Agustus 2015 - Blog Oblok Oblok

Hot

Post Top Ad

Cerita Pendek, Sapi

01.54 0
Cerita Pendek, Sapi
MEMEK Manipatri tidak bahagia. 
Semua orang tahu itu. Ia sendiri tahu tahu itu karenanya ia menunjukkan bahwa ia sangat bahagia dengan duduk di atas mimbar dan jadi juru tafsir dan juru kritik orang-orang. Peranan yang memungkinkan dan amat gampang karena ia adalah tukang sayur di kampung kami. Ambil lauk serta sayur dari pasar, menggelarnya di meja tinggi dan timbungan barang-barang, menghadapi orang-orang kampung yang tak punya uang dan setengah menjilat untuk memperoleh utangan. Para pendengar setia yang datang untuk "mengiyakan", yang tak begitu disadarinya dan dianggap sebagai anak-anak buah dari satu pertemuan Darma Wanita. Bisa jadi!

"Kamu itu" katanya, nyaris pada setiap orang. "kalau punya duit ya bayar utang-utangmu jangan malahan mencegat tukang sayur keliling (mencibirkan bibir). Kalau tak punya duit baru bergegas sini dan mengambil barang seperti barang mbok-de-me sendir. Perasaan dong! Dari mana aku punya modal? Kan labaku cuma selawe atau lima puluh perak. 

Orang-orang cuma diam saja. Menunduk. Saling melirik dan menahan senyum-terkadang saling menyepak perlahan-lahan jauh di bawah, tak terlihat oleh meja tinggi dan timbunan sayur dan lauk. Tak ada orang yang berani menyahut, Pura-pura salah saja, bagai para anak buah. Toh, menurut anggapan mereka, mereka mengalah untuk menang - untuk memperoleh utangan dan di saat punya kebebasan memilih mempergunakan kebebasan itu untuk memilih. Meski kadang-kadang, mbok-e Muji balik mengejeknya. "Ala...," katanya, "Wong duit mboke saja pakai gaya nagih ngamuk-ngamuk. Kamu dan aku itu sama saja, kere - suamimu pegawai negeri, suamiku juga pegawai negeri, bedanya cuma mbok-mu itu kaya dan murah hati..."

***
DAN karenanya Memek Manipatri tidak bahagia, meski ia mencoba menunjukkan bahwa ia sangat bahagia, Bilang bahwa keluarga suaminya merupakan keluarga klasik yang terpandang dan terhormat. 

"Mereka punya pemakaman keluarga, turun-temurun - ibunya Mas No malah sudah disediakan tempatnya, rendeng dengan bapaknya Mas No, katanya. 

Dengan kepala tengadah dimiringkan ke kiri, dengan mulut mencibir dan pandangan menghina - tidak sadar - ia mencemoohkan asal-usulnya sendiri. Ayah yang hanya petani dengan harta yang berupa sapi kereman - kini almarhum dan meninggalkan tanah, tegal dan sawah, yang disewakan tahunan - dan ibunya yang penjaja mracang di kampung, warung yang sudah berdiri sejak tiga puluh lima tahun yang lalu, dan menghidupkan omzet dengan hubungan emosi dengan penduduk kampung yang tak segan-segan mengutang. 

Bahkan, dengan omongannya yang menempatkan dirinya jauh di atas mimbar sebagai juru tafsir , ia kembali memutar balikkan fakta. Bahwa barang perhiasan (gelang, kalung, dan cincin), yang diberikan ibunya sebagai hadiah perkawinan dan dipinjam mertuanya untuk berobat, dan baru dikembalikan, diklaim dan diuar-uar sebagai hadiah dari mertuanya. 

"Ibunya Mas No itu...," katanya, kalau memulai akan omong membanggakan. 

"Tapi, sesungguhnya, tak ada trah apa-apa pada Mas No itu. Ia diambil anak ketika bapaknya - yang orang kebanyakan - kawin dengan ibunya yang keturunan cikal-bakal Kampung Su'ud itu serndiri, kini, cuma jejeran lima rumah yang tergusur waktu dan tampak rapuh, meski, pada masanya, sang cikal-bakal itu pernah berjaya menjadi lurah yang sangat kaya dan berkekuasaan. 

 Sayang anak-anaknya yang termanja serta selalu mengandalkan bapak tak jadi apa-apa. Orang kebanyakan yang tak punya pekerjaan tetap di pemerintahan, orang kebanyakan yang bingung  menghadapi sawah dan ladang, para priyayi yang hanya bisa mengupah orang dan perlahan ditelah oleh difisit karena mengupah orang. Dan salah satu anak gadisnya kawin bapaknya - dalam tanda kutip - Mas No; lalu memungutnya dari adik lelakinya yang baru cerai dan mau kawin lagi. Kemudian ia mengklaim dirinya sebagai trah, sebagai raden - orang-orang terkadang menyebutnya sebagai trah Raden Diman, bapak aslinya, dan bukan trah Mbah Ongso dari gadis ibu tirinya, tapi dengan santun, orang-orang mengangguk serta menunduk menyembunyikan senyum ketika Memek Manipatri bilang bahwa "Ibunya Mas No..."

"Yang di alas itu ..." celetuk batin orang-orang - sudah bukan rahasia lagi bahwa ibu asli Mas No itu merupakan anak magerarsaren di alas jati kaki Gunung Wilis. Memang! Dan karenanya orang-orang sangat percaya bahwa Memek Manipatri sesungguhnya tidak bahagia, sangat tidak bahagia. Meski ia bilang tanah rumahnya dibeli dengan menjual sepeda motor Mas No. Meski bilang bahwa rumah itu dibangun dengan tunjangan orangtua Mas No. Sungguh menantu yang baik dan sangat memuliakan mertua - yang diklaimnya sebagai trah raden. 

Tapi orang-orang - apakah ada rahasia di kampung? - tahu bahwa justru ibunyalah yang dipanggilnya mbok, yang memodali semua itu. Yang terbesar, maksudku. Dulu, kata orang, ketika tanah itu akan di beli, Mas No menawarkan akan menjual sepeda motornya tapi malu sehingga mertuanyalah yang menawarkannya. Tapi ketika tahu harganya amat murah maka ia tak mau menjualnya sehingga "terpaksa" sang mertualah yang melakukan transaksaksi dan membayar kontan. Ketika membangun rumah orangtua Mas No mengirim satu truk pasir, satu truk bata, satu truk batu pondasi, dan sepuluh sak semen - lalu mertuanyalah yang harus menutup semuanya, akan tetapi Memek Manipatri bilang bahwa, "Ibunya Mas No ...."

***
MEMEK Manipatri sesungguhnya tidak berbahagia meski ia memperlihatkan peran orang di atas mimbar yang lebih segalanya dari orang lain. Menafsirkan setiap peristiwa, mengomentari setiap tindakan, dan mengejek setiap orang. "Tak ada yang seperti aku, begitu rumusan filsafat hidupnya. 

Dan memang tak ada yang seperti dia, merangkul erat-erat mbok-annya dan menyusu sangat buas sambil curiga pada setiap saudaranya. Kakak-kakaknya - wanita semua - bersuami pegawai negeri dan jadi pegawai negeri; mapan di tanah rantau, yang sesekali datang menengok dan dicurigai Memek Manipatri sebagai meloni untuk mengambil warisan. Ia takut kekayaan mbok-e diminta saudaranya yang lain dan tidak tumpah-ruah padanya seorang. Ia juga sangat iri pada adiknya, tunggal, lelaki, yang dibangunkan rumah di samping rumah warisan. Tapi sesungguhnya ia ingin apa, ia ingin seberapa? Ataukah ia merasa bahwa ia sangat rapuh secara ekonomi dan karenanya berkutat  sekuatnya pada sandaran kekenyalan keuangan mbok-e?

Mas No itu sesungguhnya seorang peternak, saya tegaskan; "peternak'. Lima tahun ia jadi honores pemda dan karenanya hidup menumpang di rumah mertuanya. Setelah jadi pegawai tetap, PNS dengan dua anak, dan memiliki rumah, ia tetap membelanjani istrinya secara klasik - mendrop beras bagian (gaji) dan membiarkannya mencari lauk dan ongkos membayar listrik dan seterusnya sendiri. 

Ia sendiri setia pada hobinya. Mengeluyur. Memelihara burung dan segala hobi Klangenan lainnya. Pergi ke kantor, pulang untuk pergi lagi, dan balik pada saat pukul 22.00 malam untuk tidur. Tak risau pada anak-anaknya karena kedua anaknya dititipkan pada orangtuanya, di mana ia selalu menyempatkan diri mampir dan mencari makan enak. Tak risau memikirkan kesehatan mereka. Tak risau memikirkan perkembangan jiwa mereka. Tak risau memikirkan perkembangan akademik (SD) mereka. Tenang seperti seorang peternah, yang mempercayakan pertumbuhan sapi dan kambing pada padang rumput dan alam. 

"Anak lelaki tak akan pulang meteng," katanya. 

Dan filsafat peternak ini menjalar pada Memek Manipatri. Tak peduli pada apa pun, puas dengan meja tinggi dan tumpukan lauk serta sayur, serta beking kekenyalan keuangan mbok-e. 

***
TAPI Memek Manipatri tak bahagia. Semua orang tahu itu, dan ia sendiri tahu itu. "Kalau hamil jangan diumbar, jangan biarkan orok dalam perut membesar dan menjebol jalan lahir ketika keluar," katanya, "Nanti "anu"-mu diobrak-abrik dokter dan suamimu tak puas dan lari dengan wanita lain. Jangan seperti Bu Nenok!" 

Dan ia bicara begitu sambil menunjuk Ibu Nenok. Ibu Nenok tersenyum saja, karena ia tahu Memek Manipatri tidak bahagia dan mencoba menunjukkan yang lain lebih patut dikasihani serta tak tahu ilmu hidup, karena semua percaya bahwa Mas No baru saja kepincut anak gadis tukang kopi di terminal dan ke sana kemari berboncengan serta berpacaran. Tak heran kalau Memek Manipatri makin lantang serta makin kritis menilai dan mengejek orang lain, dan percaya orang lain akan lebih celaka dan akan lebih tak berbahagia dari ketidakbahagiannya, sebagai istri yang suaminya tak telaten, tak mengurusi, dan kini malahan pacaran lagi. 

Memek Manipatri memang tak bahagia, malam-malam ketika semua orang berkumpul dalam hangat kekeluargaan di rumah, dan karenanya terkadang ia terlihat duduk sendiri di beranda, atau menyapu-nyapu dengan pandangan kosong dan hampa, atau malam-malam menggedor rumah mbok-e untuk sekedar mencari teman omong dan lalu bergegas pulang karena takut Mas No keburu pulang. 

Memek Manipatri sesungguhnya tak bahagia. Ia seperti sapi yang tak ditelateni dan nelangsa dengan ketelantaran diri; meski terus lantang menilai dan mengejek orang lain. 

Dan orang-orang tahu bahwa Memek Manipatri memang tak bahagia. Sangat tak bahagia...! 

 Kompas, 17 April 1994

Sumber
Penulis : Beni Setia
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995) 
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995
Read More

Cerita Rakyat Sulawesi Barat, Panglima To Dilaling

00.11 1
Cerita Rakyat Sulawesi Barat,  Panglima To Dilaling
Alkisah, di sebuah bukit yang bernama Napo di daerah Tammajarra, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Balanipa yang dipimpin oleh Raja Balanipa. Sudah tiga puluh tahun sang Raja berkuasa, namun tidak mau turun dari tahtanya. Ia ingin berkuasa sepanjang masa. Untuk itu, ia senantiasa menjaga kesehatan badannya dengan cara berolahraga secara teratur, berburu, minum jamu dan obat ramuan tabib terkenal agar tetap awet muda dan panjang umur.

Raja Balanipa memiliki empat orang anak, dua putra dan dua putri. Akan tetapi kedua putranya sudah dibunuhnya, karena ia tidak mau mewariskan tahtanya kepada mereka. Sementara sang Permaisuri  selalu merasa cemas jika sedang mengandung. Jangan-jangan anak yang dikandungnya itu seorang bayi laki-laki. Ia sudah tidak kuat lagi melihat anaknya dibunuh oleh suaminya sendiri. Ia pun selalu berdoa kepada Tuhan, agar anak yang dikandungnya kelak adalah bayi perempuan.

Pada suatu waktu, sang Permaisuri sedang hamil besar. Ketika itu, Raja Balanipa hendak pergi berburu di daerah Mosso. Sebelum berangkat, sang Raja berpesan kepada Panglima perangnya yang bernama Puang Mosso.

"Puang Mosso! Tolong jaga Permaisuriku yang sedang hamil besar itu! Jika aku belum kembali dan ia melahirkan anak laki-laki, maka bunuhlah anak itu!" titah Raja Balanipa.

"Baik, Baginda! Segala perintah Baginda pasti hamba laksanakan," jawab Puang Posso sambil memberi hormat.

Setelah itu, berangkatlah Raja Balanipa ke Mosso. Keesokan harinya, sang Permaisuri pun melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Namun anehnya, lidah bayi itu berwarna hitam dan berbulu. Mengetahui Permaisuri melahirkan, anjing pengawal raja segera menjilati kain bekas persalinan, sehingga meninggalkan darah di moncongnya. Kemudian anjing itu segera mencari sang Raja yang sedang berburu di daerah Mosso. Setelah menemukan tuannya, anjing itu terus menggonggong untuk memperlihatkan darah di moncongnya. Sang Raja yang mengerti jika Permaisurinya telah melahirkan segera kembali ke istana.

Sementara itu, Puang Posso sedang dilanda kebingungan setelah mengetahui sang Permaisuri melahirkan bayi laki-laki. Ia merasa kasihan dan tidak tega membunuh bayi itu. Sesaat ia berpikir keras untuk mencari cara agar sang Raja tidak murka dan bayi laki-laki itu tetap hidup

"Mmm, aku tahu caranya. Aku akan menyembelih seekor kambing dan aku kuburkan, lalu membuatkan nisan di atas kuburannya, sehingga sang Raja akan mengira bahwa isi kuburan itu adalah putranya," pikir Puang Mosso, lalu segera melaksanakan niatnya itu. Oleh karena khawatir rahasianya diketahui sang Raja, Puang Mosso menitipkan bayi itu kepada keluarganya yang tinggal di sebuah kampung yang berada jauh dari istana. Keesokan harinya, Raja Balanipa kembali dari berburu dan langsung menemui Puang Mosso.

"Bagaimana keadaan Permaisuri? apakah ia sudah melahirkan?" tanya sang Raja.

"Ampun, Baginda! Sehari setelah Baginda berangkat, Permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki. Sesuai dengan pesan Baginda, hamba sudah menyembelih dan menguburkan bayi itu, jelas Puang Posso.

"Di mana kamu kuburkan?" tanya sang Raja.

"Ampun, Baginda! Hamba menguburnya di samping kuburan putra Baginda yang lainnya," jawab Puang Mosso.

Raja Balanipa belum yakin jika belum melihat langsung kuburan itu. Raja pun segera ke tempat perkuburan keluarga istana, dan tampaklah sebuah kuburan kecil yang masih baru. Sang Raja pun percaya bahwa bayi laki-lakinya sudah mati. Ia pun kembali menjalankan tugasnya sebagai Raja dengan perasaan tenang, karena pewaris tahtanya sudah tidak ada lagi.

Waktu terus berjalan. Putra Raja yang tinggal di sebuah kampung sudah besar. Ia sudah lancar berbicara dan mengenal orang-orang di sekelilingnya. Ia juga sangat akrab dengan Puang Mosso, karena hampir setiap minggu Puang Mosso membesuknya secara diam-diam. Oleh karena khawatir rahasianya diketahui oleh sang Raja, Puang Mosso menitipkan anak itu kepada seorang pedagang yang akan berlayar menuju Pulau Salemo yang berada jauh dari bukit Napo.

Di Pulau Salemo, putra Raja itu tumbuh menjadi anak yang sehat. Ia diasuh dan dididik oleh keluarga pedagang yang membawanya ke tempat itu. Ia sangat tekun bekerja dan mahir memanjat pohon kelapa.

Pada suatu hari, ketika ia sedang memanjat pohon kelapa, tiba-tiba seekor burung rajawali raksasa menyambarnya, lalu membawanya terbang ke tempat yang jauh. Ketika sampai di daerah Gowa, anak itu terlepas dari cengkeraman rajawali raksasa sehingga terjatuh di tengah sawah dan ditemukan oleh seorang petani. Si petani pun segera melaporkan hal itu kepada Raja Gowa, Tumaparissi Kalonna.

"Ampun, Baginda! Hamba menemukan seorang anak laki-laki berbaju merah di tengah sawah yang terlepas dari cengkeraman seekor burung rajawali raksasa."

"Di mana anak itu sekarang?" tanya Raja Gowa.

"Ada di rumah hamba, Baginda!" jawab petani itu.

"Pak tani! Bawa anak itu kemari, aku ingin melihatnya!" titah Raja Gowa.

Mendengar perintah sang Raja, petani itu segera menjemput anak itu di rumahnya. Beberapa lama kemudian, petani itu sudah kembali ke istana bersama dengan anak itu. Ketika sang Raja melihat dan mengamati anak itu, ia langsung  tertarik dengan tubuh anak itu.

"Waaah, kekar sekali tubuh anak ini! Jika anak ini akau rawat dan didik dengan baik, kelak ia akan menjadi pemuda yang gagah perkasa," pikir Raja Gowa.

"Hei, anak kecil! Kamu siapa dan dari mana asalmu?" tanya Raja Gowa.

Putra Raja Balanipa itu menceritakan asal-usulnya hingga ia dapat sampai di tempat itu. Sang Raja menjadi terharu mendengar cerita anak itu. Akhirnya, Raja Gowa merawat dan mendidiknya hingga menjadi pemuda gagah perkasa dan sakti. Kemudian ia mengangkatnya menjadi panglima perang (tobarani) Kerajaan Gowa. Sejak putra Raja Balanipa itu menjadi panglima perang, pasukan kerajaan Gowa selalu menang dalam peperangan. Panglima perang kerajaan Gowa itu pun terkenal hingga ke berbagai negeri. Raja Gowa kemudian memberinya gelar I Manyambungi.

Sementara itu, di Kerajaan Balanipa, kondisi keamanan sedang kacau balau. Rupanya Raja Balanipa yang merupakan ayah kandung Panglima I Manyambungi telah wafat dan digantikan oleh Raja Lego yang terkenal sakti. Raja tersebut sangat kejam dan bengis. Ia suka menganiaya rakyat, baik yang berada di wilayah kekuasaannya maupun yang berada di negeri sekitarnya yaitu negeri Samsundu, Mosso dan Todang-todang. Hal itu membuat Raja-Raja negeri bawahannya menjadi resah dan benci kepadanya. Untuk mengatasi hal itu, mereka pun mengadakan musyawarah untuk mencari cara menyingkirkan Raja Lego.

"Bagaimana caranya menyingkirkan Raja Lego yang kejam itu?" tanya salah seorang Raja.

"Saya mendengar kabar bahwa Kerajaan Gowa memiliki seorang panglima perang yang sakti bernama I Manyambungi. Barangkali kita dapat meminta bantuannya utntuk melawan Raja lego jawab seorang Raja yang lain.

Para Raja negeri bawahan itu pun bersepakat untuk mengundang Panglima I Manyambungi. Maka diutuslah beberapa perwakilan dari kerajaan-kerajaan bawahan ke kerajaan Gowa. Sesampainya di Gowa, mereka pun segera menemui panglima sakti itu dan mengutarakan maksud kedatangan mereka.

"Maaf, Tuan! Kami adalah utusan dari kerajaan-kerajaan kecil di daerah Polewali Mandar. Maksud kedatangan kami adalah ingin meminta bantuan untuk melawan Raja Lego," lapor sang utusan.

"Siapa Raja Lego itu?" tanya I Manyambungi.

"Ia adalah penguasa Kerajaan Balanipa yang menggantikan Raja Balanipa. Ia sangat  kejam, suka menganiaya rakyat kami yang tidak berdosa," jelas salah seorang utusan. I Manyambungi sangat terkejut saat mendengar jawaban itu. Ia jadi teringat dengan ayah dan keluarga yang pernah diceritakan oleh Puang Mosso kepadanya pada masa ia masih kecil.

"Bagaimana dengan Raja Balanipa dan keluarga istana lainnya?" tanya I Manyambungi penasaran.

"Raja Balanipa dan permaisurinya telah wafat. Sementara beberapa keluarga istana lainnya sedang mengungsi ke daerah Mosso." jelas utusan itu.

"Bagaimana dengan Panglima Puang Mosso? Apakah ia masih hidup?" tanya I Manyambungi.

"Iya, Tuan! Dia masih hidup. Bahkan dialah yang telah menyelamatkan sebagian keluarga istana. Bagaimana Tuan dapat mengenal Puang Mosso?" tanya salah seorang utusan heran.

Panglima I Manyambungi pun menceritakan perihal asal-usulnya. Para utusan dari Mandar itu pun terkejut dan segera memberi hormat.

"Ampun, Tuan! Sungguh kami tidak mengetahui jika Tuan adalah putra Raja Balanipa," kata utusan serentak.

"Baiklah! Aku akan memenuhi permintaan kalian, tapi dengan syarat Puang Mosso yang harus datang sendiri menjemputku," pesan Panglima I Manyambungi.

"Baik, Tuan! Kami akan menyampaikan berita ini kepada Puang Mosso" jawab para utusan seraya berpamitan kembali ke Mandar. Sesampai di Mandar, mereka segera menemui Puang Mosso. Mendengar laporan para utusan itu, Puang Mosso  menjadi cemas. Oleh karena penasaran, Puang Mosso berlayar sendiri ke Gowa dengan hati berdebar-debar. Dalam perjalanan, ia selalu  bertanya-tanya dalam hati.

"Siapa sebenarnya I Manyambungi itu. Kenapa harus aku yang menjemputnya? jangan-jangan dia adalah putra Raja Balanipa yang pernah aku titipkan kepada seorang pedagang?"

Sesampai di Gowa, Puang Mosso segera menghadap Panglima I Manyambungi. Saat berada di hadapan panglima yang sakti itu, hati Puang Mosso semakin berdebar kencang. Lain halnya dengan I Manyambungi yang selalu tersenyum sambil menatap Puang Mosso dengan mata berkaca-kaca. Puang Mosso bukanlah sosok yang asing di mata I Manyambungi.

"Benarkah anda Puang Mosso?" tanya I Manyambungi.

"Benar, Tuan! jawab Puang Mosso.
 "Maafkan hamba Tuan! Maukah Tuan menjulurkan lidah sebentar?" Puang Mosso balik bertanya kepada I Manyambungi dengan perasaan ragu-ragu. Ketika melihat lidah I Manyambungi berwarna hitam dan berbulu, maka semakin yakinlah Puang Mosso jika panglima itu adalah putra Raja Balanipa. Tanpa berpikir panjang, Puang Mosso segera memeluknya dengan erat sambil berkata :

"Benar, engkaulah putra Raja Balanipa."

I Manyambungi pun membalas pelukan Puang Mosso sambil meneteskan air mata, lalu berkata :

"Iya, Puang Mosso! Terima kasih karena engkau telah menyelamatkan nyawaku dan merawatku semasa aku masih kecil."

"Sudahlah, Tuan! Kita harus segera ke daerah Mandar untuk menyelamatkan warga yang tidak berdosa dan merebut kembali Kerajaan Napo dari tangan Raja Lego yang bengis dan kejam itu," ujar Puang Mosso.

"Baik, Puang Mosso! Kita berangkat saat tengah malam agar tidak ketahuan oleh Raja Gowa. Jika mengetahui hal ini, beliau pasti akan melarangku pergi," kata I Manyambungi.

Pada saat tengah malam, Puang Mosso dan Panglima I Manyambungi beserta beberapa pengikutnya meninggalkan istana Kerajaan Gowa. Setelah beberapa hari berlayar, kapal mereka pun merapat di pelabuhan Tangnga-tangnga. Semua peralatan perang mereka turunkan dari kapal dan kemudian membawanya ke bukit Napo. Sejak itu, Panglima I Manyambungi dikenal dengan nama Panglima To Dilaling.

Sementara itu, Raja Lego semakin kejam terhadap rakyat yang lemah. Segala keinginannya harus segera dipenuhi. Jika ia menginginkan harta atau pun gadis untuk dikawini, tidak seorangpun yang dapat menghalanginya. Akibatnya seluruh warga menjadi resah dan semakin benci kepadanya. Maka, pada saat Panglima To Dilaling mengajak para warga untuk memerangi Raja Lego, mereka menyambutnya dengan senang hati dan penuh semangat.

Pada waktu yang telah ditentukan, Panglima To Dilaling beserta seluruh warga menyerbu istana Raja Lego. Pertempuran sengit pun tidak dapat dihindari lagi. Pada mulanya, pasukan Raja Lego dapat mengadakan perlawanan. Namun, karena jumlah mereka lebih sedikit daripada pasukan Panglima  To Dilaling, akhirnya merekapun menyerah.

Sementara itu, Raja Lego yang dihadapi langsung oleh Panglima To Dilaling masih mampu melakukan perlawanan. Keduanya saling mengadu kesaktian. Tidak berapa lama kemudian, Raja Lego akhirnya kalah juga dan mati di ujung badik Panglima To Dilaling. Seluruh warga menyambut kemenangan itu dengan gembira. Akhirnya, Panglima To Dilaling dinobatkan menjadi Raja di bukit Napo. Selama masa pemerintahan Panglima To Dilaling, negeri Napo dan sekitarnya menjadi aman, makmur dan sentosa. Hingga kini, makam Panglima To Dilaling dapat disaksikan di bawah sebuah pohon beringin yang rindang yang berada di atas bukit Napo, Polewali Mandar.

Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Gorontalo, Legenda Bulalo La Limutu (Danau Limboto)

21.58 0
Cerita Rakyat Propinsi Gorontalo, Legenda Bulalo La Limutu (Danau Limboto)
Dahulu kala di daerah Limboto, Gorontalo, terdapat sebuah mata air yang jernih dan dingin. Mata air ini jarang dijamah oleh manusia karena terletak di tengah-tengah hutan yang lebat. Mata air inilah yang biasa didatangi oleh para bidadari dari kayangan untuk mandi. Mata air ini bernama Tupalo.

Pada suatu hari turunlah seorang jejaka dari kayangan, ia sangat tampan dan perkasa. Ia bernama Jilumoto, yang artinya "seseorang yang menjelma menjadi manusia". Ketika menyaksikan bidadari yang mandi di Tupalo, ia menyembunyikan sayap salah seorang dari mereka. Ternyata sayap itu milik seorang bidadari yang paling tua di antara yang lainnya yang bernama Mbui Bungale. Saat mengetahui bahwa sayapnya hilang, Mbui Bungale tidak dapat kembali ke kayangan. Selanjutnya ia bertemu dengan Jimuloto,  setelah saling berkenalan, Jimuloto mengajaknya untuk menikah dan tinggal di bumi. Akhirnya mereka pun menikah. Mereka kemudian memutuskan untuk mencari tempat tinggal dan lahan untuk bercocok tanam. Akhirnya mereka menjumpai sebuah bukit yang mereka beri nama Hantu lo Ti'opo atau "bukit kapas". Di bukit inilah mereka mengolah tanah dan menanam aneka tanaman yang dapat dimakan.

Suatu ketika Mbui Bungale mendapat kiriman dari kayangan, yaitu sesuatu yang disebut Bimelula atau mustika sebesar telur itik. Mbui Bungale mengambil Bimelula itu dan kemudian menyimpannya pada mata air Tupalo, tempat biasanya ia mandi, dan ditutupnya dengan sebuah tolu (tudung). Pada suatu hari ada empat pelancong yang berasal dari bagian Timur tersesat ke tempat itu dan menemukan mata air tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan dingin, mereka segera berendam di sana, saat ada di air mereka melihat sebuah tolu terapung-apung di atas air. Mereka penasaran dan berusaha mengambilnya. Namun tiba-tiba terjadi badai dan angin topan di sana, hujan pun turun dengan sangat deras. Dunia menjadi gelap gulita, mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi, lalu dengan sekuat tenaga mereka berusaha keluar dari sana dan mencari tempat yang aman. 

Setelah badai reda, hujan pun berhenti. Mereka kembali ke mata air untuk melihat apa yang sedang terjadi. Mereka melihat tudung itu masih terletak di tempatnya semula. Dengan penuh keheranan mereka kembali mendekati tudung itu untuk mengangkatnya, tetapi sebelumnya mereka meludahi tudung itu dengan sepah pinang. Setelah melakukan hal itu, mereka tidak menjauh dari mata air, tetapi mengintip dan ingin tahu siapa pemilik tudung itu. Tak lama kemudian datanglah Mbui Bungale dengan suaminya bermaksud menjemput Bimelula yang tertutup dengan tudung itu.

Ketika Mbui Bungale mendekati tudung, ia dihadang oleh empat pelancong yang tak dikenalnya itu. Mereka kemudian berkata, "Wahai kalian berdua, siapakah kalian sebenarnya, untuk maksud apa kalian mendatangi tempat ini?"

"Saya Mbui Bungale, dan ini suami saya Jilumoto, kami bermaksud menjemput mustika  dalam tudung itu." jawab Mbui Bungale.

Keempat orang itu dengan lantang menjawab, "Tidak seorangpun yang kami ijinkan menjamah tempat ini, apalagi mengambil barang-barang yang ada di sini, tempat ini adalah milik kami."

Mbui Bungale balik bertanya,, "Apa buktinya bahwa tudung itu milik kalian?"

"Lihatlah sepah pinang di atasnya, inilah buktinya," jawab salah seorang pelancong  itu.

Mbui Bungale hanya tersenyum dan berkata, "Jika kalian benar menguasai mata air dan tudung itu, cobalah kalian besarkan mata air ini menjadi danau. Kuingatkan kepada kalian bahwa mata air ini diturunkan oleh Yang Maha Kuasa untuk digunakan oleh manusia yang baik budi pekertinya, bukan orang-orang tamak dan rakus. Tanah ini berada dalam lindunganNya, oleh karena itu jalah dan jangan engkau cemarkan. Jika kalian benar-benar pemilik mata air ini, cobalah perluas airnya, silahkan keluarkan ilmu-ilmu kalian."

Pertama kali yang memperagakan kesaktiannya adalah orang yang dianggap pemimpin dari mereka berempat. Sambil membentangkan tangannya dengan lantang ia berkata, "Oh, mata air kami! Meluaslah kalian...." demikian pemimpin rombongan itu memperagakan kesaktiannya, tapi tak terjadi apapun di tempat itu. Air tak juga meluas, angin pun tak bergerak.

Mbui Bungale kembali tersenyum dan berkata dengan mereka berempat, "Ayo keluarkan kekuatan kalian, buktikan jika mata air ini milik kalian. Atau kalian telah menyerah dan mengaku kalah?"

Pemimpin rombongan itu berkata dengan nafas tersengal-sengal, "Jika kamu pemilik tempat ini, maka tunjukkanlah kemampuanmu!"

Mbui Bungale kemudian bersedakep dan mengarahkan tangannya ke arah mata air sambil berdoa, "Tuhanku, berikanlah aku kekuatan, Luaskan dan besarkan mata air ini, mata air para bidadari.....membesarlah.....!" Tak lama kemudian terdengar suara air bergemuruh, tanah menggelegar, perlahan-lahan mata air itu melebar dan meluas. Mbui Bungale dalam sekejap telah berada di atas pohon, sementara keempat orang itu terpana kagum melihat keajaiban itu.

Air semakin tinggi dan mulai mencapai tempat keempat orang yang berada di atas pohon kapak, dengan berteriak mereka memohon ampun pada Mbui Bungale, wanita itu kemudian berkata, "Masihkah kalian mengakui tempat ini sebagai milik kalian?" Keempat pelancong itu minta maaf kepada Mbui Bungale dan mempersilahkannya untuk mengambil tudung mustika  itu.

Mbui Bungale mengambil tudung itu yang setelah dibukanya berisi sebuah telur, dan ajaib saat itu telur tersebut menetas, di dalamnya terdapat seorang bayi perempuan cantik yang konon akan menjadi Raja Limboto. Gadis itu dikenal dengan nama Tulango Hula, yang artinya cahaya bulan. Setelah itu Mbui Bungale berencana membawa bayinya pulang dan mengajak keempat pelancong itu, sejenak ia melayangkan pandangan kembali ke danau, di sana dilihatnya lima biji buah terapung-apung di air, ia mengambil dan mencium buah yang ternyata jeruk itu. Sejak saat itu danau tersebut diberi nama Bulalo Lo limu o tutu yang artinya "danau dari jeruk kayangan", dan dikenal sebagai Danau Limboto.

Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara, La Sirimbone

01.58 0
Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara, La Sirimbone
Alkisah, di sebuah daerah di Sulawesi Tenggara, Indonesia, hidup seorang janda cantik bernama Wa Roe bersama seorang anak laki-laki yang masih kecil bernama La Sirimbone. Mereka tinggal di sebuah gubuk di pinggir kampung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, Wa Roe bekerja mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar. 

Pada suatu hari, datang seorang pedagang kain dari negeri seberang yang bernama La Patamba. Ia menawarkan barang dagangannya dari satu rumah penduduk ke rumah penduduk lainnya. Ia memulainya dari sebuah gubuk yang terletak di paling ujung kampung itu, yang tidak lain adalah tempat tinggal Wa Roe. Alangkah terkejutnya La Patamba saat melihat penghuni gubug itu adalah seorang perempuan cantik jelita.

"Aduhai, cantik sekali perempuan ini," ucapnya dalam hati dengan takjub. Dengan perasaan gugup, La Patamba menawarkan kain dagangannya kepada Wa Roe. Namun, Wa Roe tidak membeli karena tidak mempunyai uang. Setelah itu, La Patamba mohon diri untuk menawarkan dagangannya kepada penduduk lainnya. Dalam perjalanan berkeliling kampung, wajah Wa Roe selalu terbayang-bayang didepan matanya.

Saat hari mulai gelap, La Patamba kembali ke rumahnya di negeri seberang. Keesokan harinya, La Patamba kembali ke kampung itu. Namun, ia kembali bukannya untuk berdagang, melainkan ingin meminang Wa Roe. Untuk menghargai warga di kampung, La Patamba terlebih dahulu meminta restu kepada sesepuh kampung dan sekaligus meminta tolong untuk menemaninya pergi meminang Wa Roe. Setelah mendapatkan restu, maka berangkatlah La Patamba bersama sesepuh kampung itu ke tempat Wa Roe.

"Maaf, Wa Roe, jika kami datang secara tiba-tiba tanpa memberitahukanmu sebelumnya. Maksud kedatangan kami adalah ingin menyampaikan pinangan La Patamba," ungkap sesepuh kampung itu.

Mendengar hal itu, Wa Roe terdiam sejenak. Ia betul-betul tidak menyangka, begitu cepatnya La Patamba mengambil keputusan ingin menikah dengannya. Padahal ia baru sekali bertemu dan belum saling mengenal. Sebenarnya, Wa Roe tidak terlalu memikirkan dirinya, tapi ia mengkhawatirkan anaknya. Setelah berpikir, Wa Roe bersedia menerima pinangan La Patamba.

"Baiklah, saya menerima pinangan La Patamba, tapi dengan syarat ia bersedia menyayangi anakku, La Sirimbone," jawab Wa Roe. Mendengar jawaban dari Wa Roe, sesepuh kampung itu pun balik bertanya kepada La Patamba tentang syarat yang diajukan Wa Roe itu. "Bagaimana menurutmu, La Patamba? Apakah kamu sanggup memenuhi syarat itu?"

"Aku bukanlah orang yang membenci anak. Aku akan menyayangi La Sirimbone seperti halnya anak kandungku sendiri," janji La Patamba. Wa Roe pun terbuai dengan kata-kata manis La Patamba. Akhirnya mereka pun menikah. Pada awalnya mereka hidup bahagia. La Patamba sangat menyayangi La Sirimbone seperti anak kandungnya sendiri. Setiap pulang dari berdagang kain dari satu kampung ke kampung lainnya, ia selalu membawakan oleh-oleh. Namun, kebahagiaan itu hanya berjalan satu bulan. La Patamba tiba-tiba membenci anak tirinya tanpa alasan. Hampir setiap hari ia memarahi dan memukuli La Sirimbone. Bahkan ia menyuruh istrinya agar membuang La Sirimbone ke tengah hutan. Namun, Wa Roe menolak perintah itu.

"Bang! Masih ingatkah dengan perjanjian kita sebelum menikah? Bukankah Abang berjanji akan menyayangi La Sirimbone seperti anak kandung Abang sendiri? Tapi, mengapa tiba-tiba Abang begitu membencinya?"

"Ah, persetan dengan janji itu! Waktu itu aku hanya berpura-pura memenuhi syarat itu agar aku dapat menikahimu," jawab La Patamba dengan marah.

Wa Roe bersama anaknya menjadi ketakutan mendengar kamarahan La Patamba. Akhirnya, Wa Roe pun memutuskan untuk membuang anaknya ke tengah hutan dan segera mempersiapkan bekal untuknya. Sambil mempersiapkan bekal, air matanya berderai membasahi pipinya, karena sedih memikirkan nasib anaknya yang malang. Keesokan harinya, berangkatlah La Sirimbone menuju hutan. Setelah melewati tujuh buah lembah dan tujuh buah gunung, mereka pun berhenti di sebuah hutan lengang dan sepi.

"Maafkan Ibu, Nak! Ibu terpaksa meninggalkanmu sendiri di sini," kata Wa Roe sambil memeluk anak semata wayangnya.

"Ibu...! Bagaimana dengan nasibku, Bu?" tanya La Sirimbone mengiba sambil menangis.

"Pergilah sendiri melewati gunung dan lembah! Jagalah dirimu baik-baik. Ibu akan mendoakanmu semoga Tuhan selalu melindungimu," jawab Wa Roe seraya berpamitan pulang. Setelah Ibunya pergi, La Sirimbone pun melanjutkan perjalanannya menelusuri hutan dan lembah. Sudah tujuh hari tujuh malam ia berjalan sendiri dan sudah tujuh lembah dan gunung yang ia lewati. Pada suatu hari, ketika menyusuri sebuah hutan, La Sirimbone menemukan tapak kaki manusia yang sangat besar.

"Wah, aneh! Kenapa ada tapak kaki manusia sebesar ini?" tanyanya dalam hati.

Oleh karena penasaran, ia pun mengikuti tapak kaki raksasa itu. Setelah beberapa jauh berjalan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara gemuruh. Alangkah terkejutnya ia saat mendekati sumber suara itu. Ia melihat seorang raksasa perempuan sedang menumbuk. Ia pun menjadi gemetar ketakutan dan segera mendekap dibetis raksasa perempuan itu.

"Hei, anak manusia! Siapa kamu, kenapa berada di tengah hutan? tanya raksasa perempuan itu.

Dengan perasaan takut, La Sirimbone pun menceritakan tentang dirinya dan semua yang dialaminya hingga sampai di hutan itu. Mendengar cerita itu, raksasa perempuan itu pun merasa iba dan mengajak La Sirimbone untuk tinggal di rumahnya. La Sirimbone dimasukkan ke dalam sebuah kurungan.

"Kenapa aku dimasukkan ke dalam kurungan?" keluh La Sirimbone.

"Maaf, La Sirimbone! Aku sengaja memasukkanmu ke dalam kurungan agar kamu tidak dimakan oleh raksasa laki-laki. Ia selalu berkeliaran di hutan ini mencari mangsa," jawab raksasa perempuan itu. La Sirimbone pun menuruti perintah raksasa perempuan itu karena takut dimakan oleh raksasa laki-laki. Demikianlah, setiap hari La Sirimbone tinggal di dalam kurungan hingga ia tumbuh menjadi dewasa.

Oleh karena jenuh tinggal terus di dalam kurungan, La Sirimbone meminta izin untuk pergi berjalan-jalan dan berburu binatang di dalam hutan itu. Ia pun diizinkan dan dibuatkan panah oleh raksasa perempuan itu. Setelah setengah hari berburu, ia pun memperoleh banyak binatang buruan. Tiga hari kemudian, La Sirimbone kembali meminta izin untuk pergi menangkap ikan di sungai yang banyak ikannya. Ia pun diizinkan dan dibuatkan bubu (salah satu alat penangkap ikan). Bubu itu dipasang di sungai. Alangkah gembiranya ia, karena banyak ikan yang terperangkap ke dalam bubunya. Sebelum pulang, ia memasang kembali bubunya di sungai itu. Keesokan harinya, La Sirimbone kembali ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat bubunya kosong, tidak seekor ikan pun yang terperangkap di dalamnya.

"Aneh! Kenapa bubuku kosong? Padahal masih banyak sekali ikan di sungai ini," keluh La Sirimbone dalam hati. Akhirnya, ia kembali memasang bubunya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Ketika sampai di sungai, ia melihat jin sedang mengangkat bubunya. Oleh karena kesal, La Sirimbone pun menyerang jin itu. Maka terjadilah perkelahian dahsyat antara jin dan La Sirimbone. Dalam perkelahian itu La Sirimbone berhasil mengalahkan dan menangkap jin itu. La Sirimbone tidak mau melepaskannya., hingga akhirnya jin itu berjanji akan memberikan sebuah jimat berupa cincin yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit dan bahkan mampu menghidupkan kembali orang mati. 

Setelah menerima jimat itu, La Sirimbone bergegas pulang ke rumah raksasa perempuan dengan menyusuri tepi sungai. Di tengah perjalanan, ia melihat seekor babi yang sedang berjalan di atas air.

"Hei, Babi! Bagaimana kamu bisa berjalan di atas air?" tanya La Sirimbone heran.

"Aku memakai jimat kalung," jawab babi itu.

"Maukah kamu memberikan jimat itu kepadaku?" pinta La Sirimbone.

Babi itupun memberikan jimat kalungnya kepada La Sirimbone. Kemudian La Sirimbone mengalungkan jimat itu ke lehernya dan bisa berjalan di atas air. Tidak beberapa lama berjalan, ia bertemu dengan seorang nelayan yang sedang menangkap ikan.

"Hei, Pak Nelayan! Alat apa yang Bapak gunakan menangkap ikan di sungai?" tanya La Sirimbone.

"Saya menggunakan sebuah keris pusaka yang dapat menikam sendiri jika diperintah," jawab nelayan itu. Oleh karena tertarik, La Sirimbone pun meminta keris itu kepada si nelayan. Si nelayan pun memberinya dengan sukarela. Setelah itu, La Sirimbone kembali ke darat untuk meneruskan perjalanannya dengan menyusuri hutan. Di tengah perjalanan, ia bertemu orang-orang yang sedang mengusung jenazah. Ia pun memerintahkan orang-orang itu untuk menurunkan jenazah itu dari usungannya. Setelah membuka kain kafan jenazah itu, ia segera menggosok-gosokkan cincin pemberian jin di pusar jenazah itu. Seketika itu pula, jenazah itu hidup kembali. Semua pengantar jenazah tercengang melihat peristiwa itu. Setelah itu, La Sirimbone pulang ke rumah raksasa perempuan. Sesampainya di rumah raksasa perempuan, La Sirimbone pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya.

Pada hari berikutnya, La Sirimbone kembali meminta izin kepada raksasa perempuan untuk pergi berburu binatang di tempat yang agak jauh. Raksasa perempuan pun mengizinkannya, karena sudah tidak khawatir lagi dengan La Sirimbone. Apalagi La Sirimbone telah memiliki beberapa senjata pusaka. Setelah berpamitan, ia pun berangkat dengan menyusuri hutan dan lembah. Saat melewati sebuah perkampungan, La Sirimbone memutuskan untuk beristirahat sejenak dan meminta air minum kepada penduduk kampung karena kehausan. Ia pun berhenti di depan sebuah rumah yang pintunya sedikit terbuka. Ia berharap bahwa penghuni rumah itu ada di dalam. 

"Permisi! Apakah ada orang di dalam?" tanya La Sirimbone sambil mengetuk pintu rumah itu. Alangkah terkejutnya La Sirimbone saat melihat seorang gadis cantik jelita muncul dari dalam rumah. Namun, wajah gadis cantik itu tampak murung dan gelisah. "Maaf kalau saya mengganggu. Bolehkah saya meminta seteguk air minum?" pinta La Sirimbone.

"Boleh. Silahkan duduk dulu!" kata gadis itu seraya masuk ke dapur. Tak berapa lama, gadis itu kembali sambil membawa segelas air minum dan memberikannya kepada La Sirimbone.

"Terima kasih, gadis cantik!" ucap La Sirimbone.

"O, iya! Perkenalkan, nama saya La Sirimbone. Saya hanya kebetulan lewat di kampung ini dan hendak pergi berburu di sebuah hutan tidak jauh dari sini. Kamu siapa?" tanya La Sirimbone.

"Aku Wa Ngkurorio," jawab gadis itu dengan suara lirih.

"Kenapa kamu tampak sedih dan murung seperti itu?" tanya La Sirimbone sedikit memberi perhatian.

"Iya. Saya memang sedih, karena ajalku sebentar lagi tiba," jawab gadis itu.

"Apa maksudmu, Wa Ngkurorio?" tanya La Sirimbone penasaran.

"Saya sekarang sedang menunggu giliran dimakan oleh seekor ular naga. Saudara-saudaraku yang tujuh orang, kini sudah habis dimakan oleh ular naga itu. Yang hidup sekarang tinggal saya, ayah dan ibu saya," jelas Wa Ngkurorio dengan perasaan sedih.

"Sebaiknya kamu segera meninggalkan tempat ini. Saya khawatir kamu juga akan dimakan oleh ular naga itu," tambah gadis itu.

"Kamu jangan khawatir, ular naga itu tidak akan memakan kita. Jika dia datang, saya akan melawannya dengan senjata pusaka ini," kata La Sirimbone sambil mengeluarkan keris pusakanya dari balik bajunya.

"Tapi, ular naga itu sangat besar dan ganas. Walaupun seluruh penduduk di sini menghadapinya tidak akan sanggup mengalahkannya," ucap Wa Ngkurorio dengan perasaan cemas.

"Sudahlah, Wa Ngkurorio! Jangan takut, saya akan melumpuhkannya dengan keri pusakaku yang sakti ini," jawab La Sirimbone menenangkan hati gadis itu.

Menjelang sore hari, ular naga itu datang ke rumah Wa Ngkurorio. Mengetahui hal itu, gadis itu tiba-tiba menggigil ketakutan, sedangkan La Sirimbone tenang-tenang saja. Saat ular naga itu hendak masuk ke dalam rumah itu, La Sirimbone segera berbisik kepada keris pusakanya. Dengan secepat kilat, keris itu meluncur masuk ke dalam perut ular naga itu. Dalam sekejap, ular naga itu pun mati seketika, karena seluruh isi perutnya dikoyak-koyak oleh keris itu.

Wa Ngkurorio takjub melihat keampuhan keris pusaka La Sirimbone. Ia pun berterima kasih kepada La Sirimbone karena telah menyelamatkan nyawanya. Tidak berapa lama, para penduduk pun berdatangan ingin melihat ular naga yang sudah tergeletak di tanah itu. Mereka sangat gembira karena kampung mereka telah aman dari ancaman ular naga pemakan manusia itu. Untuk merayakan kegembiraan itu, mereka mengadakan pesta besar-besaran, dan untuk membalas jasa La Sirimbone, penduduk kampung menikahkan La Sirimbone dengan Wa Ngkurorio. Akhirnya, La Sirimbone tinggal di kampung itu dan hidup berbahagia bersama Wa Ngkurorio.   

Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Sulawesi Selatan, La Kuttu-kuttu Paddaga

23.32 0
Cerita Rakyat Propinsi Sulawesi Selatan, La Kuttu-kuttu Paddaga
La Kuttu-kuttu Paddaga adalah nama seorang pemuda yang gagah dan tampan. Ia adalah seorang yang sangat ahli bermain sepak raga, sebab pekerjaannya setiap hari tiada lain hanyalah bermain sepak raga bersama teman-temannya. Pada suatu hari ia diajak oleh teman-temannya bertandang ke desa tetangga untuk bermain sepak raga melawan para pemuda di sana. Dan, secara kebetulan lapangan yang digunakan untuk bermain berada di dekat rumah seorang gadis penenun.

Setelah beberapa lama bermain, La Kuttu-kuttu Paddaga merasa haus. Oleh karena rumah yang terdekat adalah rumah sang Gadis Penenun, maka ia segera menuju ke sana dengan maksud hendak meminta air minum. Setelah naik ke rumah dan bertemu dengan Sang Gadis yang sedang menenun di Serambi. La Kuttu-kuttu Paddaga lalu berkata, bolehkah saya meminta air barang seteguk?" 

Si Gadis yang waktu itu kebetulan sedang sendiri, segera menjawab, "maaf langsung ambil sendiri saja di dapur. Saya belum bisa keluar dari alat tenun ini, sebab benangnya baru saja di kanji." 

Setelah mendapat izin dari sang gadis, La Kuttu-kuttu Paddaga segera ke dapur untuk minum. Waktu kembali dari dapur dan melewati Sang Gadis, ia secara basa-basi bertanya," Sarung siapa yang engkau tenun?" 

"Ya, sarung kita," jawab gadis tenun singkat 

"Oh, begitu. Ya sudah, terima kasih sudah memberi saya minum," kata La Kuttu-kuttu Paddaga berpamitan hendak melanjutkan bermain sepak raga lagi. 

Sambil berlalu dari rumah itu sebenarnya ia selalu mengingat kata-kata terakhir sang gadis yang menyatakan bahwa sarung itu adalah "Sarung kita". Dalam pikirannya, apabila sarung itu adalah  sarung milik mereka berdua. Dan, dari situlah timbul niatnya untuk mengawini sang Gadis. Namun, ia tidak mempunyai uang untuk melamarnya, sebab ia tidak bekerja alias pengangguran. 

Beberapa waktu kemudian, sebelum La Kuttu-kuttu Paddaga sempat mencari uang untuk meminang, tiba-tiba ada seorang pemuda kaya yang telah memiliki pekerjaan datang meminang pada orang tua si Gadis. Mendapat pinangan dari seorang pemuda kaya, tentu saja orang tua gadis itu menerimanya dengan senang hati. Sementara si Gadis yang akan dikawinkan sebenarnya merasa tidak suka melihat pemuda itu, sebab ia tidak gagah dan buruk rupa lagi. Namun, karena orang tuanya memaksa, maka ia pun akhirnya mau menerimanya. 

Singkat cerita, perkawinan antara si Pemuda kaya dengan si Gadis penenun pun dilaksanakan. Setelah kawin, karena adat istiadat waktu itu melarang pengantin baru berhubungan intim sebelum empat puluh hari perkawinan, maka mereka tidak boleh tidur sekamar hingga waktu yang ditentukan berakhir. Beberapa hari sebelum masa pantang terakhir, si Perempuan menyuruh adik laki-lakinya untuk menyembelih seekor ayam. Setelah ayam di sembelih, ia meminta bagian tembolok ayam tersebut untuk dibawa ke kamarnya. Tembolok itu kemudian digembungkan lalu dikeringkan dan disimpan di bawah tempat tidurnya.

Ketika adat pantangan berhubungan intim telah berakhir, pada malam hari sang Suami mulai masuk ke dalam kamarnya. Saat sang Suami mematikan lampu dan ingin melampiaskan nafsunya, cepat-cepat si Gadis mengambil tembolok kering dari bawah tempat tidurnya. Tembolok itu kemudian diapitkan di pahanya, sehingga secara samar-samar terlihat seperti alat kelaminnya. Terkecoh melihat "alat kelamin" isterinya yang menjijikkan dan berbau sangat busuk, sang Suami menjadi kaget setengah mati. Nafsu birahinya menjadi hilang seketika dan tengah malam itu juga ia pulang lagi ke rumah orang tuanya.

Sesampai di rumah, orang tuanya yang tengah tidur menjadi terkejut. Dengan mata yang masih setengah terbuka, ayahnya bertanya, "Mengapa engkau pulang, nak?"

"Wah, rugi saya kawin, ayah," jawab si Pemuda.

"Kenapa? Ada apa dengan istrimu?" tanya ayahnya.

"Maksud saya menikah adalah untuk memperoleh keturunan. Namun, yang saya peristeri hanyalah seorang perempuan yang berpenyakit," jawab anaknya.

Mendengar jawaban itu, ayahnya segera berkata, "Ya, lebih baik kau ceraikan saja isterimu itu!"

"Baiklah. Tetapi saya sudah malu untuk kembali kesana lagi. Bagaimana kalau ayah saja yang menceraikannya untukku?" tanya si Anak.

"Ya, baiklah kalau begitu. Besok pagi aku akan ke sana," jawab ayahnya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ayah si Pemuda sudah berangkat ke rumah besannya, tanpa berbasa-basi lagi ia langsung mengutarakan maksudnya. Ayah si Perempuan yang sebenarnya sama sekali tidak mengetahui duduk persoalannya, namun ia juga tidak ingin berbasa-basi, segera saja menyetujui permintaan talak dari besannya. Saat itu juga terjadi perceraian antara si Pemuda kaya dengan Perempuan penenun. Jadi, walau telah menjadi janda, Perempuan penenun itu tetap seorang gadis karena belum pernah sekali pun ditiduri oleh mantan suaminya.

Setelah mantan besannya pergi, ayah si Perempuan segera memanggil anaknya dan memarahinya, "Kau apakan suamimu tadi malam sehingga mertuamu begitu panas hati?"

"Mana saya tahu, ayah. Andaikata ada perkataan saya yang menyakiti hatinya, tentu ayah juga akan mendengarnya sebab kita tinggal serumah. Mungkin memang beginilah nasib apabila seorang isteri sudah disukai lagi oleh suaminya."jawab perempuan Penenun itu bersandiwara.

Beberapa waktu kemudian, La Kuttu-kuttu Paddaga mendengar kabar bahwa perempuan idamannya itu telah bercerai. Untuk memastikan kebenarannya, ia pun segera bertandang ke rumah si Perempuan. Sesampai di sana, ia segera mendatangi si Perempuan yang waktu itu sedang menenun seorang diri. Setelah saling berhadapan, ia langsung menanyakan perihal perceraian yang dialami si perempuan beberapa waktu yang lalu. Pertanyaan itu dijawab dengan sejujurnya oleh si Perempuan dan akhirnya terjadilah percakapan yang cukup lama di antara mereka. Dalam percakapan itu, si Perempuan menjelaskan hal ikhwal perkawinannya dengan si Pemuda kaya dari awal hingga akhir.

Setelah mendapat penjelasan yang sangat lengkap dari perempuan itu, akhirnya La Kuttu-kuttu Paddaga menyatakan ingin mengawininya. Si Perempuan pun setuju, namun ia baru bersedia kawin setelah masa idahnya habis, sekitar tiga bulan lagi. Dan, selama masa idah itu La Kuttu-kuttu Paddaga diharapkan oleh sang Perempuan untuk mencari uang guna membeli mas kawin. Namun, karena ia sudah berstatus janda, maka jumlah mahar atau mas kawin yang harus disediakan tidak perlu sebanyak apabila ia masih gadis.

Oleh karena jumlahnya tidak seberapa, dalam waktu singkat La Kuttu-kuttu Paddaga sudah berhasil mendapatkan uang untuk membeli mas kawin. Setelah masa si Perempuan habis, La Kuttu-kuttu Paddaga datang pada orang tuanya dengan maksud untuk meminang anaknya. Karena anaknya sudah menjadi janda, orang tuanya pun segera menerima pinangan La Kuttu-kuttu Paddaga tanpa meminta syarat yang bermacam-macam. Singkat cerita, mereka pun kemudian menikah dan hidup bahagia. La Kuttu-kuttu Paddaga merasa bahagia karena telah berhasil mempersunting perempuan pujaannya walau sudah menjadi janda. Sedangkan si Perempuan juga merasa bahagia karena idamannya untuk memperoleh seorang pemuda yang gagah dan tampan telah terwujud, walaupun ia harus kawin dulu dengan seorang pemuda yang buruk rupa. 

Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Sulawesi Tengah, Putri Tandampalik

00.40 0
Cerita Rakyat Propinsi Sulawesi Tengah, Putri Tandampalik
Dahulu, terdapat sebuah negeri yang bernama negeri Luwu, yang terletak di pulau Sulawesi. Negeri Luwu di pimpin oleh seorang raja yang bernama La Busalana Datu Maonggae, sering dipanggil Raja atau Datu Luwu. Karena sikapnya yang adil, arif dan bijaksana, maka rakyatnya hidup makmur. Sebagian besar pekerjaan rakyat Luwu adalah Petani dan nelayan. Datu Luwu mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik, namanya Putri Tandampalik. Kecantikan dan perilakunya telah diketahui orang banyak. Termasuk di antaranya Raja Bone yang tinggalnya sangat jauh dari Luwu. 

Raja Bone ingin menikahkan anaknya Putri Tandampalik. ia mengutus beberapa utusannya untuk menemui Datu Luwu untuk melamar Putri Tandampalik. Datu Luwu menjadi bimbang, karena dalam adatnya, seorang gadis Lewu tidak di benarkan menikah dengan pemuda dari negeri lain. Tetapi, jika lamaran tersebut di tolak, ia khawatir akan terjadi perang dan membuat rakyat menderita. Meskipun berat akibat yang akan diterima, Datu Luwu memutuskan untuk menerima pinangan itu. "Biarlah aku dikutuk asal rakyatku tidak menderita,"pikir Datu Luwu.

Beberapa hari kemudian utusan Raja Bone tiba ke negeri Luwu. Mereka sangat sopan dan ramah. Tidak ada iringan pasukan atau armada perang di pelabuhan, seperti yang diperkirakan Datu Luwu. Datu Luwu menerima utusan itu dengan ramah. Saat mereka mengutarakan maksud kedatangannya, Datu Luwu belum bia memberikan jawaban menerima atau menolak lamaran tersebut. Utusan Raja Bone memahami dan mengerti keputusan Datu Lewu. Mereka pun pulang kembali ke negerinya.

Keesokan harinya, terjadi kegaduhan di negeri Lewu. Putri Tandampalik jatuh sakit. sekujur tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat menjijikan. Para tabib istana mengatakan Putri Tandampalik terserang penyakit menular berbahaya. Berita cepat tersebar. Rakyat negeri Lewu dirundung kesedihan. Datu Luwu yang mereka hormati dan Putri Tandampalik yang mereka cintai sedang mendapat musibah. Setelah berfikir dan menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan anaknya karena akan banyak rakyat  yang tertular jika Putri Tandampalik tidak diasingkan ke daerah lain. Keputusan itu dipilih Datu Luwu dengan berat hati Putri Tandampalik tidak berkecil hati atau marah pada ayahandanya. Lalu ia pergi dengan perahu bersama beberapa pengawal setianya. Sebelum pergi Datu Luwu memberikan sebuah keris kepada Putri Tandampalik, sebagai tanda bahwa ia tidak membuang anaknya.

Setelah berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan, akhirnya mereka menemukan sebuah pulau. Pulau itu berhawa sejuk dengan pepohonan yang tumbuh dengan subur. Seorang pengawal menemukan buah Wajo saat pertama kali menginjakan kakinya di tempat itu. "pulau ini kuberi nama Wajo," kata Putri Tandampalik. Sejak saat itu,  Putri Tandampalik dan pengikutnya memulai kehidupan baru. Mereka mulai dengan segala kesedeharnaan. Mereka terus bekerja keras, penuh dengan semangat dan gembira.

Pada suatu hari Putri Tandampalik duduk di tepi danau. Tiba-tiba seekor kerbau putih menghampirinya. Kerbau itu menjilatinya dengan lembut. Semula Putri Tandampalik hendak mengusirnya. Tapi, hewan itu tampak baik dan terus menjilatinya. Akhirnya Putri Tandampalik mendiamkan saja. Ajaib setelah beberapa kali dijilati, luka berair di tubuh Putri Tandampalik hilang tanpa bekas. Kulitnya kembali halus dan bersih seperti semula. Putri Tandampalik terharu dan bersyukur pada tuhan, penyakitnya sudah sembuh. "Sejak saat ini kuminta jangan menyembelih atau memakan kerbau bule, karena hewan ini talah menyembuhkanku," kata Putri Tandampalik pada para pengawal-pengawalnya. Permintaan Putri Tandampalik itu langsung dipenuhi oleh semua orang di Pulau Wajo hingga sekarang. Kerbau yang ada di pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak.

Di suatu malam, Putri Tandampalik bermimpi didatangi oleh pemuda yang tampan.  "siapakah namamu dan mengapa Putri secantik ini berada ditempat seperti ini?" tanya pemuda itu dengan lembut. Lalu Putri Tandampalik menceritakan semuannya. "Wahai pemuda, siapa dirimu dan dari mana asalmu?" tanya Putri Tandampalik. Pemuda itu tidak menjawab, tapi justru malah balik bertanya, "Putri Tandampalik maukah engakau menjadi istriku?" sebelum Putri Tandampalik menjawab, ia terbangun dari tidurnya. Putri tandampalik merasa mimpinya merupakan tanda baginya.

Sementara, nun jauh di Bone, Puta Mahkota Kerajaan Bone sedang asyik berburu. Ia ditemani oleh Anre guru Pakanryareng Panglima Kerajaan Bone dan beberapa pengawalnya. Saking asyiknya berburu, Putra Mahkota tidak sadar bahwa ia telah terpisah dengan rombongannya dan tersesat di hutan. Malam semakin larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya. Suara-suara hewan malam membuatnya terus terjaga dan gelisah. di kejauhan ia meliahat seberkas cahaya. Ia memberanikan diri untuk mencari dari mana cahaya itu berasal. ternyata cahaya itu berasal dari sebuah perkampungan yang letaknya sangat jauh. Sesampainya disana, Putra Mahkota memasuki sebuah rumah yang nampak kosong. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis cantik menjerang air dirumah itu. Gadis cantik itu tidak lain adalah Putri Tandampalik.

"Mungkinkah ada bidadari ditempat asing begini?" pikir Putra Mahkota. Merasa ada yang mengawasi, Putri Tandampalik menoleh. Sang Putri tergagap,"Sepertinya dialah pemuda yang ada di dalam mimpiku," pikirnya. Kemudian mereka berdua berkenalan. Dalam waktu singkat, Keduanya sudah akrab. Putri Tandampalik merasa pemuda yang kini berada dihadapannya adalah seorang pemuda yang halus tutur bahasanya. Meski ia seorang calon Raja , ia sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya bagi Putra Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis yang anggun tetapi tidak sombong. Kecantikan dan penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsung menaruh hati.

Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut, Putra Mahkota kambali ke negerinya karena banyak kewajiban yang harus ia selesaikan di Istana Bone. Sejak berpisah dengan Putri Tandampalik, ingatan sang pangeran hanya tertuju pada wajah catik itu. ingin rasanya Putra Mahkota tinggal dipulau Wajo. Anre guru Pekanyareng, Panglima perang Kerajaan Bone yang ikut serta menemani Putra Mahkota berburu, Mengetahui apa yang dirasakan anak Rajanya itu. Anre Guru Pekanryareng sering melihat Putra Mahkota duduk berlama-lama di tepi Talaga. Maka Anre Guru Pakanryareng segera menghadap Raja Bone dan menceritakan semua kejadian yang mereka alami di pulau Wajo. "Hamba mengusulkan Paduka segera melamar Putri Tandampalik," kata Anre Guru Pakanyareng. Raja Bone setuju dan mengirim utusan untuk meminang Putri Tandampalik.

Ketika utusan raja Bone tiba di Pulau Wajo, Putri Tadampalik tidak langsung menerima lamaran Putra Mahkota. Ia hanya memberikan Keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan ayahandanya ketika ia di asingkan. Putri Tandampalik mengatakan bila keris itu diterima dengan baik oleh Datu Luwu maka pinangan diterima. Putra Mahkota segera berangkat ke kerajaan  Luwu sendirian . Perjalanan berhari-hari dijalani oleh Putra Mahkota dengan penuh semangat. Setelah sampai di kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putir Tandampalik dan menyerahkan Keris pusaka pada Datu Luwu.

Datu Luwu dan Permaisuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu Luwu merasa Putra Mahkota adalah seorang pemuda yang gigih, bertutur kata lembut, sopan dan penuh semangat. Maka ia pun menerima Keris Pusaka itu dengan tulus. Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan Permaisuri datang mengunjungi Pulau Wajo untuk bertemu dengan anaknya. Pertemuan Datu Luwu dan anak tunggal kesayangannya sangat mengharukan. Datu Luwu merasa bersalah mangasingkan anaknya. Tetapi sebaliknya, Putri Tandampalik bersyukur karena rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular yang dideritannya. Akhirnya Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Bone dan dilangsungkan di Pulau Wajo. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Beliau menjadi Raja yang arif dan Bijaksana.

Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Post Top Ad