Bu Yati, guruku. Zaman kelihatannya berubah begitu hebat, tapi dihadapanmu aku sebenarnya tetap murid. Aku termangu-mangu seperti orang bodoh, sambil susah payah menahan agar air matai tidak runtuh.
Mungkin orang bosan, setiap kali aku bercerita mengenai kota kelahiranku. Kini aku datang lagi ke kota kecil di Jawa Tengah ini untuk membawa pesan dari teman-teman di Jakarta yang berencana mengadakan reuni. Dalam rapat di rumah seorang teman yang hidupnya paling berhasil di kota besar ini, diputuskan guru-guru SD tempat sebagian dari kami bersekolah dulu akan diundang ke Jakarta. Berhubung jenis pekerjaanku mereka anggap paling bebas, akulah yang "ditugaskan" untuk pulang kampung, menghubungi guru-guru kami dulu.
Udara kota kami serasa tak berubah. Tengah hari pun tetap sejuk tak terlalu panas. Gedung sekolah kami telah berubah, meski segera kukenali lay out dasar tak mengalami perubahan. Bangunan tembok itu mengganti bangunan lama, yang semasa kami sekolah dulu separo dinding terbuat dari gedek alias anyaman bambu. Sekarang, selain semua diganti dengan tembok, bangunan juga ditinggikan, dibikin bertingkat.
Meski jalan utama di depan sekolah sudah diperlebar dan makin ramai, aku segera mengenali bahwa jalan-jalan kampung di seputar situ tempat kami dulu biasa berjalan kaki dan masuk lewat pintu belakang tetap tak berubah. Aku tak ingin terlalu menarik perhatian. Mobil kuparkir sangat jauh, dan aku menapaki jalan-jalan tanah yang menuju belakang gedung sekolah.
Rumah-rumah di situ masih seperti dulu juga. Itu dulu rumah Endang, teman sekelas yang paling gendut. Ah....," aku menghela napa. Nasibnya tragis, dia tewas dibunuh perampok yang menyatroni rumahnya setelah dia berumah tangga.
Setelah sekian tahun berlalu, aku yakin komposisi guru telah banyak berubah. Menurut seorang teman dalam rapat di Jakarta, kepala sekolahnya juga sudah bukan Pak Budi. Bahkan katanya ini sudah pengganti kedua setelah zaman Pak Budi yang kami cintai dan kami takuti dulu.
Dalam jajaran guru-guru kami waktu itu, guru termuda adalah Bu Yati, guru kelas III. Kuputuskan untuk menemui Bu Yati saja, selain karena pertimbangan beliau pastilah masih ada, pada beliaulah aku merasa paling akrab.
Kawasan belakang sekolah masih digunakan untuk para penjual jajanan. Bedanya, kalau dulu penjual paling populer adalah Lik Tin yang menjual lotek, singkong rebus, mie goreng dalam bungkusan daun pisang kering, sekarng yang kulihat penjual ice cream, burger, dan lain-lain.
"Bu Yati?" kata seorang penjual makanan ketika kutanya adakah Bu Hayati masih mengajar di situ. "Oh ya, masih. Guru kelas tiga," ujarnya sambil menengok jam tangannya. "Sebentar lagi juga akan bubaran. Kelasnya yang itu..."
Berarti, ruang kelasnya pun masih ruang yang dulu, ketika kami duduk di bangku kelas III. Bu Yati yang pandai bercerita, adakah di siang menjelang bubar sekolah seperti ini, ibu masih seperti dulu, membuat murid tidak mengantuk dengan dongeng-dongeng yang masih kuingat sampai kini seperti dongeng Timun Mas, Anglingdarmo, Cindelaras, dan lain-lain.
***
Kami sama-sama termangu. Bu Yati tengah mengemasi barang-barangnya ketika aku muncul di kelas, sementara seluruh murid sudah berhamburan keluar.
Telah berubahkah mataku? Semasa aku masih menjadi murid dulu, Bu Yati kami anggap paling cantik. Dalam ingatanku, Bu Yati selalu tampil dengan rambut disasak rap, senyumnya agak kenes, dan semenjak Bu Yati saat itu belum menikah, guru-guru pria yang dekat dengannya kami curigai, jangan-jangan mau memacarinya. Pak Manto, guru kelas VI, saat itu kami anggap "pacar" Bu Yati.
Kini, Bu Yati kelihatan begitu renta, tidak lagi manis seperti pandangan mata kecil kami dulu. Ataukah mataku terlalu terkondisi dengan ibu-ibu ibu-ibu dan zus-zus di Jakarta? Rambutnya telah memutih. Ia seperti capai dengan tubuhnya yang tidak lagi langsing seperti ingatanku dulu. Sepengetahuan kami, sampai sekarang Bu Yati tidak menikah.
Senyum dan pandangan matanyalah yang tak berubah. Aku seperti bisa mereguk seribu keteduhan berikut kenyamanan dan kedamaian dari cerita-cerita yang pernah dibawakannya. Ia menatapku dengan mata agak disipit-sipitkan.
"Sopo yo?" ucapnya seolah pada dirinya sendiri sambil terus mengamat-ngamatiku.
Aku hanya bisa berdiri takzim, dengan seluruh hati mencurahkan hormat.
Dia melanjutkan dengan menyebut nama panggilanku semasa kecil, yang tak pernah disebut orang lagi sekarang.
"Memang dalem Bu ...," ucapku sambil mendekat, memegang tangannya.
Ia menarik tangannya ketika aku ingin menciumnya, dan merangkulku, mengusap-ngusap kepalaku.
"Cah Bagus, ibu mimpi apa semalam kamu datang ..."
Di hadapannya, aku benar-benar menjadi anak kecil lagi.
****
Ruang kelas, papan tulis, lemari di sudut ruangan, bangku-bangku yang terasa kecil untuk ukuranku sekarang, di sinilah dulu aku banyak mendapatkan pekerti. Dadaku bergemuruh, seperti ada pusaran puting beliung yang mempertemukan diriku dengan masa lalu yang seakan ingin aku reguk lagi.
Sudah berapa tahun jadi kamu meninggalkan sekolah ini Cah Bagus?"
"Sekitar dua puluh lima tahun Bu."
"Sekarang Ibu di mana?" ia menanyakan ibuku. "Dulu, aku menyesal sekai, ketika kakakmu meninggal aku tidak bisa datang, saat itu aku juga sedang sakit," lanjutnya.
Aku tertunduk. Peristiwa itu sudah begitu lama, tapi beliau masih mengingatnya, bahkan masih bisa menyatakan penyesalannya hanya karena tidak bisa datang melayat.
Betapa mulia hatinya. Sementara aku? Peristiwa yang mengitari diriku pun aku sudah banyak yang tidak ingat. Beberapa diantara guru-guruku yang lain sudah meninggal aku juga tidak tahu. Aku jadi malu, mengapa tadi tanya tentang Pak Budi, Pak Manto, Bu Darmi, Pak Ignatius, yang semuanya ternyata telah meninggal.
"Aku bisa memaklumi. Kamu pastilah sangat sibuk," katanya.
Tak ada suasana menyindir atau apapun. Semuanya kutangkap semata-mata sebagai pengertian dari kebesaran hatinya.
****
Dalam hati, aku malu bukan hanya pada diri sendiri, tetapi juga terhadap seluruh teman-teman di Jakarta yang hendak mengadakan reuni dan menyuruhku kemari. Bahkan untuk membicarakan biaya pengangkutan guru-guru kami, sempat ada perdebatan, naik bus, kereta api, atau apa. Pesawat, katanya mahal. Bangsat.
Aku pasti tak rela Bu Yati terseok-seok naik bus, atau terlalu lama dalam perjalanan kereta api. Apalagi, kini ia bahkan harus menopang tubuhnya dengan tongkat. Kuputuskan sendiri seketika itu, mengundang Bu Yati ke Jakarta dengan naik pesawat terbang, di Jakarta boleh memilih tinggal di hotel mana saja, meski kutawarkan aku akan lebih bahagia kalau beliau mau tinggal di rumahku.
"Baru jatuh dari sepeda, dua minggu lalu. Untung sekarang sudah membaik, dan harus banyak latihan jalan, agar segera pulih," katanya mengenai keadaan kakinya.
"Itu pula salah satu yang membuat dia harus berpikir-pikir untuk menerima undangan kami, meski aku sudah merayu-rayunya sedemikian rupa.
"Lagi pula, ini bukan saat liburan. Aku tidak mungkin meninggalkan anak-anak. Kasihan kan, mereka...."
Aku terdiam kehilangan kata-kata. Kecintaan seperti itulah yang pernah kunikmati dulu.
"Tapi percayalah, meski ibu tidak bisa datang, doa Ibu untuk kalian tak pernah putus. Setiap malam, Ibu berusaha mengingat satu per satu anak-anakku, yang mudah-mudahan semua telah jadi orang. Itulah kebahagian terbesar Ibu," ujarnya.
Serentak aku seperti merasakan malam-malamnya yang sunyi dan penuh doa. Aku hanya bisa tertunduk, sambil melirik tangannya. Rasanya, ingin sekali menciumnya.
Sebelum kami berpisah siang itu, ia mengajakku berdoa, untuk mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas pertemuan yang disebutnya sangat indah ini. Mataku yang terpejam dalam doa terasa hangat, tersentuh oleh seluruh kata-kata yang diucapkannya dalam doa.
"Tuhan, betapa kerdilnya aku...," ucapku dalam hati.
Aku hanya bisa memandang Bu Yati yang menolak kuantar pulang, karena beliau ingin melatih kakinya agar bisa segera baik kembali seperti sedia kala. Beliau mengundangku nanti malam untuk datang ke rumahnya - sekiranya aku belum pulang ke Jakarta.
Jelas kubatalkan rencana pulang ke Jakarta sore ini. Aku berdiri di halaman sekolah yang benar-benar telah sepi. Seolah tak ingin lagi aku beranjak pergi. Di sini aku menemukan diriku yang sebenarnya ....
Kompas, 18 Desember 1994
Sumber:
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995)
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar