Februari 2015 - Blog Oblok Oblok

Hot

Post Top Ad

Senandung Ulu

17.10 0
Senandung Ulu

Ulu, seekor katak hijau, sedang berdiri di pinggir kolam. Hari itu langit sangat gelap dan hari seperti itulah yang Ulu sukai. Tidak lama kemudian, air mulai menetes perlahan-lahan dari angkasa.
"Hujan telah tiba!" pikir Ulu dengan girang. Ulu pun mulai bersenandung sambil melompat-lompat mengitari kolam. Ia melihat semut yang kecil sedang berteduh di balik bunga matahari.
"Wahai semut, hujan telah tiba!" seru Ulu kepada semut yang sedang berusaha keras menghindari tetesan air hujan.

Semut hanya menatap dengan bingung dan bertanya," Mengapa kau terlihat begitu bahagia Ulu?"

"Aku sangat suka dengan hujan. Hujan membuat tubuhku merasa sejuk," jawab Ulu.

SEMUT Menghela napas dan menatap Ulu dalam-dalam. "Ulu, aku tidak suka dengan hujan. Kamu lihat betapa mungilnya tubuhku? Air hujan akan menyeret dan menenggelamkanku ke kolam! Akut tidak bisa berenang sepertimu, makanya aku berteduh," sahut Semut. 

Makanya semut, kau harus berlatih berenang! Aku sejak berupa perdu sudah bisa berenang, masa kau tidak bisa? Berenang itu sangat mudah, julurkan saja kakimu," Ulu menjulurkan kakinya, "dan tendang ke belakang seperti ini! Ups, maaf, kakimu kan pendek." Sambil tertawa, Ulu melompat meninggalkan semut. 

Semut hanya bisa menatap Ulu dengan kesal. Semut tidak dapat berenang karena ia berjalan. 

Senandung Ulu Ulu kembali berseru, "Hujan telah tiba! Hujan telah tiba! Oh hai Ikan! Aku sangat suka dengan hujan, bagaimana denganmu? Ulu berhenti di pinggir kolam dan berbicara kepada Ikan yang sedang berenang di dalam kolam. 

Ikan mendongakkan kepalanya ke atas dan berbicara kepada Ulu. "Aku tidak dapat merasakan hujan Ulu. Lihatlah, Aku tinggal bersama air. Bagaimana caranya aku dapat menikmati hujan seperti kamu Ulu?" Ikan pun kembali berputar-putar di dalam kolam. 

"Hah! Sedih sekali hidupmu Ikan! Seandainya kamu seperti aku, dapat hidup di dalam dua dunia, darat dan air, mungkin kamu akan dapat merasakan kebahagiaan ini. Nikmati saja air kolammu sebab kamu tidak akan dapat pernah merasakan rintikan hujan di badanmu!" 

Apa yang Ulu katakan sangat menusuk hati Ikan. Ikan menatap ke arah tubuhnya yang bersisik, lalu menatap ke arah tubuh licin Ulu. Ikan yang bersedih hati pun berenang meninggalkan Ulu, ke sisi kolam yang lain. Ulu pun kembali melompat-lompat di sekitar kolam dan kembali bersenandung. 

Senandung UluSAAT Ulu tiba di bawah pohon, ia melihat Burung sedang bertengger di dahan pohon dan membersihkan bulunya. Ulu mengira Burung juga sama seperti Semut dan Ikan yang tidak dapat menikmati hujan. 

"Hai Burung, kenapa kau tidak mau keluar dan menikmati hujan? Apakah kamu takut bulumu basah? Atau apakah kamu takut tenggelam ke dalam kolam seperti semut? Ataukah memang kamu tidak bisa menikmati indahnya hujan seperti Ikan?" Setelah berkata demikian, Ulu tertawa kencang-kencang. 

Suara paraunya terdengar oleh Semut dan Ikan yang penasaran akan reaksi Burung terhadap Ulu. 

Burung menatap ke arah Ulu yang masih tertawa," Hai Ulu, apakah kau bisa naik kemari?" 
Ulu kebingungan." Apa maksudmu burung?" 

"Apakah kau bisa memanjat naik kemari Ulu?" 

"Apa yang kau maksud Burung? Tentu saja aku tidak bisa!" Ulu cemberut dan menatap kearah dua kakinya. 

"Ulu, tidakkah kamu tahu bahwa Sang Pencipta membuat kita dengan keunikan yang berbeda-beda? Aku tidak bisa berenang sepertimu dan ikan, tetapi aku bisa terbang mengitari angkasa. Aku bertanya kepadamu Ulu, apakah kamu pernah melihat awan?" 

Ulu menyahut," tentu saja belum Burung, akan kan tidak bisa terbang sepertimu!" 

Burung kembali berkata dengan bijak, "Itulah yang kumaksud Ulu, Kita masing-masing memiliki kelebihan sendiri, Semut tidak bisa berenang sepertimu, tetapi ia bisa menyusup ke tempat-tempat kecil yang tidak dapat kau lewati. Ikan tidak dapat melompat-lompat sepertimu, tetapi ia bernapas di bawah air. Kamu tidak seharusnya menghina kekurangan mereka!" 

ULU mulai menyesali tindakannya, memang, kalau ia pikir-pikir, tindakannya itu kekanak-kanakan. Ia seharusnya tidak menyombongkan kelebihan dan menghina keunikan teman-temannya. 

"Maafkan aku Burung." ucap Ulu, lalu ia menatap kearah Semut dan Ikan yang sejak tadi memperhatikan pembicaraan mereka. "Maafkan aku Semut, Ikan, aku tidak bermaksud demikian." 

"Jangan diulangi lagi Ulu," sahut mereka bersamaan. Lalu Ulu pun kembali bersenandung sampai hujan berhenti. Sejak saat itu, Ulu mulai menghargai teman-temannya dan mereka pun menyukainya kembali. 

Sumber  : Harian Kompas, Minggu 15 Februari 2015
Oleh : Dian Sari 
Ilustrasi: Yan B

Read More

Hutan Donoloyo

17.30 0
Hutan Donoloyo
Sejak Zaman dahulu, Donoloyo adalah sebuah hutan jati yang subur di Jawa Tengah. Banyak sekali burung betet dan ayam hutan yang cantik tinggal di sana. Para penduduk di sekitarnya mencari kayu Bakar dari ranting-ranting kering yang berjatuhan. Mereka hidup cukup makmur karena hasil sawah cukup melimpah.

Hingga suatu hari, datanglah Pak Bringgo, seorang pengusaha kayu dari kota. Pak Bringgo membujuk para warga untuk menebang pohon dari hutan. Semula warga menolak. Tetapi, seorang warga yang bernama Tanto bersedia karena Pak Bringgo berani membayar mahal untuk satu batang pohon yang ditebang.

Melihat Tanto mendadak kaya dari hasil menebang pohon di hutan, warga pun akhirnya tergoda. Mereka mendatangi Pak Bringgo untuk ikut menebang hutan.

"Kalian boleh menebang pohon sebanyak mungkin. Aku akan membayarnya mahal," kata Pak Bringgo.

"Sungguh, Pak? Mulai besok kami akan menebang pohon untuk Bapak.

"Bukan itu saja. Kalau kalian menangkap ayam hutan dan burung betet, saya juga akan membelinya dengan harga mahal," lanjut Pak Bringgo.

Warga pun senang mendengarnya. Akhirnya mereka beramai-ramai menebang hutan, menangkap burung betet dan ayam hutan. Dalam waktu singkat, Hutan Donoloyo menjadi gundul dan tak lagi asri. Tak ada lagi kokok ayam hutan dan suara burung betet yang merdu.

Karena hasil sudah tidak ada lagi. Pak Bringgo pun meninggalkan daerah itu, kembali ke kota dengan keuntungan yang melimpah.

Beberapa bulan kemudian, harta para penduduk dari hasil menebang pohon yang dijual ke Pak Bringgo pun segera habis untuk kebutuhan sehari-hari.

Ketika musim kemarau tiba, sumur-sumur penduduk menjadi kering, dan udara sangat panas. Padahal sejak zaman dahulu, kampung mereka tidak pernah kekeringan.

Sawah-sawah pun gagal panen karena tidak cukup air. Ranting-ranting untuk kayu bakar pun sangat sulit dicari. Hidup mereka menjadi susah. Hutan Donoloyo yang mereka banggakan kini menjadi gundul. Mereka sangat menyesali keserakahan yang mereka lakukan.

Akhirnya seluruh penduduk kampung menyadari kesalahan mereka. Lalu, mereka bergotong royong  menanam kembali hutan Donoloyo, meskipun akan perlu waktu yang lama untuk bisa mengembalikannya seperti semula. Namun mereka kini sudah menyadari pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hutan.

Setelah hutan Donoloyo kembali hijau, kini tak ada lagi penebangan liar di sana. Seluruh warga kampung bahu membahu untuk menjaga kelestarian lingkungan hutan.

Hikmah Cerita
Selamatkan hutan kita dari ancaman penebangan liar atau penggundulan. Mari selalu menjaga kelestarian lingkungan. 

Sumber: Harian Kompas, Minggu 15 Februari 2015. 
Penulis: Fransiska Rina Milansi 
Ilustrasi: Regina Primalita
Read More

Cerita Rakyat Dari Bengkulu, Batu Amparan Gading

18.01 0
Cerita Rakyat Dari Bengkulu, Batu Amparan Gading
Pada suatu masa, hiduplah seorang raja bernama Raja Muda. Permaisurinya bernama Putri Gani. Mereka dikaruniai oleh Yang Maha Kuasa dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Kehidupan rumah tangga mereka sangat bahagia.Halaman istana mereka sangat luas dihiasi taman bunga yang tertata rapi. Dihalaman depan terdapat sebuah batu besar yang datar permukaannya, berwarna kuning gading, bernama Batu Amparan Gading.

Di kala sore hari, sangat sering Raja muda beserta Putri Gani dan anak-anaknya duduk bersantai. Mereka bercengkerama di atas Batu Amparan Gading itu.

Nasib malang yang menimpa keluarga Raja Muda beserta Putri Gani tidak dapat di tolak. Istrinya yang tercinta Putri Gani sakit, kemudian meninggal dunia. Rasa sedih dan pilu hati Raja Muda semakin mendalam melihat kedua anaknya yang masih kecil, tiada lagi belaian kasih sayang ibu tercinta.

Hari demi hari berlalu. Raja Muda beristri lagi. Ia menikah dengan seorang putri Raja Hulu Sungai. Kedua anaknya telah memiliki ibu kembali, walau ibu tiri.

Pada awal pernikahan, istri Raja Muda yang baru sangat baik kepada kedua anak tirinya. Kehadirannya di tengah-tengah keluarga Raja Muda menjadi penghibur bagi kedua anak tirinya.

Akan tetapi, suasana ceria yang dirasakan kedua anak kecil itu tidak berlangsung lama. Segala gerik dan tingkah laku mereka mulai tidak disenangi oleh ibu tirinya. Ibu tiri mereka mulai nyinyir dan sering marah kepada mereka. Apa saja yang mereka inginkan dan lakukan selalu salah. Lebih menyedihkan lagi jika Raja Muda tidak di istana, mereka sering tidak diberi makan oleh ibu tiri mereka. Kalaupun diberi, hanya sedikit. Sehingga mereka tetap merasa lapar. Kasih sayang seorang ibu yang mereka harapkan tidak dapat mereka rasakan lagi. Bersenda gurau di atas Batu Amparan Gading bersama orang tua pun tidak pernah mereka lakukan lagi.

Pada suatu hari, ibu tiri mereka pergi ke luar istana. Ayah mereka pun sudah sejak pagi tidak berada di istana. Kakak beradik ini belum diberi sarapan oleh ibu tirinya. Lalu, mereka pergi ke halaman dan bermain-main di atas Batu Amparan Gading. Sejenak bermain, perut mereka terasa amat lapar, mereka ingin makan, tetapi tidak mungkin sebab semua makanan disimpan ibu tiri di dalam lemari makan. 

Untuk sekadar melupakan rasa lapar, sang kakak berkata, "Dik, kau tunggu sebentar di tempat ini, ya. Kakak akan mencoba keluar untuk mencari mainan dan makanan."

Sang adik menjawab, "Baiklah, Kak, Pergilah."

Sambil membawa seruas bumbung, kakaknya pun pergi sendiri. Setelah berjalan sendiri, ia sampai ke tempat orang sedang menumbuk padi. Katanya, "Ibu, bolehkan saya meminta melukut (serpihan beras) sedikit untuk makanan ayam saya?"

"Boleh, Nak, Ambillah!" kata ibu itu.

Anak itu mengambil melukut dan memasukkannya ke dalam bumbung yang dibawanya tadi, lalu pergi.

Di dalam perjalanannya, ia bertemu dengan seekor bengkarung. Bengkarung itu ditangkapnya untuk mainan. Setelah itu, terlihat pula bunga dadap berguguran ke tanah. Ia pungut mainan itu untuk mainan adiknya.

Tidak berapa lama, ia pun sampai kembali di tempat adiknya yang sedang bermain. Mereka berdua kembali bermain dengan asyik.

Sementara asyik bermain, ibu tiri mereka pulang. Terlihat olehnya bekas permainan mereka berserakan di atas Batu Amparan Gading. Timbul kesangsian ibu tiri mereka. Ia melihat remah-remah bekas makanan di antara mainan yang ada di situ. Tampak pula biji puar (sejenis tumbuhan hutan) nasi, disangkanya remah nasi; bunga dadap merah disangkanya kulit udang; serta sisik bengkarung disangkanya sisik ikan. Tidak ragu lagi di dalam pikirannya, bahwa kedua anak tirinya itu mencuri makanan.

Serta merta kemarahan ibu tiri mereka pun timbul. Ia mencerca kedua anak tirinya itu habis-habisan. Bahkan kedua anak itu dipukul sekuat-kuatnya. Walaupun kedua anak tirinya sudah menjerit kesakitan minta dikasihani, ia tidak menghiraukan. Ia tetap saja memukul mereka sampai puas. Sesudah itu, ia pulang ke istana.

Adapun kedua anak tirinya tetap berada di atas Batu Amparan Gading. Badan mereka terasa sakit dan letih. Akhirnya mereka berdua tertidur nyenyak di situ.

Beberapa saat kemudian, kakaknya terbangun dari tidur. Ingat akan kekejaman perangai ibu tirinya, air matanya kembali meleleh ke pipi sambil memandang adiknya yang masih tertidur nyenyak. Sedih hatinya mengenang nasibnya yang sangat malang itu. Ingin rasanya ia pergi menjauh dari tempat itu, tetapi tidak berdaya. Ia hanya berharap agar penderitaannya dapat segera berakhir. Dengan air mata berlinang-linang ia meratap sedih sambil mengucapkan kata-kata;
Entak-entak bumbung seruas
Meninggilah batu Amparan Gading 
Mak dan Bapak buruk makan
Kami hendak pulang ke pintu langit 
Puar nasi disangka nasi 
Bunga dadap disangka udang 
Sisik bengkarung disangka ikan 
Kami dituduh maling makan

Dengan kehendak Yang Maha Kuasa, Batu Amparan Gading yang didudukinya itu meninggi. Dengan penuh keheranan dicobanya lagi mengucapkan kata-kata tadi. Batu Amparan Gading pun bertambah tinggi.Lalu, ia pun mengucapkan kata-kata itu berulang-ulang. Setiap diucapkannya, Batu Amparan Gading pun semakin tinggi.

Sementara itu, Raja muda kembali dari perjalanan. Dengan sangat terkejut bercampur heran, dilihatnya Batu Amparan Gading di halamannya sudah menjadi tinggi. Pada saat itu, batu tersebut sudah jauh lebih tinggi dari puncak bubungan istananya. Bertambah pula keheranannya setelah melihat kedua anak yang sangat disayanginya berada di atas batu itu. 

Ia sangat cemas dan merasa takut jika anaknya terjatuh dari tempat setinggi itu. Ia pun segera menabuh kentongan, memanggil semua orang yang ada di sekitarnya untuk meminta pertolongan. 

Orang banyak segera berdatangan dan berusaha memberikan pertolongan. Ada yang mencoba menghancurkan bagian pangkal batu itu dengan berbagai penokok (pemukul). Ada yang mencoba mendorong batu itu untuk merobohkannya. Ada pula yang berusaha memanjatnya. Akan tetapi, semua usaha mereka itu gagal dan sia-sia belaka. Batu Amparan Gading tetap berdiri dan semakin tinggi saja. Akhirnya, mereka putus asa dan pasrah sambil menyaksikan Batu Amparan Gading yang semakin tinggi itu. 

Raja Muda termenung berdiam diri tenggelam dalam kesedihan yang menimpanya berulang-ulang. Terlintas dalam benaknya, kesalahan apakah gerangan yang telah dilakukannya sehingga ia harus menerima cobaan ini. Adapun kedua anaknya tadi semakin tinggi saja keberadaannya, sejalan dengan ungkapan kesedihan yang diucapkan berulang-ulang. Akhirnya mereka sampai ke pintu langit. Ketika mereka tiba disana, pintu langit sedang tertutup. Dengan susah payah mereka mencoba membukanya, tetapi tidak bisa. 

Secara kebetulan, pada saat itu seekor burung garuda lewat di tempat itu. Mereka meminta pertolongannya dan memberi upah sebumbung melukut. Burung garuda menyanggupi permintaan mereka itu.

Dengan mematukkan paruhnya yang besar dan tajam, pintu langit pun terbuka. Kakak beradik itu langsung melangkah masuk ke langit menuju tempat kediaman yang penuh kedamaian dan ketentraman yang abadi. 

Setelah mereka naik ke langit, dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa pula, Batu Amparan Gading kembali merendah seperti semula. 

Tinggallah ayahanda tercinta, Raja Muda, bersama istrinya yang durjana, dan Batu Amparan Gading sebagai saksi bisu yang tetap setia menghias halaman istana. 

Kesimpulan
Cerita Batu Amparan Gading ini adalah cerita rakyat yang berkembang di daerah Kabupaten Bengkulu Selatan sejak Zaman dahulu. Diceritakan sebagai hiburan bagi anak-anak menjelang tidur di malam hari. 
Secara ringkas, pesan cerita ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa selalu akan memberikan bantuan kepada hamba-Nya yang tidak berdosa yang sedang teraniaya.
Sumber: Buku Cerita Rakyat Dari Bengkulu
Oleh: H. Syamsuddin ZA, M. Ikram, Zaharuddin, M. Halimi, Zainuddin Yusuf
Penerbit, PT. Grasindo, Jakarta
Read More

Cerita Rakyat dari Bengkulu, Raja Api dan Putri Sulita

17.06 0
Cerita Rakyat dari Bengkulu, Raja Api dan Putri Sulita
Pada Zaman dahulu kala, di suatu negeri tersebutlah seorang raja bernama Api. Raja api ini tinggal di istana yang sangat indah. Hidupnya sangat senang karena negerinya aman, makmur, dan sentosa. Di setiap halaman istananya terdapat pengawal bersenjata lengkap.

Tetapi, anehnya, di istana itu tidak tampak seorang wanita pun. Semuanya laki-laki, kecuali permaisuri yang sedang hamil tua dan para dayang.

Hewan yang amat disenangi oleh raja adalah seekor burung gagak buta. Raja menyenanginya karena burung gagak itu sangat setia, jujur, dan pandai berbicara.

Pada suatu hari, berkatalah Raja Api kepada permaisurinya yang bernama Putri Hijau, "Permaisuriku tercinta, aku akan berangkat ke luar kota melaksanakan kunjungan kerja. Jika engkau sudi, ada tiga hal yang aku minta kepadamu."

"Apakah tiga hal yang hendak engaku minta kepadaku, wahai Kanda? Katakanlah terus terang, mungkin aku bisa membantu," sahut sang permaisuri.

"Baiklah. Dengarkan baik-baik! Pertama, jagalah dirimu baik-baik. Jangan pergi kemana-mana.
Kedua, jangan lupa memberi makan burung gagak buta kesayanganku itu,
Ketiga, jika engkau melahirkan anak lelaki segera kabarkan kepadaku, tetapi jika engkau melahirkan anak perempuan, segera dibunuh!'

Setelah menyampaikan pesan itu, berangkatlah sang raja dengan kereta kuda beserta para pengawal dan penggiringnya menuju daerah yang akan ia kunjungi.

Selama sang raja dalam perjalanan, permaisurinya sering termenung dan gelisah. Kandungannya semakin besar, berarti saat melahirkan sudah semakin dekat. Hal yang sangat menggelisahkan permaisuri adalah perintah suaminya untuk segera membunuh anaknya jika yang dilahirkan anak perempuan.  Kegelisahan itu pula yang menyebabkan ia lupa memberi makan gagak buta kesayangan raja.

Pada suatu hari, lahirlah anak yang dinanti-nantikan oleh permaisuri. Bayi itu cantik sekali. Kulitnya putih. Rambutnya ikal, hitam dan lebat. Bayi perempuan itu diberi nama Sulita. 

Dengan penuh rahasia, permaisuri memanggil para dayang dan pembantu pribadinya. Permaisuri berpesan kepada mereka agar nanti mengatakan kepada raja bahwa anak perempuan yang dilahirkannya itu telah dibunuh dan dihanyutkan di sungai yang sangat deras alirannya, yang mengalir di pinggir ibukota kerajaan.

Dua minggu kemudian, pulanglah sang raja dari luar kota. Setelah tiba di istana, sang raja langsung menemui permaisurinya yang kebetulan sedang terbaring di tempat tidur. Berkatalah sang raja, "Apa kabar permaisuriku? Mengapa engkau berbaring di tempat tidur?"

"Kanda Raja yang tercinta, keadaanku baik-baik saja. Kandunganku sudah kempis. Bayi perempuan yang aku lahirkan sudah kubunuh dan kubuang ke sungai."

"Kalau begitu, bahagia sekali aku mendengarnya," ujar Raja Api dengan gembira. Kemudian raja berkata, "Bangkitlah dari pembaringanmu. Aku ingin bersantap denganmu. Aku membawa daging rusa yang lezat sekali."

Ketika mereka bersantap, tiba-tiba bersuaralah gagak buta dari dalam sangkarnya, "Makanlah yang enak Tuan, biarlah aku dalam sangkar kelaparan! Hiduplah dengan enak, tetapi bayi perempuan yang dilahirkan, disingkirkan ke luar kota.

Raja Api tampak kaget mendengar kata-kata burung gagak yang tidak terduga itu. Raja merasa sangat gelisah. Setelah selesai makan, raja langsung bertanya kepada permaisurinya, "Hai permaisuriku, bicaralah dengan sebenarnya. Dimana bayi perempuan yang kau lahirkan itu sekarang?"

"Tuanku Raja yang tersayang, sesungguhnya bayi perempuan yang aku lahirkan itu telah tiada," jawab permaisuri.

"Permaisuriku, ingatlah. Apabila para pengawal kerajaan dapat menemukan bayi perempuan itu, engkau akan mendapat hukuman yang berat," tegas raja sambil berlalu menuju ruang peraduan.

Tidak terasa, lima belas tahun pun berlalu. Suasana telah banyak berubah. Bayi perempuan yang dipelihara oleh Dayang Santi di sebuah desa terpencil itu sudah beranjak menjadi seorang gadis jelita. Wajahnya semakin cantik, perilakunya baik serta memiliki pengetahuan dan keterampilan. Yang lebih menarik lagi adalah ia pandai mengobati berbagai macam penyakit.

Pada suatu hari, di istana Raja Api yang selama ini tenang dan damai, tiba-tiba dikejutkan sebuah berita bahwa sang raja jatuh sakit. Para tabib dan dukun istana telah bersusah payah mengobati raja, namun penyakit yang ia derita belum juga sembuh. Oleh karena itu, diumumkanlah kepada khalayak bahwa dukun atau tabib yang mampu mengobati penyakit sang raja, baik kepada orang yang menemukan dukun maupun dukun itu sendiri, akan memperoleh hadiah yang besar dari sang raja. Selain itu, keselamatan hidupnya juga akan dijamin.

Pengumuman itu tersebar kemana-mana. Mendengar berita itu, timbullah keinginan Putri Sulita untuk mencoba mengobati penyakit yang diderita oleh raja.

Pagi-pagi benar, berangkatlah Putri Sulita bersama pengasuhnya, Dayang Santi. Tepat ketika matahari sepenggalan, sampailah mereka di istana raja. Seorang pengawal langsung menghampiri mereka dan menanyakan apa maksud dan tujuan kedatangan mereka. Sementara itu, pengawal-pengawal yang lain memperhatikan gerak-gerik kedua wanita yang baru saja datang itu. Maklum, selama kerajaan berada di bawah kekuasaan Raja Api, jarang kaum wanita bisa keluar masuk istana.

"Begini, Tuan. Kami mendapat berita bahwa Yang Mulia Raja Api dalam keadaan sakit keras," ujar Dayang Santi, "Kami ingin mencoba mengobati penyakit yang diderita Tuan Raja."

"Oooo ..., kalau begit, silakan masuk!" ujar salah seorang yang tampaknya menjadi pemimpin para pengawal istana raja. Kemudian Putri Sulita dan Dayang Santi dibawa masuk ke kamar tempat sang raja sedang terbaring lesu.

Tidak terlalu lama, selesailah pengobatan yang dilakukan oleh tabib wanita muda yang sangat cantik jelita itu. Perlahan-lahan raja mulai sadarkan diri. Kemudian, raja mulai melihat ke kanan kiri. Sejenak kemudian, ia bangkit dari pembaringan dan bersandar di tempat tidur. Wajahnya mulai berseri-seri. Sang raja merasa terharu dan bahagia karena bisa sehat kembali seperti sediakala. Beliaupun merasa sangat berhutang budi kepada dukun yang telah mampu mengobatinya.

Sesuai dengan pengumuman yang disebarkan, sang raja meminta agar Putri Sulita dan Dayang Santi tinggal bersama raja di istana. Setelah itu berkatalah sang raja, "Sebagai tanda terima kasihku, mulai hari aku nyatakan bahwa Putri Sulita, tabib wanita yang telah menyelamatkan nyawaku, aku angkat sebagai anak kandungku yang berhak mendapat gelar dan akan menjadi ratu bila saatnya tiba.

Mendengar ucapan raja itu, Permaisuri sangat bahagia. Demikian pula Dayang Santi. Sejak itu, mereka menetap di istana, mendapat perhatian dan jaminan keselamatan hidup dari Raja Api yang dahulu terkenal sangat bengis dan galak.

Kesimpulan
Kejujuran dan kebaikan budi seseorang dapat menaklukkan kebathilan dan kelaliman 

Sumber: Buku Cerita Rakyat Dari Bengkulu
Oleh: H. Syamsuddin ZA, M. Ikram, Zaharuddin, M. Halimi, Zainuddin Yusuf
Penerbit, PT. Grasindo, Jakarta
Read More

Cerita Kancil dan Siput

23.16 0
Cerita Kancil dan Siput
Pagi itu udara amat cerah. Di pinggir sungai masih tampak kecipak-kecipak air menunjukkan bahwa ikan-ikan masih sibuk bermain dan mencari makan. Setelah itu, air sungai semakin surut dan ikan-ikan mulai menghilang dari permukaan air. Mungkin mereka bersembunyi atau berlindung di balik akar-akar pohon enau.

Di pinggir sungai tampak bermunculan beberapa ekor siput. Mula-mula sedikit jumlahnya, tetapi lambat laun semakin banyak. Menjelang puncak pasang surut, jumlah siput di pinggir sungai itu sudah mencapai ribuan ekor. Ada yang besar, ada pula yang kecil. Tentunya yang besar adalah para pemimpin dan yang paling besar adalah raja siput.

Suatu ketika, sang raja sangat memerlukan kehadiran dan bantuan para bawahannya. Oleh karena itu, dipanggilnya seluruh bawahannya untuk berkumpul dan rapat di suatu tempat yang sudah ditentukan. Kemudian sang raja siput berujar;
"Saudara-saudaraku, dengarlah seruanku ini! Hari ini aku meminta saudara-saudara bersiap dan berjaga-jaga karena tidak berapa lama lagi seekor makhluk bernama kancil akan melewati daerah perkampungan kita ini."

"Bagaimana rupanya Tuan? Aku belum pernah melihat wajahnya sekalipun," tanya salah seekor siput.

"O, kalau begitu tunggu saja di sini. Jika tidak ada halangan, sebentar lagi binatang itu akan lewat melewati kampung kita ini. Tentu saja engkau dapat menyaksikannya," jawab sang raja.

Seekor siput lain menyela, "Apakah kelebihan binatang itu sehingga kita perlu memperhatikannya?"

"Begini saudara-saudara," sahut sang raja. "Kancil itu binatang yang cerdik, beberapa ekor binatang hutan sudah ia tipu. Sekarang, ia sedang kemari untuk mencari mangsa berikutnya. Tampaknya ia ingin menjadi raja di antara segala binatang yang ada di dunia ini."

Suasana hening seketika. Sesaat kemudian tampak perbedaan sikap di antara para bawahan terhadap penjelasan yang baru saja disampaikan sang raja siput. Ada yang termenung. Ada yang keheran-heranan seakan-akan tidak mempercayai kebenaran kecerdikan kancil itu. Ada pula yang bersikap menantang, ingin membuktikan sampai dimana kecerdikan akal yang dimiliki kancil, Selanjutnya, raja siput memerintahkan para bawahannya untuk memerintahkan seluruh anak buahnya menyembunyikan diri di dalam lumpur.

Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar bunyi makhluk aneh. Suaranya seperti suara anak kambing yang sering makan rumput membuntuti ibunya di pinggir sungai. Pemimpin siput memperhatikan keadaan sekitarnya. Memang benar, seekor makhluk kecil bertubuh ramping dan bertelinga panjang melompat dari pinggir sungai ke daratan. Rupanya dia baru saja melepaskan dahaga. Sambil membawa sekuntum bunga, dia berjalan menuju perkampungan siput. Jalannya gagah, bagai panglima pulang dari menang perang.

"Hai, apa kerjamu berkumpul di sini? Apakah engkau tidak mengetahui bahwa yang berjalan di hadapanmu ini adalah raja paling cerdik di dunia. Yang lebih dikenal dengan sebutan kancil yang cerdik!".  

Siput-siput di pinggir sungai itu berdiam diri, mereka memperhatikan sikap pongah dan takabur dari sang kancil. Tidak lama kemudian, dia berujar lagi, semua jenis binatang di dunia ini sudah mengakui dan menghormati aku sebagai binatang paling cerdik. Oleh karena itu, sewajarnya kalau kalian mengakui dan menghormati aku."

Kemudian raja siput berkata," Hai saudara kancil. Siapakah engkau ini sebenarnya? Berapa ekor hewan hutan yang telah engkau perdaya?"

Sambil berdiri dengan gagah, si kancil menjawab, "Aku bukan penipu, Aku ini binatang yang cerdik. Dengan akalku yang cerdik, aku bisa mengatasi kesulitan hidup. Aku bisa menghindari bahaya yang mengancam. Dan, aku bisa menaklukkan binatang-binatang hutan seperti gajah, harimau, bahkan manusia sekalipun."

"Hai kancil, coba engkau ceritakan bagaimana caranya binatang dan manusia bisa engkau perdaya?" tanya seekor siput.

"Begini caranya, "si kancil mulai bercerita, "Saat harimau hendak menerkam, kuberi hadiah sebuah tabuhan ajaib. Bila Tabuhan itu dipukul akan menimbulkan suara yang merdu. Tabuhan itu juga tabuhan  larangan. Artinya, tabuhan itu tidak boleh dipukul sembarang waktu. Akan tetapi, dasar harimau binatang bodoh. Tanpa perhitungan lantas dipukulnya sarang tabuhan (bintang penyengat seperti lebah) itu, sehingga dia akhirnya mati disengat binatang yang banyak itu."

"Lalu, bagaimana pula cara engkau memperdaya manusia?" sela seekor siput lainnya.

"Itu gampang sekali," jawab si kancil. Sewaktu aku tertangkap oleh seorang pemburu, aku perintahkan sahabatku lalat untuk terbang dan hinggap di sekitar tubuhku. Si pemburu menyangka aku sudah mati. Lalu, aku ditinggalkan begitu saja di pinggir hutan."

"Nah, cukup," kata siput itu. Kemudian, sang raja siput berujar, "Hai kancil, sekarang kami ingin bukti bahwa engkau benar-benar binatang yang cerdik."

"Mau apa engkau?" sergah sang kancil.

"Aku ingin berlomba. Siapa diantara kita yang paling cepat lari dari sini hingga ke hulu sungai," kata raja siput.

"Ah, bukan ukuranmu yang bisa melawan aku. Engkau binatang kecil, jalanmu pun sangat lamban, apalagi di sungai berlumpur. Mana mungkin engkau mampu mengalahkan aku," sahut kancil dengan sombong.

"Mungkin saja, mengapa tidak?" jawab raja siput.

Kalau begitu kehendakmu, baiklah. Bersiap-siaplah engkau besok pagi," kata sang kancil sambil melompat-lompat ke dalam hutan.

Pagi-pagi benar, pada hari berikutnya, raja siput sudah menampakkan diri dari sela-sela lumpur. Tidak berapa lama, tampak pula para bawahannya.

"Saudara-saudara, sesuai dengan rencana bahwa sebentar lagi kita akan mengikuti dan menyaksikan perlombaan lari dengan si kancil. Untuk itu, saya perintahkan saudara membuat barisan memanjang sepanjang sungai ini. Si kancil berlari di daratan, sedangkan kita berbaris di sungai. Apabila si Kancil mulai berlari dan memanggil kita, saudara yang didepannya harus menjawab, Uuuu, Bagaimana, setuju?"

"Setujuuuu!" jawab siput-siput yang lain.

Setelah itu beranjaklah mereka masuk ke dalam sungai, mematuhi perintah sang raja.

Tepat pada waktunya, datanglah si kancil. Dia menuntut agar perlombaan segera dimulai. Raja siput yang sudah lama bersiap segera beringsut ke pinggir sungai. Sementara itu, beberapa ekor siput yang lain berada di pinggir sungai ingin menyaksikan perlombaan itu.

"Satu, dua, tigaaaa!" si kancil memberi komando tanda perlombaan di mulai. Dengan sigap dia melompat, berlari sekencang-kencangnya. Setiap lima puluh langkah, dia berseru, "Di mana engkau siput?"

"Uuuu., uuuu!" jawab siput yang berada di depannya. Si kancil semakin mempercepat larinya. Lalu terdengar lagi si kancil berseru, "Di mana engkau siput?"

"Uuuu, uuuu ...! kembali terdengar jawaban siput telah berada di depannya.

Si kancil menjadi marah dan kian memperkuat larinya. Setiap kali dia berseru, selalu dijawab oleh siput yang telah berada di depannya. Demikian seterusnya. Si kancil tidak dapat mengalahkan siput dalam perlombaan itu. Dia tidak dapat menerka taktik yang dipakai oleh raja siput dan anak buahnya. Akhirnya, dia merasa kelelahan. Sambil menggerutu dengan napas terengah-engah, sang kancil pun berkata, "Hai siput, mulai hari ini aku nyatakan bahwa engkaulah binatang paling cerdik dan dapat mengalahkan aku, selamat tinggal!"

Setelah itu, kancil pun melompat dan lari menghilang dari perkampungan siput. Sekarang, tinggallah siput-siput berbuntut panjang itu bergembira ria, memuji-muji diri mereka yang telah bekerja keras, bergotong royong, serta dapat membina persatuan dan kesatuan. Di setiap tempat, di mana pun siput berada, mereka suka sekali memuji diri. Siput-siput itu menjadi pandir kemenangan dan kelebihannya

Kesimpulan
 Orang yang suka memuji diri sendiri menurut peribahasa Bengkuli dikatakan "Bagai siput memuji buntut". Sifat sombong dan takabur adalah sifat yang tidak baik dan merugikan diri sendiri. Sifat suka bekerja keras, bergotong royong, dan dapat membina persatuan dan kesatuan merupakan modal kekuatan untuk mengalahkan lawan. Jangan terlalu cepat mengatakan "Kita hebat" mungkin masih ada orang lain yang lebih dari kita. 


Sumber: Buku Cerita Rakyat Dari Bengkulu
Oleh: H. Syamsuddin ZA, M. Ikram, Zaharuddin, M. Halimi, Zainuddin Yusuf
Penerbit, PT. Grasindo, Jakarta
Read More

Kancil Yang Jahil Mencuri Mentimun

17.44 1
kancil mencuri mentimun
Pada Zaman dahulu kala, hidup seekor kancil yang cerdik, Akan tetapi perangainya sangat licik. Setiap bertemu dengan binatang-binatang lain, timbul keinginannya untuk menganggu. Baik binatang besar seperti gajah, harimau, babi, ataupun binatang kecil seperti kura-kura, monyet, musang, tidak luput dari usikannya. Dia sangat senang jika binatang yang diganggu mendapat kesusahan ataupun teraniaya akibat ulahnya yang licik. Karena kelakuannya yang sangat jahat dia disebut si Kancil yang jahil.

Pada suatu hari, si Kancil yang jahil pergi mencari makan. Walaupn hari masih pagi, dia sudah merasa sangat lapar. Dia segera berjalan meninggalkan tempat persembunyiannya untuk mencari makanan. Rumput-rumput muda dan pucuk-pucuk pohon yang dapat dijangkau, dilahapnya dengan rakus. Setelah beberapa saat berjalan melewati beberapa padang rumput dan semak belukar, sampailah dia di sebidang kebun sayur-sayuran. Berbagai tanaman sayuran di dalam kebun itu tumbuh dengan subur. Tanaman kacang panjang dan dan mentimun sudah mulai berbuah agak lebat.

Pak Dul, petani pemilik kebun itu sangat senang hatinya melihat tanamannya tumbuh subur dan segar. Setiap hari ia datang ke kebunnya tanpa merasa lelah sedikitpun. Ia bekerja membersihkan dan menjaga kesegaran tanamannya dari pagi sampai sore.

Pada waktu melihat tanaman Pak Dul yang segar dan subur itu, timbul keinginan si Kancil jahil untuk mencuri. Akan tetapi, pada saat itu dia tidak berani masuk ke kebun karena Pak Dul masih ada di dalam kebun. Setelah berpikir sejenak, dia berkata dalam hati," Sebaiknya saya kembali lagi nanti sore saat pemilik kebun pulang." lalu dia segera meninggalkan tempat itu dan masuk ke hutan.

Kira-kira pukul 5 sore si Kancil jahil telah berada kembali di dekat kebun itu. Dari celah-celah pagar dia mengintip ke dalam kebun. Tampak olehnya Pak Dul sudah bersiap-siap untuk pulang. Tidak lama kemudian, Pak Dul segera keluar meninggalkan kebunnya dan pulang.

Melalui celah pagar yang agak lebar si Kancil Jahil segera menerobos masuk ke dalam kebun itu. Dengan perasaan sangat senang sambil meloncat-loncat kian kemari, dia mulai melampiaskan seleranya. Dengan rakus, Dia memakan kacang panjang dan mentimun yang muda dan segar sepuas-puasnya. Setelah merasa sangat kenyang, dia pun segera keluar meninggalkan kebun itu dan kembali ke persembunyiannya di dalam hutan. Demikian pula pada sore berikutnya, dia memasuki kebun itu lagi.

Setelah berulang kali, si Kancil Jahil mengulangi perbuatannya, Pak Dul semakin merasa susah dan jengkel. Jika dapat ditemukan, ingin rasanya ia segera membunuh penganggu yang telah merusak kebunnya itu.

Keesokan harinya, Pak Dull berusaha menemukan perusak kebunnya. Ia segera menyusuri pagar untuk mencari jalan masuk si penganggu tanaman. Setelah ditemukan, ia segera menggali lubang tepat di tempat bekas jalan masuk, di luar pagar. Setelah lubang itu selesai, ditutupnya dengan bekas potongan kayu-kayu kecil dan dedaunan. Keadaan tutup permukaan lubang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak tampak bahwa di situ ada lubang perangkap.

Seperti biasa menjelang senja, si Kancil Jahil telah berada di sekitar kebun itu. Dia pun segera mengintip suasana di dalam kebun. Tampak olehnya bahwa keadaan di dalam sudah cukup aman dan tidak berbahaya untuk dimasuki karena pemilik kebun tidak terlihat lagi. Dia segera menuju jalan masuknya seperti biasa. Beberapa langkah lagi mencapai celah pagar yang biasa dilewatinya itu, dengan tidak diduga sebelumnya dia langsung terjatuh ke dalam lubang. Sulit dibayangkan, betapa takut dan cemasnya si Kancil Jahil. Semua cara dan upayanya untuk keluar sia-sia belaka. Akhirnya, dia lelah dan terpaksa duduk berdiam diri di dalam lubang sambil merenungi nasib selanjutnya. Kini ia sadar bahwa kejadian ini akibat perbuatannya.

Dalam keadaan yang sangat membingungkan itu, masih sempat terlintas dalam benaknya untuk menipu. Dengan akal busuknya dia akan berusaha mempengaruhi siapa saja yang kebetulan melintas di dekat lubang itu. Dia berharap agar ada binatang lain ikut terperangkap bersamanya di dalam lubang.

Keadaan di dalam lubang saat itu semakin gelap karena hari semakin larut malam. Sementara itu, si Kancil Jahil mulai melaksanakan siasatnya buruknya. Dia segera mengucapkan kata-kata doa palsunya.
Tap teratap daun terentang
Langit gelap tidak berbintang
Besok hari akan kiamat
Di dalam lubang ini aku selamat. 

Dari luar lubang samar-samar terdengar doa itu diucapkan berulang-ulang. Tidak lama kemudian, lewatlah seekor kura-kura di tempat itu. Sayup-sayup ia mendengar suara kancil yang berada di dalam lubang. Dia segera menengok ke dalam lubang dan berkata, "Hai Kancil, apa kerjamu di dalam lubang ini?"

Si Kanci jahil menjawab, "Aku sedang berdoa sebab menurut keterangan ahli nujum di seberang lautan, besok pagi kiamat. Siapa ingin selamat harus masuk ke dalam lubang seperti saya."

Setelah menjawab pertanyaan kura-kura, Kancil kembali mengucapkan doanya berulang-ulang. Kura-kura mulai tertarik setelah mendengar dengan jelas kata-kata doa kancil itu. Akhirnya, dia mulai percaya pada keterangan yang telah disampaikan Kancil tadi. Dia segera menyampaikan harapannya kepada Kancil. Katanya;
"Jika memang benar kata-katamu tadi, bolehkah saya ikut masuk ke dalam lubang ini pula?"

"Boleh," kata si Kancil Jahil, "Tetapi engkau harus menuruti aturanku."

Kura-kura menjawab, "Baiklah, saya bersedia menuruti semua ketentuanmu, asal saya diizinkan masuk."

"Jika demikian jawabmu, masuklah," kata Kancil.

Kura-kura pun langsung terjun ke lubang. Dalam sekejab mata, dia telah berada di dalam lubang itu.
Si Kancil Jahil terus melanjutkan siasatnya jahilnya sambil mengajak kura-kura untuk bersama-sama berdoa.
Beberapa saat kemudian, lewat seekor kijang. Setelah itu datang berturut-turut rusa dan babi. Akhirnya, tiba pula di situ seekor harimau.
Mereka semua mempercayai penjelasan tentang hari kiamat dari si Kancil. Oleh karena itu, mereka meminta agar Kancil mengizinkan mereka ikut bersembunyi bersama di dalam lubang itu.

Setelah mendapat persetujuan dari Kancil, satu per satu mereka menerjunkan diri ke dalam lubang itu.

Kemudian, si Kancil Jahil segera mengatur siasat licik lebih lanjut. Dia berkata, "Wahai kawan-kawan, kita berenam saat ini telah berada di dalam lubang keselamatan. Untuk ketenangan dan kenyamanan kita di sini, saya perlu menyampaikan aturannya."

Semua kawannya serentak menjawab, "Baiklah Kancil, coba jelaskan kepada kami ketentuanmu itu."

"Begini," kata Kancil Jahil, "kita semua harus berjanji dengan sungguh-sungguh, bahwa selama kita berada di dalam lubang ini, tidak boleh ada yang terkentut. Jika salah seorang dari kita ada yang terkentut dia harus kita lempar keluar malam ini juga."

Semua kawan-kawannya serentak menyahut,"Setuju!"

"Baiklah, kalau begitu," kata Kancil, "mari kita semua berjanji dengan sepenuh hati, agar kita selamat besok pagi."

Menjelang dinihari, mereka mencium bau kentut yang sangat menyengat. Si Kancil langsung berteriak, "Siapa yang terkentut! sekarang juga harus kita periksa."

Mendengar perintah Kancil, mereka mulai saling memeriksa. Ternyata, kelima kawan Kancil tidak ada yang terkentut atau merasa terkentut. Pemeriksaan terakhir jatuh pada si Kancil Jahil. Setelah diadakan pemeriksaan terbukti bahwa Kancil yang sesungguhnya terkentut. Melihat keadaan itu, kura-kura langsung berkata, "Sesuai dengan perjanjian yang telah kita sepakati bersama. Kancil harus kita lempar keluar dari lubang ini sekarang."

Kawan-kawan lain pun ikut menyetujuinya. Dengan pura-pura sedih, si Kancil menjawab, "Baiklah kawan-kawan , saya bersedia mematuhi ketentuan kita bersama. Sekarang, silakan lemparkan saya keluar dari lubang ini." Setelah selesai berbicara, Kancil langsung dilempar keluar oleh harimau.

Setelah ada di luar lubang, si Kancil Jahil berkata kepada kawan-kawannya yang masih berada di dalam lubang, "Selamat masuk perangkap kawan-kawan! saya ucapkan terima kasih atas kebaikan hati kalian mengeluarkan saya dari lubang perangkap ini."

"Astaga," kata harimau, "rupanya Kancil keparat itu telah menipu kita."

Mereka ingin keluar dari lubang itu. Akan tetapi, mereka tidak dapat keluar karena lubang itu cukup dalam dan sempit. Mereka pasrah menanggung akibat ulah jahil si Kancil yang terkutuk itu.

Sementara menunggu matahari terbit, si Kancil Jahil masih berada di sekitar lubang. Dia menari-nari kegirangan sambil meloncat kian kemari. Karena keadaan pada saat itu masih agak gelap, dengan tidak disangka-sangka  dia meloncat ke sebuah tunggul kayu yang sangat runcing. Tunggul itu persis menembus bagian lambung sampai ke pangkal tenggorokannya. Tidak berapa lama, dia pun mengembuskan napasnya yang terakhir.

Kesimpulan
Cerita si Kancil ini adalah cerita fiktif yang disajikan sebagai hiburan bagi anak-anak. Cerita ini berkembang dari mulut ke mulut secara turun temurun di Kabupaten Bengkulu Selatan. 
 Kancil di dalam cerita ini dilukiskan sebagai seekor binatang yang lebih cerdik dibandingkan binatang-binatang lainnya. Akan tetapi, kecerdikannya hanya untuk menganggu dan menyakiti pihak lain. 
Secara ringkas, pesan cerita ini adalah setiap perbuatan yang dilakukan pasti ada balasannya secara setimpal. Perbuatan baik akan berbalas baik dan perbuatan buruk akan berbalas buruk pula. 

Sumber: Buku Cerita Rakyat Dari Bengkulu
Oleh: H. Syamsuddin ZA, M. Ikram, Zaharuddin, M. Halimi, Zainuddin Yusuf
Penerbit, PT. Grasindo, Jakarta
Read More

Banyuwangi

17.08 0
BanyuwangiPada suatu waktu, Kawasan ujung Timur Pulau Jawa diperintah oleh seorang Raja yang terkenal bijaksana dan disegani rakyatnya. Dalam menjalankan peemerintahannya, Raja dibantu seorang patih yang setia. Patih Sidapaksa namanya.

Istri Patih Sidapaksa berhati lembut dan amat jelita. Sayang sekali, ibu Patih Sidapaksa tidak menyukai menantunya. Hal ini disebabkan istri Patih Sidapaksa bukan berdarah biru. Ia cuma rakyat biasa.

Rasa benci di hati ibu Patih Sidapaksa semakin membara. Ia ingin memisahkan anaknya dengan menantunya. Suatu hari ia pergi menghadap raja. Ia membujuk Raja agar menugaskan anaknya pergi ke tempat yang jauh. Sehingga wanita itu punya kesempatan untuk menyingkirkan menantunya.

Raja tidak tahu maksud jahat perempuan tua itu. Dan oleh karena mulut manis perempuan itu, Raja malahan berjanji untuk mengabulkan permohonannya. Sepulang perempuan itu dari istana, Raja memanggil Patih Sidapaksa untuk menghadap.

"Patih Sidapksa, sudah lama kau tidak bepergian jauh. Aku yakin kau sudah rindu pergi mengembara. Bukankah kau dulu petualang yang tangguh?" kata Raja.

"Tugas apa yang hendak Raja berikan kepada hamba?" tanya Patih Sidapaksa.

"Permaisuriku ingin tetap berparas rupawan. Namun, untuk mempertahankan kecantikannya, ia butuh sekuntum bunga yang tumbuh di puncak Gunung Ijen. Pergilah ke Puncak Gunung Ijen dan petiklah bunga itu buat istriku," Sabda Raja.

"Baik Raja. Besok pagi hamba akan berangkat ke Gunung Ijen," jawab Patih Sidapaksa.

Patih Sidapaksa pulang ke rumah dengan lesu. Di sepanjang jalan ia sibuk memikirkan istrinya yang sedang hamil tua. Akan tetapi, ia pun tak berani melawan perintah Raja.

"Kanda, Kenapa kau tampak sedih?" tanya istri Patih Sidapaksa.

Patih Sidapaksa memandang malam yang kelam. Kemudian, ia berkata," Dinda, esok pagi aku harus pergi jauh. Raja menyuruhku ke puncak Gunung Ijen.

"Lalu, apa yang membuat Kanda bersedih?" tanya istrinya lagi.

"Aku tak tega meninggalkan kau sendirian. Tak lama lagi, engkau mungkin akan melahirkan," Patih Sidapaksa menuturkan kesedihannya.

"Kanda jangan pikirkan diriku. Aku bisa menjaga diri. Tugas Raja harus kaujalankan. Nah, malam telah larut, kau harus segera tidur," hibur istri yang bijaksana itu.

Malam itu Patih Sidapaksa tidur dengan gelisah. Esok paginya, sebelum meninggalkan rumah, ia berpesan pada istrinya," jagalah dirimu baik-baik dan berilah aku anak yang manis."

"Baik, Kanda" jawab istrinya lembut.

Tak lupa, Patih Sidapaksa pamit pada ibunya, Perempuan tua itu berkata dengan manisnya," jangan tergesa-gesa kembali. Tak usah kau pikirkan istrimu. Aku akan menjagamu dengan baik."

"Oh, terima kasih, Ibu," ujar Patih Sidapaksa. Lalu, ia pergi meninggalkan ibu dan istri yang amat dicintainya.

Tak lama, istri Patih Sidapaksa melahirkan bayi laki-laki. "Semoga kelak kau sehebat ayahmu Nak," bisik istri Patih Sidapaksa dengan bangga.

Beberapa hari kemudian, ketika anaknya sedang tidur nyenyak. Istri Patih Sidapaksa pergi mandi ke pancuran. Pada waktu itu diam-diam ibu mertuanya masuk ke kamar itu. Perempuan yang jahat itu lalu membawa bayi itu ke tepi sungai tak jauh dari rumahnya. Sebuah sungai yang deras, airnya keruh dan bau.

Perempuan tua itu memandang bayi itu dengan rasa benci. Aneh sekali, padahal bayi itu cucunya sendiri! Lalu setelah mengumpat-ngumpat, sekonyong-konyong dilemparkannya bayi itu ke tengah sungai. Tubuh mungil itu pun lenyap ditelan air sungai yang kelam.

Sementara itu, istri Patih Sidapaksa pulang dari pancuran. Tentu saja ia sangat bingung mengetahui anaknya lenyap. Dengan panik ia segera mencarinya ke sana kemari.

"Oh siapa yang menculikku?" desahnya. Ia mencari anaknya ke mana-mana. Namun, bayi mungil itu tidak ditemukannya. Karena sedih, istri Patih Sidapaksa jatuh sakit.Ia tak mau makan dan minum hingga tubuhnya amat kurus dan lemah.

Dua tahun kemudian baru Patih Sidapaksa pulang ke rumah. Patih itu telah berhasil melaksanakan amanat rajanya. Kini ia nampak memacu kudanya kencang-kencang. Ia amat rindu pada sang istri, di samping itu ia juga ingin melihat anaknya.

Tiba di depan rumah, Patih Sidapaksa disambut oleh ibunya. Perempuan jahat itu menghasut anaknya, "Anakku, ternyata istrimu seorang yang bengis. Ia tega membunuh anaknya sendiri. Setelah melahirkan bayi laki-laki, istrimu membawa anaknya ke sungai. Lalu, perempuan berhati iblis itu melemparkan anaknya ke dalam sungai."

Agaknya hasutan itu berhasil mempengaruhi pikiran Patih Sidapaksa. Tanpa meneliti kebenaran cerita ibunya dengan seksama, Patih Sidapaksa langsung mencari istrinya. Setelah bertemu, laki-laki itu menumpahkan amarahnya pada perempuan malang itu. Sang istri mencoba menerangkan kejadian sebenarnya. Akan tetapi, Patih Sidapaksa yang sedang kalap itu tidak mau mendengar. Bahkan ia menyeret istrinya ke pinggir sungai.

Istrinya berkata," Kanda, Janganlah percaya pada cerita Ibunda. Sungguh, aku tidak pernah berbuat sekeji itu."

"Lalu, kemana anakku?" bentak Sidapaksa.

Sungguh aku tidak tahu Kanda," ujar perempuan malang itu. Dicobanya menjelaskan kepada suaminya. Namun, Patih Sidapaksa tetap tak mau percaya. Ia tetap menuduh istrinya seorang pembunuh.

Kemudian, Patih Sidapaksa menghunus kerisnya. "Seorang Ibu yang tega membunuh anaknya sungguh tak pantas hidup di dunia ini!" bentak Sidapaksa. "Akan kubalaskan dendam anakku!"

Istrinya mengeluh, putus asa, "Kanda nampaknya tak percaya lagi padaku. Baiklah, aku juga tidak mungkin memaksa. Namun, Kanda tak perlu bersusah payah membunuhku. Sebab, sebentar lagi aku akan mati."

Segera perempuan itu melepaskan diri dari pegangan suaminya, lalu menceburkan diri ke sungai. Sebelum tubuhnya lenyap ditelan air sungai, wanita itu sempat berteriak, "Kanda, saksikanlah! Jika air sungai ini menjadi harum, berarti aku tidak bersalah!"

Tiba-tiba terjadilah suatu keajaiban! Bau nan harum merebak di sekitar sungai itu. Sementara di tengah permukaan sungai muncul dua kuntum bunga air. Yang satu besar yang satu kecil. Yang besar adalah penjelmaan istri Patih Sidapaksa, sedang yang kecil penjelmaan anaknya.

Patih Sidapaksa tertegun. Bunga yang kecil ternyata bisa bersuara," Ayah, akulah anakmu. Ibuku tak berdosa. Yang menenggelamkan aku adalah Nenek." Dapat dibayangkan betapa sedih dan menyesalnya Patih Sidapaksa sesudah mendengar penjelasan itu. Patih itu menangis melolong-lolong, meratapi kematian anak dan istrinya, juga menyesali kebodohannya.

Namun sudah terlambat!

Sejak itu, Sungai yang tadinya berair keruh dan berbau itu menjadi jernih dan harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut banyuwangi. Artinya air yang harum. Nama Banyuwangi kemudian menandai kawasan disekitar sungai itu. Hingga sekarang menjadi kota , Kota Banyuwangi.

Kesimpulan
Cerita ini disebut legenda. Sebab kita bisa melihat sebagian buktinya. Kita memang tak bisa membuktikan adanya sungai yang berbau wangi, tetapi kita bisa mendatangi kota yang bernama Banyuwangi. 
Pelajaran yang bisa diambil dari legenda ini adalah: Berpikirlah baik-baik sebelum kita melakukan sesuatu. Penyesalan yang timbul kemudian, jika kita keliru langkah, dan tak akan ada artinya lagi. 

Sumber: Buku Ceri Rakyat Dari Jawa Timur 
Oleh: Dwianto Setyawan 
Penerbit PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta 1997
Read More

Air Terjun Coban Baung

17.23 0
Air Terjun Coban Baung
Pada suatu malam, bulan nampak bundar di langit. Cahayanya yang keemasan menambah keelokan malam. 

Seorang putri jelita terbangun dari semadinya. Cahaya bulan yang masuk ke dalam gua, tempatnya bertapa, menyilaukan matanya. Sementara itu, gemuruh suara air terjun di hadapannya terdengar merdu. Gua, tempat putri itu bertapa memang terletak di balik air terjun itu. 

"Ah indah sekali malam ini. Tak terasa sudah sepurnama aku bersemadi," ujar putri itu sambil memandang keindahan bulan dari balik air terjun.

Putri itu mengalihkan pandang matanya ke desa di bawah sana. Desa itu nampak indah sekali. Sang putri tiba-tiba merasa kesepian. Sejak tadi cuma gemuruh air terjun yang terdengar. 

Tiba-tiba, timbul keinginan Putri itu untuk bercengkrama dengan seseorang. Lalu, ia mengamati desa itu. Berkat kesaktiannya, ia bisa melihat seluruh wajah desa itu. 

Tatapannya terhenti pada seorang pemuda yang sedang menatap bulan dari jendela kamarnya yang terbuka. 

"Oh, sungguh rupawan pemuda itu! Malam ini pasti menyenangkan bila aku bersamanya," desah putri itu, mengagumi ketampanan pemuda itu. Wajah pemuda itu semakin nampak elok, karena cahaya bulan bermain-main di wajahnya. 

Putri itu lalu bersemadi. Kesaktiannya ternyata bisa mempengaruhi pemuda itu. Tiba-tiba saja pemuda itu pergi ke air terjun. 

"Hmm...! Pasti asyik sekali mandi di bawah cahaya bulan," gumam pemuda itu. Kemudian bagaikan dituntun sebuah kekuatan gaib, ia bergegas pergi ke air terjun. 

Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang kakek tua, sesepuh di desa itu. 
"Mau ke mana, Anak Muda?" tanya kakek itu. 

"Saya hendak mandi di bawah air terjun, Kek," jawab pemuda itu. 

"Wahai anak muda! Sebaiknya jangan pergi mandi di sana saat bulan purnama seperti ini," nasihat kakek itu. 

"Baiklah, Kek. Saya tidak akan mandi. Saya cuma ingin memandangi keindahan air terjun di sana," jawab pemuda itu. Lalu, ia meninggalkan kakek itu. Sementara itu, sang kakek memandangai punggung pemuda itu dengan perasaaan gundah. 

Sesampai di air terjun, tiba-tiba pemuda itu melihat suatu pemandangan yang ganjil. Ia melihat sebuah istana di balik air terjun itu. Titik-titik air terjun bagaikan sebuah tirai tipis yang menyelubungi istana itu. 

"Aneh! Ada istana megah di sana! Apakah aku sedang bermimpi?" gumamnya takjub. 

Tiba-tiba, air yang bagaikan tirai tersibak. Seorang Putri jelita muncul di sana. Pemuda itu terpana seketika. 

"Oh, cantik sekali putri itu," pikirnya. 

"Kenapa termangu-mangu di situ, Pemuda Rupawan? Kemarilah, temani aku!" sapa putri itu dengan suara merdu. 

Pemuda itu belum pulih dari rasa terkejutnya. Ia belum bisa berkata apa-apa. Agak lama kemudian ia berkata tergagap" S-Siapakah kau? D-Dedemitkah?" 

"Aku seorang putri raja dari Madura. Aku penguasa istana ini! Ayo kemarilah! Aku sengaja mengundangmu kemari karena aku ingin berbincang denganmu," jawab putri itu sembari tersenyum memikat. 

Di hadapan pemuda itu, tiba-tiba membentang sebuah tangga. Ujung Tangga itu menguak air terjun dan menuju ke istana. Setengah sadar pemuda itu menaiki tangga dan pergi menemui putri jelita itu.

Malam itu, penduduk desa kehilangan seorang warganya. Mereka mencari pemuda itu ke seluruh pelosok desa. Namun pemuda itu tidak mereka temukan.

"Mungkin, ia masih ada di sekitar air terjun!" ujar kakek yang semalam bertemu dengan pemuda itu. Penduduk desa pun segera mencari ke sana. Mereka memanggil-manggil nama pemuda itu. Namun, pemuda itu tak muncul jua.

Tiba-tiba, mereka mendengar sayup-sayup suara gamelan ditabuh di sela-sela gemuruh air terjun. Sepertinya  di sana sedang berlangsung sebuah pesta pernikahan. Penduduk desa mendadak merasa sedih.

"Kau tak mendengarkan nasihatku, Nak," ujar kakek tua itu sedih. "Agaknya, Putri Madura itu sedang mencari korban lagi semalam. Kaulah yang dipilihnya. Sungguh malang nasibmu, Nak!"

Hari itu, seluruh penduduk desa berkabung. Mereka menyesali kepergian seorang warga desanya yang rupawan.

Kesimpulan
Cerita ini termasul legenda. Sampai sekarang air terjun yang konon meminta kurban tubuh pemuda itu masih ada. Air terjun itu dinamai Coban Baung. Air yang jatuh dari ketinggian 55 meter itu masih tetap mempesona. Apalagi saat purnama. 
 Kini, Coban Baung termasuk salah satu objek wisata di Jawa Timur. Letaknya di kawasan Kebun Raya Purwodadi. Siapa pun boleh mengagumi keindahannya, asal tidak naik ke puncak air terjun itu. 
Puncak Coban Baung itu terdiri dari batu-batuan yang sangat licin. Kalau tidak hati-hati kita bisa tergelincir dan terbanting ke bawah. Kecelakaan seperti itu tentu bisa mengakibatkan kematian. Itukah yang menyebabkan kematian pemuda itu ? Tak ada seorang pun yang tahu!
Kata-kata manis belum tentu bermaksud manis. Oleh karena itu, kita harus pintar menafsirkan apa yang tersirat dalam kata-kata manis itu. 
Sumber: Buku Ceri Rakyat Dari Jawa Timur 
Oleh: Dwianto Setyawan 
Penerbit PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta 1997
Read More

Legenda Gunung Arjuna

17.13 0
legenda gunung arjuna
Di sebuah utara Kota Batu, Malang, terdapat sebuah gunung. Gunung Arjuna, namanya. Di pagi hari, Gunung Arjuna tampak menjulang megah. Sesekali puncak gunung itu tampak mengeluarkan asap.

Dulu menurut legenda, tinggi gunung itu hampir menyentuh langit. Namun, kini Gunung Arjuna hanya setinggi 3.339 m. Ini disebabkan keangkuhan Arjuna seperti yang dikisahkan dalam legenda ini.

Arjuna adalah pemuda Rupawan. Ia anak ketiga dari lima bersaudara Pandawa. Oleh karena itu, disebut penengah Pandawa. Arjuna jago memanah. Ia pun sakti mandraguna. Dewa memberikan kesaktian itu karena ia gemar bertapa.

Suatu hari, Arjuna kembali ingin bertapa. Ia pergi mengembara keluar-masuk hutan. Berbulan-bulan ia berjalan sampai ia tiba di sebuah gunung. Lalu ia bersila dan mulai bersemadi.

Berbulan-bulan Arjuna bertapa di situ. Siang malam ia bersemadi, sehingga tubuhnya bersinar-sinar, mengeluarkan kekuatan yang dahsyat.

Hasil bertapa Arjuna ternyata membawa akibat yang mengejutkan. Puncak gunung tempatnya bertapa terangkat ke atas hingga hampir menyentuh langit.

Kayangan tempat para dewa berguncang. Batara Narada pun terburu-buru terbang ke bumi. Ia pergi menyidik untuk mengetahui apa yang menyebabkan kayangan berguncang hebat.

Batara Narada menemukan Arjuna di gunung itu.
"Arjuna, bangunlah! Semua orang dan para dewa akan celaka bila kau tak mau menghentikan tapamu!" panggil Batara Narada.

Sebenarnya, Arjuna mendengar panggilan Batara Narada itu. Namun, keangkuhan hatinya menyebabkan ia tak mau mengakhiri tapanya.

"Kalau aku tak mau bangun, para dewa pasti kebingungan. Mereka akan menghadiahi aku senjata dan kesaktian yang lebih banyak," pikir Arjuna. Lalu, ia pun semakin tekun bersemadi.

Batara Narada kebingungan. Ia tak berhasil membangunkan Arjuna, meskipun ia sudah membujuk dan menjanjikan berbagai kesaktian kepadanya.

"Aku harus segera melapor kepada Batara Guru," ujar Batara Narada putus asa. Ia pun bergegas kembali ke Kayangan.

"Oh, Adik Guru! Cepatlah bertindak! Kalau tidak, Arjuna akan menimbulkan bencana buat kita semua," lapor Batara Narada.

"Huh! jadi semua ini gara-gara Arjuna, Mau apa sebenarnya penengah Pandawa itu?" gerutu Batara Guru. Lalu, ia memanggil sejumlah bidadari cantik, perintahnya, "Goda Arjuna sampai ia mau mengakhiri tapanya!"

"Baik, Batara Guru," sahut para bidadari itu. Lalu, mereka terbang ke bumi.

Setibanya di tempat Arjuna, para Bidadari cantik itu mulai merayu dengan suara lembut. Segala cara mereka pakai untuk membangunkan Arjuna dari tapanya. Namun, Arjuna tidak bergeming. Ia tidak tergoda sedikitpun oleh rayuan mereka.

Para bidadari jelita itu kembali ke kayangan dengan wajah kecewa. Salah satu bidadari melapor kepada Batara Guru, "Ampun, Batara, kami tak berhasil menggoda Arjuna."

"Hm, kalau begitu panggil semua dedemit! Perintahkan mereka untuk menakut-nakuti Arjuna!" perintah Batara Guru.

Sepasukan dedemit dikirim ke gunung tempat Arjuna bertapa. Mereka pun menakut-nakuti Arjuna dengan segala cara. Namun, penengah Pandawa itu tetap tidak bergeming. Ia seakan terlena dalam tapanya.

Para dedemit segera melaporkan kegagalan mereka kepada Batara Guru. Betapa gundah hati Batara Guru. Ia berjalan mondar-mandir untuk mengurangi keresahan hatinya.

Di saat nyaris putus asa, tiba-tiba Batara Guru teringat Dewa Ismaya. Dewa Ismaya itu tak lain adalah Semar yang menjadi Punakawan Arjuna.
(Istilah punakawan berasal dari kata pana yang bermakna "paham", dan kawan yang bermakna "teman". Maksudnya ialah, para panakawan tidak hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, namun mereka juga memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan seringkali mereka bertindak sebagai penasihat majikan mereka tersebut-Wikipedia)

"Batara Narada, turunlah ke bumi! Temui Kakang Semar! Suruh ia membujuk Arjuna agar bersedia bangun dari tapanya!" ujar Batara Guru.

"Baik, Adik Guru," jawab Batara Narada. Dewa yang bertubuh gemuk itu pun segera melesat ke bumi.

Setibanya di tempat Semar, Batara Narada pun menceritakan keresahan hati Batara Guru.

"Oh, mengapa Arjuna bisa begitu? Biasanya, ia seorang satria yang baik," gumam Dewa Ismaya. Lalu, ia berjanji kepada Batara Narada, "Katakan pada Batara Guru agar tetap tenang. Aku akan segera pergi menemui Arjuna. Semoga aku bisa menyadarkan anak asuhanku itu." 

"Terima kasih, Dewa Ismaya. Kuharap kau berhasil," sahut Batara Narada. Ia pun kembali ke kayangan. 

Semar termenung sendirian. Ia sibuk mencari akal. "Aku akan minta bantuan Togog," gumam Semar beberapa waktu kemudian. Lalu, ia berangkat ke rumah adiknya. 

"Oh, Kakang Semar! Ada perlu apa Kakang ke sini?" sapa Togog riang. 

"Aku butuh bantuanmu Togog," sahut Semar. Lalu ia menceritakan perihal tugas yang diberikan Batara Guru kepadanya. 

"Apa yang akan kita perbuat Kakang?" tanya Togog. 

"Kita harus memotong puncak gunung tempat Arjuna bertapa," jawab semar. "Mari cepat berangkat, Adikku!" 

"Mari, Kakang Semar," sambut Togog bersemangat. 

Kedua kakak beradik itu segera berangkat. Setibanya di gunung tempat Arjuna bertapa, mereka berpencar. Masing-masing menempati sisi gunung itu. Lalu, mereka bersemadi. Berkat kesaktian mereka tubuh mereka berubah menjadi tinggi besar. Tingginya melampaui puncak gunung itu. Lalu, mereka mengeruk bagian bawah puncak, dan memotongnya! 

"Ayo kita lemparkan puncak gunung ini ke tempat lain," kata Semar. Mereka melemparkan puncak gunung itu ke sebelah tenggara Kota Batu. Terdengarlah suara berdebum saat potongan gunung itu mendarat di bumi. 

Arjuna terbangun seketika dari tapanya. Ia amat terkejut ketika melihat Semar dan Togog di hadapannya. 

"Apa yang terjadi, Uwa Semar?" tanya Arjuna. 

Semar tersenyum bijaksana. Lalu, ia berujar tenang "Kami baru memotong dan melemparkan puncak gunung ini, Raden." 

"Kenapa kau lakukan itu Uwa Semar? Dewa pasti tak jadi memberiku banyak senjata dan kesaktian," omel Arjuna. 

"O, itukah keinginan Raden? Masih belum cukupkah kesaktian yang Raden miliki sekarang ini?" jawab Semar. Lalu, Semar memberi nasihat," sadarlah Raden. Raden adalah seorang satria sakti yang disegani setiap orang. Oleh karena itu, Raden harus rendah hati dan tidak sombong. Keangkuhan hati Raden bisa menimbulkan malapetaka bagi diri Raden, juga bagi orang lain." 

Oh, betapa malunya Arjuna. Ia buru-buru minta maaf. "Saya telah khilaf, Uwa Semar. Maafkan sikap saya itu." 

"Syukurlah kau akhirnya sadar, Raden. Kalau tidak, Sang Hyang Wenang, raja segala dewa pun, tak akan memaafkan perbuatanmu tadi," ujar semar sembari tersenyum. 

"Terima kasih atas bantuan kalian, Uwa Semar dan Uwa Togog," ucap Arjuna. 

"Kukira tugas kita telah selesai, Kakang. Mari kita Pulang!" ajak Togog. 

"Aku setuju, Uwa Togog. Aku pun sudah rindu pada Petruk, Gareng, dan bagong," sambut Arjuna. 
Ketiga orang itu pun segera meninggalkan tempat itu.

Sejak itu gunung tempat Arjuna bertapa diberi nama Gunung Arjuna. Sedangkan puncak gunung yang dilemparkan oleh Semar dan Togog dinamai Gunung Wukir.

Kesimpulan
Cerita tentang Gunung Arjuna ini disebut legenda, sebab Gunung Arjuna dan Gunung Wukir itu masih bisa kita lihat sampai sekarang. Gunung Arjuna terletak di sebelah utara Gunung Batu, sedangkan Gunung Wukir letaknya di sebelah tenggara Kota Batu. 
 Perlu kita ingat bahwa kita sering lupa diri seperti Arjuna. Lebih-lebih kalau kita sedang bernasib baik. Kita cenderung menjadi sombong dan tinggi hati. 
Dengan membaca legenda ini hendaknya selalu ingat bahwa kesombongan itu tidak baik, karena bisa merugikan diri kita dan orang lain. Hendaknya kita selalu rendah hati meskipun kita mempunyai keistimewaan tertentu.  

Sumber: Buku Ceri Rakyat Dari Jawa Timur 
Oleh: Dwianto Setyawan 
Penerbit PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta 1997
Read More

Aryo Menak dan Tunjung Wulan

17.11 0
aryo menak dan tunjung wulan
Aryo Menak seorang pemuda Madura yang gagah. Ia amat suka mengembara. Seluruh waktunya dihabiskan dengan keluar masuk hutan. Ia ingin menimba pengalaman sebanyak-banyaknya dari kejadian demi kejadian yang dijumpainya.

Malam itu bulan purnama. Bulan tampak bundar di langit. Aryo Menak  berjalan menyusuri hutan sembari tak bosan-bosannya memandangi kecantikan bulan.

"Hm, malam ini sangat indah,' desah Aryo Menak. Tiba-tiba ia mendengar sayup-sayup suara perempuan. Ia merasa tertarik. Lalu, ia berjalan mencari asal suara itu.

Aryo Menak tiba di sebuah telaga. Air telaga sangat jernih. Bayangan bulan tampak bermain-main di permukaan air telaga. Sementara itu, suara-suara perempuan itu terdengar semakin ramai.

Aryo Menak berjalan mengendap-ngendap. Kemudia, ia bersembunyi di balik sebatang pohon besar dan mengintip. Ohoo, ternyata ada beberapa bidadari cantik sedang mandi di telaga! Mereka tak tahu kalau Aryo Menak ada di situ. Mereka tetap asyik mandi sambil bercanda gembira.

Tanpa sadar Aryo Menak berjalan semakin mendekat. Matanya berbinar saat ia melihat pakaian berserakan di tepi telaga.

"Aku akan menyembunyikan selembar baju itu," bisik Aryo Menak. Lalu ia menyambar selembar pakaian dan menyembunyikannya di tempat aman.

Tak lama kemudian, terdengar suar ribut di telaga. Para bidadari itu kembali terbang ke kayangan. Namun, seorang bidadari cantik tetap berendam di telaga. Wajahnya tampak sedih.

Aryo Menak mendekat ke tepi telaga. Ia menyapa dengan lembut,"wahai bidadari kenapa kau bersedih hati?"

Paras bidadari itu berubah merah. Kemudian, ia menuturkan kesedihannya, "Pakaianku hilang sehingga aku tak bisa kembali ke kayangan."

Aryo Menak menatap paras cantik bidadari itu. Lalu ia menghiburnya,"Mungkin dewata menghendaki kau harus hidup di bumi. Maukah kau tinggal di rumahku?"

Dewi Tunjung Wulan, bidadari yang cantik itu, tak punya pilihan lain. Akhirnya, ia menerima kebaikan hati Aryo Menak dan bersedia mengikuti kemauan Aryo Menak. Lebih daripada itu ia bahkan bersedia menjadi istri laki-laki itu.

Tak lama kemudian, Aryo Menak dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak laki-laki inilah yang kelak akan menurunkan raja-raja Madura.

Sejak menikah dengan Tunjung Wulan, hidup Aryo Menak menjadi bertambah makmur. Sawahnya berhektar-hektar dan hasil panennya selalu memuaskan.

Sementara itu, isi lumbung padi Aryo Menak seakan tak pernah berkurang sedikit pun.

"Aneh sekali," pikir laki-laki itu. "Padahal aku dan keluargaku selalu makan nasi, tetapi padi dalam lumbung rasanya tidak berkurang. Lagipula seingatku, istriku juga tak pernah menumbuk padi. Apakah dia seorang bidadari?"

Lama-lama Aryo Menak menjadi penasaran sendiri. Ia ingin tahu mengapa semua itu bisa terjadi.

Suatu pagi, istri Aryo Menak pamit, "Kak, aku akan pergi ke sungai. Selama aku pergi jangan sekali-laki engkau ke dapur, sebab aku sedang menanak nasi."

"Baik, Dik," jawab Aryo Menak. Tunjung Wulan pun berangkat ke sungai. Sementara itu, diam-diam Aryo Menak mempunyai pikiran lain. Ketika bayangan istrinya susah tak tampak, bergegas ia pergi ke dapur. Lalu, dibukanya tutup periuk tempat menanak nasi.

"Astaga!" seru Aryo Menak terkejut, ketika dilihatnya hanya sebutir padi dalam periuk itu. "Hm, aku mengerti sekarang. Rupanya istriku hanya membutuhkan sebutir padi untuk menghasilkan seperiuk nasi. Pantas padiku tak pernah berkurang. Pantas pula ia juga tidak pernah kelihatan menumbuk padi. Namun, mengapa Tunjung Wulan harus merahasiakan semua ini?"

Aryo Menak tak bisa menjawab pertanyaannya sendiri, ia lalu bergegas keluar meninggalkan dapur.

Tak lama kemudian, Tunjung Wulan pulang. Rambutnya yang basah semakin mempercantik wajahnya. Dengan tergesa-gesa ia menuju dapur. Tunjung Wulan membuka tutup periuk! Betapa kaget dan sedihnya dia melihat padi dalam periuk itu belum berubah menjadi nasi. Padahal biasanya tidak demikian. Wanita itu segera memahami apa yang telah terjadi.

"Pasti suamiku telah melanggar pantangan yang kuberikan," ucapnya sedih. "Itu berarti, sejak saat ini aku harus bekerja keras. Aku harus menumbuk padi sebelum menanak nasi. Aku juga tidak bisa menghasilkan seperiuk nasi hanya dari sebutir padi. Berarti lumbung itu akan menjadi cepat berkurang isinya.

"Oh, musim panen masih lama. Padi dalam lumbung ini sudah hampir habis," keluh Tunjung Wulan suatu pagi. Tengah ia mengaduk-ngaduk isi lumbung itu, tiba-tiba matanya melihat sesuatu yang menyembul di antara onggokan padi.

"Sepertinya itu ujung kain selendangku," desah Tunjung Wulan. Ia segera menarik ujung kain itu. Benar! Ternyata, benda itu adalah selendangnya.

"Mungkin, pakaian bidadariku pun disimpan di dalam lumbung ini," pikirnya lagi. Lalu, terus dicarinya pakaian bidadarinya. Ternyata pakaian itu memang ada di situ.

"Hm, jadi Aryo Menak yang mencuri pakaianku," gumam Tunjung Wulan. Ia lalu memandang ke angkasa sambil berkata," Terima kasih, Dewa. Kini, hamba bisa kembali ke kayangan lagi."

Tunjung Wulan bergegas mengenakan pakaian bidadarinya. Ia tampak amat cantik. Kemudian, ia pergi menemui Aryo Menak. Ia berkata gembira,"Kak, pakaian bidadariku sudah kutemukan. Kini, aku akan kembali ke Kayangan."

Aryo Menak sangat terkejut. Lalu ia memohon," Jangan pergi, Dewi! Jangan tinggalkan aku dan anakmu!"

"Sayang sekali, aku harus pergi, Kak. Asuhlah putra kita baik-baik. Kalau kau rindu padaku, pandanglah bulan. Aku akan menghiburmu dari sana," tutur Tunjung Wulan. Lalu, ia terbang ke Kayangan.

Aryo Menak menangis sedih. Ia menyesali segala perbuatannya. Andai dulu ia bisa menahan diri. pasti istrinya yang tercinta tidak akan pergi meninggalkannya.

Kesimpulan
Cerita ini disebut dongeng, karena cerita ini tak punya bukti jelas dan hanya dituturkan dari mulut ke mulut. 
Dongeng ini serupa dengan dongeng Jaka Tarub yang amat terkenal di wilayah Jawa Timur. Bangsa Indonesia memang terdiri dari berbagai suku, sehingga jumlah dongeng-dongeng kita amat banyak, walaupun beberapa diantaranya terkadang inti ceritanya hampir sama. 
Hikmah dari dongeng ini; Bahwa janji itu sebaiknya selalu ditepati, sebab janji adalah cermin dari kepribadian kita. Kita tak akan dipercaya orang kalau kita selalu ingkar janji. Kita mungkin juga akan mengalami akibat yang tidak menyenangkan karena mengingkari janji kita sendiri. 


Sumber: Buku Ceri Rakyat Dari Jawa Timur 
Oleh: Dwianto Setyawan 
Penerbit PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta 1997

Read More

Jaka Tole Anak Berbakti

16.15 0
Jaka Tole
Dahulu kala di Pulau Madura hiduplah seorang anak laki-laki yang istimewa. Jaka Tole namanya. Ia baik hati dan tidak sombong. Selain itu, ia mempunyai kekuatan yang melebihi bocah seusianya. 

Jaka Tole sebenarnya anak seorang raja. Sementara orang tuanya pergi bertapa ia dititipkan kepada seorang pandai besi terkenal yang bernama Empu Keleng. Empu Keleng tinggal di Kabupaten Sumenep. 

Meskipun bukan orang tuanya Jaka Tole sangat hormat dan menghargai Empu Keleng dan istrinya. Ini juga merupakan sifat Jaka Tole yang patut dipuji. 

Sehari-hari Empu Keleng membuat pisau, kapak sabit, mata cangkul dan alat-alat pertanian. Benda-benda buatan Empu Keleng terkenal sangat baik mutunya. Tak heran kalau ia mempunyai banyak pelanggan.

Jaka Tole senang sekali melihat cara Empu Keleng bekerja. Suatu hari ia berkata," Empu Keleng, ajarilah aku membuat benda-benda itu. Aku ingin sekali membantumu."

"Kau masih terlalu kecil, Jaka Tole. Suatu saat nanti aku pasti akan mengajarimu," Empu Keleng menolak halus.

Jaka Tole tak berani memaksa, namun, keinginannya untuk belajar membuat benda-benda itu tak pernah surut.

Suatu Jum'at siang, Empu Keleng dan para pembantunya pergi bersembahyang ke mesjid. Jaka Tole bergegas ke bengkel tempat Empu Keleng biasa bekerja. Ia menyalakan api. Lalu ia memasukkan potongan-potongan besi ke dalam bara api.

Beberapa saat kemudian, Jaka Tole mengambil potongan-potongan besi dari dalam nyala api. Lalu ia mencari-cari perkakas yang biasa dipakai Empu Keleng untuk menempa potongan besi itu.
Namun, alat itu tak ditemukannya. Empu Keleng menyimpan perkakas itu di tempat lain.

"Oh, bagaimana ini?" desah Jaka Tole kebingungan.

Akan tetapi, Jaka Tole tak mudah menyerah. Lalu, ia menggunakan kepalan tangannya untuk memukul-mukul besi itu. Lututnya dipakai sebagai tempat untuk menempa.

Sungguh ajaib! Berkat kepalan tangannya, besi yang berpijar itu cepat sekali berubah menjadi pipih. Lalu dengan mudah Jaka Tole membentuk besi pipih itu menjadi sebuah sabit atau benda-benda lain yang disukainya. Yang istimewa, sabit, pisau, dan mata cangkul yang dibuat Jaka Tole jauh lebih bagus daripada buatan Empu Keleng.

Empu Keleng terheran-heran ketika melihat buah karya Jaka Tole.

"Kau memang anak istimewa, Jaka Tole," puji Empu Keleng bangga.

Kehebatan Jaka Tole itu segera menyebar ke mana-mana. Bengkel Empu Keleng menjadi sangat ramai. Orang-orang berbondong-bondong ke bengkel itu untuk memesan pelbagai perkakas pertanian buatan tangan Jaka Tole.

Sementara itu, Raja Brawijaya di Kerajaan Majapahit punya rencana besar. Ia ingin membuat sebuat pintu gerbang istana yang kokoh di ibu kerajaan.

"Kumpulkan semua pandai besi ternama di Kerajaan ini. Perintahkan kepada mereka untuk membuat sebuah pintu gerbang yang besar dan kokoh," titah Raja Brawijaya.

"Baik, Paduka, sahut Patih. Ia segera menjalankan perintah Raja. Semua pandai besi ternama yang ada di Pulau Jawa dan Madura didatangkan ke istana.

Empu Keleng adalah salah satu pandai besi yang dipanggil Raja. Sebelum berangkat ke Majapahit, Empu Keleng berpesan pada istrinya.
"Jaga Jaka Tole hati-hati, Nyai.
"Baik Empu," sahut istri Empu Keleng.

Ternyata, membuat pintu yang diinginkan raja tidak mudah. Semua pandai besi sudah mengerahkan keahliannya. Akan tetapi, sampai beberapa bulan kemudian gerbang itu belum jadi juga.

Di desa, Istri Empu Keleng dan Jaka Tole sangat gelisah. Mereka cemas memikirkan Empu Keleng.

"Kenapa lama sekali Empu Keleng pergi ya, Nyai?" tanya Jaka Tole suatu sore.

"Entahlah. Mungkin pembuatan pintu gerbang itu belum selesai," jawab istri Empu Keleng.

"Izinkan saya menyusul Empu Keleng, Nyai," rengek Jaka Tole.

Istri Empu Keleng melarang Jaka Tole. Ia teringat janjinya kepada Empu Keleng. Ia akan menjaga Jaka Tole baik-baik. Akan tetapi, Jaka Tole terus merengek dan membujuk. Akhirnya, istri Empu Keleng memberinya izin meskipun dengan berat hati.

Esok paginya, Jaka Tole berangkat ke Kota. Ia berjalan menyusuri hutan dan menyeberangi lautan. Setelah lama berjalan, ia merasa lelah. Lalu, ia beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang.

"Mau ke mana kau, Jaka Tole ?" sapa seorang kakek.

Jaka Tole amat terkejut, karena kakek itu tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Saya hendak pergi menyusul Empu Keleng, ayat angkat saya," sahut Jaka Tole.

"Kau memang anak yang berbakti, Jaka Tole. Aku akan menceritakan siapa sebenarnya dirimu," tutur kakek itu sembari tersenyum. "Kau adalah putra seorang Raja. Kedua orang tuamu kini sedang bertapa. Itulah sebabnya kau dititipkan pada Empu Keleng."

"Oh begitu, akan tetapi, tahukah kakek kenapa Empu Keleng tak ada kabar beritanya sampai sekarang?" tanya Jaka Tole.

"Empu Keleng dan teman-temannya sedang dalam kesulitan. Mereka belum bisa mendirikan pintu gerbang itu. Karena mereka tak punya pematri untuk menghubungkan bagian-bagian dari pintu itu," tutur kakek itu.

"Kalau begitu saya harus cepat ke sana. Mungkin, saya bisa menolong Empu Keleng," jawab Jaka Tole cepat.

"Tunggu, Jaka Tole, cegah kakek itu. Lalu ia mengeluarkan sekuntum bunga dari saku jubahnya. "Makan dulu bunga ini. Suatu saat nanti kau akan mampu mengeluarkan alat pematri untuk menyelesaikan pintu gerbang itu."

"Terima kasih, Kek," ucap Jaka Tole. Ia segera mengunyah bunga itu. Lalu ia pamit untuk meneruskan perjalanan.

Setibanya di kerajaan, Jaka Tole langsung mencari Empu Keleng. Ia menemukan ayat angkatnya itu di barak, tempat tinggal para pandai besi. Empu Keleng nampak kurus dan pucat, karena ia terlalu letih bekerja.

"Kenapa kau menyusul ke sini, Jaka Tole?" tegur Empu Keleng.

"Saya khawatir memikirkan kesehatan Empu. Setiap hari saya dan Nyai menunggu-nunggu berita dari Empu. Akan tetapi, sampai saat ini kami tak pernah mengetahuinya. Jadi saya bertekad menyusul Empu ke sini," jelas Jaka Tole.

Betapa terharu hati Empu Keleng. Jaka Tole memang anak yang berbakti. Ia tetap mencintai Empu Keleng meskipun kini ia telah tahu bahwa laki-laki tua itu adalah ayah angkatnya.

Sementara itu, di balai persidangan istana, patih kerajaan sedang melaporkan perkembangan pembuatan pintu gerbang kepada Raja.

"Apa yang menyebabkan kalian bekerja terlalu lama?" tanya Raja.

"Bagian-bagian pintu gerbang itu telah selesai, Paduka. Namun, para pandai besi itu tak bisa mendirikannya, karena mereka tak punya alat pematri untuk menghubungkan bagian-bagian itu," jelas Patih.

"Aku tak mau terima alasan itu. Pokoknya aku ingin pintu gerbang itu selesai dalam beberapa hari ini," sahut Sang Raja.

Sang Patih sangat kebingungan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba, Jaka Tole datang menghadap.

"Hamba sanggup menyelesaikan pintu gerbang itu, Patih," ujar Jaka Tole dengan suara mantap.

"Benarkah?" tanya Patih ragu-ragu. Lalu Patih berkata dalam hati, "Mungkinkah anak sekecil ini bisa merampungkan pintu gerbang itu, sedangkan sejumlah pandai besi tak berdaya membuatnya?"

"Hamba akan membuktikannya, Patih," sahut Jaka Tole.

"Baik, kau kuberi kesempatan untuk mencoba," tutur Patih.

Jaka Tole diantar ke tempat pintu gerbang dibuat. Empu Keleng melihatnya dengan cemas.

"Tenang Empu. Aku pasti bisa mengerjakannya," bisik Jaka Tole pada Empu Keleng. Lalu, Jaka Tole mengheningkan cipta sejenak. Tiba-tiba sebuah alat pemati yang berwarna putih keperak-perakan muncul dari genggaman tangannya. Jaka Tole segera menghubungkan bagian-bagian pintu gerbang itu dengan alat pematrinya.

Tak lama, pintu gerbang itu pun jadilah. Orang-orang bersorak-sorai menyaksikan keberhasilan Jaka Tole. Patih dan Empu Keleng merasa amat lega. Tugas dari Raja kini berhasil mereka laksanakan.

"Mari kita pasang pintu gerbang ini di tempatnya," ajak Patih gembira.

Uft! Ternyata, pintu gerbang itu amat berat. Jangankan memasangnya. Menegakkan pintu gerbang itu saja, orang-orang tak mampu. Jaka Tole segera bertindak. Dengan mudah ia menegakkan pintu gerbang itu. Lalu, memasang pintu gerbang itu dengan rapi di tempatnya.

Sekali lagi orang-orang bersorak-sorai. Mereka tak henti-hentinya mengelu-elukan kehebatan Jaka Tole.

"Kau benar-benar anak yang hebat, Jaka Tole. Terimalah emas dan perak ini sebagai hadiah dariku," tutur Raja.

"Terima kasih, Paduka," jawab Jaka Tole. Ia pun segera berpamitan pada Raja. Jaka Tole dan Empu Keleng pulang ke desa. Ia memberikan hadiah dari Raja itu kepada Empu Keleng dan istrinya.

Setelah dewasa Jaka Tole berkumpul kembali dengan orang tua kandungnya. Ia menjadi raja di Kerajaan Sumenep dan bergelar Arya Kudanapole. Meskipun sudah menjadi raja, ia tak melupakan Empu Keleng dan istrinya.

Kesimpulan
Cerita ini termasuk legenda. Nama Jaka Tole alias Arya Kudanapole terdapat dalam silsilah raja-raja Sumenep. Kita bisa mencari namanya dalam buku-buku sejarah. 
Dari legenda ini kita bisa meneladani sifat Jaka Tole. Tentu, kita tak bisa sehebat dan sesakti Jaka Tole. Akan tetapi, kita bisa mencintai dan menghormati orang tua kita seperti yang dilakukan Jaka Tole. 

Sumber: Buku Ceri Rakyat Dari Jawa Timur 
Oleh: Dwianto Setyawan 
Penerbit PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta 1997
Read More

Post Top Ad