendatang dari daerah Palembang. 

Di pinggir kampung, tinggallah sepasang suami istri dan seorang anak mereka bernama Ki Agus Sulaiman. Nama itu jelas menunjukkan bahwa keluarga itu berasal dari daerah Palembang. Ayah Ki Agus Sulaiman bernama Ki Badaruddin dan ibunya bernama Cik Hamidah. Mereka sudah tidak sanggup lagi menghadapi Ki Agus Sulaiman. 

Ki Agus Sulaiman memang anak pemalas. Kerjanya tiap hari hanya bermain gitar. Jika punya uang atau makanan, ia bagikan kepada orang lain, padahal orang tuanya miskin. Akan tetapi, apa hendak dibuat oleh orang tua Ki Agus Sulaiman, anaknya adalah anak tunggal. Semua kemauannya dituruti. 

Menurut cerita, Ki Agus Sulaiman mempunyai dua buah rebana, sebuah gitar, dan sebuah suling. Sambil bernyanyi, ia bunyikan alat-alat musik itu dengan serius. Bila sudah menyanyi, ia lupa makan, tidur, atau membantu orang tuanya. Bahkan, ia akan memberikan uang pemberian orang tuanya kepada orang lain. 

Pada suatu hari, para tokoh kampung duduk di sebuah balai pertemuan membicarakan kampung mereka yang sudah berbulan-bulan belum juga berhasil diberi nama. Tiba-tiba Ki Agus Sulaiman masuk ke balai pertemuan kampung. Dengan tangkas ia menyanyikan beberapa lagu dan memainkan rebananya. Tokoh masyarakat yang hadir pada waktu itu terpaku mendengar suara Ki Agus Sulaiman. Apalagi alat musik yang dimainkannya sangat sesuai dengan alunan lagu yang didendangkan. 

Rakyat biasa tidak berani masuk ke ruang balai pertemuan kampung, kecuali para tokoh terkenal. Akan tetapi, Ki Agus Sulaiman tidak mau tahu masalah itu. Setelah bernyanyi, ia pun pergi. Ketika para tokoh masyarakat masih terpaku, ia sudah bernyanyi di jalan-jalan kampung. Ia diikuti oleh anak-anak yang senang mendengarkan nyanyiannya. Dari jauh tampak ibu Ki Agus Sulaiman menyusulnya sambil membawa ranting kayu. 

"Ayo, ayo pulang, Nak!" pinta ibunya. 

"Nanti, Bu. Agus masih mau bernyanyi untuk anak-anak kampung kita," kata Ki Agus Sulaiman. Ibunya tetap menarik tangan anaknya. 

Di perjalanan, ibunya mengatakan bahwa perbuatan Agus memasuki balai pertemuan akan membahayakan keluarga. "karena sejak zaman nenek moyang kita, kecuali tokoh kampung yang berilmu tinggi, tidak boleh masuk ke sana," kata ibu Ki Agus Sulaiman. Kata-kata ibunya diremehkan Agus, panggilan akrab Ki Agus Sulaiman. 

"Bu, Agus kesana untuk menghibur, karena Agus tahu Bapak-bapak kita itu sedang kacau pikirannya!" jelas Agus dengan manja kepada ibunya. 

Walaupun niatmu baik, tetap tak boleh. Kita pasti akan dihukum!" ujar ibu Agus. Ibu dan anak itu pun pulang ke rumah. Tidak ada kata-kata yang mereka ucapkan selama dalam perjalanan. 

Sejak peristiwa itu, kampung Ki Agus Sulaiman gempar. Akan tetapi, tidak ada orang yang menghukumnya sebagaimana orang lain memasuki balai pertemuan. Setelah berlalu sekitar tiga bulan, datanglah utusan tokoh masyarakat ke rumah orang tua Agus. Orang tua Agus sangat takut didatangi utusan tokoh kampung mereka. 

"Tuan, apa kesalahan kami sehingga tuan datang ke gubuk kecil ini?" tanya ayah Agus. 

Utusan itu berkata,"kami diutus untuk memberitahu Ibu, Bapak, dan Nak Agus, agar besok pagi datang ke balai pertemuan!" 

Mendadak wajah ayah dan ibu Agus pucat. Setelah utusan itu kembali, anak beranak Ki Badaruddin diam membisu. Mereka yakin akan menerima hukuman. 

Keesokan harinya, dengan perasaan takut, Ki Badaruddin, istrinya, serta Ki Agus Sulaiman berangkat menuju balai pertemuan. Kedatangan mereka sudah ditunggu para tokoh masyarakat. Setelah dipersilakan masuk, rapat pun dimulai. Sementara ayah dan ibu Agus diam tidak bergerak sedikitpun. Ki Agus Sulaiman malah senyum-senyum. 

"Saudara-saudara, hari ini adalah hari bersejarah bagi kampung kita. Sebab, hari ini kita telah memutuskan sebuah nama untuk kampung kita setelah melalui rapat yang cukup lama," seorang tokoh bertubuh tinggi besar dan bersuara berat membuka rapat pagi itu. Tokoh-tokoh lain diam saja. Ki Badaruddin dan istrinya gelisah menanti hukuman akibat ulah anak mereka. 

"Setelah  dipertimbangkan dengan masak-masak, nama kampung kita adalah .....," sambung tokoh itu sambil memandang Ki Agus Sulaiman. Ayah dan Ibu Ki Agus Sulaiman semakin waswas. "Nama kampung kita adalah Sukadana," sambung tokoh itu kembali. 

Orang-orang pun hening mendengarkan keputusan nama kampung mereka. Lalu, tokoh itu memberikan alasan kenapa mereka memilih nama Suka-dana yang terdiri dari dua kata, yaitu karena Ki Agus Sulaiman. Ia mengatakan bahwa perbuatan Agus yang suka menghibur orang dan memberikan uang kepada orang lain adalah perbuatan yang sangat baik. "Oleh karena itu," kata pemimpin itu, "nama kampung ini kita ambil dari sifat baik Nak Agus." 

Semua yang hadir tercengang. Mereka minta restu dari Ki Agus Sulaiman. Tentu saja Ki Agus Sulaiman merestuinya. Ia tidak menyangka, gara-gara menyanyi di balai pertemuan, dapat memberi keputusan nama kampungnya. 

Sejak saat itu, kampung Ki Agus Sulaiman disebut Sukadana dan Ki Agus Sulaiman menjadi tokoh masyarakat. 

Kesimpulan
Tidak dapat diingkari lagi, cerita rakyat ini adalah legenda karena menyangkut asal-usul kota Sukadana, yang sekarang menjadi ibu kota Kecamatan Sukadana. Masyarakat di Sukadana banyak yang berasal dari Palembang. Kota ini sekaligus sebagai asal-usul nyanyian pemuda-pemudi di Sukadana yang suka bernyanyi dengan rebana. 

Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Lampung 
Penulis : Naim Emel Prahara 
Penerbit : Grasindo Jakarta
Read More

Ompung Silamponga, Asal Mula Nama Lampung

20.05 0
Menurut cerita, di daerah yang kini disebut Tapanuli. Meletuslah sebuah gunung berapi. Karena letusannya sangat hebat, banyak penduduk mati akibat semburan api lahar, dan batu-batuan dari gunung berapi itu. Akan tetapi, banyak juga yang berhasil menyelamatkan diri. Meletusnya gunung berapi di Tapanuli itu, menurut cerita membentuk sebuah danau yang sekarang disebut Danau Toba.

Ada empat orang bersaudara di antaranya yang berhasil selamat dari letusan gunung berapi itu. Mereka menyelamatkan diri dan meninggalkan Tapanuli menuju arah tenggara. Mereka naik sebuah rakit menyusuri pantai bagian barat Pulau Swarnadwipa, sekarang bernama Pulau Sumatera. 

Keempat bersaudara itu bernama Ompong Silitonga, Ompung Silamponga, Ompung Silaitoa, dan Ompung Sintalanga. Berhari-hari mereka berlayar dengan rakit untuk menghindari letusan gunung berapi di kampung. Siang malam mereka tidur di atas rakit, terus menyusuri pantai. Berbulan-bulan mereka terombang-ambing di laut karena perjalanan mereka tanpa tujuan. Persediaan makanan yang dibawa makin lama makin menipis. Beberapa kali empat bersaudara itu singgah dan mendarat di pantai untuk mencari bahan makanan. Entah karena apa, pada suatu hari ketiga saudara Ompung Silamponga tidak mau melanjutkan perjalanan, padahal Ompung Silamponga saat itu sedang sakit. Mereka turun ke darat dan menghanyutkan Ompung Silamponga dengan rakit yang mereka tumpangi sejak dari Tapanuli. Berhari-hari Ompung Silamponga tidak sadarkan diri di atas rakitnya.

Akirnya pada suatu hari, Ompung Silamponga terbangun karena ia merasakan rakitnya menghantam suatu benda keras. Setelah membuka mata, Ompung Silamponga kaget. Rakitnya sudah berada di sebuah pantai yang ombaknya tidak terlalu besar. Anehnya, Ompung Silamponga merasa badannya sangat segar. Segera ia turun ke pasir, melihat ke sekeliling pantai. Dengan perasaan senang, ia tinggal di pantai itu. Kebetulan di sana mengalir sebuah sungai berair jernih. Ompung berpikir, di situlah tempatnya yang terakhir, aman dari letusan gunung berapi. Ia tidak tahu sudah berapa jauh ia berlayar. Ia juga tidak tahu di mana dimana saudaranya-saudaranya tinggal.

Cukup lama, Ompung tinggal di daerah pantai, tempatnya terdampar. Menurut cerita, tempat terdampar Ompung Silamponga dulu itu, kini bernama Krui, terletak di Kabupaten Lampung Barat, tepatnya di pantai barat Lampung atau disebut dengan daerah pesisir. Setiap hari Ompung bertani, yang bisa menghasilkan bahan makanan. Tidak disebutkan apa jenis tanaman yang ditanam Ompung saat itu.

Karena sudah lama tinggal di daerah pantai, ingin rasanya Ompung berjalan-jalan mendaki pegunungan di sekitar tempat tinggalnya. Semakin jauh Ompung masuk ke hutan, semakin senang ia melakukan perjalanan seorang diri.

Pada suatu hari, sampailah Ompung di suatu bukit yang tinggi. Dengan perasaan senang, ia memandang ke arah laut, lalu ke arah timur dan selatan. Ia sangat kagum melihat keadaan alam di sekitar tempatnya berdiri, apalagi di kejauhan tampak dataran rendah yang sangat luas.

Karena hatinya begitu gembira, tidak disadarinya ia berteriak dari atas bukit itu, "Lappung....Lappung....Lappung!" Kata Lappung berarti luas dalam bahasa Tapanuli. Dalam hati, Ompung, pasti disekitar dataran rendah yang luas itu ada orang. Dengan tergesa-gesa, ia menuruni bukit dan menuju dataran rendah yang ia lihat dari atas bukit.

Ompung pun sampai di tempat yang ia tuju. Ia bertekad untuk tinggal didataran itu selamanya dan akan membangun kampung baru. Setelah sekian tahun menetap, barulah Ompung bertemu dengan penduduk daerah itu yang masih terbelakang cara hidupnya. Meskipun demikian, mereka tidak menganggu Ompung, bahkan sangat bersahabat.

Akhirnya, Ompung pun meninggal dunia di daerah yang ia sebut Lappung, kini bernama Sekala Berak atau Dataran Tinggi Belalau di Lampung Barat.

Menurut cerita rakyat di daerah itu, bahkan para ahli sejarah tentang Lampung, nama Lampung itu sendiri berasal dari nama Ompung Silamponga. Akan tetapi ada juga yang mengatakan bahwa nama Lampung berasal dari ucapan Ompung Silamponga ketika berada di atas bukit, setelah melihat adanya dataran yang luas. Perlu diketahui, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Lampung, Prof Hilman Hadikusuma, SH, memasukkan legenda Ompung Silamponga sebagai teori ketiganya tentang asal-usul Lampung. Beliau menyebutkan bahwa Sekala Berak adalah perkampungan pertama orang Lampung. Penduduknya disebut orang Tumi atau Buay Tumi.

Kesimpulan
Menyimak kisah Ompung Silamponga di atas, jelaslah bahwa jenis cerita rakyat diatas adalah legenda rakyat Lampung yang masih dikenal banyak orang sampai kini. Terlepas benar atau tidaknya riwayat Ompung Silamponga itu, kita telah memperoleh pelajaran cukup penting tentang perjalanan seorang anak manusia yang tabah dan tidak kenal menyerah dalam usahanya mencari kehidupan yang baru. Di mana pun ia berada, ia dapat melangsungkan kehidupannya, yang penting berusaha dan bekerja. 

Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Lampung 
Penulis : Naim Emel Prahara 
Penerbit : Grasindo Jakarta

Read More

Hikmah Ulang Tahun

01.45 0
cerita anak / hikmah ulang tahun
Di sebuah rumah di Jakarta, seorang anak kelas 6 SD bernama Evi malam itu sedang melamun di ruang keluarga. Besok lusa hari ulang tahunnya. Evi lalu tersenyum-senyum sendiri.

"Kenapa tersenyum-senyum sendiri, Evi ?" tanya Papanya heran. Mamanya juga ikut memperhatikan sikap Evi.

Evi tak langsung menjawab. Ia lalu mengambil tasnya. "Lihat, Pa, Ma, tas Evi talinya hampir putus. Ulang tahun ini Evi dibelikan tas saja, ya? Saat hari ulang tahun Evi ingin ke sekolah pakai tas baru." pinta Evi penuh harap.

"Tentu saja boleh, sayang," jawab Papa.

"Horee, terima kasih, Pa, Ma," Evi pun girang.

"Ya sudah, Papa-Mama kan sedang sibuk, jadi biar Evi sendiri saja besok yang beli tas barunya, ya?" kata Papanya kemudian sambil menyerahkan beberapa lembar uang kertas pada Evi. Evi pun melonjak kegirangan.

Esok paginya, Evi pun menjemput Ruri teman sekelasnya untuk berangkat Sekolah. Ruri tinggal bersama ibunya yang sehari-harinya berjualan kue. Ayah Ruri sudah lama meninggal dunia. Ruri muncul dengan wajah kusut seperti belum mandi.

"Lho, jam segini belum siap, Ruri?" Evi terheran-heran.

"Aku tidak bisa sekolah hari ini," ujar Ruri dengan wajah sedih.

"Kenapa? Kamu sakit?" tanya Evi heran.

"Ibu yang sakit. Demam tinggi," lirih Ruri," Aku nitip surat izin untuk Pak Guru, ya?"

Evi pun mengangguk . Saat ia berjalan ke sekolahnya, ia memikirkan Ruri yang seorang diri menunggui ibunya yang sakit. Dari mana pula uang untuk biaya berobat?

Usai sekolah. Evi yang sebelumnya berencana ingin membeli tas baru di supermarket, ternyata langsung pulang. Diam-diam ia lalu sibuk mengerjakan sesuatu di kamarnya. Ilmu Prakarya yang diajarkan Bu Guru Tika di kelas diterapkannya.

Esok paginya, saat hari ulang tahun Evi tiba, Papa dan Mamanya kaget melihat Evi ternyata tak mengenakan tas baru saat akan berangkat sekolah.

"Lho, Evi, katanya ulang tahun mau pakai tas baru ke sekolah?' tanya Papanya. Evi memang masih memakai tas lama, tapi talinya yang hampir putus tampak sudah dijahit.

"Maafkan Evi, Pa, Ma. Uang dari Papa kemarin tidak Evi belikan tas.

"Terus?" Mamanya kali ini yang bertanya.

"Uang itu Evi berikan Ruri kemarin sore," jawab Evi.

"Kenapa?" tanya Papanya.

"Ibunya Ruri sakit, perlu uang untuk berobat." Evi lalu menceritakan kondisi Ibunya Ruri. "Tidak masalah, Evi masih pakai tas yang lama. Ternyata bisa Evi jahit lagi dan masih layak pakai."

Papa dan Mamanya terharu dan bangga. Putri mereka ternyata mau peduli menolong sahabatnya yang sedang kesulitan.

Hikmah Cerita
Berbuat baik dan suka menolong terhadap sesama yang kesulitan adalah perbuatan yang mulia. 

Sumber : Kompas Minggu, 8 Maret 2015. 
Penulis : Suhamdani 
Ilustrasi : Regina Primalita
Read More

Ujian Akhir Fija

20.13 0
Ujian Akhir Fija
Fija gemetaran memasuki area ujian praktik di pinggir sungai. Tubuhnya berkeringat dingin. Matanya serasa berbintang-bintang memusingkan. Ujian kali ini adalah praktik bekerja menggunakan belalai. Jantung Fija tak henti-hentinya berdebam tak tenang. Bisakah dia ujian tanpa salah? 

Fija mengingat-ingat semua teori yang sudah dipelajari. Dia sudah membaca tuntas buku Tips 1001 Lulus Ujian Akhir. Kepalanya terayun-ayun saat hafalan. Matanya sipit sekali saat ia pejamkan. 

"Belalai gajah memiliki 50.000 otot. Fungsinya untuk menyedot air, mengangkat kayu berat, dan menjumput makanan. Cara menyedot air yang benar adalah.....".

Fiji begitu khawatir tidak lulus ujian akhir sekolah gajah. Jika tidak lulus, dia akan tinggal kelas. Keluarganya pun pasti kecewa. 
****
KREEEEK! Kreek! Kreeek! 
"Fija, stop! lihat jalanmu!" teriak teman-teman Fija dari kejauhan. 

Fija tidak konsentrasi memperhatikan jalan. Dia jalan terlalu jauh sampai menyeberangi sungai. Celakanya dia menginjak-nginjak bendungan keluarga berang-berang. Bendungan itu rusak parah karena injakan kakinya yang besar. Ranting dan pohon bendongan terbawa arus sungai yang deras. Keluarga berang-berang segera menyelamatkan diri ke tepi sungai. 

Fija tercengang dengan tindakan yang dia lakukan. Dia cepat-cepat minta maaf kepada Pak Beri berang-berang yang muncul dari air diikuti 10 anggota keluarganya. Pak Beri menggeleng. Dia menunjuk jauh ke ujung sungai. "Aku lebih khawatir pada keluarga binatang yang tinggal di daerah muara. Rumah mereka pasti kebanjiran karena air sungai tiba-tiba meluap."

****

"ASTAGA, aku harus memberitahu para binatang di daerah hilir. "Fija meniup belalainya keras-keras. Dia mengeluarkan bunyi terompet peringatan. Beberapa binatang terdekat cepat-cepat menyingkir dari tepi sungai. 

Fija membayangkan keluarga binatang di daerah hilir kuyup karena banjir yang tiba-tiba. Dia tidak bisa diam saja. Bendungan baru harus segera dibangun. 

Fija merobohkan dua batang pohon berukuran sedang. Dia memasang pohon melintang di tengah sungai. Dia juga memungut ranting-ranting pohon untuk mengurangi air yang deras. 

Keluarga berang-berang berenang memasang ranting yang tidak bisa dicapai belalai gajah. Mereka terus bekerja sama membangun bendungan. Tak lama, aliran air sungai mengalir tenang seperti sedia kala. 

Pak Beri menyalami belalai Fija sebagai ucapan terima kasih. Keluarga berang-berang sudah mendapat bendungan baru untuk mereka tinggali. Binatang di daerah hilir juga lega sungai tidak meluap lagi. Telinga lebar Fija melambai-lambai karena bangga. 

"Astaga, ujianku!" Fija menepok belalai ke kepalanya yang botak. 

Dia menoleh ke seberang sungai. Pak Harja, guru ujian praktek, melotot padanya. Begitu juga sembilan teman-teman yang mengikuti ujian akhir. Mereka melongo melihat tragedi bendungan rusak tadi. 
****
FIJA segera menyeberang sungai dengan hati-hati. Dia mengingatkan dirinya untuk konsentrasi melihat jalan. Jika menginjak bendungan lagi, bisa-bisa dia tak jadi ujian. 

"Kita pindah agak ke tengah hutan saja. Kasihan keluaga berang-berang terganggu ujian kita," kata Pak Harja saat Fija tiba di area ujian kembali. 

Pak Harja memasuki hutan diikuti Fija dan kesembilan temannya. Fija berusaha fokus melewati jalan yang mereka lalui. Tidak lagi melamunkan isi buku-buku yang sudah dipelajari sebelumnya. 

Setelah menemukan tempat luas, ujian dimulai. Pak Harja memanggil semua murid satu per satu untuk ujian. Fija menunggu giliran dengan cemas. 

Anehnya, Pak Harja tak jua memanggilnya. Bahkan sampai buku daftar ditutup, namanya tidak disebut. Jangan-jangan dia melamun lagi waktu ujian tadi. Atau dia tidak diperbolehkan ujian karena kesalahan tadi pagi ? 

"Ehm, anu..., Pak Harja. Saya belum dipanggil ujian?" Fija mendekati Pak Harja yang sedang mengemas barang-barang dan bersiap pergi. 

Pak Harja memandang Fija dengan tertawa. "Kamu kan sudah ujian paling awal tadi. Mengangkat kayu, menjumput ranting, menyedot air sungai. Bendungan buatanmu tadi sempurna, Fija. Kamu lulus ujian akhir sekolah gajah." 

Fija melongo. Dipandangnya Pak Harja yang beranjak meninggalkan lapangan dengan tak percaya. Kesembilan temannya menerompet dengan gembira dengan kelulusan Fija yang luar biasa. 

Sumber : Kompas Minggu, 1 Maret 2015. 
Penulis : FiFadilla 
Ilustrasi : Alia Putri  

Read More

Sesama Saudara Harus Berbagi

18.29 0
Sesama Saudara Harus Berbagi
Suatu pagi, di rerimbunan hutan, Jawa Timur, Pak Tua Rusa mengunjungi kediaman keluarga Pip si Tupai.
"Pagi, Ibu Tupai," Salam Pak Tua Rusa kepada Ibu Pip yang baru dari sarang di dalam lubang pohon. Kemarin, keponakanku mengunjungiku. Dia membawakan oleh-oleh yang cukup banyak. Aku ingin membaginya untuk para sahabatku. Ini kacang kenari spesial untuk keluargamu." 

"Terima kasih, Pak Tua Rusa," ucap Ibu Pip. 

Sepeninggal Pak Tua Rusa, Ibu Pip masuk ke dalam sarang dan memanggil anak-anaknya. "Anak-anak, lihat kita punya apa? Kalian harus membaginya sama rata ,ya."

Asyiiik," girang Pip dan adik-adiknya. 

"Ibu taruh sini, ya." 
Setelah itu, ibu tupai mengurus sarang di dalam lubang pohon. Tiba-tiba adik-adik Pip ingin mencicipi kacang itu. 

"Ini aku bagi," kata Pip. Dari sepuluh butir kacang, dia memberi adiknya masing-masing dua butir. "Ini sisanya untukku, Aku kan paling besar." 

"Tapiii...Ibu kan pesan untuk membagi rata," kata Titu, salah satu adik kembar Pip, diiringi tangisan Puti, kembar satunya. 

Mendengar tangisan Puti, ibu Pip keluar dan bertanya. Sambil terisak, Puti menceritakan keserakahan kakaknya. 

"Tak boleh begitu, Pip. Ibu tadi sudah bilang apa," tegur ibu Pip. "Kamu tidak boleh serakah." 

"Tapi Buuu, aku kan lebih besar. Perutku juga lebih besar," sanggah Pip. 

Ibu Pip berpikir sejenak. "Baiklah, Pip. Kamu memang lebih besar. Kebutuhan makanmu juga lebih banyak. Tapi, kalau cuma menurutkan keinginan dan perut, kita akan selalu merasa tidak cukup." 

"Kalau begitu, Ibu saja yang membagi ya? memang tidak akan memuaskan semuanya. Ini, Ibu beri empat untukmu, Pip, karena kau lebih besar. Dan si Kembar kalian masing-masing mendapat tiga." 

"Kalian harus mau berbagi ya, anak-anak. Walau menurut kalian kurang, ini adalah rezeki yang harus disyukuri," lanjut Ibu Pip. 

"Berarti enak dong, Bu, jadi anak yang lebih besar. Selalu mendapat lebih banyak," iri Puti. 

"Ya, tapi perbedaannya tak terlalu banyak, kan?" Lagipula kakakmu memiliki tugas yang lebih banyak darimu. Apa kau mau bertukar tugas dengan Kak Pip?" tanya Ibunya. 

Puti dan Titu membayangkan tugas-tugas Pip. Mereka lalu kompak menggeleng. 

"Nah, begitu. Sesama saudara harus akur ya, harus berbagi. Jangan bertengkar hanya karena masalah sepele," kata Ibu Pip. 

"Iya, Bu," angguk Pip. "Yuk, kita makan kacangnya bersama," ajak Pip pada kedua adiknya. Ibu Pip tersenyum melihat anak-anaknya kembali rukun. 

 Hikmah Cerita

Janganlah menjadi anak yang serakah. Berbagi rezeki kepada sesama, jauh lebih baik dan mulia. 

Sumber : Kompas, Minggu, 1 Maret 2015. 
Penulis : A'amrizka Dyan Rahmasari
Ilustrasi : Regina Primalita

Read More

Ulat Hijau Di Daun Widuri

05.44 0
Ulat Hijau Di Daun Widuri
Miko adalah ulat hijau pertama yang tinggal di tanaman widuri. Tanaman itu hanya ada di negeri peri. Setiap musimnya, ia hanya berbunga sekali. Bentuk bunga tanaman widuri sangat cantik. Warnanya putih. Kelompaknya berumpak seperti mawar. Aromanya sangat harum. Dahannya menyamping ke berbagai arah. Tumbuhnya pun tidak terlalu tinggi.

Miko sudah lama tinggal di sana. Ia merasa bahagia sekali. Apalagi kalau angin berhembus. Bunga itu akan menebarkan keharuman yang khas. Miko akan menciumnya dalam-dalam.

Rasa Daun Widuri enak sekali. Miko sering memakannya sampai kenyang. Daun yang tua saja begitu enak. Apalagi pucuknya yang jauh lebih segar. Miko biasa meminum titik embun yang menempel di daunnya di pagi hari.

Miko pun selalu merasa aman. Ia tahu cara menyelamatkan diri. Tiap para peri memetik bunga, ia selalu sembunyi di balik dedaunan yang lebat. Sebagai satu-satunya penghuni tanaman itu, Miko sangat senang.

Tetapi, pagi itu ada seekor ulat lain naik ke atas pohon widuri.

"Hai, kamu siapa?" tegur Miko.

"Aku Nomi. Aku kelaparan. Bolehkah aku makan dan tinggal di pohonmu?" Miko diam sebentar, tetapi akhirnya ia tersenyum.

"Namaku Miko. Aku penghuni lama di sini. Kau boleh makan daun ini sepuasnya, Nomi. Persediaan banyak sekali. Tetapi jika para peri datang, kau harus sembunyi agar tidak dibuang atau dibunuh.

"Iya, Terima kasih Miko. Kau baik sekali," jawab Nomi gembira.

Mereka berdua pun mendiami tanaman widuri.

Namun keesokan harinya, ada ulat hijau kurus di dahan lain. "Maaf, aku susah mencari tanaman widuri. Bolehkah aku makan dan diam di sini?"

Miko mempersilakan. Tetapi setiap pagi, siang, dan malam, para ulat baru datang, Bahkan beberapa ulat cokelat memelas ingin tinggal . Miko pun mengatur semuanya agar mereka tidak kehabisan sumber makanan. Tetapi para ulat tidak mengikuti aturan. Mereka makan sepuasnya. Habis di cabang satu, mereka makan di cabang lainnya. Mereka semua sangat rakus, tidak bisa diatur. Akibatnya, daun pada tanaman itu hanya tersisa sedikit, meskipun bunga-bunganya tetap tumbuh indah.

Miko menjadi sedih, ia kemudian mendatangi Nomi. Ia menceritakan kesedihannya.

"Nomi, pendatang-pendatang itu kelewatan, mereka tidak bisa diatur. Mereka menumpang di rumah kita, tetapi  mereka serakah. Lihat, daun-daun habis tak tersisa. Aku tak mau mati kelaparan bersama mereka. Dan juga, sebentar lagi para peri akan datang mengambil bunga-bunga di taman."

Miko diam sebentar untuk berpikir. Sementara, Nomi serius menunggu. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Ia hanyalah ulat hijau yang masih kecil.

"Besok malam, aku akan pergi mencari tanaman widuri lain. Apakah kau akan ikut?" ajak Miko. "Aku mengajakmu karena kau sopan dan baik. Kau mengikuti aturan untuk makan teratur. Tidak seperti mereka."

"Ya, aku ikut denganmu. Biarpun mencari tanaman itu susah dan lama, aku akan ikut." tekad Nomi.

Maka, ketika malam tiba, Miko dan Nomi pun pergi.

Ulat Hijau Di Daun Widuri
Besok paginya, para peri tertawa-tawa di taman. Namun, mereka begitu kecewa. Tanaman kesayangan mereka tak berdaun lagi. Mereka melihat para ulat sedang tidur di sana. Mereka marah sekali.

"Kalian membuat bunga-bunga kesayangan para peri tak berdaun lagi," marah salah satu peri.

Ulat-ulat itu panik, lalu berusaha kabur. "Lari! Ayo lari! Bahaya!"

Sayang, mereka kurang sigap. Tubuh mereka semua kegemukan. Mereka tak mampu berlari cepat. Akhirnya, mereka hanya pasrah.

Pada peri kemudian menghitung ulat-ulat yang berhasil mereka tangkap. "Satu, dua, tiga, empat ... dua belas!"

Lalu, mereka memasukkan ulat-ulat itu ke ember, kemudian menghanyutkannya ke sungai.

Para peri kemudian memetik  bunga widuri untuk mandi.

Sementara itu, Miko dan Nomi terus berjalan, mencari pohon untuk tempat tinggal baru.

Akhirnya, mereka menemukan sebatang pohon widuri kecil.

"Akhirnya!" seru mereka berbarengan. Mereka pun berdiam di pohon itu dan makan secukupnya.

Dengan sabar, mereka menunggu daun-daun enak itu menguncup, sehingga mereka tak akan kehabisan persediaan makanan lagi.

Sumber: Majalah Bobo Edisi 02 
Terbit Tanggl 18 April 2013
Penulis : Dewi Iriani


Read More

Misteri Pohon Rambutan

17.49 0
Misteri Pohon Rambutan
Untuk kesekian kalinya, Edi merasa heran bercampur jengkel ketika melihat halaman depan rumah yang akan disapunya. Kulit, biji, dan sisa sisa buah rambutan bertebaran. Sudah hampir seminggu ini, setiap hari selalu ada sampah buah rambutan di tempat yang sama, di bawah pohon sawo duren yang tumbuh di halaman depan.

SEKARANG memang musim rambutan. Pohon rambutan di belakang rumah Edi berbuah lebat dan sebagian sudah berwarna merah siap dipetik. Siapa yang mengambil rambutan dan membuang sampahnya disini.? Edi merasa gemas dan ingin tahun siapa yang melakukan ini. 
"Aku harus menyelidiki hal ini," pikir Edi. 

Setelah naik ke kelas empat atau sekitar tiga bulan lalu, Edi mendapat tugas dari Ayah, menyapu halaman depan sebelum berangkat ke sekolah. Edi senang mengerjakan tugas itu. Setelah menyapu, Edi mandi dan sarapan, kemudian berangkat ke sekolah diantar Ayah naik motor. 

Pagi itu, saat sarapan bersama Ayah dan Ibu, Edi menyampaikan keinginannya. "Ayah, aku ingin menyelidiki siapa yang mengambil rambutan di pohon kita dan membuang sampahnya di halaman depan. Rambutan itu pasti diambil malam hari ketika kita tidur karena pada sore hari saat aku pulang mengaji, sampah itu belum ada." 

Ayah tersenyum mendengar ucapan Edi. Ia kemudian menoleh ke penanggalan yang tergantung di dinding rumah dan berkata. 
"Baiklah, besok sabtu malam, kita selidiki pelakunya. Kebetulan bulan sedang purnama, kita tidak membutuhkan senter. Tolong kamu siapkan tikar, baju hangat, bantal dan selimut. Kita akan tunggu si pelaku beraksi. "Ayah memberi ide dengan bersemangat.  

Ibu tak mau tinggal diam. "Ibu akan bantu misi ini dengan menyiapkan makanan kecil dan minuman hangat, serta krim anti nyamuk," katanya sambil mengedipkan mata ke Edi. 

Edi senang karena mendapat dukungan dari Ayah dan Ibu. 

HARI sabtu sepulang sekolah dan makan siang, Ibu meminta Edi tidur siang agar tidak mengantuk saat penyelidikan. 

Kata Ayah, penyelidikan akan dilakukan setelah shalat Isya dan makan malam. 

Tikar digelar di halaman yang kering, menghadap ke pohon rambutan. Bantal, Selimut, makanan dan minuman diletakkan dengan rapi diatas tikar. Ibu membantu mengoleskan krim anti nyamuk ke tangan dan kaki Edi. 

Menunggu malam agak larut, Edidan Ayah duduk sambil bertukar cerita tentang kegiatan-kegiatan di sekolah dan di tempat kerja. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ayah meminta Edi berbaring di atas tikar, tidak berbicara lagi, mengamati pohon rambutan, sambil menikmati keindahan bulan purnama dan bintang-bintang yang bertaburan di langit. 

Setelah 20 menit berbaring. Tiba-tiba dari langit utara terlihat beberapa kelelawar terbang menuju pohon rambutan. Makhluk kecil berwarna hitam dan bersayap lebar itu beterbangan di sekitar pohon, mengeluarkan suara mencicit, dan menimbulkan gemirisik. 

Edi terenyak, matanya tak bisa lepas dari pemandangan yang ada di hadapannya. Cahaya bulan memberikan sinar yang cukup terang sehingga Edi bisa mengamati kesibukan di pohon rambutan itu, 

KELELAWAR mencari buah rambutan yang ranum dan memetiknya dengan mulut, lalu terbang menjauh. Ayah meminta Edi bangkit dan memakai sandalnya. Tanpa suara, Edi mengikuti Ayah menuju halaman depan. Di sisi samping rumah yang gelap, Ayah berhenti dan merapat ke dinding. Ayah berbisik kepada Edi untuk mengamati satu batang pohon sawo yang tinggi, tempat kelelawar berada. Kelelawar-kelelawar tampak bergantungan sambil menikmati buah rambutan. Dengan mulut, mereka mengupas kulit, memakan buah, dan menjatuhkan bijinya di halaman. 

Ada kelelawar yang kurang hati-hati sehingga buah rambutan yang akan dimakan terjatuh. Edi dan Ayah terus mengamati kelelawar-kelelawar itu sampai semua terbang menjauh menuju arah selatan. 

AYAH mengajak Edi kembali duduk di tikar di halaman belakang. Edi berbisik bertanya kepada Ayah. "Mengapa kelelawar memakan buah rambutan di pohon sawo duren dan tidak memakan langsung di pohon rambutan?" 

Ayah menerangkan dengan suara perlahan bahwa terkadang kelelawar memakan buah yang matang langsung di pohonnya. Karena itu, kita sering menemukan buah pepaya atau jambu yang matang di pohon, tetapi sudah tidak utuh lagi. 

Jika ukuran buah tidak terlalu besar, mereka akan membawa buah matang ke pohon lain, mencari tempat bergantung yang nyaman dan aman untuk makan. Pada saat yang sama, kelelawar juga menebarkan biji-biji buah di tempat baru, jauh dari pohon asalnya. 

 Ayah  menunjuk ke langit arah utara, serombongan kelelawar datang lagi ke pohon rambutan di hadapan Edi. Namun, setelah membawa buah di mulutnya, kelelawar tidak terbang ke pohon sawo di halaman depan, tetapi terbang ke tempat lain. 

Edi senang, penyelidikannya berhasil. Kini ia tahu siapa mengambil buah rambutan dan membuang sampahnya di halaman depan. Edi tidak akan kesal lagi dengan sampah buah rambutan yang bertebaran di halaman yang disapunya setiap pagi. 

Sumber : Kompas minggu, 22 Februari 2015
Penulis : Retno Widowati 
Ilustrasi : Lintang Pandu Pratiwi
Read More

Post Top Ad