September 2015 - Blog Oblok Oblok

Hot

Post Top Ad

Cerita Rakyat Dari Sumatera Barat, Riwayat Bunda Kandung

01.38 2
Cerita Rakyat Dari Sumatera Barat, Riwayat Bunda Kandung
Pada suatu masa, Kerajaan Pagaruyung mempunyai raja perempuan bernama Bunda Kandung. Baginda raja adil dan bijaksana, tapi tegar hatinya. Dalam mengatur kerajaan, Baginda dibantu oleh empat orang pembesar, dua orang petinggi, dan seorang panglima. Keempat pembesar bertugas tak berbeda dengan menteri. Orang menyebutnya Basa IV Balai, yang artinya pembesar dari empat jawatan. Dua orang petinggi dinamakan Raja Dua Sila, yang memimpin lembaga hukum agama dan lembaga hukum adat. Panglima kerajaan dinamakan Orang Gadang. Ketujuh pembantu Baginda itu dinamakan pula sebagai Gadang Nan Batujuah, yang artinya orang besar yang bertujuh.

Dalam istana, Baginda dibantu oleh dua orang yang sangat setia. Karena setia, Baginda sayang pula kepada mereka. Yang seorang, laki-laki bernama Bujang Selamat. Gombak rambut di kepalanya panjang. Jika dilepas dari gulungnya hampir mencapai tanah. Dalam tambo dia disebut Bujang Selamat Panjang Gombak.

Setiap saat dia bersedia melakukan apa saja yang disuruh Baginda, baik siang maupun malam. Yang lain, seorang perempuan bernama Lenggo Geni. Tugasnya mengurus keperluan pribadi Baginda.

Baginda sangat disegani. Sampai raja-raja atau pangeran tak berani meminangnya. Karena raja yang jadi suami, harus tinggal di istana Pagaruyung. Bagaimana mungkin raja yang memerintah di kerajaannya sendiri, mesti tinggal di Kerajaan Pagaruyung. Para pangeran tidak berani meminang karena kebesaran kerajaan Baginda. Meskipun tidak bersuami, Baginda mendapat gelar Bunda Kandung.

Menurut tambo, begini cerita asal mulanya Baginda mendapat gelar Bundo Kandung itu.

Adalah pada suatu tengah hari, di kala matahari berada tepat di puncak kepala. Sinarnya yang terik memanggang bumi. Bayang-bayang pohon kayu jatuh pada pangkalnya. Ayam berlindung dikolong rumah. Lidah anjing terjulur-julur tanpa daya sambil berleha-leha. Angin pun tidak berembus. 

Di kala itu, Baginda mengalai di anjung peranginan istana. Dikipas dayang-dayang karena kegerahan. Dayang-dayang mengipas sambil bernyanyi kecil, seperti ibu menidurkan bayinya. Tiba-tiba Baginda memanggil Lenggo Geni. Setelah Lenggo Geni mendekat, Baginda berkata, "Panggil Bujang Selamat."

Lenggo Geni segera turun ke halaman. Didapatinya Bujang Selamat terkulai seperti orang tidur di kolong anjungan. "Selamat. Baginda memanggil," kata Lenggo Geni.

"Kenapa?" tanya Bujang Selamat.

"Mana aku tahu."

Bujang Selamat segera bangun. Tergopoh-gopoh naik ke istana. "Hamba datang, Baginda," katanya ketika sampai. 

"Hari panas sekali. Aku haus. Kau ambilkan dua kelapa gading. Segera!" kata Baginda.

"Baik Baginda," ujar Bujang Selamat.

Kelapa gading tumbuh di halaman istana. Pohonnya tinggi. Di pangkalnya bersarang kalajengking hitam. Jika disengatnya, pingsanlah orang. Di batangnya bersarang semut merah besar yangdisebut kerarangga. Jika orang digigitnya, pedih gatalnya terasa sampai ke sumsum tulang. Di rumpun daunnya bersarang ular gerang. Jika dipatuknya nyawa melayang. Tapi Bujang Selamat kebal kulit. Bila kalajengking itu menyengat, kalajengking itu yang mati. Jika ular itu mematuk, ular itu yang mati.

Bujang Selamat berhasil memetik dua buah kelapa gading seperti yang disuruh Baginda. Setelah dikupas sabutnya dan dilobangi batoknya, dibawanya ke anjung istana. Secara lahap mereguk airnya. Setelah habis sebuah, diambilnya sebuah lagi. Sedikit saja direguknya. Sisanya diberikan Baginda kepada Lenggo Geni. Maka terasasejuklah tubuh Baginda. Begitu pula Lenggo Geni. Akhirnya, kedua perempuan itu terlelaplah. Daging kelapa itu diberikan Bujang Selamat kepada kuda, kerbau dan ayam piaraan istana.

Menurut cerita tambo, kelapa gading itu buah yang keramat. Tidak lama kemudian, Baginda pun hamil. Begitu pula Lenggo Geni. Kuda, kerbau dan ayam yang memakan daging kelapa itu pun demikian pula.

Ketika tiba waktunya, Baginda melahirkan bayi laki-laki. Bayi itu diberi nama Sutan Rumandung. Ketika sudah dewasa bergelar Dang Tuanku.

Tak lama kemudian, Lenggo Geni pun melahirkan. Baginda menamakan bayi itu Bujang Kecinduan. Ketika besar bernama Cindur Mato.

Begitu sayangnya Baginda kepada kedua laki-laki itu. Tak dapat dikatakan, kepada siapa sayang Baginda berlebih. Sejak mendapat anak itulah Baginda dinamakan Bunda Kandung oleh rakyat Kerajaan Pagaruyung.

Dari kerbau yang memakan daging kelapa itu lahir pula seekor anak. Diberi nama Binuang. Anak kuda yang lahir diberi nama Gumarang, sedangkan anak ayam bernama Kinantan. Setelah besar, hewan itu ternyata punya keistimewaan. Binuang menyimpan ribuan lebah di daun telinganya. Kalau dia menggeleng, lebah itu akan keluar dan menyerang siapa saja yangada di sekitar itu. Gumarang larinya kencang bagai kuda sembrani. Sementara itu, Kinantan berbulu putih dan nyaring kokoknya. Sebagai ayam jago, Kinantan selalu menang berlaga di gelanggang aduan.

Ketika Dang Tuanku mulai dewasa, dia ditunangkan dengan Puti Bungsu, anak dari adik Bunda Kandung. Dia memangku jabatan Raja Muda yang berkedudukan di Indrapura, di pesisir selatan Kerajaan. Puti Bungsu terkenal cantik sehingga Tihang Bungkuk, anak Imbang Jaya dari kerajaan sebelah selatan ingin pula menyuntingnya. Ketika dia tahu Puti Bungsu telah bertunangan, disebarkannya berita bahwa Dang Tuanku telah kena penyakit kutukan. Seluruh tubuhnya kena kena penyakit biring. Biring yang bernanah. Baunya sangat busuk. Tempat tinggalnya dikucilkan ke sebuah pondok di tepi sungai agar penyakitnya tidak menular ke banyak orang. Percaya kepada berita itu, Raja Muda memutuskan pertunangan Puti Bungsu dengan Dang Tuanku. Lalu menerima lamaran Tihang Bungkuk.

Bunda Kandung marah sekali mendengar keputusan Raja Muda itu. Dikirimlah Cindur Mato untuk menyelidiki benar tidaknya berita itu. Namun, Dang Tuanku menyuruh Cindur Mato menculik Puti Bungsu.

Di perjalanan, adapesawangan tempat penyamun biasa beraksi, dikenal sebagai bukit Tambun Tulang. Tempat tulang-belulang bertimbun dari korban para penyamun sejak dulu. Di tempat itu, Cindur Mato dihadang oleh anak buah Tihang Bungkuk. Cindur Mato dikeroyok sampai hampir tidak berdaya. Lalu dia berseru kepada ketiga hewan yang dibawanya agar membantunya. Gumarang menerjang kian kemari. Kinantan mematuk kepala penyamun itu, sedangkan Binuang melepaslebah yangbersarang di telinganya. Lari puntang pantinglah semua penyamun itu. Cindur Mato tak terhadang lagi sampai ke istana Raja Muda. Dia berhasil membawa lari Puti Bungsu.

Ketika Tihang Bungkuk tahu tunangannya diculik, disusulnya perjalanan Cindur Mato. Di waktu tersusul, terjadilah perkelahian hidup mati. Yang mati ialah Tihang Bungkuk.

Ketika tahu bahwa anaknya mati terbunuh oleh Cindur Mato, bukan main berangnya Imbang Jaya (ayah Tihang Bungkuk). Dikerahkannya pasukan menyerang. Kerajaan Pagaruyung, yang memang tidak punya prajurit untuk berperang, dibakar punah jadi abu. Tak terkecuali istana Bunda Kandung.

Bunda Kandung, Dang Tuanku dan Puti Bungsu sempat menghindarke suatu tempat. Lunang namanya. Letaknya di timur Indrapura. Di sanalah mereka sampai akhir hayatnya. Kubur mereka disusun bersisian. Lama kemudian Cindur Mato pun menyusul pula ke sana. Setelah dia meninggal, kuburannya agak tersisih dari ketiga kuburan yang lain. Kuburan itu hingga kini masih terpelihara.

Sepeninggal ahli waris kerajaan itu, singgasana Pagaruyung diduduki oleh Bendahara dari Sungai Tarab. Dia salah seorang anggota Basa IV Balai, saudara sepupu Bunda Kandung.  

Sumber: Buku Cerita dari Sumatera Barat 3
Penulis : A. A Navis 
Ilustrasi : Gerdi WK
Desain Sampul: Antonius Kuntra Raharjo 
Penerbit: PT. Grasindo Tahun 2001
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Papua, Cendrawasih

22.06 3
Cerita Rakyat Propinsi Papua, Cendrawasih
Di daerah Fak-fak, tepatnya di daerah pegunungan Bumberi, hiduplah seorang perempuan tua bersama seekor anjing betina. Perempuan tua bersama anjing betina itu mendapatkan makanan dari hutan berupa buah-buahan dan kuskus. Hutan adalah ibu mereka yang menyediakan makanan untuk hidup. Mereka berdua hidup bebas dan bahagia di alam. Suatu ketika, seperti biasanya mereka berdua ke hutan untuk mencari makan. Perjalanan yang cukup memakan waktu lama telah mereka tempuh, namun mereka belum juga mendapatkan makanan. Anjing itu merasa lelah karena kehabisan tenaga. Pada keadaan yang demikian tibalah mereka berdua pada suatu tempat yang ditumbuhi pohon pandan yang penuh dengan buah. Perempuan tua itu serta merta memungut buah itu dan menyuguhkannya kepada anjing betina yang sedang kelaparan. Dengan senang hati, anjing betina itu melahap suguhan segar itu. Anjing betina itu merasa segar dan kenyang.

Namun, anjing itu mulai merasakan hal-hal aneh diperutnya. Perut anjing itu mulai membesar. Perempuan tua itu mulai memeriksanya dan merasa yakin bahwa sahabatnya (anjing betina) itu bunting. Tidak lama kemudian lahirlah seekor anak anjing. Melihat keanehan itu, si Perempuan tua segera memungut buah pandan untuk dimakannya, lalu ia pun mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh sahabatnya. Perempuan tua itu melahirkan seorang anak laki-laki. Keduanya lalu memelihara anak mereka masing-masing dengan penuh kasih sayang. Anak laki-laki tersebut diberinya nama Kweiya.

Setelah Kweiya menjadi besar dan dewasa, ia mulai membuka hutan dan membuat kebun untuk menanam aneka bahan makanan dan sayuran. Alat yang dipakai untuk menebang pohon hanyalah sebuah pahat (bentuk kapak batu), karenanya Kweiya hanya dapat menebang satu pohon setiap harinya. Ibunya ikut membantu dengan membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah untuk membersihkan tempat itu sehingga asap tebal mengepul ke langit. Keduanya tidak menyadari bahwa mereka telah menarik perhatian orang dengan adanya kepulan asap itu.

Konon ada seorang Pria Tua yang sedang mengail di tengah laut terpaku melihat suatu tiang asap yang mengepul tinggi ke langit seolah-olah menghubungi hutan belantara dengan langit. Ia tertegun memikirkan bagaimana dan siapakah gerangan pembuat asap misterius itu. Rasa penasaran mendorongnya untuk pergi mencari tempat di mana asap itu terjadi. Lalu ia pun segera menyiapkan diri dengan bekal secukupnya dan dengan bersenjatakan sebuah kapak besi, ia pun segera berangkat bersama seekor kuskus yang dipeliharanya sejak lama. Perjalanannya ternyata cukup memakan waktu. Setelah seminggu berjalan kaki akhirnya ia mencapai tempat di mana asap itu terjadi.

Setibanya di tempat itu, ternyata yang ditemui adalah seorang pria tampan yang sedang membanting tulang menebang pohon di bawah terik panas matahari dengan menggunakan sebuah kapak batu berbentuk pahat. Melihat itu, ia menghampiri lalu memberi salam : "weing weinggiha pohi" (artinya, "selamat siang"), sambil memberikan kapak besi kepada Kweiya untuk menebang pohon-pohon di hutan rimba itu. Sejak itu pohon-pohon pun berjatuhan bertubi-tubi. Ibu Kweiya yang beristirahat di pondoknya menjadi heran. Ia menanyakan hal itu kepada Kweiya, dengan alat apa ia menebang pohon itu sehingga dapat rebah dengan begitu cepat.

Kweiya nampaknya ingin merahasiakan tamu baru yang datang itu. Kemudian ia menjawab bahwa kebetulan pada hari itu satu tangannya terlalu ringan untuk dapat menebang begitu banyak pohon dalam waktu yang sangat singkat. Ibunya yang belum sempat lihat pria itu percaya bahwa apa yang diceritakan oleh anaknya Kweiya memang benar.

Karena Kweiya minta disiapkan makanan, ibunya segera menyiapkan makanan sebanyak mungkin. Setelah makanan siap dipanggilnya Kweiya untuk pulang makan. Kweiya bermaksud mengajak pria tadi untuk ikut makan ke rumah mereka dengan maksud memperkenalkannya kepada ibunya sehingga dapat diterima sebagai teman hidupnya.

Dalam perjalanan menuju rumah, Kweiya memotong sejumlah tebu yang lengkap dengan daunnya untuk membungkus pria tua itu. Lalu setibanya di dekat rumah, Kweiya meletakkan "bungkusan tebu" itu di luar rumah. Di dalam rumah, Kweiya pura-pura merasa haus dan memohon kepada ibunya untuk mengambilkan sebatang tebu untuk dimakannya sebagai penawar dahaga. Ibunya memenuhi permintaan anaknya lalu keluar hendak mengambil sebatang tebu. Tetapi ketika ibunya membuka bungkusan tebu tadi, terkejutlah ia karena melihat seorang pria yang berada di dalam bungkusan itu. Sera merta ibunya menjerit ketakutan, tetapi Kweiya berusaha menenangkannya sambil menjelaskan bahwa dialah yang mengakali ibunya dengan cara itu. Ia berharap agar ibunya mau menerima pria tersebut sebagai teman hidupnya, karena pria itu telah berbuat baik terhadap mereka. Ia telah memberikan sebuah kapak yang sangat berguna dalam hidup mereka nanti. Sang ibu serta merta menerima usul anak tersebut, dan sejak itu mereka bertiga tinggal bersama-sama.

Setelah beberapa waktu, lahirlah beberapa anak di tengah-tengah keluarga kecil tadi, dan kedua orang tua itu menganggap Kweiya sebagai anak sulung mereka. Sedang anak-anak yang lahir kemudian dianggap sebagai adik-adik kandung dari Kweiya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, hubungan persaudaraan di antara mereka semakin memburuk karena adik-adik tiri Kweiya merasa iri terhadap Kweiya.

Pada suatu hari, sewaktu orang tua mereka sedang mencari ikan, kedua adiknya bersepakat untuk mengeroyok Kweiya serta mengiris tubuhnya hingga luka-luka. Karena merasa kesal atas tindakan kedua adiknya itu, Kweiya menyembunyikan diri disalah satu sudut rumah sambil memintal tali dari kulit pohon "Pogak Ngggein" (genemo) sebanyak mungkin. Sewaktu kedua orang tua mereka pulang, mereka bertanya dimana Kweiya berada, tetapi kedua adik tirinya tidak berani menceritakan di mana Kweiya. Lalu adik bungsu mereka, yaitu seorang anak perempuan yang sempat menyaksikan peristiwa perkelahian itu menceritakannya kepada kedua orang tua mereka. Mendengar certa itu. Si ibu tua merasa iba terhadap anak kandungnya. Ia berusaha memanggil-manggil Kweiya agar datang. Tetapi yang datang bukannya Kweiya melainkan suara yang berbunyi : "Eek..ek,ek,ek,ek!" sambil menyahut, Kweiya menyisipkan benang pintalannya pada kakinya lalu meloncat-loncat di atas bubungan rumah dan seterusnya berpindah ke atas salah satu dahan pohon di dekat rumah mereka.

Ibunya yang melihat keadaan itu lalu menangis tersedu- sedu sambil bertanya-tanya apakah ada bagian untuknya. Kweiya yang telah berubah diri menjadi burung ajaib itu menyahut bahwa, bagian untuk ibunya ada dan disisipkan pada koba-koba (payung tikar) yang terletak di sudut rumah. Ibu tua itu lalu segera mencari koba-koba kemudian benang pintalannya itu disisipkan pada ketiaknya lalu menyusul anaknya Kweiya ke atas dahan sebuah pohon yang tinggi di hutan rumah mereka. Keduanya bertengkar di atas pohon sambil berkicau dengan suara : wong,wong,wong,wong,ko,ko,ko,wo-wik!!

Sejak saat itulah burung cendrawasih muncul di permukaan bumi. Terdapat perbedaan antara burung cendrawasih jantan dan betina, burung cendrawasih yang buluhnya panjang disebut "siangga" sedangkan burung cendrawasih betina disebut "hanggam tombor" yang berarti perempuan atau betina. Keduanya berasal dari bahasa Iha di daerah Onin, Fak-fak.

Adik-adik Kweiya yang menyaksikan peristiwa ajaib  itu merasa menyesal lalu saling menuduh siapa yang salah sehingga ditinggalkan oleh ibu dan kakak mereka. Akhirnya mereka saling melempari satu sama lain dengan abu tungku perapian sehingga wajah mereka ada yang menjadi kelabu hitam, ada yang abu-abu dan ada juga yang merah-merah, lalu mereka pun berubah menjadi burung-burung. Mereka terbang meninggalkan rumah mereka menuju ke hutan rimba dengan warnanya masing-masing. Sejak itu hutan dipenuhi oleh aneka burung yang umumnya kurang menarik dibandingkan dengan cendrawasih.

Ayah mereka memanggil Kweiya dan istrinya dan menyuruh mengganti warna bulu, namun mereka tidak mau. Ayah mereka khawatir bulu yang indah itu justru mendatangkan malapetaka bagi mereka. Ia berpikir suatu ketika orang akan memburu mereka, termasuk ketiga anaknya yang lain. Ayah merasa kecewa karena mereka tidak mengindahkan permintaan mereka untuk berubah bulu. Kini ayahnya kesepian dan sedih, ia melipat kedua kaki lalu menceburkan dirinya ke dalam laut dan  menjadi penguasa laut "Katdundur". 


Sumber:
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita rakyat Propinsi Papua Barat, Asal Mula Nama Irian

20.30 1
Cerita rakyat Propinsi Papua Barat, Asal Mula Nama Irian
Dahulu kala, di kampung Sopen, Biak Barat, tinggallah sebuah keluarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut bernama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Makanya saudara-saudaranya selalu meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika Mananamakrdi melawan, tak segan-segan saudara- saudaranya menendangnya ke luar hingga ia merasa kesakitan.

Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudisnya. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah daratan yang tak lain adalah Pulau Oakbudi di Biak Timur. Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat disadapnya.

Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong manggarnya. Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya, ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Pada suatu siang, ia amat terkejut saat mendapati nira di dalam tabungnya telah habis tak tersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia duduk di pelepah daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar sangat terang mendekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari, Mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.

"Siapa kamu?" tanya Mananamakrdi.

"Aku Sampan, Si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari hampir menyingsing," katanya memohon.

"Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik," pinta Mananamakrdi.

"Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu," kata Sampan. Mananamakrdi kemudian melepaskan Sampan.

Sejak saat itu, setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi seorang diri.Gadis itu tak lain adalah Insoraki, Putri kepala suku dari kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur. Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah bitanggur, dan dilemparnya ke laut.

Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang. hingga Insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.

Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai diceritakan kepada orang tuanya. Tentu saja orang tuanya tak percaya. Beberapa bulan kemudian, Insoraki melahirkan bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta itu. Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki Mananamakrdi. "Ayaaaahh.....," teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian kemudian terhenti.

Akhirnya, Insoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki dan Konori yang tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering kemudian membakarnya. Insoraki dan Konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan, Insoraki dan Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari api itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun gembira. Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya Masren Koreri. Beberapa lama kemudian Mananamakrdi mengheningkan cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian mengajak istri dan anaknya berlayar sampai di Manado dekat Manokwari.

Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak pegunungan yang amat cantik. Tak lama kemudian matahari bersinar terang, udara menjadi panas dan kabut pun lenyap.

"Ayah....Irian. Iriaaannn," teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.

"Hai, anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu, kata Mananamakrdi.

"Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi, pemandangan di sini indah sekali," kata Konori.

Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau dan burung cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.

Sumber:
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Propinsi, Maluku Utara, Si Rusa dan Si Kulomang

20.20 1
Cerita Rakyat Propinsi, Maluku Utara, Si Rusa dan Si Kulomang
Rusa di Kepulauan Aru mempunyai kemampuan berlari dengan sangat cepat. Namun, karena kelebihan itu, mereka menjadi hewan yang sombong dan serakah. Demi kesenangan, mereka menantang hewan lain untuk berlomba lari. Lawan yang berhasil dikalahkan harus menyerahkan tempat tinggal mereka kepada rusa. Tentu saja rusa yang jadi pemenangnya. Sudah banyak wilayah di Kepulauan Aru yang berhasil mereka kuasai. Luasnya wilayah mereka membuat rusa semakin merasa berkuasa. Mereka menganggap diri mereka bangsa penguasa pulau.

Di tempat lain, di tepian pulau Aru terdapat sebuah pantai yang sangat indah. Deburan ombak yang lembut, tiupan angin yang sejuk, dan hamparan pasir yang hangat membuat siapapun yang berada di sana merasa nyaman. Di sanalah hidup siput laut yang terkenal sebagai hewan yang cerdik dan sabar. Mereka hidup bersama dan saling tolong-menolong.Mereka sadar akan kelemahan tubuh mereka. Tapi, mereka percaya bahwa kekuatan otak tidak kalah dengan kekuatan apapun. Pada suatu hari, rusa menantang siput yang bernama Kulomang untuk bertanding. Selain ingin menguasai keindahan pantai, rusa ingin memuaskan hati dengan menambah koleksi kemenangan. Rusa sangat yakin dapat mengalahkan siput. Di seluruh pulau, siputlah binatang yang terkenal paling lambat berjalan. Berjalan dan berlari tidak terlihat bedanya. Selain itu, siput selalu membawa cangkang yang ukurannya melebihi tubuh mereka. Bagi rusa, tidak ada halangan yang mengganggunya untuk memenangkan pertandingan. Tapi, ada satu hal yang dilupakan rusa, siput adalah binatang yang terkenal dengan kecerdikannya.

Hari pertandingan pun tiba. Rusa membawa rombongannya untuk menyaksikan pertandingan dengan wajah optimis. Tak mau kalah, siput juga membawa sepuluh temannya. Masing-masing dari mereka ditempatkan di setiap pemberhentian yang telah ditentukan. Dia meminta agar teman-temanya membalas setiap perkataan Rusa. Jalur yang akan mereka pakai melewati 11 tempat peristirahatan termasuk tempat dimulainya pertandingan. Dia sendiri akan berada di garis start bersama Rusa sombong.

"Sudah siap menerima kekalahan Siput?" tantang Rusa dengan congkaknya.

"Siapa takut?!" ujar Siput pendek.

Pertandingan pun dimulai. Si Rusa lari secepat kilat mendahului Siput. Sementara Siput berjalan dengan tenang ke arah semak-semak. Beberapa jam kemudian, Rusa sudah sampai ke pos pemberhentian pertama. Nafasnya naik turun dengan cepat. Sambil bersandar kelelahan di pohon yang rimbun, Rusa bergumam.

"Baru sampai mana si lambat itu berlari? Hihihihi......?

"Sampai di belakangmu," jawab teman siput yang sudah bersiaga di semak-semak.

Rusa kaget saat mengetahui bahwa siput sudah berada di dekatnya. Saking terkejutnya Rusa, ia langsung melonjak dan lari tunggang langgang. Tidak dipedulikannya rasa lelah yang dirasakannya. Rusa terus saja berlari. Sampai-sampai, dia tidak berhenti di pos kedua. Di pos ketiga, dia kelelahan. Dia berhenti sebentar untuk mengatur nafas.

"Sekarang, tidak mungkin Siput mampu mengejarku!" kata Rusa di sela engahannya.

"Mengapa berpikir begitu?" ujar teman Siput yang lain santai, membaca ucapan Rusa. Tanpa berpikir panjang, Rusa berlari lagi.

"Tidak ada yang boleh mengalahkanku! Apa kata Rusa yang lain kalau aku mempermalukan bangsa sendiri?" kata Rusa pada dirinya sendiri.

Rusa terus berlari dan berlari. Tidak lupa di setiap pemberhentian, dia memastikan keberadaan si Siput. Tentu saja teman Siput siap menjawab segala perkataan Rusa. Memasuki pos ke 11, Rusa sudah kehabisan nafas. Saking lelahnya, Rusa jatuh tersungkur dan mati. Semua binatang yang pernah diremehkan Rusa sorak-sorak. Akhirnya, Siput berhasil mengalahkan Rusa yang sombong dengan cara memperdayainya.

Sumber:
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Maluku Utara, O Bia Moloku dan O Bia Mokara

01.47 1
Cerita Rakyat Maluku Utara, O Bia Moloku dan O Bia Mokara
Dahulu, jauh di belahan bumi sebelah utara kepulauan Maluku, terdapat sebuah daerah yang disebut Tobelo. Konon daerah yang diliputi laut yang membiru itu menyimpan suatu kisah yang menarik. Beratus tahun yang lalu di suatu rumah yang berdindingkan daun rumbia, tinggallah satu keluarga. Ayahnya seorang nelayan yang siang dan malam hidupnya diatas lautan bertarung nyawa untuk menghidupi anak istrinya. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang setia dan sangat bijaksana. Mereka memiliki dua orang anak. Yang sulung seorang anak perempuan bernama O Bia Moloku. Kecantikannya melebihi ibunya. Sedangkan adiknya bernama O Bia Mokara, tampan dan berperawakan mirip ayahnya.

Pada suatu hari mereka pergi melaut dan seperti biasa. Sebelum mereka bertolak ke laut, tak lupa ditinggalkannya makanan dan telur ikan pepayana di rumahnya. Beberapa hari setelah kepergian ayahnya melaut, ibunya pergi ke kebun. Sebelum ibunya pergi ia berpesan kepada kedua anaknya, "Hai anak-anakku, jangan kamu makan telur ikan yang ditinggalkan ayahmu ini. Apabila kamu memakannya akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan." Ibunya berkata dengan sungguh-sungguh tetapi mereka berdua hanya tertawa saja. Setelah ibunya selesai memberi nasihat maka pergilah ibunya ke kebun.

Kira-kira tiga jam berlalu, adiknya O Bia Mokara merasa lapar. Dimintanya makanan dan telur ikan. Kakaknya O Bia Moloku tak mau memberikan permintaan adiknya. Adiknya menangis tersedu-sedu tetapi O Bia Moloku tetap tidak mau memberikan telur ikan itu. Semakin lama semakin keras saja tangisan adiknya. Akhirnya O Bia Moloku tak tega melihat adiknya menangis terus-menerus dan telur ikan itu segera diberikan kepada adiknya. Sambil tertawa adiknya memakan telur ikan itu dengan lahapnya. Setelah memakan telur itu sampai habis, beberapa sisa telur ikan itu melekat pada gigi adiknya.

Tak lama kemudian ibunya kembali dari kebun membawa singkong, pepaya dan sayur-sayuran. Setelah selesai membersihkan badanya, ibunya pun menggendong O Bia Mokara dan segera menyusui si O Bia Mokara. Setelah itu ibunya dengedenge (menyanyi sambil menari) sambil menggendong O Bia Mokara yang tertawa gembira karena sangat senang berada dalam pelukan ibunya yang sangat didambakannya. Namun tiba-tiba ayunan mesra ibunya dikejutkan dengan terlihatnya sisa telur ikan yang melekat pada gigi O Bia Mokara. Suasana sukacita segera berubah menjadi keheningan yang mendalam. Ibunya tertegun sebentar, sekujur badannya menjadi dingin gemetar dan marah sekali kepada kedua anaknya. Amarah ibunya tak dapat ditekan lagi. Ia segera melepaskan O Bia Mokara dan segera melarikan diri menyusuri pesisir pantai. Sambil menggendong O Bia Mokara yang menangis terus, O Bia Moloku mengejar ibunya sambil memangil-manggil ibunya. "Mama, mama, O Bia Mokara menangis terus, Mama!" Namun, panggilannya hanya dijawab oleh mamanya. "Peras saja daun katang-katang, ada air susunya!"

Setelah tiga kali O Bia Moloku memberikan air susu dari daun katang-katang kepada adiknya, ibunya pun menerjunkan diri ke laut. Sementara menyelam ia menemukan sebuah batu yang timbul di permukaan air. Naiklah ibunya ke atas batu itu dan berkata "Terbukalah agar aku dapat masuk." Batu itu terbuka, lalu ibunya pun masuk kr dalam batu itu. Dengan segera ia pun berteriak, "Tutuplah." Maka batu itu pun tertutup selama-lamanya tanpa berbekas. Akhirnya kedua anak tersebut ditinggalkan oleh ibunya untuk selamanya.

Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Post Top Ad