Juni 2015 - Blog Oblok Oblok

Hot

Post Top Ad

Cerita Rakyat Propinsi Kalimantan Timur, Asal Mula Erau

23.01 0
Cerita Rakyat Propinsi Kalimantan Timur, Asal Mula Erau
Tenggarong adalah ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia. Pada mulanya, kota Tenggarong merupakan ibukota kesultanan Kutai Kartanegara bernama Tepian Pandan. Namun oleh Sultan Kutai, Aji Muhammad Muslihudin (Aji Imbut), nama Tepian Pandan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti rumah Raja. Kemudian dalam perkembangannya, Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong sampai saat ini. 

Di daerah ini telah berkembang sebuah cerita legenda yang sangat populer yaitu Asal Mula Erau. Cerita legenda ini mengambil latar belakang Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura (Abad ke-13 M) yang berdiri di Tepian Batu. Cerita legenda ini terpusat pada salah seorang laki-laki bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti, seorang dari keturunan Dewa yang memiliki wajah sangat tampan, sehat, dan cerdas. Ia tumbuh dan berkembang di lingkungan suku bangsa Tenggarong Kutai. Sebagai keturuna Dewa. Ia tidak boleh diperlakukan seperti halnya seorang manusia biasa. Oleh karena itu, sejak kecil ia dirawat dan dibesarkan dengan baik dan hati-hati oleh keluarga petinggi Dusun Jaitan Layar. Pada waktu-waktu tertentu, keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar harus mengadakan upacara adat untuk Aji Batara Agung Dewa Sakti yang dikenal dengan Erau.

Alkisah, di lereng sebuah gunung daerah Kalimantan Timur terdapat sebuah dusun bernama Jaitan Layar. Di dusun itu tinggal seorang Petinggi bersama istrinya. Meski sudah menikah puluhan tahun, mereka belum di karuniai seorang anak pun. Namun demikian, suami istri itu tak pernah putus asa. Mereka senantiasa pergi bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya  untuk memohon pada Dewa agar diberi keturunan.

Pada suatu malam, ketika mereka sedang tertidur nyenyak, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh di halaman rumahnya. Malam yang semula gelap gulita tiba-tiba berubah menjadi terang benderang, kejadian itu membuat mereka sangat heran. "Pak coba lihat apa yang terjadi di luar," kata sang istri.

Dengan memberanikan diri, Petinggi Dusun Jaitan Layar itu keluar dari rumahnya. Ia sangat terkejut melihat sebuah batu raga mas berada di halaman rumahnya. Di dalamnya terbaring seorang bayi laki-laki yang masih merah berselimutkan kain berwarna emas. Tangan kanan bayi itu menggenggam sebutir telur ayam dan tangan kirinya memegang sebilah keris emas.

Petinggi Dusun itu semakin terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya berdiri tujuh dewa. Satu dari tujuh dewa itu berkata," Berterima kasihlah kamu, karena doamu telah dikabulkan oleh para Dewa." Kemudian Dewa itu, berpesan kepada Petinggi Dusun Jaitan Layar, "Ketahuilah bayi ini keturunan para Dewa di Kahyangan. Oleh karena itu kamu tidak boleh menyia-nyiakannya. Cara merawatnya berbeda dengan merawat anak manusia. Bayi ini tidak boleh diletakkan sembarangan di atas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam harus dipangku secara bergantian oleh kaum kerabat sang Petinggi. Jika kamu ingin memandikan bayi ini, jangan menggunakan air biasa, tetapi harus dengan air yang diberi bunga-bungaan."

Dewa itu juga berpesan kepada sang Petinggi,"Jika bayi ini sudah besar tidak boleh menginjak tanah sebelum diadakan Erau. Pada upacara Tijak Tanah (Menginjak Tanah), kaki anak ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah mati. Selain itu, kaki anak ini juga harus diinjakkan pada kepala kerbau yang masih hidup dan kepala kerbau yang sudah mati. Begitu pula jika anakmu hendak mandi disungai untuk pertama kali, hendaknya kau harus mengadakan Erau Mandi ke Tepian sebagaimana pada upacara Tijak Tanah."

Bukan main senangnya Petinggi Jaitan Layar mendapatkan anak keturunan para Dewa,"Terima kasih Dewa. Semua perintah Dewa akan hamba laksanakan,"kata sang Petinggi sambil menyembah. Saat itu pula, tiba-tiba ketujuh Dewa tersebut menghilang dari hadapan sang Petinggi. Bayi itu pun segera dibawa oleh sang Petinggi masuk ke dalam rumah. Lalu, sang Petinggi menceritakan kejadian yang baru saja ia alami kepada istrinya. Bukan main senangnya istri sang Petinggi mendengar cerita suaminya, apalagi setelah ia melihat bayi itu. Ia bagaikan bulan purnama, wajahnya tampan tiada banding, tubuhnya sehat dan segar, siapapun memandangnya akan bangkit kasih sayang terhadapnya.

Beberapa saat kemudian bayi itu tiba-tiba menangis. Sepertinya bayi itu sedang kelaparan. Sang Petinggi pun menjadi bingung, karena payudara istrinya tidak dapat mengeluarkan air susu. Apalagi yang bisa diharapkan dari seorang perempuan tua seperti istrinya untuk menyusui seorang anak. Akhirnya, sang Petinggi membakar dupa dan setanggi. Lalu, sambil menghambur beras kuning, ia memanjatkan doa kepada para Dewa agar memberikan karunia kepada istrinya berupa air susu yang harum baunya. Tak lama setelah berdoa, terdengarlah suara dari Kahyangan,"Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah payudaramu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya."

Mendengar perintah itu, istri Petinggi Jaitan Layar segera mengusap payudaranya sebelah kanan sebanyak tiga kali. Tiba-tiba, mencuratlah dengan derasnya air susu dari payudaranya yang sangat harum baunya seperti bau ambar dan kasturi. Bayi itupun mulai menyusu pada istri Petinggi. Kedua suami istri itu sangat bahagia melihat bayi keturunan Dewa telah mendapatkan air susu.

Setiap hari, sang Petinggi dan istrinya merawat anak mereka dengan baik. Sesuai perintah Dewa, mereka senantiasa memandikan bayi itu dengan air yang diberi bunga-bungaan. Tiga hari tiga malam kemudian, putuslah tali pusar bayi itu. Seluruh penduduk Jaitan Layar bergembira. Mereka merayakannya dengan menembakkan Meriam Sapu Jagad sebanyak sepuluh kali. Empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku penduduk secara bergantian dan berhati-hati. Sesuai petunjuk Dewa dalam mimpi Petinggi, bayi laki-laki itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Waktu terus berlalu. Kini Aji Batara Agung Dewa Sakti telah berumur lima tahun. Anak seusia Aji tentu sangat ingin bermain di luar rumah bersama teman-teman sebayanya. Ia juga ingin mandi di sungai seperti anak-anak lain. Ia sudah sangat bosan dan jenuh dikurung di dalam rumah. Sang Petinggi teringat dengan pesan Dewa ketika menerima anak itu. Maka ia dan istrinya bersama seluruh penduduk Jaitan Layar mempersiapkan Erau. Dalam pesta Erau itu digelar upacara Tijak Tanah dan Mandi di Tepian. Upacara Erau berlangsung sangatmeriah selama empat puluh hari empat puluh malam sesuai petunjuk Dewa, Petinggi menyembelih bermacam-macam binatang dan beberapa orang untuk diinjak kepalanya oleh Aji Batara Agung pada upacara Tijak Tanah.

Dalam upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian, Aji Batara Agung diarak dan kemudian kakinya dipijakkan pada kepala- kepala binatang dan manusia yang telah diselimuti kain kuning. Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, Lalu diarak ke tepian sungai. Di tepi sungai, Aji Batara Agung dimandikan, kakinya dipijakkan pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda. Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak mengarak kembali Aji Batara Agung ke  rumah orang tuanya, lalu memberikan pakaian kebesaran. Setelah itu mereka mengarak kembali Aji Batara Agung ke halaman dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagad.

Sesaat kemudian, tiba-tiba dentuman suara guntur yang sangat dahsyat menggoncang bumi disertai dengan hujan panas turun merintik. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Cahaya cerah kembali menerangi alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi. Penduduk Jaitan Layar kemudian menghamparkan permadani dan kasur agung, lalu membaringkan Aji Batara Agung di atasnya. Gigi Aji Batara Agung pun diasah kemudian diberi makan sirih.

Selesai upacara tersebut, pesta Erau pun dimulai. Berbagai makanan dan minuman disediakan untuk penduduk. Bermacam-macam permainan dipertunjukkan. Laki-laki dan perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya. Setelah pesta Erau selesai, semua bekas balai-balai yang digunakan dalam pesta ini dibagikan oleh Petinggi kepada penduduk yang melarat. Demikian pula, semua hiasan-hiasan rumah oleh istri Petinggi diberikan kepada penduduk.

Para undangan dari berbagai negeri dan dusun, berpamitan kepada Petinggi dan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka memuji-muji Aji Batara Agung dengan berkata,"Tiada siapapun yang dapat menyamainya, baik rupanya yang tampan maupun sikapnya yang berwibawa. Patutlah dia anak dari Batara Dewa-Dewa di khayangan." Setelah berpamitan, para undangan kembali ke negeri dan dusunnya masing-masing untuk mencari nafkah sehari-hari.

Sementara itu, Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari makin dewasa. Ia tumbuh menjadi remaja yang gagah, tampan, cerdas dan berwibawa. Ia kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara. Setelah mencapai usia dewasa, tibalah saatnya Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat menjadi raja Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura yang pertama (1300-1325). Saat ia diangkat menjadi raja, Erau kembali diadakan dengan meriah. Sebagai raja pertama, maka Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat sebagai nenek moyang raja-raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura.

Setelah menjadi raja, Aji Batara Agung Dewa Sakti menikah dengan seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Karang Melenu. Konon ceritanya, Putri Karang Melenu juga merupakan titisan Dewa dari khayangan. Awalnya, ia adalah ulat yang ditemukan oleh seorang Petinggi Hulu Dusun di daerah dekat Aliran Sungai Mahakam. Pada suatu hari, ketika Petinggi Hulu Dusun sedang membelah kayu bakar tiba-tiba ia dikejutkan oleh seekor ulat kecil. Ulat kecil itu melingkar di belahan kayu dan memandangnya dengan mata yang sayu, seakan minta dikasihani. Dengan lembut sang Petinggi mengambil ulat itu untuk dipelihara.

Waktu terus berlalu. Ulat kecil tumbuh semakin besar. Lama-kelamaan binatang itu berubah menjadi seekor naga yang besar. Meskipun besar dan menyeramkan, naga itu jinak dan tak pernah keluar dari rumah. Pada suatu malam Petinggi bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita. Dalam mimpinya, sang putri  berkata "Ayah dan Bunda tidak usah takut pada ananda, meski tubuh ananda besar dan menakutkan. Izinkanlah ananda untuk pergi dari sini. Buatkanlah ananda sebuah tangga untuk merayap ke bawah". Ketika terbangun, sang Petinggi menceritakan mimpinya kepada istrinya, Babu Jaruma.

Keesokan harinya, sang Petinggi sibuk membuat tangga dari kayu. Anak tangganya terbuat dari bambu yang diikat dengan akar. Selesai membuat tangga, tiba-tiba Petinggi mendengar suara sang putri yang menemuinya dalam mimpi. "Bila ananda telah turun ke tanah, ananda minta Ayahanda dan Bunda mengikuti ananda kemana saja ananda merayap. Ananda juga minta agar Ayahanda membakar wijen hitam serta menabur ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan menyelam, ananda mohon Ayahanda dan Bunda mengiringi buihku". Sang naga pun kemudian menuruni tangga, dan merayap meninggalkan rumah. Sang Petinggi dan istrinya mengikuti naga itu sesuai dengan petunjuk sang Putri.

Ketika sang Naga sampai di sungai, ia berenang tujuh kali berturut-turut ke hulu dan tujuh kali ke hilir. Kemudian dia berenang ke Tepian Batu. Petinggi dan istrinya mengikuti sang Naga dengan perahu. Di Tepian Batu, sang Naga berenang ke kiri tiga kali dan ke kanan tiga kali kemudian menyelam. Pada saat menyelam, tiba-tiba terjadilah peristiwa yang sangat dahsyat. Air sungai pun bergolak. Angin topan bertiup dengan kencang. Hujan deras turun disertai guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi Petinggi dan istrinya terombang-ambing oleh gelombang air sungai. Dengan susah payah Petinggi berusaha mengayuh perahunya ke tepi.

Tak lama peristiwa itu berlangsung, tiba-tiba cuaca kembali terang. Petinggi dan istrinya heran. Ke mana perginya sang Naga? Tiba-tiba mereka melihat suatu pemandangan yang menakjubkan. Air sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Warna-warni sinar pelangi menerpa buih hingga bercahaya kemilau. Petinggi dan istrinya mendekat. Mereka terkejut karena di tumpukan buih itu terdapat sebuah gong besar dan di dalamnya ada sebuah benda. Entahlah, benda apa itu? Petinggi dan istrinya semakin penasaran. Petinggi bergegas mengayuh perahunya ke arah benda itu."Lihat Pak! sepertinya benda itu seorang bayi," seru istri Petinggi sambil menunjuk ke arah gong itu. Ternyata benar, benda di dalam gong itu adalah seorang bayi perempuan. Kemudian mereka pun mengambil gong berisi bayi itu dan membawanya pulang.
 
Sang Petinggi dan istrinya merawat bayi itu dengan baik seperti anak kandungnya sendiri. Mereka sangat senang sekali mendapatkan anak dari khayangan. Setelah genap tiga hari, putuslah tali pusar bayi itu. Sesuai perintah Dewa di dalam mimpi Petinggi, bayi perempuan itu diberi nama Putri Karang Melenu. Waktu terus berjalan, Putri Karang Melenu tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita, baik budi dan pintar. Setelah dewasa, Dewata pun mempertemukannya dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Keduanya lalu menikah. Sang Putri pun menjadi permaisuri Raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura I dan melahirkan seorang putra bernama Aji Batara Agung Paduka Nira.

Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Pendek, Paduan Suara

02.16 0
Cerita Pendek, Paduan Suara
SUGENG benar-benar merasa masygul. Selama sekian tahun berkarir di bidang musik dan dunia tarik suara, baru kali ini ia menghadapi persoalan yang begitu meletihkan. Rasa-rasanya ia lebih senang dibebani pekerjaan memimpin produksi sebuah konser akbar yang melibatkan ribuan pemain sekalian, misal, daripada mengurus cuma beberapa puluh orang, tapi harus berembel-embel perkara pelik yang tidak ada hubungannya dengan soal kesenian ini. 

Ah! awal kesalahan sebenarnya bersumber dari dia sendiri, juga kenapa dulu mau menerima pekerjaan ini. Tapi, sudahlah, menyesali yang telah lewat tak akan pernah menyelesaikan masalah. Lagi pula siapa sih yang mau menolak honorarium delapan ratus ribu rupiah sebulan, tanpa kontrak yang mengikat, hanya untuk melatih sebuah paduan suara seminggu sekali? 

"Kecuali kalau seumpama mau pada pagelaran, ya saya minta pengertian Dik Sugeng untuk meningkatkan frekuensi latihan. Bisa dua kali seminggu, atau kalau perlu malah tiap hari menjelang hari H-nya," begitulah penjelasan Ibu Gubernur waktu pertama kali memintanya menjadi koordinator sekaligus pelatih tunggal Paduan Suara Pemda 'Swara Budaya'. 

"Bisa, Bu. Bisa saja." 

"Tentu saja nanti akan ada insentif, di samping uang transpor tetap diberikan untuk tiap kedatangan Dik Sugeng." 

"Terima kasih, Bu. Terima kasih sekali." 

"Bukan apa-apa, Dik Sugeng. Sayang kan, kalau potensi-potensi kesenian yang ada di lingkungan pemda mubazir begitu saja. Banyak lho, karyawan-karyawati kita yang diam-diam pintar menyanyi. Tapi, itulah, beraninya ya cuma di kamar mandi, sebab kalau menyanyi di kantor takut dicap indisipliner. Susah, kan?" 

"Betul, Bu. Memang susah." 

"Makanya, bakat-bakat seperti itu harus kita himpun ke dalam satu wadah. Nah, wadah yang paling tepat saya pikir paduan suara itulah. Di samping menyalurkan bakat, lewat caranya sendiri paduan suara paduan suara kan merupakan saranan latihan kedisiplinan juga." 

"Persis, Bu." 

"Bandingkan saja dengan baris-berbaris. Seratus orang serentak mengikuti aba-aba belok kanan, tapi ada satu orang yang malah berbelok ke kiri, rusaklah itu barisan. Begitu pula paduan suara. Namanya saja paduan, ya harus terpadu. Seratus orang mulai menyanyi pada hitungan ketiga, tapi satu orang saja melakukan kesalahan dengan memulai pada hitungan kedua, kacaulah itu paduan." 

"Ya-ya-ya, pasti kacau." 

"Jadi, kegiatan paduan suara pada dasarnya ialah melatih kebersamaan secara benar. Dan kebersamaan yang benar adalah salah satu tujuan pelatihan disiplin itu sendiri. Artinya, kalau pemda menyisihkan sebagian dananya untuk keperluan ini sebetulnya tidak akan sia-sia, sebab secara tidak langsung paduan suara bisa menjadi salah satu sarana peningkatan kualitas sumber daya manusia." 

***

PROGRAM latihan "Swara Budaya" benar-benar mulai dari tahap paling awal, ialah pemilihan anggota paduan suara itu sendiri. Untuk itu Sugeng harus menyeleksi ratusan karyawan-karyawati dan juga para pejabat di lingkungan pemda, ditambah dari kanwil berbagai departemen, berikut anggota keluarga yang berminat menjadi anggota. 

Dan memang, ternyata banyak sekali bakat-bakat terpendam di lingkungan yang boleh jadi dalam kesehariannya sama sekali tak pernah berhubungan dengan urusan kesenian. Walhasil, proses seleksi yang dilakukan secara mencengangkan menghasilkan sebuah kelompok yang unik sekaligus amat potensial. 

Ada - misal - seorang karyawan di bagian penerimaan Pajak Pendapatan Daerah mengaku, waktu di SMP dulu pernah menjadi juara pertama menyanyi solo tingkat kabupaten. Juga seorang karyawati Kanwil Departemen Pertanian mengatakan pernah dikontrak oleh sebuah dealer organ Yamaha untuk menyanyi pada demonstrasi-demonstrasi penjualan produk tersebut di berbagai pusat perbelanjaan, sebelum dia diangkat menjadi pegawai negeri. Ada lagi seorang kepala bagian di Kanwil Departemen Pertambangan dan Energi yang konon angker di kantor, ternyata bersuara bukan main merdu dan mengaku dirinya pelatih vocal-group Karang Taruna di kampungnya. 

"Benar kan Dik Sugeng, apa yang saya katakan dulu?" 

"Benar, Bu. Benar sekali." 

"Seleksi awal yang sudah Anda lakukan saya anggap berhasil."

"Terima kasih"

"Cuma... kalau boleh saya kepingin memberi sedikit catatan."

"Silakan, Bu"

"Setelah saya bicarakan dengan anggota pengurus yang lain, jumlah anggota yang enam puluh ternyata dianggap besar."

"Saya rasa tidak ada masalah Bu, Angka enam puluh cuma untuk mempermudah dalam pembentukan kelompok, tadinya saya membayangkan kelompok sopran, alto, tenor, dan bas masing-masing lima belas orang. Tapi, itu tidak mutlak. Seperti kelompok bas misal, nantinya memang tidak akan sebanyak ini, sebab kelompok pria bersuara rendah kalau jumlahnya sama dengan kelompok-kelompok lain akan cenderung dominan."

"Mungkin secara keseluruhan bisa dikurangi menjadi lima puluh, begitu?"

"Bisa, Bu. Bisa"

"Nah, dalam pengurangan nanti, tolonglah dipikirkan juga faktor-faktor yang bagi Dik Sugeng mungkin tidak begitu berarti, tapi bagi kami bisa menjadi.... apa ya?" Dibilang ganjalan sebenarnya kurang tepat juga begitu."

"Maksud Ibu?"

"To the point sajalah, ya? Coba kita lihat daftar yang Anda buat. Nah, seperti Pak Yadi ini. Dia kan... pesuruh kantor. Saya dengar juga masih honorer. Bukan maksud saya mau membeda-bedakan status, lho, tapi saya berpikir untuk kepentingan dia juga. Maksud saya, setelah seharian bekerja secara fisik, apa dia masih punya sisa tenaga untuk tarik suara?"

Saat itu ada desir halus menyentuh perasaan Sugeng.

"Juga si Umi. Saya tahu suaranya memang bagus. "Tapi suami dia juru ketik yang masih golongan I-a. Apa nantinya tidak kerepotan kalau harus bergaul dengan ibu-ibu yang lain? Dia masuk kelompok Sopran ya? Wah, di kelompok ini ada Bu Kun,lagi. Padahal Pak Kun itu kepala bagian di tempat kerja suami Umi. Artinya suami Umi itu bawahannya-bawahannya-bawahan Pak Kun. Kasihan Umi, kan, kalau harus berbincang-bincang dengan Bu Kun? Coba, mau ngomong apa dia nanti."

Sugeng tak berkomentar apa-apa.

"Nah, kalau Pak Krisno ini jangan ditarik. Kasihan dia, dari dulu kepingin sekali ikut. Dik Sugeng memberi nilai terendah, ya? Memang sih, suaranya tidak bagus-bagus amat. Tapi biarlah. Lagipula dia kasir pemda. Kalau ada urusan apa-apa bisa lancar."

Sugeng mengangguk-anggukkan kepalanya, semata-mata karena tak tahu lagi perbuatan apa yang paling pantas dilakukannya selain itu.

"Oh, ya! Sebelum lupa saya mau titip. Nanti ada yang namanya, Bu Monda. Belum masuk daftar, kan? Dia memang tidak ikut seleksi, tapi sebenarnya suaranya bagus sekali. Lima tahun yang lalu dia pernah masuk bintang radio."

"Memperoleh nomor?"

"Nggak, sih..., tapi dari situ saya melihat keberanian dan semangat dia yang luar biasa. Untuk itu saya minta pada Dik Sugeng, tolong deh, sepupu Bapak itu dimasukkan?"

 Begitulah, setelah melalui proses perampingan yang di dasarkan atas pertimbangan-pertimbangan jabatan, status, pangkat, pengaruh, maupun hubungan kekerabatan, jumlah anggota paduan suara "Swara Budaya" sempat berkurang menjadi empat puluh delapan orang. Atas pertimbangan-pertimbangan yang sama pula maka-kali ini setelah melalui proses "Peninjauan Kembali" - jumlah tersebut pada minggu pertama membengkak menjadi lima puluh delapan, dan selewat bulan kedua menjadi delapan puluh orang!

"Saya mohon Dik Sugeng bisa memahami perkembangan yang begitu dinamis ini," demikian Ibu Gubernur berujar. "Menghadapi keadaan seperti ini kita harus pandai-pandai bersikap dengan tetap mengingat bahwa bagaimanapun kita ini orang timur. Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan di kita masih tinggi. Maka ketentuan yang kita buat pun kaku. Apalagi kalau cuma soal jumlah anggota. Yang penting kan kekompakan. Nah, soal mengatur kekompakan ini kan sudah menjadi keahlian Dik Sugeng."

 Dan, nyatanya sampai dengan tahap ini. Sugeng masih sanggup membentuk formasi yang cukup kompak. Anggota-anggota yang memang bervokal kuat diperselang-selingkan sedemikian rupa dengan anggota-anggota titipan yang giliran harus menyannyi kadang ikut membuka mulut kadang tidak, dan yang waktu membuka mulut pun kadang bisa mengeluarkan suara kadang tidak.

"Nah, satu hal lagi. Kalau ini saya cuma benar-benar cuma ingin membantu Dik Sugeng. Pergelaran perdana kita pada acara tujuh belas Agustusan di Balai kota nanti ada lagu Hamba Menyanyi, kan?"

"Ya, Bu."

"Ada bagian nyanyi tunggalnya?"

"Ada, Bu."

"Sudah ditentukan solis-nya siapa?"

"Baru saya seleksi."

"Tidak makan waktu terlalu lama? Nanti tidak keburu, lho?

"Sudah ada beberapa calon."

"Kalau begitu biar Eti sajalah."

"Eti yang... banyak bekas jerawatnya?"

"Iya, itu anak saya."

***
BAGAIMANA Sugeng tidak merasa masygul!
Selama ini Eti dia kenal sebagai anggota yang "lebih pantas menjadi pemain sepak bola saja daripada menyanyi. "Kualitas vokalnya dibawah standar, kecantikannya pun pas-pasan. Kalau di stimulir secara khusus sebenarnya dia bisa bersuara lantang, tapi nada dasarnya selalu menyimpang dari intro. Kalaupun tidak menyimpang-ketika harus masuk dengan nada C, misal-maka nada C yang dinyanyikannya bisa satu oktaf lebih tinggi dari yang seharusnya, hingga terdengar melengking di luar kendali. 

Dan ternyata anggota yang satu itu adalah putri Ibu Gubernur! Telah ditentukan harus menjadi solis pula!

Sempat terlintas dalam benak Sugeng untuk menghentikan semua itu. Bubar! Tapi apa kata orang nanti tentang dirinya? Tanggung jawabnya? Lagi pula kenyataannya ia sudah menerima bayaran besar. Atau dikembalikan saja uang itu? Ah, berat juga mengumpulkan lagi dua setengah juta rupiah lebih jumlah total honornya selama ini. Kalau toh uang itu masih ada, rasa-rasanya sayang pula melepasnya lagi. 

Akhirnya Sugeng memutuskan untuk jalan terus. Tidak bisa tidak ini harus diselesaikan. Minimal sampai dengan pergelaran pertama pada acara tujuh belas Agustusan di Balai Kota nanti.

Tak urung ia menderita stress teramat berat. Semula ia berniat cuek, main tak peduli, tapi nyatanya tetap ia peduli dengan suara Eti yang tak kunjung beraturan itu.

Satu-satunya jalan ialah: latihan habis-habisan. Atas permintaan sendiri, yang tentu saja sangat di duking oleh Ibu Gubernur-Sugeng menyelenggarakan les privat bagi Eti. Maka tiadalah hari yang berlalu tanpa latihan vokal. Di ruangan, di lapangan, di pantai, di tempat sunyi. Tak henti-henti. Hah! Hah! Hah! Hah! Do-re-mi-fa-sol-la-si-do do-si-la-sol-fa-mi-re-do!

Hasilnya?

Ternyata tak ada kemajuan. Sugeng pun pasrah. Kualitas pergelaran terbayang sudah. Paduan suara yang sebenarnya tidak terlalu buruk itu bakal kandas oleh suara solis yang serak-serak-pecah.

***
MENIT-MENIT terakhir menjelang pergelaran Sugeng tak bisa bertahan lagi. Perutnya mual. Kepalanya pusing. Dan persis giliran paduan suara "Swara Budaya" tampil di panggung. Ia bersembunyi di kamar kecil. Samar-samar terdengar alunan lagu pertama... lagu kedua... Dan begitu masuk lagu Hamba Menyanyi, buru-buru ia menutup sepasang telinganya, gentar untuk mendengar lengkingan suara Eti.Tapi Celaka! Suara dari panggung itu tetap saja bergaung. Lebih-lebih gemuruh teriakan yang membahana itu! Pastilah pekik kekecewaan! pastilah kegaduhan! Pastilah pelecehan!

Tapi bukan... Ternyata itu suara tepuk-tangan! Gemuruh seruan pujian! Begitu meriahnya! Ya, suara tepuk tangan yang terdengar seusai Eti menyanyi! Mimpikah ini? Halusinasikah? Bukan. Yang di dengarnya adalah kenyataan yang senyata-nyatanya. 

Sugeng lari ke tempat pertunjukan. Melongok ke arah penonton. Ya! Mereka benar-benar berdiri memberikan tepuk tangan! Sementara di panggung Sana Eti dan anggota paduan suara yang lain berkali-kali membungkukkan badan!

Begitulah, berangsur-angsur gemuruh tepuk tangan mereda pula. Sugeng menghembuskan napasnya keras-keras, lalu ikut duduk di samping seorang penonton. Ia pun mengambil sebatang rokok, menyalakannya hati-hati, menghisapnya pelan, mengepulkan asapnya penuh kenikmatan. "Bagus ya, Pak, paduan suaranya?" 

"Yah, bagus nggak bagus kita tepuk tangan sajalah. Anak Pak Gubernur yang menyanyi, masa kita teriaki suruh turun." 

Sekonyong-konyong Sugeng tersedak, mirip orang baru belajar merokok. 
   
Yogyakarta, 1 Februari 1994
 Kompas, 27 Maret 1994

Sumber
Penulis : Jujur Prananto
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995) 
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Kalimantan Selatan, Gunung Batu Bangkai

08.38 0
Cerita Rakyat Propinsi Kalimantan Selatan, Gunung Batu Bangkai
Loksado adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Indonesia. Di daerah ini terdapat sebuah gunung yang memiliki nama yang cukup unik, yaitu Gunung Batu Bangkai. Masyarakat setempat menamakannya demikian, karena di gunung tersebut ada sebuah batu yang mirip dengan bangkai manusia. Konon, kehadiran batu bangkai tersebut berasal dari sebuah cerita legenda yang sampai saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Banjar Hulu di Loksado, Kabupatan Hulu Sungai Selatan. Cerita legenda ini mengisahkan tentang seorang anak laki-laki bernama Andung Kuswara yang durhaka pada Umanya. Tuhan menghukum si Andung menjadi batu. 

Konon, pada zaman dahulu, di satu tempat di Kecamatan Loksado, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Andung Kuswara. Ia seorang anak yang baik dan pintar mengobati orang sakit. Ilmu pengobatan yang ia miliki diperoleh dari Abahnya yang sudah lama meninggal. Andung dan Umanya hidup rukun dan saling menyayangi. Setiap hari mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Andung mencari kayu bakar atau bambu ke hutan untuk membuat lanting untuk di jual, sedangkan Umanya mencari buah-buahan dan daun-daunan muda untuk sayur.

Suatu hari, Andung pergi ke hutan seorang diri. Karena keasyikan bekerja, tak terasa waktu telah beranjak senja, maka ia pun bergegas pulang. Di tengah perjalanan, ia mendengar jeritan seseorang minta tolong. Andung segera berlari menuju arah suara itu. Ternyata, didapatinya seorang kakek yang kakinya terjepit pohon. Andung segera menolong dan mengobati lukanya. "Terima kasih banyak, anakku!" Dia kemudian mengambil sesuatu dari lehernya. "Hanya benda ini yang dapat aku berikan aku berikan sebagai tanda terima kasih. Mudah-mudahan kalung ini membawa keberuntungan bagimu," ucap kakek itu seraya mengulurkan sebuah kalung kepada Andung. Setelah mengobati kakek itu, Andung bergegas pulang ke rumahnya.

Sesampai di rumah, Andung menceritakan kejadian tadi kepada Umanya. Usai bercerita, Andung menyerahkan kalung pemberian kakek itu sambil berkata " Uma, tolong simpan kalung ini baik- baik". Umanya menerima dan memerhatikan benda itu dengan seksama. " Sepertinya ini bukan kalung sembarangan, Nak. Lihatlah, sungguh indah!" kata Uma Andung dengan takjub. Setelah itu, Uma Andung menyimpan kalung tersebut di bawah tempat tidurnya.

Kehidupan terus berjalan. Pada suatu hari, Andung terlihat termenung seorang diri. "Ya Tuhan, apakah kehidupanku akan seperti ini selamanya? Aku ingin hari depanku lebih baik daripada hari ini. Tapi...bagaimana caranya?" kata Andung dalam hati. Sejenak ia berpikir mencari jalan keluar, Tiba - tiba, terlintas dalam pikiran Andung untuk pergi merantau. "Hmm....lebih baik aku merantau saja. Dengan begitu aku dapat mengamalkan ilmu pengobatan yang telah aku peroleh dari Abah dulu. Siapa tahu dengan merantau akan mengubah hidupku," gumam Andung dengan semangat. Namun, apa yang ada dalam pikirannya tidak langsung ia utarakan kepada Umanya. Rasa ragu masih menyelimuti hati dan pikirannya. Jika ia pergi merantau, tinggallah Umanya sendiri. Tetapi, jika ia hanya mencari kayu bakar dan bambu setiap hari, lalu kapan kehidupannya bisa berubah. Pikiran-pikiran itulah yang ada dalam benaknya. 

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Andung benar-benar sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Keraguannya untuk meninggalkan Umanya pun lenyap. Dorongan hati Andung untuk merantau sudah tak terbendung lagi. Suatu hari ia pun mengutarakan maksud hatinya kepada Umanya. "Uma, Andung ingin mengubah nasib kita. Andung memutuskan untuk pergi merantau ke negeri seberang. Oleh karena itu, Andung mohon izin dan doa restu, Uma," kata Andung dengan hati-hati memohon pengertian Umanya."Anakku, sebenarnya Uma sudah bersyukur dengan keadaan kita saat ini. Tetapi, jika keinginan hatimu sudah tak terbendung lagi, dengan berat hati Uma akan melepas kepergianmu sahut Uma Andung memberikan izin.

Setelah mendapat restu dari Umanya, Andung segera berkemas dengan bekal seadanya. Andung membawa masing-masing sehelai kain, baju dan celana. Memang hanya itu yang ia miliki. Ketika Andung hendak meninggalkan gubuk reotnya, Uma berpesan kepadanya. "Andung...,ingatlah Uma. Ingat kampung halaman dan tanah leluhur kita. Jangan pernah melupakan Tuhan Yang Maha kuasa. Walau berat, Uma tidak bisa melarangmu pergi. Jika takdir menghendaki, kita tentu akan berkumpul kembali," kata sang Uma dengan sedihnya. 

Mendengar nasehat Umanya, Andung tak kuasa menahan air matanya. "Andung, bawalah kalungmu ini. Siapa tahu kelak kamu memerlukannya," ujar Uma Andung melanjutkan. Setelah menerima kalung itu, Andung kemudian berpamitan kepada Umanya. Andung mencium tangan Umanya, lalu Umanya langsung membalasnya dengan pelukan erat. Sesaat, suasana haru pun meliputi hati keduanya. Ketika Uma memeluk Andung, beberapa tetes air mata mengucur dari kelopak matanya, jatuh di atas pundak Andung. "Maafkan Andung, Uma! Andung berjanji akan segera kembali jika sudah berhasil kata Andung memberikan harapan kepada Umanya. "Iya Nak. Cepatlah kembali kalau sudah berhasil! Hanya kamulah satu-satunya milik Uma di dunia ini," jawab Uma penuh harapan. Beberapa saat kemudian, Uma berucap kepada Andung. "Segeralah berangkat Andung, agar kamu tak kemalaman di tengah hutan."

Andung mencium tangan Umanya untuk terakhir kalinya, lalu pamit. Andung berangkat diiringi lambaian tangan Uma yang dikasihinya. Selamat jalan, anakku. Jangan lupa cepat kembali," teriak Uma dengan suara serak. "Tentu, Uma!" sahut Andung sambil berjalan menoleh ke arah Umanya. "Jaga diri baik-baik, Uma! Selamat tinggal! Uma baru beranjak dari tempatnya setelah Andung yang sangat disayanginya hilang di balik pepohonan. Sejak itu, tinggallah Uma Andung sendirian di tengah hutan belantara.

Berbulan-bulan sudah Andung meninggalkan Umanya. Andung terus berjalan. Banyak kampung dan negeri telah dilewati. Berbagai pengalaman ia dapat. Ia juga telah mengobati setiap orang yang memerlukan bantuannya. Suatu siang yang terik, tibalah Andung di Kerajaan Basiang yang tampak sunyi. Saat menyusuri jalan desa, Andung bertemu dengan seorang petani yang kulitnya penuh dengan koreng dan gatal. Andung kemudian mengobati petani itu. Dari orang tersebut Andung mengetahui jika negeri Basiang sedang tertimpa malapetaka berupa wabah penyakit kulit. Karena berhutang budi kepada Andung, orang itu mengajak Andung tinggal di rumahnya. Setiap hari, penduduk yang terjangkit penyakit berdatangan ke rumah orang tua itu untuk berobat kepada Andung.

Seluruh penduduk yang telah diobati oleh Andung sembuh dari penyakitnya. Berita perihal kepandaian Andung dalam mengobati pun menyebar ke seluruh negeri. Suatu hari, berita kepandaian Andung mengobati penyakit tersebut akhirnya sampai ke telinga Raja Basiang. Sang raja pun mengutus hulubalang menjemput Andung untuk mengobati putrinya. Beberapa lama kemudian, hulubalang tersebut sudah kembali ke istana bersama Andung. Andung yang miskin dan kampungan itu sangat takjub melihat keindahan bangunan isatana. Ia berjalan sambil mengamati setiap sudut istana. Ia berjalan sambil mengamati setiap sudut istana yang dihiasi ratna mutu manikam. Tak disadari, ternyata sang Raja sudah ada di hadapannya. Andung pun segera memberi salam dan hormat kepadanya. "Salam sejahtera, Tuanku," sapa Andung kepada Baginda.

Sang raja menyambut Andung dengan penuh harapan. Dia kemudian menyampaikan maksudnya kepada Andung. "Hai anak muda! Ketahuilah, putriku sudah dua minggu tergolek tak berdaya. Semua tabib di negeri ini sudah saya kerahkan untuk mengobatinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkannya. Apakah kamu bersedia menyembuhkan putriku?" tanya sang raja. "Hamba hanya seorang pengembara miskin. Pengetahuan obat-obatan yang hamba miliki pun sedikit. Jika nantinya hamba gagal menyembuhkan Tuan Putri, hamba mohon ampun paduka," kata Andung merendah.

Andung pun dipersilahkan masuk ke kamar Putri. Putri tergolek kaku di atas pembaringannya. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya tertutup rapat. Walaupun pucat pasi, wajah sang Putri tetap memancarkan sinar kecantikannya. "Aduhai, cantik sangat sang putri," ucap Andung menaruh hati kepada sang Putri. Sesaat kemudian, Andung pun mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk membangunkan sang Putri. Namun, sang Putri tetap tak bergerak. Andung mulai panik. Tiba-tiba, hati Andung bergerak untuk mengambil kalung pemberian kakek yang ditolongnya dulu. Andung meminta kepada pegawai istana agar disiapkan air dalam mangkuk. Setelah air tersedia, lalu Andung segera merendam kalungnya beberapa saat. Kemudian air rendaman diambil dan dibacakan doa, lalu ia percikkan beberapa kali ke mulut sang Putri. Tak lama kemudian, sang putri pun terbangun. Matanya yang kuyu perlahan-lahan terbuka. Wajahnya segar kembali. Akhirnya Putri dapat bangkit dan duduk di pembaringan.

Semua penghuni istana turut bergembira dan merayakan kesembuhan sang Putri. Paduka Raja sangat berterima kasih atas kesembuhan putri satu-satunya yang sangat ia cintai. Atas jasanya tersebut, Andung kemudian dinikahkan dengan sang Putri. Pesta perkawinan dilaksanakan tujuh hari tujuh malam. Semua rakyat bersuka ria merayakannya. Putri tampak berbahagia menerima Andung sebagai suaminya. Demikian pula Andung yang sejak pandangan pertama sudah jatuh cinta pada sang Putri. Mereka berdua melalui hari-hari dengan hidup bahagia. Minggu dan bulan terus berganti. Istri Andung pun hamil. Dalam kondisi hamil muda sang Putri mengidam buah kasturi yang hanya tumbuh di Pulau Kalimantan. Karena cintanya kepada sang Putri begitu besar, Andung pun mengajak beberapa hulubalang dan prajurit untuk ikut bersamanya mencari buah kasturi ke Pulau Kalimantan.

Setibanya di Pulau Kalimantan, Andung berangkat ke daerah Loksado untuk mencari sebatang pohon kasturi yang dikabarkan sedang berbuah di sana. Alangkah terkejutnya Andung, karena pohon kasturi itu berada tepat di depan rumahnya dulu. Andung segera mengajak hulubalang dan para prajuritnya kembali. Rupanya ia tidak mau bertemu dengan Umanya.

Mendengar keributan di luar rumahnya, seorang nenek tua renta berjalan terseok-seok menuju ke arah rombongan tersebut. "Andung....., Andung Anakku.....! suara nenek tua yang serak memanggil Andung. Dengan terbungkuk-bungkuk nenek itu mengejar rombongan Andung.

Andung menoleh. Ia tersentak kaget melihat sang Uma yang dulu ditinggalkannya sudah tua renta. Karena malu mengakui sebagai Umanya, Andung membentak, "Hai nenek tua! Aku adalah Raja keturunan bangsawan. Aku tidak kenal dengan nenek renta dan dekil sepertimu!" ujar Andung kemudian memalingkan muka dan pergi.

Hancur luluh hati sang Uma dibentak dan dicaci maki oleh putra kandungnya sendiri. Nenek tua yang malang itu pun berdoa, "Ya, Tuhan Yang Mahakuasa, tunjukkanlah kekuasaan dan keadilan-Mu," nenek tua renta itu berucap pelan dengan bibir bergetar. Belum kering air liur tua renta itu berdoa, halilintar sambar-menyambar membelah bumi. Kilat sambung-menyambung. Langit mendadak gelap gulita. Badai bertiup menghempas keras. Tak lama kemudian, hujan lebat tumpah dari langit. Andung berteriak dengan keras, "Maafkan aku, Uma....!" Tapi siksa Tuhan tak dapat dicabut lagi. Tiba-tiba Andung berubah menjadi batu berbentuk bangkai manusia.

Sejak itu, penduduk di sekitarnya menamai gunung tempat peristiwa itu terjadi dengan sebutan Gunung Batu Bangkai, karena batu yang mirip dengan bangkai manusia itu berada di atas gunung. Gunung Batu Bangkai ini dapat dijumpai di Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
 
 Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Kalimantan Tengah, Asal Mula Danau Malawen

04.35 0
Cerita Rakyat Propinsi Kalimantan Tengah, Asal Mula Danau Malawen
Danau Malawen adalah sebuah danau yang terletak di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, Indonesia. Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat setempat, danau yang di tepiannya terdapat beberapa jenis anggrek ini dahulu merupakan sebuah aliran sungai yang di dalamnya hidup berbagai jenis ikan. Namun, karena terjadi peristiwa yang mengerikan. Sungai itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah yang menyebabkan sungai itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat kita ikuti dalam cerita Asal Mula Danau Malawen berikut ini. 

Alkisah, di tepi sebuah hutan di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia, hiduplah sepasang suami-istri miskin. Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka senantiasa saling menyayangi dan mencintai. Sudah sepuluh tahun mereka berumah tangga, namun belum juga di karuniai seorang anak. Sepasang suami-istri tersebut sangat merindukan kehadiran seorang buah hati belahan jiwa untuk melengkapi keluarga mereka. Untuk itu, hampir setiap malam mereka berdoa memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar impian tersebut dapat menjadi kenyataan. 

Pada suatu malam, usai memanjatkan doa, sepasang suami-istri pergi beristirahat. Malam itu, sang istri bermimpi di datangi oleh seorang lelaki tua. "Jika kalian menginginkan seorang keturunan, kalian harus rela pergi ke hutan untuk bertapa." ujar lelaki tua dalam mimpinya itu. Keesokan harinya, sang istri pun menceritakan perihal mimpinya tersebut kepada suaminya.

"Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?" tanya sang Istri.

"Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan," jawab sang suami.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita harus melaksanakan petunjuk kakek itu?" Sang istri kembali bertanya.

"Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha. Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar", jawab suaminya.

Keesokan harinya, usai menyiapkan bekal seadanya, sepasang suami-istri itu pun pergi ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat dan sunyi. Mereka pun membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat bertapa.

Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata dan memusatkan perhatian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sudah berminggu-minggu mereka bertapa, namun belum juga memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk. Meskipun harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka terus melanjutkan melanjutkan pertapaan hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan pun mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya Tuhan Yang Maha Kuasa sedang menguji kesabaran mereka.

Pada hari keseratus, kedua suami-istri itu benar-benar sudah tidak tahan lagi menahan rasa lapar, haus dan kantuk. Maka pada saat itulah, seorang lelaki tua menghampiri dan berdiri di belakang mereka. "Hentikanlah pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian. Tunggulah saatnya, kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan! ujar kakek itu.

Mendengar seruan itu, sepasang suami-istri itu pun segera menghentikan pertapaan mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat membuka mata dan menoleh ke belakang. Mereka sudah tidak melihat lagi kakek yang berseru itu. Akhirnya mereka pun memutuskan pulang ke rumah dengan berharap tapa mereka akan membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.

Sesampainya di rumah, suami-istri itu kembali melakukan pekerjaan sehari-hari mereka sambil menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui berhari-hari penantian, akhirnya mereka mendapatkan sebuah tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam keluarga mereka. Suatu sore, sang istri, merasa seluruh badannya tidak enak.

"Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal dan perutku mual-mual?" kata sang istri mengeluh.

"Wah, itu pertanda baik, istriku! Itu adalah tanda-tanda Adik hamil," jawab sang suami dengan wajah berseri.

"Benarkah itu, bang?" tanya sang istri yang tidak mengerti hal itu. Karena baru kali ini ia mengalami masa kehamilan.

"Benar, istriku!" jawab sang suami.

Sejak saat itu, selalu ingin makan buah-buahan yang asam dan makanan yang pedas-pedas. Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin yakinlah sang suami bahwa istrinya benar-benar sedang hamil.

"Oh, Tuhan terima kasih!" ucap sang suami.

Usai mengucapkan syukur, sang suami mendekati istrinya dan mengusap-ngusap perut sang istri.

"Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak. Jagalah baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!" ujar sang suami.

Waktu terus berjalan, usia kandungan sang istri genap berusia sembilan bulan, pada suatu malam sang istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan bahagianya sepasang suami-istri itu, karena anak yang selama ini mereka idam-idamkan telah mereka dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang.

Ketika Kumbang Banaung berusia remaja dan sudah mengenal baik dan buruk, mereka memberinya petuah atau nasehat agar ia menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan selalu berlaku santun serta bertutur sopan kemana pun pergi.
Wahai anak dengarlah petuah 
kini dirimu lah besar panjang 
umpama burung lah dapat terbang 
umpama kayu sudah berbatang 
umpama ulat lah mengenal daun 
umpama serai sudah berumpun 
banyak amat belum kau dapat
banyak penganyar belum kau dengar 
banyak petunjuk belum kau sauk 
banyak kaji belum terisi 
maka sebelum engkau melangkah 
terimalah petuah dengan amanah 
supaya tidak tersalah langkah 
supaya tidak terlanjur lidah 
pakai olehmu adat merantau 
di mana bumi dipijak 
di sana langit di junjung 
di mana air disauk
di sana ranting di patah di mana badan berlabuh
di sana adat dipatah 
di mana badan berlabuh 
di sana ada di patuh 
apalah adat orang menumpang : 
berkata jangan sembarang-barang 
berbuat jangan main belakang 
adat istiadat lembaga dituang
dalam bergaul tenggang menenggang 

Selain itu, Sang Ayah juga mengajari Kumbang Banaung cara berburu. Setiap hari ia mengajaknya ke hutan untuk berburu binatang dengan menggunakan sumpit. Seiring berjalannya waktu. Kumbang Banaung pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan rupawan.

Pada suatu hari, Sang Ayah sedang sakit keras. Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk menemaninya pergi berburu ke hutan.

"Maafkan Ayah, Anakku! ayah tidak bisa menemanimu. Bukankah kamu tahu sendiri kalau Ayah sekarang sedang sakit," kata sang Ayah dengan suara pelan.

"Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu," sahut sang Ibu.

"O Iya, Anakku! ini ada senjata pusaka untukmu. Namanya piring malawen. Piring Pusaka ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja, " kata sang Ayah sambil memberikan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung.

Kumbang Banaung pun mengambil piring pusaka itu dan menyelipkan ke pinggangnya. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ia ke hutan seorang diri. Sesampainya di hutan. Ia pun memulai perburuannya. Namun, hingga hari menjelang siang, ia belum juga mendapatkan seekor pun binatang buruan. Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk melanjutkan perburuannya dengan menyusuri hutan tersebut. Tanpa disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke dalam hutan dan tersesat di dalamnya.

Ketika mencari jalan keluar dari hutan, ternyata Kumbang Banaung sampai di sebuah desa bernama Sanggu. Desa itu tampak sangat ramai dan menarik perhatian Kumbang Banaung. Rupanya di desa tersebut sedang diadakan upacara adat yang diselenggarakan Kepala Desa mengantar masa pingitan anak gadisnya yang bernama Intan menuju masa dewasa. Upacara adat itu diramaikan dengan pagelaran tari.

Saat ia sedang asyik menyaksikan para gadis menari, tiba-tiba matanya tertuju pada kepada wajah seorang gadis yang duduk di atas panggung. Gadis itu tidak lain adalah Intan, putri Kepala Desa Sanggu. Mata Kumbang Banaung tidak berkedip sedikit pun melihat kecantikan wajah si Intan.

"Wow, cantik sekali gadis itu," kata Kumbang Banaung dalam hati penuh takjub.

Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya. Setelah berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di rumah.

"Kamu dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?" tanya ibunya yang cemas menunggu kedatangannya.

Kumbang Banaung pun bercerita bahwa ia sedang tersesat di tengah hutan. Namun, ia tidak menceritakan kepada orang tuanya perihal kedatangannya ke Desa Sanggu dan bertemu dengan gadis-gadis cantik. Pada malam harinya Kumbang Banaung tidak bisa memejamkan matanya, karena teringat terus pada wajah Intan.

Keesokan harinya, Kumbang Banaung berpamitan kepada orang tuanya ingin berburu ke hutan. Namun, secara diam-diam ia kembali lagi ke Desa Sanggu ingin menemui si Intan. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa Intan adalah gadis cantik yang ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya. Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada Kumbang Banaung. Namun, keduanya masih menyimpan perasaan itu di dalam hati masing-masing.

Sejak saat itu, Kumbang Banaung sering pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Namun, tanpa di sadari, gerak-geriknya diawasi dan menjadi pembicaran penduduk setempat. Menurut mereka, perilaku Kumbang Banaung dan Intan telah melanggar adat di desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis sebayanya. Oleh karena tidak ingin putrinya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan pun menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di desa itu.

Pada suatu hari, Kumbang Banaung mengungkapkan perasaannya kepada Intan. "Intan, maukah engkau menjadi kekasih, Abang?" tanya Kumbang Banaung. Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya sedang diselimuti perasaan bimbang. Di satu sisi, ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di sisi lain ia telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan. Ia sebenarnya tidak menerima perjodohan itu, karena juragan rotan itu telah memiliki tiga orang anak. Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia pun terpaksa menerimanya.

"Ma... maafkan Aku, Bang!" jawab Intan gugup.

"Ada apa Intan? Katakanlah!" desak Kumbang Banaung.

Setelah beberapa kali didesak oleh Kumbang Banaung, akhirnya Intan menceritakan keadaan yang sebenarnya. Intan juga mengaku bahwa ia juga suka kepaanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya. Mengetahui keadaan Intan tersebut, Kumbang Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan niatnya kepada kedua orangtuanya agar segera melamar Intan.

"Kita ini orang miskin, Anakku. Tidak pantas melamar anak orang kaya,"ujar sang Ayah.

"Benar kata Ayahmu, Nak! Lagipula, tidak mungkin orangtua Intan akan menerima lamaran kita," sahut Ibunya.

"Tidak Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi istriku," tukas Kumbang Banaung.

"Jangan anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh menemui Intan lagi!" perintah ayahnya.

Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat kedua orangtuanya. Ia tetap bersikeras ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu malam, suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari.

"Intan, bagaimana kalau kita kawin saja," bujuk Kumbang Banaung.

"Iya, Bang, aku setuju! Aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak," kata Intan.

Setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman, keduanya berjalan mengendap-endap ingin meninggalkan desa itu. Namun, baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang meronda melihat mereka.

"Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan Intan," kata salah seorang warga.

"Iya benar! sepertinya si Kumbang akan membawa lari si Intan," sahut seorang warga lainnya.

Menyadari niatnya diketahui warga, Kumbang Banaung dan Intan pun segera berlari ke arah sungai.

"Ayo kita kejar mereka!" seru seorang warga.

Kumbang Banaung dan Intan pun makin mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, ketika sampai di sungai, mereka tidak dapat menyeberang.

"Bang, apa yang harus kita lakukan. Orang-orang desa pasti akan menghukum kita," kata Intan dengan terengah-engah.

Dalam keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba teringat pada piring malawen pemberian ayahnya. Ia pun segera mengambil piring pusaka itu dan melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Mereka pun menaiki piring itu untuk menyeberangi sungai. Mereka tertawa gembira karena merasa selamat dari kejaran warga. Namun, ketika sampai di tengah sungai, cuaca yang semula terang, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Beberapa saat berselang, hujan deras pun turun disertai angin kencang. Suara guntur bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar. Gelombang air sungai pun menghantam piring malawen yang mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa saat kemudian, sungai itu pun menjelma danau.

Oleh masyarakat setempat, danau itu diberi nama Danau Malawen. Sementara Kumbang dan Intan menjelma menjadi dua ekor buaya putih. Konon, sepasang buaya putih tersebut menjadi penghuni abadi Danau Malawen.
 
 Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Kalimantan Barat, Semangka Emas

18.50 0
Cerita Rakyat Propinsi Kalimantan Barat, Semangka Emas
Pada Zaman dahulu kala, di Sambas, hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Saudagar tersebut mempunyai dua orang anak laki-laki. Anaknya yang sulung bernama Muzakir, dan yang bungsu bernama Dermawan. Muzakir sangat loba dan kikir. Setiap hari kerjanya hanya mengumpulkan uang saja. Ia tak peduli kepada orang-orang miskin. Sebaliknya Dermawan sangat berbeda tingkah lakunya. Ia tidak rakus dengan uang dan selalu bersedekah kepada fakir miskin. 

Sebelum meninggal, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada kedua anaknya. Maksudnya agar anak-anaknya tidak berbantah dan saling iri, terutama bila ia telah meninggal kelak. 

Muzakir langsung membeli peti besi. Uang bagiannya dimasukkan ke dalam peti tersebut, lalu dikuncinya. Bila ada orang miskin datang, bukannya ia memberi sedekah, melainkan ia tertawa terbahak-bahak melihat orang miskin yang pincang, buta dan lumpuh itu. Bila orang miskin itu tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir memanggil orang gajiannya untuk mengusirnya. 

Akhirnya orang-orang miskin tersebut berduyun-duyun datang ke rumah Dermawan. Dermawan selalu menyambut orang-orang miskin dengan senang hati. Mereka dijamunya makan dan diberi uang karena ia merasa iba melihat orang miskin dan melarat. 

Lama-kelamaan uang Dermawan habis dan ia tak sanggup lagi membiaya kebutuhan rumahnya yang besar. Ia pun pindah ke rumah yang lebih kecil dan harus bekerja. Gajinya tidak seberapa, sekedar cukup makan saja. Tetapi ia sudah merasa senang dengan hidupnya yang demikian. 

Muzakir tertawa terbahak-bahak mendengar berita Dermawan yang dianggapnya bodoh itu. Muzakir telah membeli rumah yang lebih bagus dan kebun kelapa yang luas. 

Suatu hari Dermawan duduk-duduk melepaskan lelah di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba jatuhlah seekor burung pipit di hadapannya. Burung itu mencicit-cicit kesakitan. "Kasihan," kata Dermawan. "Sayapmu patah, ya?" lanjut Dermawan seolah-olah ia berbicara dengan burung pipit itu. Ditangkapnya burung tersebut, lalu diperiksanya sayapnya. Benar saja, sayap burung itu patah. "Biar kucoba mengobatimu," katanya. Setelah diobatinya lalu sayap burung itu dibalutnya perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu diberinya makan. 

Burung itu menjadi jinak dan tidak takut kepadanya. Beberapa hari kemudian, burung itu telah dapat mengibaskan sayapnya, dan sesaat kemudian ia pun terbang. Keesokan harinya ia kembali mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji, dan biji itu diletakkan di depan Dermawan. Dermawan tertawa melihatnya. Biji itu biji biasa saja. Meskipun demikian senang juga hatinya menerima pemberian burung itu. Biji itu ditanam di belakang rumahnya.

Tiga hari kemudian, tumbuhlah biji itu. Yang tumbuh adalah pohon semangka. Tumbuhan itu dipelihara baik-baik sehingga tumbuh dengan subur. Pada mulanya Dermawan menyangka akan banyak buahnya. Tentulah ia akan kenyang makan buah semangka dan selebihnya akan ia serahkan kepada fakir miskin. Tetapi aneh, meskipun bunganya banyak, yang menjadi buah hanya satu. Ukuran semangka ini luar biasa besarnya, jauh lebih besar dari semangka pada umumnya. Sedap kelihatannya dan harum pula baunya. 

Setelah masak, Dermawan memetik buah semangka itu. Amboi, bukan main beratnya. Ia terengah-engah mengangkatnya dengan kedua tanganya. Setelah diletakannya di atas meja, lalu diambilnya pisau. Ia membelah semangka itu. 

Setelah semangka terbelah, betapa kagetnya Dermawan. Isi semangka itu berupa pasir kuning yang bertumpuk di atas meja. Ketika diperhatikannya dengan sungguh-sungguh, nyatalah bahwa pasir itu adalah emas urai murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia mendengar burung mencicit di luar, terlihat burung pipit yang pernah ditolongnya hinggap di sebuah tonggak. "Terima kasih! Terima Kasih!" kata Dermawan. Burung itu pun kemudian terbang tanpa kembali lagi. 

Keesokan harinya Dermawan membeli rumah yang bagus dengan pekarangan yang luas sekali. Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Tetapi Dermawan tidak akan jatuh miskin seperti dahulu, karena uangnya amat banyak dan hasil kebunnya melimpah ruah. Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. Muzakir yang ingin mengetahui rahasia adiknya lalu pergi ke rumah Dermawan. Di sana Dermawan menceritakan secara jujur kepadanya tentang kisahnya. 

Mengetahui hal tersebut, Muzakir langsung memerintahkan orang-orang gajiannya mencari burung yang patah kaki atau patah sayapnya di mana-mana. Namun, sampai satu minggu lamanya, seekor burung yang demikian pun tak ditemukan. 

Muzakir sungguh marah dan tak dapat tidur. Keesokan paginya, Muzakir mendapat akal. Di perintahkannya seorang gajiannya menangkap burung dengan apitan. Tentu saja sayap burung itu menjadi patah. Muzakir kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut luka pada sayap burung. Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan dilepaskan terbang. Burung itu kembali kepada Muzakir untuk memberikan sebutir biji. Muzakir sungguh gembira. 

Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya. Tumbuh pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu, ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. 

Ketika di panen, dua orang gajian Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya. Muzakir mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelahnya. Baru saja semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran yang seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil menjerit-jerit. Orang yang melihatnya dan mencium bau yang busuk tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan dengan riuhnya. 

Demikianlah, kisah dua bersaudara yang bertolak belakang sifatnya ini. Muzakir yang iri hati serta kikir dan serakah itu mendapatkan pelajaran berharga. Sedangkan adiknya Dermawan sungguh mujur nasibnya, perilakunya yang halus dan murah hati membuat hartanya makin semakin berlipat ganda, namun demikian ia tetap rendah hati dan selalu mendermakan hartanya untuk orang miskin.

Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Nusa Tenggara Timur, Suri Ikun dan Dua Burung

18.28 0
Cerita Rakyat Propinsi Nusa Tenggara Timur, Suri Ikun dan Dua Burung
Pada zaman dahulu, di pulau Timor. Nusa Tenggara Timur, hiduplah seorang petani dengan istri dan empat belas orang anaknya. Tujuh orang anak laki-laki dan tujuh orang anak perempuan. Walaupun mereka memiliki kebun yang besar, hasil kebun tersebut tidak mencukupi kebutuhan keluarga tersebut. Sebabnya adalah tanaman yang ada sering dirusak oleh babi hutan. Petani tersebut menugaskan pada anak laki-lakinya untuk bergiliran menjaga kebun mereka dari babi hutan. Kecuali Suri Ikun, keenam saudara laki-lakinya adalah penakut dan dengki. Begitu mendengar dengusan babi hutan, maka mereka akan lari meninggalkan kebunnya. Lain halnya dengan dengan Suri Ikun, begitu mendengar babi itu datang, ia lalu mengambil busur dan memanahnya. Setelah hewan itu mati, ia membawanya ke rumah. Di sana sudah menunggu saudara-saudaranya. Saudaranya yang tertua bertugas membagi-bagikan daging babi hutan tersebut. Karena dengkinya, Ia hanya memberi Suri Ikun kepala dari hewan itu. Sudah tentu tidak banyak daging yang bisa diperoleh dari bagian kepala. 

Selanjutnya, Ia meminta Suri Ikun bersamanya mencari gerinda milik ayahnya yang tertinggal di tengah hutan. Waktu itu hari sudah mulai malam. Hutan tersebut menurut cerita di malam hari dihuni oleh para hantu jahat. Dengan perasaan takut, ia pun berjalan mengikuti kakaknya. Ia tidak tahu bahwa kakaknya mengambil jalan lain yang menuju ke rumah. Tinggallah Suri Ikun yang makin lama makin masuk ke tengah hutan. 

Berulang kali ia memanggil nama kakaknya. Panggilan itu dijawab oleh hantu-hantu hutan. Mereka sengaja menyesatkan Suri Ikun. Setelah berada di tengah-tengah hutan, hantu-hantu tersebut menangkapnya. Ia tidak langsung dimakan, karena menurut hantu-hantu tersebut ia masih terlalu kurus. 

Ia kemudian dikurung di tengah gua. Ia diberi makan dengan teratur. Gua itu gelap sekali. Namun, untunglah ada celah di sampingnya, sehingga masih ada sinar yang masuk ke dalam gua. Dari celah tersebut Suri Ikun melihat dua ekor anak burung yang kelaparan. Ia pun membagi makanannya dengan mereka. 

Setelah sekian tahun, burung-burung itu pun tumbuh menjadi burung yang sangat besar dan kuat. Mereka ingin membebaskan Suri Ikun. Pada suatu ketika, hantu-hantu itu membuka pintu gua, dua burung tersebut menyerang dan mecederai hantu-hantu tersebut. Lalu mereka menerbangkan Suri Ikun ke daerah yang berbukit-bukit tinggi. Dengan kekuatan gaibnya, burung-burung tersebut menciptakan istana lengkap dengan pengawal dan pelayan istana. Di sanalah untuk selanjutnya Suri Ikun berbahagia.

 Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Nusa Tenggara Barat, Makam Embung Puntiq

06.06 0
Cerita Rakyat Propinsi Nusa Tenggara Barat, Makam Embung Puntiq
Alkisah pada suatu desa yang bernama Bayan, tinggallah sebuah keluarga. Sang Ayah bernama Panji Bayan Ullah Petung Bayan, sedangkan anaknya bernama Panji Bayan Sangge. Suatu hari tatkala Panji Bayan Sangge masih kanak-kanak, entah karena apa, ia pergi meninggalkan desa kelahirannya untuk mengembara. 

Setelah melewati berbagai lembah dan bukit, akhirnya Panji Bayan Sangge tiba di suatu daerah yang bernama Batu Dendeng. Hutang memang harus di bayar, takdir juga harus di jalani. Singkat cerita, di Batu Dendeng, Panji Bayan Sangge dijadikan anak angkat oleh sepasang suami-istri yang tidak mempunyai anak, bernama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol. Ia dianggap dan diperlakukan seperti anak kandungnya sendiri. Ia tidak merasakan kejanggalan apapun juga. Inaq dan Amaq Bangkol dianggap sebagai orang tuanya sendiri. Mereka saling mengasihi, mencintai dan pada segi-segi tertentu saling menghormati. Hari berganti minggu, bulan demi bulan datang siling berganti, tahun demi tahun menyusul, akhirnya Panji Bayan Sangge beranjak dewasa. Ia telah menjadi seorang pemuda.

Pada suatu hari ia mengemukakan niatnya pada Inaq Bangkol untuk menggarap sebuah ladang. Setelah membuat petak ladang dan memagarinya, maka oleh Inaq Bangkol diberikan beberapa bibit tanaman seperti; jagung, berbagai jenis kacang, gandum dan lain-lain tanaman yang pantas atau cocok untuk ditanam di ladang. Setelah beberapa waktu, bibit yang diberikan oleh Inaq Bangkol di tanam. Bibit-bibi itu tumbuh dengan suburnya. Panji Bayan Sangge merasa sangat gembira. Ia semakin giat mengurus ladang.

Beberapa minggu kemudian, pemandangan pada ladang itu telah berwarna-warni oleh berbagai jenis bunga. Tampaknya tak lama lagi semua tanaman akan berbuah. Itu berarti semua pengorbanan dan jerih payah Panji Bayan Sangge tidak akan sia-sia. Namun, seperti kata pepatah, untung tak dapat diraih dan malang tak dapat di tolak. Pada suatu pagi yang cerah ketika Panji Bayan Sangge mendatangi ladangnya, ia menjadi terkejut bukan main. Semua bunga yang pada senja kemarin masih baik dan utuh, sekarang musnah semuanya. Panji Bayan Sangge segera pulang ke rumah dan menceritakan semua yang dilihat kepada ibunya. 

"Ibu, tadi pagi ketika ananda ke ladang, semua bunga tanaman itu telah hilang. Kalau dikatakan itu adalah perbuatan babi atau kera, rasanya tak mungkin. Karena tak satupun tangkainya yang patah. Karena itu ananda bermaksud untuk mengadakan pengintaian. Barangkali ada tangan-tangan jahil yang sengaja merusak tanaman kita." 

"Baik, bunda setuju dengan rencana itu. Jagalah dirimu baik-baik dan jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Bertindaklah dengan jujur dan tidak boleh berbuat kasar kepada siapa pun. Segala persoalan pasti dapat diselesaikan dengan baik. Dengar dan perhatikan nasehat bunda ini." Demikian kata-kata Inaq Bangkol kepada Panji Bayan Sangge sesaat sebelum berangkat ke ladang. 

Pada malam harinya, Panji Bayan Sangge mulai melakukan pengintaian. Dengan cermat ia mengawasi ladangnya. Semua sudut ladang tak lepas dari perhatiannya. Namun, sudah hampir semalam suntuk tak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Hening, sepi, tak ada sesuatu atau seseorang yang mendatangi ladangnya. 

Saat menjelang fajar, ketika Panji Bayan Sangge sedang bergulat menahan kantuk, tiba-tiba dari arah yang tak dapat dilihatnya, sembilan orang bidadari turun dari langit dan dengan asyiknya mengisap dan merusak bunga tanaman itu. Pengisapan dan perusakan bunga terus dilakukann dari satu pohon ke pohon yang lain. Melihat tingkah bidadari itu, hati Panji Bayan Sangge menjadi gemas. 

"Akan kuapakan perempuan-perempuan yang merusak tanamanku ini?" Bila aku biarkan pasti bunga-bunga ini akan habis. Apakah hasilku nanti?" Ah, lebih baik kutangkap saja barang seorang," pikirnya. 

Lalu dengan sigap Panji Bayan Sangge menangkap salah seorang dari bidadari itu. Sang bidadari mengadakan perlawanan sekuat tenaga. Namun, apa daya, Panji Bayan Sangge memilik tenaga yang jauh lebih besar. Melihat peristiwa yang tak diinginkan itu, bidadari yang lain menjadi ketakutan dan melarikan diri. Panji Bayan Sangge segera membawa bidadari yang tertangkap itu pulang ke rumahnya. 

Setelah tiba di rumah, ia mencari dan memberitahu Inaq Bangkol, "Ibu dialah yang merusak tanaman kita di ladang. Hukuman apa yang akan kita berikan kepadanya?" 

"Anakku, bila bidadari ini merusak tanaman kita di ladang, ibu hanya berdoa, memohon kepada Yang Maha Kuasa, semoga ananda dijodohkan dengan dia, janganlah dihukum. Dia akan kujadikan anak dan menantu. Terjadinya peristiwa ini, hanyalah merupakan takdir semata. Terimalah dengan penuh tawakkal. Semoga kebahagiaan senantiasa meliputi kalian." 

Singkat cerita, Panji Bayan Sangge pun akhirnya mengawini bidadari itu. Tetapi selama berumah tangga, mereka tak pernah berbicara. Demikianlah, kehidupan mereka beberapa lama sampai mereka memperoleh seorang anak. Karena telah lama kawin, namun tidak pernah mendengar satu patah kata pun dari istrinya, Panji Bayan Sangge menjadi penasaran. Berbagai akal dicoba agar istrinya mau berbicara. Dan sebab-sebabnya pun selalu diselidi, mengapa ia membisu. Satu hal yang selalu menarik perhatian Panji Bayan Sangge ialah apabila isterinya akan mengambil air ke sumur. Sebelum berangkat ia selalu masuk ke dalam rumah. Setelah itu barulah pergi ke sumur. Apa gerangan maksudnya? Ada apa di dalam rumah? Hal inilah yang ingin oleh Panji Bayan Sangge. Barangkali dengan mengetahui latar belakang peristiwa ini dia akan dapat mengetahui mengapa istrinya selalu membisu. 

Pada suatu hari ketika selesai makan dan segala-galanya sudah dikembalikan ke tempatnya, ia memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh isterinya. Benar juga, Isterinya masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama, lalu keluar lagi dan pergi mengambil air ke sumur, yang letaknya agak jauh dari rumah itu. Setelah diperkirakan isterinya sampai di sumur, yang letaknya agak jauh dari rumah. Panji Bayan Sangge masuk ke dalam rumah. 

Setelah beberapa lama memperhatikan apa yang ada di dalam rumah, perhatian Panji Bayan Sangge tertuju pada gulungan tikar. Ia segera membuka gulungan tikar itu. Dan apa yang didapatinya? Ia menemukan sebuah selendang yang tergulung dan sengaja disembunyikan di tempat itu. Selendang itu bernama Lempot Umbaq yang tak pernah dilepaskan oleh istrinya, kecuali pada waktu mengambil air. "Ada apa dengan selendang ini?" demikian pikirnya.

Dia yakin bahwa bahwa selendang itu sangat besar artinya bagi istrinya. "Kalau selendang ini kusembunyikan. Istriku pasti akan menanyakannya. Dalam kesempatan inilah nanti aku akan berbicara dengannya.

Maka, Lempot Umbaq itu disembunyikan di tempat lain. Setelah itu, Panji Bayan Sangge berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Beberapa saat kemudian istrinya kembali dari sumur. Panji Bayan Sangge memperhatikan terus istrinya secara diam-diam apa yang akan dilakukannya. Setelah air ditaruh pada tempatnya. Istrinya segera naik ke dalam rumah. Bukan main terkejutnya terkejutnya bidadari itu, karena Lempot Umbaq yang tadi ditaruh di bawah gulungan tikar sudah tidak ada lagi di tempatnya. Ia tertegun dan berpikir sejenak. Kemudian, ia mencari ke setiap sudut di dalam rumah itu. Namun yang dicari tidak ditemukan.

Ia lalu keluar rumah. Dengan liar serta pandangan tajam ia terus mencari. Air matanya sudah tak dapat ditahan lagi. Ia mencari sambil menangis. Melihat hal itu, Panji Bayan Sangge mendekat dan menegur istrinya, "Apa yang sedang kau cari istriku? Bolehkah aku mengetahuinya? Barangkali aku dapat membantumu."

Istrinya diam. Tak ada jawaban. Sikapnya tetap seperti sedia kala. Namun Panji Bayan Sangge tak berputus asa. Ia bertanya lagi, "Cobalah katakan apa yang sedang kau cari istriku! Mungkin aku dapat menolongmu. Atau mungkin tak percaya pada diriku?"

Kali ini pun istrinya masih tetap membisu seribu bahasa. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, hanya air mata yang terus mengalir. Panji Bayan Sangge bertanya lagi, "Telah beberapa kali kukatakan padamu. Katakanlah dengan sebenarnya, apakah yang sedang kau cari. Aku bersedia membantumu untuk menemukan kembali."

Pada saat itulah istrinya menjawab dengan singkat. Dia hanya mengatakan "Lempot Umbaq". Setelah berkata demikian, ia seketika menghilang tanpa bekas. Semua berlangsung dalam hitungan detik. Tak ada yang mengetahui ke mana perginya. Kejadian itu membuat Panji Bayan Sangge menjadi bingung.
Ia bingung memikirkan nasib istrinya yang tiba-tiba menghilang. Demikian pula nasib bayi yang ditinggalkan. Tidak terpikir olehnya ke mana harus disusukan. Kemana pula ia harus mencari dan meminta bantuan. Ia menunggu, hingga tujuh hari, tetapi istrinya tak muncul juga. Akhirnya ia berkata dalam hati, "Ah, bila aku hanya berpangku tangan, tak mungkin istriku kembali. Dan anakku pasti akan mati. Lebih baik aku mencari upaya, supaya istriku dapat kubawa kembali."

Setelah berpikir lama, akhirnya Panji Bayan Sangge memutuskan untuk meninggalkan rumah dan mencari istrinya. Kepada Inaq Bangkol, ia berkata, "Ibu, sekarang ananda akan menyerahkan anakku ini kepada ibu. Ananda akan mencari upaya, agar istriku dapat kubawa kembali. Entah kemana ananda belum tahu dengan pasti. Mungkin berhasil, mungkin pula tidak. Ananda pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa. Tetapi bila kelak anak ini dewasa, sedangkan ananda tak kembali, beritahukanlah siapa orang tuanya yang sebenarnya. Oleh karena itu doa restu ibu sangat ananda harapkan."

Mendengar keinginan anak angkatnya itu, Inaq Bangkol sangat terkejut dan bersedih hati. Ia sayang kepada anaknya, " terlebih-lebih cucu angkatnya yang masih bayi itu. Namun, untuk menghalangi  maksud Panji Bayan Sangge. Dengan perasaan berat, ia melepaskannya sambil memanjatkan doa ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa semoga anaknya tetap dalam lindungan dan maksud perjalanannya dapat tercapai.

Setelah ditinggalkan, Inaq Bangkol merasa sedih. Selain itu, ia pun bingung tak tahu harus berbuat apa untuk menyusui cucunya. Ketika Inaq Bangkol sedang kebingungan, tiba-tiba ia mendengar suatu suara;
"Hai, Inaq Bangkol, bila kamu ingin melihat cucumu itu selamat dan dapat menyusu pada dirimu sendiri, aku akan memberi petunjuk yang harus kau patuhi. Ambil dan gosokkan sekujur tubuhmu dengan daun ini. Sesudah itu peras dan minumlah airnya."

Mendengar suara itu Inaq Bangkol segera mengambil daun yang tiba-tiba jatuh di hadapannya dan melaksanakan petunjuk dari suara gaib yang di dengarnya. Dan, air susu segera memancar dari kedua payudaranya. Akhirnya, sang cucu sudah dapat minum air susu kembali.

Sementara itu, Panji Bayan Sangge yang sedang dalam usaha mencari istrinya, telah lama berjalan tanpa suatu arah yang pasti sampai akhirnya ia berada di tengah-tengah hutan. Di hutan itu, Panji Bayan Sangge kemudian duduk bersila untuk bersemedi. Setelah beberapa lama bersemedi, tiba-tiba ia mendengar suara gaib;

"Hai, Panji Bayan Sangge, jika kamu hendak mencari istrimu, kamu harus mempersiapkan syaratnya. Kamu harus mendapatkan merang yang berasal dari ketan hitam. Merang ini harus kamu bakar di atas sebuah batu. Sewaktu asapnya mengepul ke udara, lompatilah merang itu. Maka kamu akan menjumpai istrimu. Tetapi jangan kau bingung bila berhadapan dengan banyak perempuan yang rupanya mirip dengan istrimu. Oleh karena itu, kamu keberikan seekor lalat emas yang ditaruh dalam kotak emas pula. Kalau kesulitan dalam menentukan yang mana istrimu, lepaskanlah lalat ini. Di mana lalat ini hinggap dan tidak berpindah lagi, itulah istrimu."

Setelah suara itu hilang, ia sadar kembali dan pikirannya dapat dipulihkan. Ketika itu, ia pun segera mencari dan menyiapkan merang ketan hitam yang diperlukan sebagai syarat untuk bertemu dengan istrinya. Dengan tidak membuang waktu lagi. Ia pun menaiki sebuah batu dan dibakarnyalah merang ketan hitam itu. Saat asap merang mulai mengepul ke udara, ia pun melompat. Dan, ketika, berada di tengah-tengah asap, seketika ia membumbung tinggi ke udara, menuju suatu tempat yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. Bersamaan dengan habisnya asap merang itu, tibalah ia pada suatu tempat yang ajaib sekali. Di hadapannya berdiri sebuah istana yang megah, dikelilingi tembok yang kokoh. Tatkala ia berada di dekatnya, tiba-tiba pintu gerbang istana itu terbuka sendiri.

Panji Bayan Sangge kemudian memasuki bangunan istana, ia harus melewati halaman yang sangat luas. Saat berjalan di halaman itu, ia melihat seorang laki-laki paruh baya sedang duduk di Berugaq Sekapat. Laki-laki itu menegur;
"Hai orang muda, dari mana asalmu, Apa pula maksud kedatanganmu ke mari? Siapa yang membawamu, hingga berada di tempat ini.?"

Dengan hormatnya Panji Bayan Sangge menjawab, "maaf paman, kedatanganku kemari memang sengaja untuk menyusul istriku,"

Dengan terkejut, laki-laki itu bertanya," menyusul istrimu? Mana mungkin. Tak seorang pun dari anak-anakku pernah kawin. Jangankan kawin, keluar istana ini pun tak pernah. Berkatalah yang sebenarnya, jangan mengada-ngada. Siapa yang memberi petunjuk, siapa yang mengatakan padamu, dan dimana pula kamu pernah menjumpai anakku? Cobalah ceritakan kepadaku!"

Panji Bayan Sangge tetap menjawa dengan sikap yang pasti, "Dalam petunjuk sudah jelas, bahwa istriku berada di tempat ini. Tak mungkin berada di tempat lain. Saya yakin benar bahwa istriku berada di tempat ini."

Orang tua itu berkata, "Sekarang aku akan keluarkan semua anakku. Cobalah engkau tunjukkann nanti, yang manakah yang kau anggap sebagai istrimu. Tetapi harus diingat, apabila nanti kau tak dapat menunjukkan dengan tepat kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu."

"Saya sanggup, " kata Panji Bayan Sangge.

Maka lelaki tua itu pun mengeluarkan anak-anaknya yang berjumlah sembilan orang. Mereka didudukkan berderet, berhadapan dengan Panji Bayan Sangge. Agak bingung juga Panji Bayan Sangge melihat mereka yang semuanya sebaya dan mempunyai wajah yang hampir sama pula. Namun akhirnya dia dapat menguasai diri. Ia ingat akan kotak serta lalat emas yang terdapat di dalam sakunya.Dengan diam-diam kotak itu dibukanya. Lalat emas itu pun keluar lalu terbang di antara semua wanita yang berderet itu dan akhirnya hinggap di dada seorang di antara mereka. Sesudah lalat itu diam dan tak berpindah lagi, maka Panji Bayan Sangge telah mengetahui yang mana istrinya dengan penuh kepastian. Panji Bayan Sangge menunjuk salah seorang diantara kesembilan bidadari itu.

Laki-laki itu kemudian bertanya, "Dari mana kau dapat mengetahui bahwa dia itu adalah istrimu?"

Panji Bayan Sangge pun memberikan keterangan tentang kegunaan lalat yang dibawanya. Lalu katanya, " lalat itu hinggap di dada istri saya, karena mencium bau amis yang keluar dari susunya, karena dia telah melahirkan seorang putra yang kini sedang diasuh oleh ibu saya."

"Di mana kau memperoleh lalat itu?" tanya orang tua itu selanjutnya.

"Lalat itu diberikan oleh sebuah suara gaib ketika saya sedang bersemedi dan mencari upaya untuk menemukan kembali istri saya ini."

"Nah bila demikian halnya baiklah. Aku percaya sekarang. Tak ada lagi yang aku ragukan. Pertemuan kalian ini rupanya sudah menjadi suratan takdir. Tuhan telah menjodohkan kalian. Sekarang apa sebab kamu ditinggal oleh istrimu? Pernahkah kalian dahulu berbicara waktu kalian berkeluarga?"

"Tak sekali jua pun,"jawab Panji Bayan Sangge.

Jawaban itu makin menambah keyakinan orang tua itu, bahwa anak muda yang ada di hadapannya itu memang benar menantunya. Lalu orang tua itu memberikan keterangan selanjutnya. "Begini anakku, istrimu selalu membisu, disebabkan karena istrimu mengetahui bahwa dia belum memenuhi persyaratan. Persyaratan itu belum pernah dilakukan. Sekarang di tempat ini akan kita penuhi persyaratan itu. Adapun syarat itu ialah apa yang sering disebut dengan nama Umbaq Lempot. Syarat inilah yang dahulu dibutuhkan oleh istrimu. Di sinilah sekarang kita buat untukmu. Dan, inilah yang harus dilakukan keturunanmu kelak. Cara membuatnya ialah dengan motif Ragi Saja (nama motif kain tenun sasak). Jadi nama lengkap syarat itu adalah Umbaq Lempot Ragi Saja. Nah, inilah kebutuhan utama untuk memenuhi hidup di dunia."

Beberapa hari setelah Umbaq Lempot Ragi Saja selesai dibuat. Panji Bayan Sangge dan istrinya pun turun ke bumi. Mereka tiba di tempat yang sama ketia Panji Bayan Sangge membakar merang ketan hitam. Dari tempat itu, kemudian mereka pulang ke rumah orang tua angkat Panji Bayan Sangge untuk berkumpul lagi dengan putera mereka yang sudah lama ditinggalkan.

Setelah Panji Bayan Sangge bersama dengan istrinya kembali di rumah, putranya yang diberi nama Mas Panji Pengendeng pun sudah agak besar. Karena ibunya adalah seorang bidadari, maka Mas Panji Pengendeng tidak hanya tampan, melainkan juga mempunyai kekuatan-kekuatan tertentu yang membuatnya sakti mandraguna.

Singkat cerita, beberapa tahun kemudian setelah Mas Panji Pengendeng menjadi dewasa, ia meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk membuat dan menempati desa baru, yaitu Desa Selong Semoyong. Sebelum putra tunggalnya itu pergi, kedua orang tuanya memberitahukan  syarat-syarat agar bisa hidup di dunia dengan aman dan sentosa, yaitu dengan membuat Umbaq Lempot. Selain itu ada lagi syarat lain yang harus dilaksanakan yaitu harus mendirikan Baruraq Sekepat. Pada Baruraq Sekepat inilah akan hadir para leluhur tatkala ada kegiatan-kegiatan atau upacara sedang dilakukan.

Setelah Mas Panji Pengendeng telah lama menetap di Desa Selong Semoyong dan telah beranak pinak, terjadilah peperangan di Kerajaan Klungkung di Pulau Bali. Sebelumnya Raja Klungkung pernah mendapat berita bahwa di bumi Selaparang terdapat seorang ksatria perkasa. Yang dimaksud tidak lain adalah Mas Panji Pengendeng sendiri. Maka dibuatlah surat oleh Raja Klungkung, meminta Mas Panji Pengendeng bersedia membantunya menghadapi musuh.

Ketika undangan dibaca oleh Mas Panji Pengendeng, ia merasa malu jika tidak memenuhi undangan Raja Klungkung itu. Akhirnya undangan itu diterima dengan baik dan disanggupi bahwa ia akan pergi dan membantu Raja Klungkung. Keberangkatan ke Kerajaan Klungkung itu tidak hanya membawa pasukan tentara atau laskar biasa, tetapi disertai juga oleh bala samar sebanyak empat puluh empat.

Setelah tiba di Klungkung dan disambut langsung oleh Raja, maka tanpa membuang waktu lagi ia minta ditunjukkan lokasi peperangan dan langsung maju berperang. Di tengah peperangan yang sedang berkecamuk nasib malang menimpa Mas Panji Pengendeng yang terkenal sakti mandraguna serta sukar dicari tandingannya itu. Ia terjatuh akibat kakinya tersandung oleh dodotnya sendiri yang bermotif Benang Dua Ragi Poleng (nama motif kain tenun sasak). Karena malu ia kemudian memerintahkan bala samarnya untuk menggotongnya keluar dari medan perang dan langsung kembali ke Lombok tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada Raja Klungkung.

Namun, saat sampai di tanah Lombok, ia tidak pulang ke Selong Semoyong, tetapi menuju Gawah Toaq. Setelah tiga hari berada di Gawah Toaq, ia pun memerintahkan bala samarnya agar pergi ke Selong Semoyong untuk memberitahukan keluarganya. Setelah berita itu tiba di Selong Semoyong. Keluarganya sangat terkejut dan panik. Mereka lalu menyiapkan semua kebutuhan, dan segera berangkat menuju Gawah Toaq. Saat seluruh keluarga telah berada di Gawah Toaq, mereka meminta agar Mas Panji Pengendeng bersedia dibawa pulang ke Selong Semoyong. Dan, kemauan keluarga ini dipenuhi Mas Panji Pengendeng. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan Gawah Toaq menuju Selong Semoyong.

Tatkala rombongan tiba di daerah Embung Puntiq, kondisi Mas Panji Pengendeng kelihatan makin parah. Mas Panji Pengendeng berkata;
" Sebaiknya kita beristirahat di sini. Aku sudah terlalu payah dan mungkin tak dapat sampai ke Selong Semoyong. Oleh karena itu mendekatlah kemari semua anak-anakku dan yang lainnya. Dengarkan baik-baik. Seandainya nanti aku meninggal dunia di tempat ini, kuminta janganlah jenazahku dimakamkan atau dibakar. Agar kelak bila ada anak cucuku ingin menziarahiku, mereka terbebas dari perasaan enggan. Biarlah agar semua orang dapat berkunjung ke tempat ini. Bila mereka datang menziarahiku, hendaklah mereka berkeliling sekurang-kurangnya satu kali. Boleh juga dilakukan tiga, lima, tujuh ataupun sembilan kali. Maksudnya supaya anak cucuku yang beragama Islam kelak dapat meniatkan diri belajar tawaf di Mekkah. Juga aku pesankan pada kalian agar mengunjungi sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun. Yaitu menjelang musim penghujan, ketika bibit padi sudah mulai disiapkan. Dan kedua, sewaktu menanam padi telah selesai. Melalui tempat inilah kalian memohon kepada Yang Maha Kuasa agar selalu diberikan rahmat-NYA. Dan, janganlah membawa alat-alat pecah belah. Tempat ini adalah hutan, kalau kalian terjatuh akan mengalami kerugian. Cukuplah dengan membawa takilan saja. Lauk-pauknya janganlah mewah. Yang penting kalian tetap datang ketempat ini pada waktu yang telah kusebutkan tadi. Satu hal lagi yang terlarang bagimu kemari adalah memakai kain sebangsa Ragi Poleng, karena penderitaanku ini akibat tersandung dodot Benag Dua Ragi Poleng dalam peperangan di Klungkung."

Setelah mengucapkan wasiat itu, Mas Panji Pengendeng meminta disiapkan tempat tidur. Ia ingin beristirahat karena merasa lukanya bertambah parah. Setelah tenda dan tempat tidurnya siap. Mas Panji Pengendeng dipapah dan dibaringkan di situ. Beberapa saat kemudian, para penggiring mengira bahwa Mas Panji Pengendeng sedang tidur dengan pulasnya. Mereka tidak menyadari bahwa junjungannya itu telah tiada. Mas Panji Pengendeng telah meninggalkan dunia yang fana ini dan segera menghadap Tuhan.

Pagi harinya, setelah tahu bahwa Mas Panji Pengendeng telah wafat, seluruh rombongan menjadi panik. Mereka tidak tahu apa yang harus di lakukan terhadap jenazah Mas Panji Pengendeng. Akan di bawa kembali ke Selong Semoyong tak mungkin, karena wasiat sudah digariskan lain. Sampai siang mereka bingung tak tentu apa yang harus dilakukannya. Tetapi tatkala akan menjenguk jenazah, ternyata jenazah itu tidak ada di tempatnya hilang entah ke mana, yang tinggal hanyalah tempat tidurnya saja. Kain penutup jenazah juga tidak ada lagi. Peristiwa ini cocok benar dengan wasiat yang telah diberikan, jenazahnya jangan dikuburkan atau dibakar. Rupanya peristiwa inilah yang dimaksudkan.

Maka oleh masyarakat Selong Semoyong pada tempat di mana Mas Panji Pengendeng meninggal dunia dan akhirnya menghilang dibuat sebuah makam. Dan, makam itu hingga saat ini terkenal dengan nama Makam Embung Puntiq.

 Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Ceritak Rakyat Propinsi Bali "I Teruna Tua"

05.51 1
Ceritak Rakyat Propinsi Bali "I Teruna Tua"
Di sebuah desa ada seorang bujangan yang sudah lanjut usia alias bujang lapuk yang bernama I Teruna Tua. Orang ini kira-kira berumur lebih dari lima puluh tahun. Sampai umur setua itu ia masih melajang, karena ia hanya mau mengambil istri apabila ada perempuan yang hari lahirnya sama dengan dirinya. 

Setelah menunggu bertahun-tahun, pada suatu hari yang bertepatan dengan hari ulang tahunnya, di desanya ada seorang bayi perempuan lahir. Tiga hari kemudian, saat si bayi telah lepas tali pusatnya. I Teruna Tua segera membuat tongkat dari tongkol jagung. Setelah tongkat jadi, ia langsung menuju ke rumah orang tua si bayi. 

Sesampai di rumah si bayi, I Teruna Tua disambut oleh ayah si bayi;
"Oh, Kakak datang," Ayah bayi itu memanggil Kakak, Karena I Teruna Tua lebih tua darinya. 

"Kata orang, istrimu baru saja melahirkan tiga hari yang lalu. Laki-laki atau perempuan?" Tanya I Teruna tua.

"Oh, perempuan."

"Apakah sehat?"

"Ya, sehat keadaannya."

"Kapan melakukan upacara tanggal tali pusat?"

"Hari ini."

"Baiklah. Sekarang begini saja, karena kebetulan hari ini engkau akan melakukan upacara, saya akan menitipkan tongkat di sini."

"Ya. Silakan taruh di bawah kolong bale ini!"

I Teruna Tua lantas menaruh tongkat di kolong bale dan kemudian berkata, "Tongkat ini jangan diberikan jika ada orang yang memintanya."

"Tidak," jawab orang tua bayi itu.

Setelah berselang beberapa bulan lamanya, I Teruna Tua mendatangi lagi rumah si bayi.

"Kak, mengapa sudah lama tak pernah kemari? tanya orang si Bayi.

Tanpa menghiraukan pertanyaan tuan rumah. I Teruna Tua malah balik bertanya," Sekarang di mana tongkatku? Kenapa tak kelihatan?"

Saat itu di bawah bale tempat dahulu tongkat I Teruna Tua diletakkan, ada banyak sekali rayap yang sedang memakan tongkat. Oleh karena tongkat sudah hampir habis dimakan rayap, maka I Teruna Tua berkata pada si pemilik rumah yang bernama Pan Kayan: "Sekarang begini saja Pan Kayan, karena tongkatku sudah habis dimakan rayap, maka rayap itu menjadi milikku, dan akan kutitipkan lagi di sini."

Beberapa bulan kemudian I Teruna Tua kembali lagi ke rumah Pan Kayan untuk melihat rayap-rayap miliknya. Saat tiba di rumah Pan Kayan, ia melihat rumah rayapnya sedang di rusak oleh ayam milik Pan Kayan. I Teruna Tua bergegas menemui Pan Kayan dan segera bertanya: "Aduh, ini mengapa dihabiskan rayapku oleh ayammu?"

"Aduh saya lupa mengusirnya?" jawab Pan Kayan.

"Rayapku habis dimakan oleh ayamm, sekarang ayammu yang kuminta. Tetapi, aku akan tetap menitipkannya di sini," kata I Teruna Tua.

Oleh karena ayam yang sekarang menjadi milik I Teruna Tua adalah betina, maka lama-kelamaan ayam itu bertelur dan menetas menjadi beberapa ekor anak ayam. Pada saat I Teruna Tua berkunjung lagi ke rumah Pan Kayan, ayam-ayamnya sedang berkumpul mencari makan di halaman samping rumah. Pada waktu itu, tiba-tiba anjing milik Pan Kayan datang menyergap. Melihat kedatangan anjing itu, induk ayam menjadi marah dan langsung menyerang. Namun karena ukurannya jauh lebih kecil, maka sang induk ayam itu pun akhirnya mati diterkam anjing.

Dan, sama seperti tongkat, rayap dan ayam, anjing milik Pan Kayan itu pun akhirnya menjadi milik I Teruna Tua.

Anjing itu dititipkan lagi pada Pan Kayan. Namun tidak berapa lama kemudian, anjing milik I Teruna Tua mulai berulah lagi. Ia mengejar dan hendak menerkam anak kerbau yang baru lahir milik Pan Kayan. Melihat hal itu induk kerbau menjadi marah dan langsung menanduk si Anjing hingga mati.

Beberapa bulan kemudian, I Teruna Tua datang lagi untuk melihat keadaan anjingnya. Setelah bertemu dengan Pan Kayan, I Teruna Tua diberi penjelasan tentang anjingnya yang telah mati ditanduk oleh kerbau milik Pan Kayan. Mendengar penjelasan itu, I Teruna Tua berkata: "Sekarang induk kerbau itu pun akan kuambil sebagai ganti anjingku. Namun, karena saya kasihan melihat anak kerbau itu yang masih kecil, maka saya meminjamkan induknya kepadamu.

Suatu hari saat Pan Kayan selesai memandikan kerbau milik I Teruna Tua, kerbau itu kemudian diikatnya di sebuah pohon mangga yang besar dan sangat lebat buahnya. Namun, nasib naas menimpa si kerbau. Tidak berapa lama setelah si kerbau ditambatkan. Sebuah cabang pohon mangga tiba-tiba patah dan menimpa leher si Kerbau hingga mati. Pada waktu itu kebetulan sekali. I Teruna Tua melihatnya, "Wah kenapa ini, badan kerbauku terkujur ditimpa pohon mangga?"

"Wah sial, Patah cabang mangga yang besar ini karena terlalu lebat buahnya," jawab Pan Kayan. "Wah kalau begitu pohon mangga akan kuambil sebagai ganti kerbauku ," kata I Teruna Tua.

"Ya. Apa boleh buat. Ambillah," demikian kata Pan Kayan.

Selang beberapa tahun kemudian, anak Pan Kayan sudah tumbuh dewasa. Pada saat itu, secara kebetulan buah mangga milik I Teruna Tua sedang berbuah. Namun, I Teruna Tua belum juga berkunjung kesana. Ia hanya mengintai sampai buah mangganya tinggal dua buah, anak perempuan Pan Kayan itu mengambil dan mengupasnya. Belum selesai mengupas, tiba-tiba I Teruna Tua datang dan berkata: "Mengapa sudah habis manggaku?"

"Ini masih dua buah," jawab anak Pan Kayan yang bernama Wayan.

"Siapa yang mengupas?"

"Saya sendiri yang memungut dan mengupasnya," jawab Wayan.

I Teruna Tua langsung mendatangi Pan Kayan dan berkata: "Anakmu telah menghabiskan manggaku. Oleh karena itu, dia akan kuambil sebagai pengganti manggaku."

"Apa yang akan aku perbuat sekarang?" tanya Pan Kayan.

"Terserahlah, sebab aku melihat sendiri anakmu yang mengupas manggaku."

"Jika demikian baiklah," jawab Pan Kayan.

Singkat cerita, anak itu tidak dititipkan kepada Pan Kayan, melainkan diambil dan dikawini sendiri I Teruna Tua. Beberapa bulan kemudian, istrinya hamil dan akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan.

Suatu hari, saat akan menumbuk padi, isterinya berkata," Pak, tolong bawakan anak kita."

"Jangan panggil Bapak, sebaiknya panggil kakak saja!" kata suaminya.

"Ya Kak. Tolong kakak jaga anak ini, saya akan menumbuk padi," sahut istrinya.

"Baiklah!"

Saat ditinggal oleh istrinya itu, anaknya selalu menangis. Untuk menghentikan tangisan anaknya. I Teruna Tua kemudian menyanyikan lagu tentang asal-usul si Anak itu.
"Diam anakku, 
Ibumu asal mulanya adalah sebuah tongkat. 
Setelah tongkat menjadi rayap
Setelah rayap menjadi ayam 
Setelah ayam menjadi anjing 
Setelah anjing menjadi kerbau
Setelah kerbau menjadi mangga
Setelah mangga baru menjadi ibumu sendiri." 

Isterinya yang mendengar nyanyian itu menjadi marah serta melemparkan alunya. Kemudian ia mendatangi I Teruna Tua dan berkata: "Peliharalah anakmu itu. Aku ini orang hina yang berasal dari tongkat. "Setelah itu isterinya pergi meninggalkan I Teruna Tua menuju ke rumah orang tuanya.

Setelah isterinya pergi. I Teruna Tua segera menyusulnya. Sampai di rumah mertuanya, I Teruna Tua berkata pada isterinya: "Kasihanilah anakmu. Mari kita kita pulang!"

"Aku tak akan ke sana dan menjadi pelayan orang tua bangka sepertimu. Walaupun dijemput dengan juli emas*) aku tak mau kembali," demikian kata isterinya.

Demikianlah, walaupun I Teruna Tua terus membujukj, namun isterinya tetap tidak mau pulang. Akhirnya karena putus asa, I Teruna Tua lalu memberikan anaknya pada mertuanya untuk dipelihara. Kemudian ia kembali pulang ke rumahnya.

Setelah sekian lama peristiwa itu berlalu. Suatu hari mertuanya akan melakukan upacara ngrasakin**)  di bawah pohon mangga yang dahulu menjadi milik I Teruna Tua. Mendengar mertuanya akan mengadakan upacara. I Teruna Tua yang masih kesal karena ditinggalkan isterinya berniat akan mempermainkan mertuanya. I Teruna Tua segera menuju ke rumah mertuanya dan memanjat pohon mangga itu.

 Tidak berapa lama kemudian mertuanya pun datang dan langsung membakar dupa dan mempersiapkan tepung tawar ***) di bawah pohon mangga tempat I Teruna Tua bersembunyi. Setelah itu Pan Kayan pun berkata:
"Dewa Ratu Jero Sedahan Abian. Hamba sekarang menghaturkan tepung tawar majagau."

"Cek...cek...cek...cek...cek," sahut menantunya dari atas seperti suara cicak.

"Hamba menghaturkan asap kemenyan majagau dan babi guling supaya Jero Sedahan Abian sudi menikmati baktiku ini," kata Pan Kayan.

"Cek...cek ... cek...cek... cek, jika tak disediakan juga satu paha babi guling untuk menantumu, tak akan kuterima baktimu!" ujar I Teruna Tua dari atas pohon.

"Baiklah, Jero Sedahan Abian, tetapi bagaimana caranya saya memberikan paha babi guling pada menantu saya?"

"Suruh saja supaya anakmu membawakannya ke rumah suaminya," demikian kata I Teruna Tua.

Singkat cerita, Esoknya, Istri I Teruna Tua lalu disuruh oleh ayahnya ke rumah suaminya untuk menghantarkan paha babi guling. Setelah berada di sana, dengan segala bujuk rayunya, akhirnya I Wayan bersedia berkumpul dan hidup serumah lagi dengan I Teruna Tua. Begitulah suami isteri itu hidup rukun kembali hingga akhir hayat.

*) Juli mas adalah semacam kursi yang pada zaman dahulu dipakai untuk mengusung raja. Dewasa ini Joli semacam itu di Bali masih berfungsi untuk mengusung orang-orang yang melakukan upacara potong gigi. 

**) Ngrasakin adalah nama upacara yang ditujukan kepada dewa pertanian atau makhluk halus penghuni halaman rumah. Salah satu syarat dalam upacara Ngrasakin ini adalah adanya babi guling untuk disuguhkan pada dewa

***) Tepung tawar adalah himpunan dari beberapa bahan (daun intaran, beras, kelapa diparut, kunir, nasi dan lain-lainnya) yang dipakai dalam upacara pembukaan


Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011
Read More

Post Top Ad