2015 - Blog Oblok Oblok

Hot

Post Top Ad

Cerita Rakyat Dari Sumatera Barat, Rumah Adat Minangkabau

23.44 2
Cerita Rakyat Dari Sumatera Barat, Rumah Adat Minangkabau
Bentuk bangunan rumah Minangkabau itu khas karena bentuk atapnya berpuncak runcing. Bentuk atap demikian disebut gonjong. Ada rumah yang bergonjong dua, ada empat, ada enam atau lebih. Jumlah gonjong ditentukan oleh besar atau panjang rumah tersebut. Pada bagian tangganya di depan ada kalanya diberi gonjong pula. Banyak nama julukan diberikan kepada rumah tersebut : rumah adat, rumah gadang, rumah bagonjong, rumah beranjung dan sebagainya.

Dinamakan rumah adat karena di sanalah upacara adat dilakukan. Misalnya, penobatan penghulu kaum atau kepala adat yang bergelar Datuk, tempat musyawarah kaum untuk membicarakan hal-hal yang penting, menyemayamkan jenazah kepala adat. Dinamakan rumah gadang karena ukurannya memang lebih besar dari rumah biasa. Dinamakan rumah bagonjong karena atapnya bergonjong-gonjong. Dinamakan rumah baanjuang, karena pada kedua ujung rumah menempel bangunan seperti anjungan pada kapal layar. Untuk selanjutnya, baik namakan rumah adat saja.

Kalau diperhatikan dengan cermat, badan rumah itu tidak biasa. Badan rumah itu mengembang ke atas. Disangga oleh tiang hingga kolongnya setinggi orang.

Tiang itu ditegakkan pada batu sendi agar tidak lapuk dimakan tanah. Ukuran badan rumah lebih tinggi dari kolong. Bangun atapnya pun lebih besar dari badan rumah sehingga kelihatannya setiap bagian rumah itu lebih tinggi dan lebih besar ukuran dari yang di bawahnya.

Pada bagian depan seluruh dinding dipenuhi oleh ukiran bermotif akar, bunga, daun serta bidang bersegi empat dan genjang. Bagian luar dinding belakang dilapisi dengan belahan bambu agar tidak mudah lapuk. Lazimnya rumah adat itu dibangun nberjajaran pada halaman yang tidak berpagar pembatas. Letaknya disesuaikan menurut arah angin, agar bidang bangunan yang lebar tidak menghadang tiupan angin.

Seperti diakui oleh ahli ilmu bangunan yang disebut aritek itu, ahli bangunan nenek moyang Minangkabau sudah memikirkan segalanya waktu merancang bentuk rumah adat itu. Berhubung alam Minangkabau rawan gempa, bangun rumah dibesarkan ke atas agar tidak mudah rebah oleh goncangan. Supaya penghuni tidak kegerahan oleh hawa panas khatulistiwa, rumah dibangun di atas tiang yang tinggi. Dengan demikian, angin dapat masuk dari bawah lantai. Rumah dibangun sejajar dengan arah angin agar tidak sampai rebah oleh tiupan badai. Supaya atap ijuk jangan menyerap air pada musim hujan, ijuk dipasang berlapis-lapis dan curam. Maksudnya agartidak mudah bocor dan air cepat mengalir. Karena ijuk tidak dapat dipatah, maka ujung atap dibuat runcing, sama seperti membuat sapu.

Ada tiga macam bentuk rumah adat itu. Rumah adat di Kabupaten Tanah Datar kedua sisinya terdapat anjung. Maka orang menamakannya Rumah Baanjuang. Rumah adat di Kabupaten 50 Kota tidak beranjung. Orang menamakannya Gajah Mengeram. Rumah adatdi Kabupaten Agam pada kedua sisinya diberi beratap. Orang menamakannya Raja Berbanding.

Atap rumah adat yang bergonjong runcing itu menyerupai tanduk kerbau. Menurut penduduk, bentuk itu merupakan lambang peringatan atas kemenangan aduan kerbau mereka melawan kerbau kerajaan Jawa. Sesuai pula dengan nama Minangkabau yang jadi nama kampung halaman mereka. Namun, menurut tambo, bentuk rumah adat itu berasal dari bentuk kapal layar nenek moyang mereka yang datang dari Benua Asia. Setelah kapal itu dinaikkan ke darat, kapal itu disangga dengan tiang agar badannya tidak lekas lapuk. Pada ujung ke ujung tiang layar kapal itu direntangkan tali. Padatali itu digantungkan layar pengganti atap. Karena beratnya atap yang tergantung, tali itu melengkung ke tengah. Maka selanjutnya turunan dari orang-orang di kapal itu membangun rumah mereka seperti bentuk kapal. Maksudnya untuk membedakan diri mereka dari penduduk pribumi tanah Minangkabau itu.

Di halaman rumah adat terdapat lumbung padiatau rangkiang. Bentuk bangunannya selaras dengan rumah adat. Ada tiga macam rangkiang yang masing-masingnya berbeda gunanya. Rangkiang besar dengan enam tiang penyangga disebut Si Bayau-bayau, yaitu lumbung untuk menyimpan padi yang akan dimakan sehari-hari. Rangkiang Si Tanggung Lapr untuk menyimpan padi waktu paceklik atau musim kelaparan. Rangkiang Si Tinjau Laut untuk menyimpan padi yang akan ditukar dengan barang-barang perdagangan  

Selain laki-laki yang jadi suami dari perempuan ahli rumah, tidak adalaki-laki yangboleh tinggal di rumah adat. Anak-anak yang sudah balig, kira-kira berumur delapan tahun sudah mesti tinggal di surau. Suaru semacam asrama, yang bukan hanya untuk tidur, tapi juga untuk belajar adat, agama dan silat. Setiap kaum mempunyai surau sendiri. Setelah anak laki-laki dewasa dan menikah dia akan tinggal di rumah istrinya.

Sampai sekarang, tidak semua orang boleh mendirikan rumah adat. Yang boleh mendirikan ialah mereka yang menjadi penduduk asal, yang kepala sukunya bergelar Datuk.

Di samping rumah adat, terdapat pula bangunan serupa yang dinamakan balairung. Balairung ialah tempat para penghulu kepala adat mengadakan rapat. Ada dua ragam Balairung yaitu Balairung Koto Piliang dan Balairung Bodi Caniago. Pada kedua ujung bangunan Balairung Koto Piliang terdapat anjungan. Lantainya lebih tinggi. Di anjunagn yang berlantai tinggi itulah duduk kepala adat yang tertinggi derajatnya. Sementara itu, Balairung Bodi Caniago tidak beranjung. Lantainya sama rata. Tidak berdinding sehingga rakyat dapat ikut mendengar musyawarah kepala adat mereka.

Biasanya Balairung didirikan dilapangan yang luas. Tidak jauh dari aliran air. Di tepian aliran air itu didirikan mesjid. Di lapangan itu ditanam beberapa pohon beringin untuk orang berteduh dari terik matahari. Lapangan itu sendiri berguna untuk gelanggang permainan rakyat. Juga tempat untuk jual beli yang kini disebut pasar. Pasar itu biasanya diadakan sekali sepekan. Maka kalau orang-orang pergi ke pasar, sering juga disebut "pergi ke pekan" atau "ke balai".

Di sekitar pasar itu berada, biasa pula kemudiannya menjadi permukiman ramai sehingga menjadi desa atau negeri baru. Desa baru itu dinamakan menurut nama hari pasar itu berlangsung. Misalnya Pekan Senayan, Pekan Rabaa, Pekan Kemis, atau Balai Selasa, Balai Kemis, Balai Tengah dan sebagainya. Ketika istilah pasar, yang berasal dari kata bazaar, dikenal orang, maka ada desa yang bernama Pasar Baru, Pasar Usang dan sebagainya.

Sumber: Buku Cerita dari Sumatera Barat 3
Penulis : A. A Navis 
Ilustrasi : Gerdi WK
Desain Sampul: Antonius Kuntra Raharjo 
Penerbit: PT. Grasindo Tahun 2001
Read More

Cerita Rakyat Dari Sumatera Barat, Riwayat Bunda Kandung

01.38 2
Cerita Rakyat Dari Sumatera Barat, Riwayat Bunda Kandung
Pada suatu masa, Kerajaan Pagaruyung mempunyai raja perempuan bernama Bunda Kandung. Baginda raja adil dan bijaksana, tapi tegar hatinya. Dalam mengatur kerajaan, Baginda dibantu oleh empat orang pembesar, dua orang petinggi, dan seorang panglima. Keempat pembesar bertugas tak berbeda dengan menteri. Orang menyebutnya Basa IV Balai, yang artinya pembesar dari empat jawatan. Dua orang petinggi dinamakan Raja Dua Sila, yang memimpin lembaga hukum agama dan lembaga hukum adat. Panglima kerajaan dinamakan Orang Gadang. Ketujuh pembantu Baginda itu dinamakan pula sebagai Gadang Nan Batujuah, yang artinya orang besar yang bertujuh.

Dalam istana, Baginda dibantu oleh dua orang yang sangat setia. Karena setia, Baginda sayang pula kepada mereka. Yang seorang, laki-laki bernama Bujang Selamat. Gombak rambut di kepalanya panjang. Jika dilepas dari gulungnya hampir mencapai tanah. Dalam tambo dia disebut Bujang Selamat Panjang Gombak.

Setiap saat dia bersedia melakukan apa saja yang disuruh Baginda, baik siang maupun malam. Yang lain, seorang perempuan bernama Lenggo Geni. Tugasnya mengurus keperluan pribadi Baginda.

Baginda sangat disegani. Sampai raja-raja atau pangeran tak berani meminangnya. Karena raja yang jadi suami, harus tinggal di istana Pagaruyung. Bagaimana mungkin raja yang memerintah di kerajaannya sendiri, mesti tinggal di Kerajaan Pagaruyung. Para pangeran tidak berani meminang karena kebesaran kerajaan Baginda. Meskipun tidak bersuami, Baginda mendapat gelar Bunda Kandung.

Menurut tambo, begini cerita asal mulanya Baginda mendapat gelar Bundo Kandung itu.

Adalah pada suatu tengah hari, di kala matahari berada tepat di puncak kepala. Sinarnya yang terik memanggang bumi. Bayang-bayang pohon kayu jatuh pada pangkalnya. Ayam berlindung dikolong rumah. Lidah anjing terjulur-julur tanpa daya sambil berleha-leha. Angin pun tidak berembus. 

Di kala itu, Baginda mengalai di anjung peranginan istana. Dikipas dayang-dayang karena kegerahan. Dayang-dayang mengipas sambil bernyanyi kecil, seperti ibu menidurkan bayinya. Tiba-tiba Baginda memanggil Lenggo Geni. Setelah Lenggo Geni mendekat, Baginda berkata, "Panggil Bujang Selamat."

Lenggo Geni segera turun ke halaman. Didapatinya Bujang Selamat terkulai seperti orang tidur di kolong anjungan. "Selamat. Baginda memanggil," kata Lenggo Geni.

"Kenapa?" tanya Bujang Selamat.

"Mana aku tahu."

Bujang Selamat segera bangun. Tergopoh-gopoh naik ke istana. "Hamba datang, Baginda," katanya ketika sampai. 

"Hari panas sekali. Aku haus. Kau ambilkan dua kelapa gading. Segera!" kata Baginda.

"Baik Baginda," ujar Bujang Selamat.

Kelapa gading tumbuh di halaman istana. Pohonnya tinggi. Di pangkalnya bersarang kalajengking hitam. Jika disengatnya, pingsanlah orang. Di batangnya bersarang semut merah besar yangdisebut kerarangga. Jika orang digigitnya, pedih gatalnya terasa sampai ke sumsum tulang. Di rumpun daunnya bersarang ular gerang. Jika dipatuknya nyawa melayang. Tapi Bujang Selamat kebal kulit. Bila kalajengking itu menyengat, kalajengking itu yang mati. Jika ular itu mematuk, ular itu yang mati.

Bujang Selamat berhasil memetik dua buah kelapa gading seperti yang disuruh Baginda. Setelah dikupas sabutnya dan dilobangi batoknya, dibawanya ke anjung istana. Secara lahap mereguk airnya. Setelah habis sebuah, diambilnya sebuah lagi. Sedikit saja direguknya. Sisanya diberikan Baginda kepada Lenggo Geni. Maka terasasejuklah tubuh Baginda. Begitu pula Lenggo Geni. Akhirnya, kedua perempuan itu terlelaplah. Daging kelapa itu diberikan Bujang Selamat kepada kuda, kerbau dan ayam piaraan istana.

Menurut cerita tambo, kelapa gading itu buah yang keramat. Tidak lama kemudian, Baginda pun hamil. Begitu pula Lenggo Geni. Kuda, kerbau dan ayam yang memakan daging kelapa itu pun demikian pula.

Ketika tiba waktunya, Baginda melahirkan bayi laki-laki. Bayi itu diberi nama Sutan Rumandung. Ketika sudah dewasa bergelar Dang Tuanku.

Tak lama kemudian, Lenggo Geni pun melahirkan. Baginda menamakan bayi itu Bujang Kecinduan. Ketika besar bernama Cindur Mato.

Begitu sayangnya Baginda kepada kedua laki-laki itu. Tak dapat dikatakan, kepada siapa sayang Baginda berlebih. Sejak mendapat anak itulah Baginda dinamakan Bunda Kandung oleh rakyat Kerajaan Pagaruyung.

Dari kerbau yang memakan daging kelapa itu lahir pula seekor anak. Diberi nama Binuang. Anak kuda yang lahir diberi nama Gumarang, sedangkan anak ayam bernama Kinantan. Setelah besar, hewan itu ternyata punya keistimewaan. Binuang menyimpan ribuan lebah di daun telinganya. Kalau dia menggeleng, lebah itu akan keluar dan menyerang siapa saja yangada di sekitar itu. Gumarang larinya kencang bagai kuda sembrani. Sementara itu, Kinantan berbulu putih dan nyaring kokoknya. Sebagai ayam jago, Kinantan selalu menang berlaga di gelanggang aduan.

Ketika Dang Tuanku mulai dewasa, dia ditunangkan dengan Puti Bungsu, anak dari adik Bunda Kandung. Dia memangku jabatan Raja Muda yang berkedudukan di Indrapura, di pesisir selatan Kerajaan. Puti Bungsu terkenal cantik sehingga Tihang Bungkuk, anak Imbang Jaya dari kerajaan sebelah selatan ingin pula menyuntingnya. Ketika dia tahu Puti Bungsu telah bertunangan, disebarkannya berita bahwa Dang Tuanku telah kena penyakit kutukan. Seluruh tubuhnya kena kena penyakit biring. Biring yang bernanah. Baunya sangat busuk. Tempat tinggalnya dikucilkan ke sebuah pondok di tepi sungai agar penyakitnya tidak menular ke banyak orang. Percaya kepada berita itu, Raja Muda memutuskan pertunangan Puti Bungsu dengan Dang Tuanku. Lalu menerima lamaran Tihang Bungkuk.

Bunda Kandung marah sekali mendengar keputusan Raja Muda itu. Dikirimlah Cindur Mato untuk menyelidiki benar tidaknya berita itu. Namun, Dang Tuanku menyuruh Cindur Mato menculik Puti Bungsu.

Di perjalanan, adapesawangan tempat penyamun biasa beraksi, dikenal sebagai bukit Tambun Tulang. Tempat tulang-belulang bertimbun dari korban para penyamun sejak dulu. Di tempat itu, Cindur Mato dihadang oleh anak buah Tihang Bungkuk. Cindur Mato dikeroyok sampai hampir tidak berdaya. Lalu dia berseru kepada ketiga hewan yang dibawanya agar membantunya. Gumarang menerjang kian kemari. Kinantan mematuk kepala penyamun itu, sedangkan Binuang melepaslebah yangbersarang di telinganya. Lari puntang pantinglah semua penyamun itu. Cindur Mato tak terhadang lagi sampai ke istana Raja Muda. Dia berhasil membawa lari Puti Bungsu.

Ketika Tihang Bungkuk tahu tunangannya diculik, disusulnya perjalanan Cindur Mato. Di waktu tersusul, terjadilah perkelahian hidup mati. Yang mati ialah Tihang Bungkuk.

Ketika tahu bahwa anaknya mati terbunuh oleh Cindur Mato, bukan main berangnya Imbang Jaya (ayah Tihang Bungkuk). Dikerahkannya pasukan menyerang. Kerajaan Pagaruyung, yang memang tidak punya prajurit untuk berperang, dibakar punah jadi abu. Tak terkecuali istana Bunda Kandung.

Bunda Kandung, Dang Tuanku dan Puti Bungsu sempat menghindarke suatu tempat. Lunang namanya. Letaknya di timur Indrapura. Di sanalah mereka sampai akhir hayatnya. Kubur mereka disusun bersisian. Lama kemudian Cindur Mato pun menyusul pula ke sana. Setelah dia meninggal, kuburannya agak tersisih dari ketiga kuburan yang lain. Kuburan itu hingga kini masih terpelihara.

Sepeninggal ahli waris kerajaan itu, singgasana Pagaruyung diduduki oleh Bendahara dari Sungai Tarab. Dia salah seorang anggota Basa IV Balai, saudara sepupu Bunda Kandung.  

Sumber: Buku Cerita dari Sumatera Barat 3
Penulis : A. A Navis 
Ilustrasi : Gerdi WK
Desain Sampul: Antonius Kuntra Raharjo 
Penerbit: PT. Grasindo Tahun 2001
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Papua, Cendrawasih

22.06 3
Cerita Rakyat Propinsi Papua, Cendrawasih
Di daerah Fak-fak, tepatnya di daerah pegunungan Bumberi, hiduplah seorang perempuan tua bersama seekor anjing betina. Perempuan tua bersama anjing betina itu mendapatkan makanan dari hutan berupa buah-buahan dan kuskus. Hutan adalah ibu mereka yang menyediakan makanan untuk hidup. Mereka berdua hidup bebas dan bahagia di alam. Suatu ketika, seperti biasanya mereka berdua ke hutan untuk mencari makan. Perjalanan yang cukup memakan waktu lama telah mereka tempuh, namun mereka belum juga mendapatkan makanan. Anjing itu merasa lelah karena kehabisan tenaga. Pada keadaan yang demikian tibalah mereka berdua pada suatu tempat yang ditumbuhi pohon pandan yang penuh dengan buah. Perempuan tua itu serta merta memungut buah itu dan menyuguhkannya kepada anjing betina yang sedang kelaparan. Dengan senang hati, anjing betina itu melahap suguhan segar itu. Anjing betina itu merasa segar dan kenyang.

Namun, anjing itu mulai merasakan hal-hal aneh diperutnya. Perut anjing itu mulai membesar. Perempuan tua itu mulai memeriksanya dan merasa yakin bahwa sahabatnya (anjing betina) itu bunting. Tidak lama kemudian lahirlah seekor anak anjing. Melihat keanehan itu, si Perempuan tua segera memungut buah pandan untuk dimakannya, lalu ia pun mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh sahabatnya. Perempuan tua itu melahirkan seorang anak laki-laki. Keduanya lalu memelihara anak mereka masing-masing dengan penuh kasih sayang. Anak laki-laki tersebut diberinya nama Kweiya.

Setelah Kweiya menjadi besar dan dewasa, ia mulai membuka hutan dan membuat kebun untuk menanam aneka bahan makanan dan sayuran. Alat yang dipakai untuk menebang pohon hanyalah sebuah pahat (bentuk kapak batu), karenanya Kweiya hanya dapat menebang satu pohon setiap harinya. Ibunya ikut membantu dengan membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah untuk membersihkan tempat itu sehingga asap tebal mengepul ke langit. Keduanya tidak menyadari bahwa mereka telah menarik perhatian orang dengan adanya kepulan asap itu.

Konon ada seorang Pria Tua yang sedang mengail di tengah laut terpaku melihat suatu tiang asap yang mengepul tinggi ke langit seolah-olah menghubungi hutan belantara dengan langit. Ia tertegun memikirkan bagaimana dan siapakah gerangan pembuat asap misterius itu. Rasa penasaran mendorongnya untuk pergi mencari tempat di mana asap itu terjadi. Lalu ia pun segera menyiapkan diri dengan bekal secukupnya dan dengan bersenjatakan sebuah kapak besi, ia pun segera berangkat bersama seekor kuskus yang dipeliharanya sejak lama. Perjalanannya ternyata cukup memakan waktu. Setelah seminggu berjalan kaki akhirnya ia mencapai tempat di mana asap itu terjadi.

Setibanya di tempat itu, ternyata yang ditemui adalah seorang pria tampan yang sedang membanting tulang menebang pohon di bawah terik panas matahari dengan menggunakan sebuah kapak batu berbentuk pahat. Melihat itu, ia menghampiri lalu memberi salam : "weing weinggiha pohi" (artinya, "selamat siang"), sambil memberikan kapak besi kepada Kweiya untuk menebang pohon-pohon di hutan rimba itu. Sejak itu pohon-pohon pun berjatuhan bertubi-tubi. Ibu Kweiya yang beristirahat di pondoknya menjadi heran. Ia menanyakan hal itu kepada Kweiya, dengan alat apa ia menebang pohon itu sehingga dapat rebah dengan begitu cepat.

Kweiya nampaknya ingin merahasiakan tamu baru yang datang itu. Kemudian ia menjawab bahwa kebetulan pada hari itu satu tangannya terlalu ringan untuk dapat menebang begitu banyak pohon dalam waktu yang sangat singkat. Ibunya yang belum sempat lihat pria itu percaya bahwa apa yang diceritakan oleh anaknya Kweiya memang benar.

Karena Kweiya minta disiapkan makanan, ibunya segera menyiapkan makanan sebanyak mungkin. Setelah makanan siap dipanggilnya Kweiya untuk pulang makan. Kweiya bermaksud mengajak pria tadi untuk ikut makan ke rumah mereka dengan maksud memperkenalkannya kepada ibunya sehingga dapat diterima sebagai teman hidupnya.

Dalam perjalanan menuju rumah, Kweiya memotong sejumlah tebu yang lengkap dengan daunnya untuk membungkus pria tua itu. Lalu setibanya di dekat rumah, Kweiya meletakkan "bungkusan tebu" itu di luar rumah. Di dalam rumah, Kweiya pura-pura merasa haus dan memohon kepada ibunya untuk mengambilkan sebatang tebu untuk dimakannya sebagai penawar dahaga. Ibunya memenuhi permintaan anaknya lalu keluar hendak mengambil sebatang tebu. Tetapi ketika ibunya membuka bungkusan tebu tadi, terkejutlah ia karena melihat seorang pria yang berada di dalam bungkusan itu. Sera merta ibunya menjerit ketakutan, tetapi Kweiya berusaha menenangkannya sambil menjelaskan bahwa dialah yang mengakali ibunya dengan cara itu. Ia berharap agar ibunya mau menerima pria tersebut sebagai teman hidupnya, karena pria itu telah berbuat baik terhadap mereka. Ia telah memberikan sebuah kapak yang sangat berguna dalam hidup mereka nanti. Sang ibu serta merta menerima usul anak tersebut, dan sejak itu mereka bertiga tinggal bersama-sama.

Setelah beberapa waktu, lahirlah beberapa anak di tengah-tengah keluarga kecil tadi, dan kedua orang tua itu menganggap Kweiya sebagai anak sulung mereka. Sedang anak-anak yang lahir kemudian dianggap sebagai adik-adik kandung dari Kweiya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, hubungan persaudaraan di antara mereka semakin memburuk karena adik-adik tiri Kweiya merasa iri terhadap Kweiya.

Pada suatu hari, sewaktu orang tua mereka sedang mencari ikan, kedua adiknya bersepakat untuk mengeroyok Kweiya serta mengiris tubuhnya hingga luka-luka. Karena merasa kesal atas tindakan kedua adiknya itu, Kweiya menyembunyikan diri disalah satu sudut rumah sambil memintal tali dari kulit pohon "Pogak Ngggein" (genemo) sebanyak mungkin. Sewaktu kedua orang tua mereka pulang, mereka bertanya dimana Kweiya berada, tetapi kedua adik tirinya tidak berani menceritakan di mana Kweiya. Lalu adik bungsu mereka, yaitu seorang anak perempuan yang sempat menyaksikan peristiwa perkelahian itu menceritakannya kepada kedua orang tua mereka. Mendengar certa itu. Si ibu tua merasa iba terhadap anak kandungnya. Ia berusaha memanggil-manggil Kweiya agar datang. Tetapi yang datang bukannya Kweiya melainkan suara yang berbunyi : "Eek..ek,ek,ek,ek!" sambil menyahut, Kweiya menyisipkan benang pintalannya pada kakinya lalu meloncat-loncat di atas bubungan rumah dan seterusnya berpindah ke atas salah satu dahan pohon di dekat rumah mereka.

Ibunya yang melihat keadaan itu lalu menangis tersedu- sedu sambil bertanya-tanya apakah ada bagian untuknya. Kweiya yang telah berubah diri menjadi burung ajaib itu menyahut bahwa, bagian untuk ibunya ada dan disisipkan pada koba-koba (payung tikar) yang terletak di sudut rumah. Ibu tua itu lalu segera mencari koba-koba kemudian benang pintalannya itu disisipkan pada ketiaknya lalu menyusul anaknya Kweiya ke atas dahan sebuah pohon yang tinggi di hutan rumah mereka. Keduanya bertengkar di atas pohon sambil berkicau dengan suara : wong,wong,wong,wong,ko,ko,ko,wo-wik!!

Sejak saat itulah burung cendrawasih muncul di permukaan bumi. Terdapat perbedaan antara burung cendrawasih jantan dan betina, burung cendrawasih yang buluhnya panjang disebut "siangga" sedangkan burung cendrawasih betina disebut "hanggam tombor" yang berarti perempuan atau betina. Keduanya berasal dari bahasa Iha di daerah Onin, Fak-fak.

Adik-adik Kweiya yang menyaksikan peristiwa ajaib  itu merasa menyesal lalu saling menuduh siapa yang salah sehingga ditinggalkan oleh ibu dan kakak mereka. Akhirnya mereka saling melempari satu sama lain dengan abu tungku perapian sehingga wajah mereka ada yang menjadi kelabu hitam, ada yang abu-abu dan ada juga yang merah-merah, lalu mereka pun berubah menjadi burung-burung. Mereka terbang meninggalkan rumah mereka menuju ke hutan rimba dengan warnanya masing-masing. Sejak itu hutan dipenuhi oleh aneka burung yang umumnya kurang menarik dibandingkan dengan cendrawasih.

Ayah mereka memanggil Kweiya dan istrinya dan menyuruh mengganti warna bulu, namun mereka tidak mau. Ayah mereka khawatir bulu yang indah itu justru mendatangkan malapetaka bagi mereka. Ia berpikir suatu ketika orang akan memburu mereka, termasuk ketiga anaknya yang lain. Ayah merasa kecewa karena mereka tidak mengindahkan permintaan mereka untuk berubah bulu. Kini ayahnya kesepian dan sedih, ia melipat kedua kaki lalu menceburkan dirinya ke dalam laut dan  menjadi penguasa laut "Katdundur". 


Sumber:
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita rakyat Propinsi Papua Barat, Asal Mula Nama Irian

20.30 1
Cerita rakyat Propinsi Papua Barat, Asal Mula Nama Irian
Dahulu kala, di kampung Sopen, Biak Barat, tinggallah sebuah keluarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut bernama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Makanya saudara-saudaranya selalu meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika Mananamakrdi melawan, tak segan-segan saudara- saudaranya menendangnya ke luar hingga ia merasa kesakitan.

Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudisnya. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah daratan yang tak lain adalah Pulau Oakbudi di Biak Timur. Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat disadapnya.

Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong manggarnya. Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya, ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Pada suatu siang, ia amat terkejut saat mendapati nira di dalam tabungnya telah habis tak tersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia duduk di pelepah daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar sangat terang mendekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari, Mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.

"Siapa kamu?" tanya Mananamakrdi.

"Aku Sampan, Si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari hampir menyingsing," katanya memohon.

"Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik," pinta Mananamakrdi.

"Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu," kata Sampan. Mananamakrdi kemudian melepaskan Sampan.

Sejak saat itu, setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi seorang diri.Gadis itu tak lain adalah Insoraki, Putri kepala suku dari kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur. Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah bitanggur, dan dilemparnya ke laut.

Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang. hingga Insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.

Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai diceritakan kepada orang tuanya. Tentu saja orang tuanya tak percaya. Beberapa bulan kemudian, Insoraki melahirkan bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta itu. Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki Mananamakrdi. "Ayaaaahh.....," teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian kemudian terhenti.

Akhirnya, Insoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki dan Konori yang tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering kemudian membakarnya. Insoraki dan Konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan, Insoraki dan Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari api itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun gembira. Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya Masren Koreri. Beberapa lama kemudian Mananamakrdi mengheningkan cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian mengajak istri dan anaknya berlayar sampai di Manado dekat Manokwari.

Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak pegunungan yang amat cantik. Tak lama kemudian matahari bersinar terang, udara menjadi panas dan kabut pun lenyap.

"Ayah....Irian. Iriaaannn," teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.

"Hai, anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu, kata Mananamakrdi.

"Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi, pemandangan di sini indah sekali," kata Konori.

Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau dan burung cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.

Sumber:
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Propinsi, Maluku Utara, Si Rusa dan Si Kulomang

20.20 1
Cerita Rakyat Propinsi, Maluku Utara, Si Rusa dan Si Kulomang
Rusa di Kepulauan Aru mempunyai kemampuan berlari dengan sangat cepat. Namun, karena kelebihan itu, mereka menjadi hewan yang sombong dan serakah. Demi kesenangan, mereka menantang hewan lain untuk berlomba lari. Lawan yang berhasil dikalahkan harus menyerahkan tempat tinggal mereka kepada rusa. Tentu saja rusa yang jadi pemenangnya. Sudah banyak wilayah di Kepulauan Aru yang berhasil mereka kuasai. Luasnya wilayah mereka membuat rusa semakin merasa berkuasa. Mereka menganggap diri mereka bangsa penguasa pulau.

Di tempat lain, di tepian pulau Aru terdapat sebuah pantai yang sangat indah. Deburan ombak yang lembut, tiupan angin yang sejuk, dan hamparan pasir yang hangat membuat siapapun yang berada di sana merasa nyaman. Di sanalah hidup siput laut yang terkenal sebagai hewan yang cerdik dan sabar. Mereka hidup bersama dan saling tolong-menolong.Mereka sadar akan kelemahan tubuh mereka. Tapi, mereka percaya bahwa kekuatan otak tidak kalah dengan kekuatan apapun. Pada suatu hari, rusa menantang siput yang bernama Kulomang untuk bertanding. Selain ingin menguasai keindahan pantai, rusa ingin memuaskan hati dengan menambah koleksi kemenangan. Rusa sangat yakin dapat mengalahkan siput. Di seluruh pulau, siputlah binatang yang terkenal paling lambat berjalan. Berjalan dan berlari tidak terlihat bedanya. Selain itu, siput selalu membawa cangkang yang ukurannya melebihi tubuh mereka. Bagi rusa, tidak ada halangan yang mengganggunya untuk memenangkan pertandingan. Tapi, ada satu hal yang dilupakan rusa, siput adalah binatang yang terkenal dengan kecerdikannya.

Hari pertandingan pun tiba. Rusa membawa rombongannya untuk menyaksikan pertandingan dengan wajah optimis. Tak mau kalah, siput juga membawa sepuluh temannya. Masing-masing dari mereka ditempatkan di setiap pemberhentian yang telah ditentukan. Dia meminta agar teman-temanya membalas setiap perkataan Rusa. Jalur yang akan mereka pakai melewati 11 tempat peristirahatan termasuk tempat dimulainya pertandingan. Dia sendiri akan berada di garis start bersama Rusa sombong.

"Sudah siap menerima kekalahan Siput?" tantang Rusa dengan congkaknya.

"Siapa takut?!" ujar Siput pendek.

Pertandingan pun dimulai. Si Rusa lari secepat kilat mendahului Siput. Sementara Siput berjalan dengan tenang ke arah semak-semak. Beberapa jam kemudian, Rusa sudah sampai ke pos pemberhentian pertama. Nafasnya naik turun dengan cepat. Sambil bersandar kelelahan di pohon yang rimbun, Rusa bergumam.

"Baru sampai mana si lambat itu berlari? Hihihihi......?

"Sampai di belakangmu," jawab teman siput yang sudah bersiaga di semak-semak.

Rusa kaget saat mengetahui bahwa siput sudah berada di dekatnya. Saking terkejutnya Rusa, ia langsung melonjak dan lari tunggang langgang. Tidak dipedulikannya rasa lelah yang dirasakannya. Rusa terus saja berlari. Sampai-sampai, dia tidak berhenti di pos kedua. Di pos ketiga, dia kelelahan. Dia berhenti sebentar untuk mengatur nafas.

"Sekarang, tidak mungkin Siput mampu mengejarku!" kata Rusa di sela engahannya.

"Mengapa berpikir begitu?" ujar teman Siput yang lain santai, membaca ucapan Rusa. Tanpa berpikir panjang, Rusa berlari lagi.

"Tidak ada yang boleh mengalahkanku! Apa kata Rusa yang lain kalau aku mempermalukan bangsa sendiri?" kata Rusa pada dirinya sendiri.

Rusa terus berlari dan berlari. Tidak lupa di setiap pemberhentian, dia memastikan keberadaan si Siput. Tentu saja teman Siput siap menjawab segala perkataan Rusa. Memasuki pos ke 11, Rusa sudah kehabisan nafas. Saking lelahnya, Rusa jatuh tersungkur dan mati. Semua binatang yang pernah diremehkan Rusa sorak-sorak. Akhirnya, Siput berhasil mengalahkan Rusa yang sombong dengan cara memperdayainya.

Sumber:
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Maluku Utara, O Bia Moloku dan O Bia Mokara

01.47 1
Cerita Rakyat Maluku Utara, O Bia Moloku dan O Bia Mokara
Dahulu, jauh di belahan bumi sebelah utara kepulauan Maluku, terdapat sebuah daerah yang disebut Tobelo. Konon daerah yang diliputi laut yang membiru itu menyimpan suatu kisah yang menarik. Beratus tahun yang lalu di suatu rumah yang berdindingkan daun rumbia, tinggallah satu keluarga. Ayahnya seorang nelayan yang siang dan malam hidupnya diatas lautan bertarung nyawa untuk menghidupi anak istrinya. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang setia dan sangat bijaksana. Mereka memiliki dua orang anak. Yang sulung seorang anak perempuan bernama O Bia Moloku. Kecantikannya melebihi ibunya. Sedangkan adiknya bernama O Bia Mokara, tampan dan berperawakan mirip ayahnya.

Pada suatu hari mereka pergi melaut dan seperti biasa. Sebelum mereka bertolak ke laut, tak lupa ditinggalkannya makanan dan telur ikan pepayana di rumahnya. Beberapa hari setelah kepergian ayahnya melaut, ibunya pergi ke kebun. Sebelum ibunya pergi ia berpesan kepada kedua anaknya, "Hai anak-anakku, jangan kamu makan telur ikan yang ditinggalkan ayahmu ini. Apabila kamu memakannya akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan." Ibunya berkata dengan sungguh-sungguh tetapi mereka berdua hanya tertawa saja. Setelah ibunya selesai memberi nasihat maka pergilah ibunya ke kebun.

Kira-kira tiga jam berlalu, adiknya O Bia Mokara merasa lapar. Dimintanya makanan dan telur ikan. Kakaknya O Bia Moloku tak mau memberikan permintaan adiknya. Adiknya menangis tersedu-sedu tetapi O Bia Moloku tetap tidak mau memberikan telur ikan itu. Semakin lama semakin keras saja tangisan adiknya. Akhirnya O Bia Moloku tak tega melihat adiknya menangis terus-menerus dan telur ikan itu segera diberikan kepada adiknya. Sambil tertawa adiknya memakan telur ikan itu dengan lahapnya. Setelah memakan telur itu sampai habis, beberapa sisa telur ikan itu melekat pada gigi adiknya.

Tak lama kemudian ibunya kembali dari kebun membawa singkong, pepaya dan sayur-sayuran. Setelah selesai membersihkan badanya, ibunya pun menggendong O Bia Mokara dan segera menyusui si O Bia Mokara. Setelah itu ibunya dengedenge (menyanyi sambil menari) sambil menggendong O Bia Mokara yang tertawa gembira karena sangat senang berada dalam pelukan ibunya yang sangat didambakannya. Namun tiba-tiba ayunan mesra ibunya dikejutkan dengan terlihatnya sisa telur ikan yang melekat pada gigi O Bia Mokara. Suasana sukacita segera berubah menjadi keheningan yang mendalam. Ibunya tertegun sebentar, sekujur badannya menjadi dingin gemetar dan marah sekali kepada kedua anaknya. Amarah ibunya tak dapat ditekan lagi. Ia segera melepaskan O Bia Mokara dan segera melarikan diri menyusuri pesisir pantai. Sambil menggendong O Bia Mokara yang menangis terus, O Bia Moloku mengejar ibunya sambil memangil-manggil ibunya. "Mama, mama, O Bia Mokara menangis terus, Mama!" Namun, panggilannya hanya dijawab oleh mamanya. "Peras saja daun katang-katang, ada air susunya!"

Setelah tiga kali O Bia Moloku memberikan air susu dari daun katang-katang kepada adiknya, ibunya pun menerjunkan diri ke laut. Sementara menyelam ia menemukan sebuah batu yang timbul di permukaan air. Naiklah ibunya ke atas batu itu dan berkata "Terbukalah agar aku dapat masuk." Batu itu terbuka, lalu ibunya pun masuk kr dalam batu itu. Dengan segera ia pun berteriak, "Tutuplah." Maka batu itu pun tertutup selama-lamanya tanpa berbekas. Akhirnya kedua anak tersebut ditinggalkan oleh ibunya untuk selamanya.

Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Pendek, Sapi

01.54 0
Cerita Pendek, Sapi
MEMEK Manipatri tidak bahagia. 
Semua orang tahu itu. Ia sendiri tahu tahu itu karenanya ia menunjukkan bahwa ia sangat bahagia dengan duduk di atas mimbar dan jadi juru tafsir dan juru kritik orang-orang. Peranan yang memungkinkan dan amat gampang karena ia adalah tukang sayur di kampung kami. Ambil lauk serta sayur dari pasar, menggelarnya di meja tinggi dan timbungan barang-barang, menghadapi orang-orang kampung yang tak punya uang dan setengah menjilat untuk memperoleh utangan. Para pendengar setia yang datang untuk "mengiyakan", yang tak begitu disadarinya dan dianggap sebagai anak-anak buah dari satu pertemuan Darma Wanita. Bisa jadi!

"Kamu itu" katanya, nyaris pada setiap orang. "kalau punya duit ya bayar utang-utangmu jangan malahan mencegat tukang sayur keliling (mencibirkan bibir). Kalau tak punya duit baru bergegas sini dan mengambil barang seperti barang mbok-de-me sendir. Perasaan dong! Dari mana aku punya modal? Kan labaku cuma selawe atau lima puluh perak. 

Orang-orang cuma diam saja. Menunduk. Saling melirik dan menahan senyum-terkadang saling menyepak perlahan-lahan jauh di bawah, tak terlihat oleh meja tinggi dan timbunan sayur dan lauk. Tak ada orang yang berani menyahut, Pura-pura salah saja, bagai para anak buah. Toh, menurut anggapan mereka, mereka mengalah untuk menang - untuk memperoleh utangan dan di saat punya kebebasan memilih mempergunakan kebebasan itu untuk memilih. Meski kadang-kadang, mbok-e Muji balik mengejeknya. "Ala...," katanya, "Wong duit mboke saja pakai gaya nagih ngamuk-ngamuk. Kamu dan aku itu sama saja, kere - suamimu pegawai negeri, suamiku juga pegawai negeri, bedanya cuma mbok-mu itu kaya dan murah hati..."

***
DAN karenanya Memek Manipatri tidak bahagia, meski ia mencoba menunjukkan bahwa ia sangat bahagia, Bilang bahwa keluarga suaminya merupakan keluarga klasik yang terpandang dan terhormat. 

"Mereka punya pemakaman keluarga, turun-temurun - ibunya Mas No malah sudah disediakan tempatnya, rendeng dengan bapaknya Mas No, katanya. 

Dengan kepala tengadah dimiringkan ke kiri, dengan mulut mencibir dan pandangan menghina - tidak sadar - ia mencemoohkan asal-usulnya sendiri. Ayah yang hanya petani dengan harta yang berupa sapi kereman - kini almarhum dan meninggalkan tanah, tegal dan sawah, yang disewakan tahunan - dan ibunya yang penjaja mracang di kampung, warung yang sudah berdiri sejak tiga puluh lima tahun yang lalu, dan menghidupkan omzet dengan hubungan emosi dengan penduduk kampung yang tak segan-segan mengutang. 

Bahkan, dengan omongannya yang menempatkan dirinya jauh di atas mimbar sebagai juru tafsir , ia kembali memutar balikkan fakta. Bahwa barang perhiasan (gelang, kalung, dan cincin), yang diberikan ibunya sebagai hadiah perkawinan dan dipinjam mertuanya untuk berobat, dan baru dikembalikan, diklaim dan diuar-uar sebagai hadiah dari mertuanya. 

"Ibunya Mas No itu...," katanya, kalau memulai akan omong membanggakan. 

"Tapi, sesungguhnya, tak ada trah apa-apa pada Mas No itu. Ia diambil anak ketika bapaknya - yang orang kebanyakan - kawin dengan ibunya yang keturunan cikal-bakal Kampung Su'ud itu serndiri, kini, cuma jejeran lima rumah yang tergusur waktu dan tampak rapuh, meski, pada masanya, sang cikal-bakal itu pernah berjaya menjadi lurah yang sangat kaya dan berkekuasaan. 

 Sayang anak-anaknya yang termanja serta selalu mengandalkan bapak tak jadi apa-apa. Orang kebanyakan yang tak punya pekerjaan tetap di pemerintahan, orang kebanyakan yang bingung  menghadapi sawah dan ladang, para priyayi yang hanya bisa mengupah orang dan perlahan ditelah oleh difisit karena mengupah orang. Dan salah satu anak gadisnya kawin bapaknya - dalam tanda kutip - Mas No; lalu memungutnya dari adik lelakinya yang baru cerai dan mau kawin lagi. Kemudian ia mengklaim dirinya sebagai trah, sebagai raden - orang-orang terkadang menyebutnya sebagai trah Raden Diman, bapak aslinya, dan bukan trah Mbah Ongso dari gadis ibu tirinya, tapi dengan santun, orang-orang mengangguk serta menunduk menyembunyikan senyum ketika Memek Manipatri bilang bahwa "Ibunya Mas No..."

"Yang di alas itu ..." celetuk batin orang-orang - sudah bukan rahasia lagi bahwa ibu asli Mas No itu merupakan anak magerarsaren di alas jati kaki Gunung Wilis. Memang! Dan karenanya orang-orang sangat percaya bahwa Memek Manipatri sesungguhnya tidak bahagia, sangat tidak bahagia. Meski ia bilang tanah rumahnya dibeli dengan menjual sepeda motor Mas No. Meski bilang bahwa rumah itu dibangun dengan tunjangan orangtua Mas No. Sungguh menantu yang baik dan sangat memuliakan mertua - yang diklaimnya sebagai trah raden. 

Tapi orang-orang - apakah ada rahasia di kampung? - tahu bahwa justru ibunyalah yang dipanggilnya mbok, yang memodali semua itu. Yang terbesar, maksudku. Dulu, kata orang, ketika tanah itu akan di beli, Mas No menawarkan akan menjual sepeda motornya tapi malu sehingga mertuanyalah yang menawarkannya. Tapi ketika tahu harganya amat murah maka ia tak mau menjualnya sehingga "terpaksa" sang mertualah yang melakukan transaksaksi dan membayar kontan. Ketika membangun rumah orangtua Mas No mengirim satu truk pasir, satu truk bata, satu truk batu pondasi, dan sepuluh sak semen - lalu mertuanyalah yang harus menutup semuanya, akan tetapi Memek Manipatri bilang bahwa, "Ibunya Mas No ...."

***
MEMEK Manipatri sesungguhnya tidak berbahagia meski ia memperlihatkan peran orang di atas mimbar yang lebih segalanya dari orang lain. Menafsirkan setiap peristiwa, mengomentari setiap tindakan, dan mengejek setiap orang. "Tak ada yang seperti aku, begitu rumusan filsafat hidupnya. 

Dan memang tak ada yang seperti dia, merangkul erat-erat mbok-annya dan menyusu sangat buas sambil curiga pada setiap saudaranya. Kakak-kakaknya - wanita semua - bersuami pegawai negeri dan jadi pegawai negeri; mapan di tanah rantau, yang sesekali datang menengok dan dicurigai Memek Manipatri sebagai meloni untuk mengambil warisan. Ia takut kekayaan mbok-e diminta saudaranya yang lain dan tidak tumpah-ruah padanya seorang. Ia juga sangat iri pada adiknya, tunggal, lelaki, yang dibangunkan rumah di samping rumah warisan. Tapi sesungguhnya ia ingin apa, ia ingin seberapa? Ataukah ia merasa bahwa ia sangat rapuh secara ekonomi dan karenanya berkutat  sekuatnya pada sandaran kekenyalan keuangan mbok-e?

Mas No itu sesungguhnya seorang peternak, saya tegaskan; "peternak'. Lima tahun ia jadi honores pemda dan karenanya hidup menumpang di rumah mertuanya. Setelah jadi pegawai tetap, PNS dengan dua anak, dan memiliki rumah, ia tetap membelanjani istrinya secara klasik - mendrop beras bagian (gaji) dan membiarkannya mencari lauk dan ongkos membayar listrik dan seterusnya sendiri. 

Ia sendiri setia pada hobinya. Mengeluyur. Memelihara burung dan segala hobi Klangenan lainnya. Pergi ke kantor, pulang untuk pergi lagi, dan balik pada saat pukul 22.00 malam untuk tidur. Tak risau pada anak-anaknya karena kedua anaknya dititipkan pada orangtuanya, di mana ia selalu menyempatkan diri mampir dan mencari makan enak. Tak risau memikirkan kesehatan mereka. Tak risau memikirkan perkembangan jiwa mereka. Tak risau memikirkan perkembangan akademik (SD) mereka. Tenang seperti seorang peternah, yang mempercayakan pertumbuhan sapi dan kambing pada padang rumput dan alam. 

"Anak lelaki tak akan pulang meteng," katanya. 

Dan filsafat peternak ini menjalar pada Memek Manipatri. Tak peduli pada apa pun, puas dengan meja tinggi dan tumpukan lauk serta sayur, serta beking kekenyalan keuangan mbok-e. 

***
TAPI Memek Manipatri tak bahagia. Semua orang tahu itu, dan ia sendiri tahu itu. "Kalau hamil jangan diumbar, jangan biarkan orok dalam perut membesar dan menjebol jalan lahir ketika keluar," katanya, "Nanti "anu"-mu diobrak-abrik dokter dan suamimu tak puas dan lari dengan wanita lain. Jangan seperti Bu Nenok!" 

Dan ia bicara begitu sambil menunjuk Ibu Nenok. Ibu Nenok tersenyum saja, karena ia tahu Memek Manipatri tidak bahagia dan mencoba menunjukkan yang lain lebih patut dikasihani serta tak tahu ilmu hidup, karena semua percaya bahwa Mas No baru saja kepincut anak gadis tukang kopi di terminal dan ke sana kemari berboncengan serta berpacaran. Tak heran kalau Memek Manipatri makin lantang serta makin kritis menilai dan mengejek orang lain, dan percaya orang lain akan lebih celaka dan akan lebih tak berbahagia dari ketidakbahagiannya, sebagai istri yang suaminya tak telaten, tak mengurusi, dan kini malahan pacaran lagi. 

Memek Manipatri memang tak bahagia, malam-malam ketika semua orang berkumpul dalam hangat kekeluargaan di rumah, dan karenanya terkadang ia terlihat duduk sendiri di beranda, atau menyapu-nyapu dengan pandangan kosong dan hampa, atau malam-malam menggedor rumah mbok-e untuk sekedar mencari teman omong dan lalu bergegas pulang karena takut Mas No keburu pulang. 

Memek Manipatri sesungguhnya tak bahagia. Ia seperti sapi yang tak ditelateni dan nelangsa dengan ketelantaran diri; meski terus lantang menilai dan mengejek orang lain. 

Dan orang-orang tahu bahwa Memek Manipatri memang tak bahagia. Sangat tak bahagia...! 

 Kompas, 17 April 1994

Sumber
Penulis : Beni Setia
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995) 
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995
Read More

Cerita Rakyat Sulawesi Barat, Panglima To Dilaling

00.11 1
Cerita Rakyat Sulawesi Barat,  Panglima To Dilaling
Alkisah, di sebuah bukit yang bernama Napo di daerah Tammajarra, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Balanipa yang dipimpin oleh Raja Balanipa. Sudah tiga puluh tahun sang Raja berkuasa, namun tidak mau turun dari tahtanya. Ia ingin berkuasa sepanjang masa. Untuk itu, ia senantiasa menjaga kesehatan badannya dengan cara berolahraga secara teratur, berburu, minum jamu dan obat ramuan tabib terkenal agar tetap awet muda dan panjang umur.

Raja Balanipa memiliki empat orang anak, dua putra dan dua putri. Akan tetapi kedua putranya sudah dibunuhnya, karena ia tidak mau mewariskan tahtanya kepada mereka. Sementara sang Permaisuri  selalu merasa cemas jika sedang mengandung. Jangan-jangan anak yang dikandungnya itu seorang bayi laki-laki. Ia sudah tidak kuat lagi melihat anaknya dibunuh oleh suaminya sendiri. Ia pun selalu berdoa kepada Tuhan, agar anak yang dikandungnya kelak adalah bayi perempuan.

Pada suatu waktu, sang Permaisuri sedang hamil besar. Ketika itu, Raja Balanipa hendak pergi berburu di daerah Mosso. Sebelum berangkat, sang Raja berpesan kepada Panglima perangnya yang bernama Puang Mosso.

"Puang Mosso! Tolong jaga Permaisuriku yang sedang hamil besar itu! Jika aku belum kembali dan ia melahirkan anak laki-laki, maka bunuhlah anak itu!" titah Raja Balanipa.

"Baik, Baginda! Segala perintah Baginda pasti hamba laksanakan," jawab Puang Posso sambil memberi hormat.

Setelah itu, berangkatlah Raja Balanipa ke Mosso. Keesokan harinya, sang Permaisuri pun melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Namun anehnya, lidah bayi itu berwarna hitam dan berbulu. Mengetahui Permaisuri melahirkan, anjing pengawal raja segera menjilati kain bekas persalinan, sehingga meninggalkan darah di moncongnya. Kemudian anjing itu segera mencari sang Raja yang sedang berburu di daerah Mosso. Setelah menemukan tuannya, anjing itu terus menggonggong untuk memperlihatkan darah di moncongnya. Sang Raja yang mengerti jika Permaisurinya telah melahirkan segera kembali ke istana.

Sementara itu, Puang Posso sedang dilanda kebingungan setelah mengetahui sang Permaisuri melahirkan bayi laki-laki. Ia merasa kasihan dan tidak tega membunuh bayi itu. Sesaat ia berpikir keras untuk mencari cara agar sang Raja tidak murka dan bayi laki-laki itu tetap hidup

"Mmm, aku tahu caranya. Aku akan menyembelih seekor kambing dan aku kuburkan, lalu membuatkan nisan di atas kuburannya, sehingga sang Raja akan mengira bahwa isi kuburan itu adalah putranya," pikir Puang Mosso, lalu segera melaksanakan niatnya itu. Oleh karena khawatir rahasianya diketahui sang Raja, Puang Mosso menitipkan bayi itu kepada keluarganya yang tinggal di sebuah kampung yang berada jauh dari istana. Keesokan harinya, Raja Balanipa kembali dari berburu dan langsung menemui Puang Mosso.

"Bagaimana keadaan Permaisuri? apakah ia sudah melahirkan?" tanya sang Raja.

"Ampun, Baginda! Sehari setelah Baginda berangkat, Permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki. Sesuai dengan pesan Baginda, hamba sudah menyembelih dan menguburkan bayi itu, jelas Puang Posso.

"Di mana kamu kuburkan?" tanya sang Raja.

"Ampun, Baginda! Hamba menguburnya di samping kuburan putra Baginda yang lainnya," jawab Puang Mosso.

Raja Balanipa belum yakin jika belum melihat langsung kuburan itu. Raja pun segera ke tempat perkuburan keluarga istana, dan tampaklah sebuah kuburan kecil yang masih baru. Sang Raja pun percaya bahwa bayi laki-lakinya sudah mati. Ia pun kembali menjalankan tugasnya sebagai Raja dengan perasaan tenang, karena pewaris tahtanya sudah tidak ada lagi.

Waktu terus berjalan. Putra Raja yang tinggal di sebuah kampung sudah besar. Ia sudah lancar berbicara dan mengenal orang-orang di sekelilingnya. Ia juga sangat akrab dengan Puang Mosso, karena hampir setiap minggu Puang Mosso membesuknya secara diam-diam. Oleh karena khawatir rahasianya diketahui oleh sang Raja, Puang Mosso menitipkan anak itu kepada seorang pedagang yang akan berlayar menuju Pulau Salemo yang berada jauh dari bukit Napo.

Di Pulau Salemo, putra Raja itu tumbuh menjadi anak yang sehat. Ia diasuh dan dididik oleh keluarga pedagang yang membawanya ke tempat itu. Ia sangat tekun bekerja dan mahir memanjat pohon kelapa.

Pada suatu hari, ketika ia sedang memanjat pohon kelapa, tiba-tiba seekor burung rajawali raksasa menyambarnya, lalu membawanya terbang ke tempat yang jauh. Ketika sampai di daerah Gowa, anak itu terlepas dari cengkeraman rajawali raksasa sehingga terjatuh di tengah sawah dan ditemukan oleh seorang petani. Si petani pun segera melaporkan hal itu kepada Raja Gowa, Tumaparissi Kalonna.

"Ampun, Baginda! Hamba menemukan seorang anak laki-laki berbaju merah di tengah sawah yang terlepas dari cengkeraman seekor burung rajawali raksasa."

"Di mana anak itu sekarang?" tanya Raja Gowa.

"Ada di rumah hamba, Baginda!" jawab petani itu.

"Pak tani! Bawa anak itu kemari, aku ingin melihatnya!" titah Raja Gowa.

Mendengar perintah sang Raja, petani itu segera menjemput anak itu di rumahnya. Beberapa lama kemudian, petani itu sudah kembali ke istana bersama dengan anak itu. Ketika sang Raja melihat dan mengamati anak itu, ia langsung  tertarik dengan tubuh anak itu.

"Waaah, kekar sekali tubuh anak ini! Jika anak ini akau rawat dan didik dengan baik, kelak ia akan menjadi pemuda yang gagah perkasa," pikir Raja Gowa.

"Hei, anak kecil! Kamu siapa dan dari mana asalmu?" tanya Raja Gowa.

Putra Raja Balanipa itu menceritakan asal-usulnya hingga ia dapat sampai di tempat itu. Sang Raja menjadi terharu mendengar cerita anak itu. Akhirnya, Raja Gowa merawat dan mendidiknya hingga menjadi pemuda gagah perkasa dan sakti. Kemudian ia mengangkatnya menjadi panglima perang (tobarani) Kerajaan Gowa. Sejak putra Raja Balanipa itu menjadi panglima perang, pasukan kerajaan Gowa selalu menang dalam peperangan. Panglima perang kerajaan Gowa itu pun terkenal hingga ke berbagai negeri. Raja Gowa kemudian memberinya gelar I Manyambungi.

Sementara itu, di Kerajaan Balanipa, kondisi keamanan sedang kacau balau. Rupanya Raja Balanipa yang merupakan ayah kandung Panglima I Manyambungi telah wafat dan digantikan oleh Raja Lego yang terkenal sakti. Raja tersebut sangat kejam dan bengis. Ia suka menganiaya rakyat, baik yang berada di wilayah kekuasaannya maupun yang berada di negeri sekitarnya yaitu negeri Samsundu, Mosso dan Todang-todang. Hal itu membuat Raja-Raja negeri bawahannya menjadi resah dan benci kepadanya. Untuk mengatasi hal itu, mereka pun mengadakan musyawarah untuk mencari cara menyingkirkan Raja Lego.

"Bagaimana caranya menyingkirkan Raja Lego yang kejam itu?" tanya salah seorang Raja.

"Saya mendengar kabar bahwa Kerajaan Gowa memiliki seorang panglima perang yang sakti bernama I Manyambungi. Barangkali kita dapat meminta bantuannya utntuk melawan Raja lego jawab seorang Raja yang lain.

Para Raja negeri bawahan itu pun bersepakat untuk mengundang Panglima I Manyambungi. Maka diutuslah beberapa perwakilan dari kerajaan-kerajaan bawahan ke kerajaan Gowa. Sesampainya di Gowa, mereka pun segera menemui panglima sakti itu dan mengutarakan maksud kedatangan mereka.

"Maaf, Tuan! Kami adalah utusan dari kerajaan-kerajaan kecil di daerah Polewali Mandar. Maksud kedatangan kami adalah ingin meminta bantuan untuk melawan Raja Lego," lapor sang utusan.

"Siapa Raja Lego itu?" tanya I Manyambungi.

"Ia adalah penguasa Kerajaan Balanipa yang menggantikan Raja Balanipa. Ia sangat  kejam, suka menganiaya rakyat kami yang tidak berdosa," jelas salah seorang utusan. I Manyambungi sangat terkejut saat mendengar jawaban itu. Ia jadi teringat dengan ayah dan keluarga yang pernah diceritakan oleh Puang Mosso kepadanya pada masa ia masih kecil.

"Bagaimana dengan Raja Balanipa dan keluarga istana lainnya?" tanya I Manyambungi penasaran.

"Raja Balanipa dan permaisurinya telah wafat. Sementara beberapa keluarga istana lainnya sedang mengungsi ke daerah Mosso." jelas utusan itu.

"Bagaimana dengan Panglima Puang Mosso? Apakah ia masih hidup?" tanya I Manyambungi.

"Iya, Tuan! Dia masih hidup. Bahkan dialah yang telah menyelamatkan sebagian keluarga istana. Bagaimana Tuan dapat mengenal Puang Mosso?" tanya salah seorang utusan heran.

Panglima I Manyambungi pun menceritakan perihal asal-usulnya. Para utusan dari Mandar itu pun terkejut dan segera memberi hormat.

"Ampun, Tuan! Sungguh kami tidak mengetahui jika Tuan adalah putra Raja Balanipa," kata utusan serentak.

"Baiklah! Aku akan memenuhi permintaan kalian, tapi dengan syarat Puang Mosso yang harus datang sendiri menjemputku," pesan Panglima I Manyambungi.

"Baik, Tuan! Kami akan menyampaikan berita ini kepada Puang Mosso" jawab para utusan seraya berpamitan kembali ke Mandar. Sesampai di Mandar, mereka segera menemui Puang Mosso. Mendengar laporan para utusan itu, Puang Mosso  menjadi cemas. Oleh karena penasaran, Puang Mosso berlayar sendiri ke Gowa dengan hati berdebar-debar. Dalam perjalanan, ia selalu  bertanya-tanya dalam hati.

"Siapa sebenarnya I Manyambungi itu. Kenapa harus aku yang menjemputnya? jangan-jangan dia adalah putra Raja Balanipa yang pernah aku titipkan kepada seorang pedagang?"

Sesampai di Gowa, Puang Mosso segera menghadap Panglima I Manyambungi. Saat berada di hadapan panglima yang sakti itu, hati Puang Mosso semakin berdebar kencang. Lain halnya dengan I Manyambungi yang selalu tersenyum sambil menatap Puang Mosso dengan mata berkaca-kaca. Puang Mosso bukanlah sosok yang asing di mata I Manyambungi.

"Benarkah anda Puang Mosso?" tanya I Manyambungi.

"Benar, Tuan! jawab Puang Mosso.
 "Maafkan hamba Tuan! Maukah Tuan menjulurkan lidah sebentar?" Puang Mosso balik bertanya kepada I Manyambungi dengan perasaan ragu-ragu. Ketika melihat lidah I Manyambungi berwarna hitam dan berbulu, maka semakin yakinlah Puang Mosso jika panglima itu adalah putra Raja Balanipa. Tanpa berpikir panjang, Puang Mosso segera memeluknya dengan erat sambil berkata :

"Benar, engkaulah putra Raja Balanipa."

I Manyambungi pun membalas pelukan Puang Mosso sambil meneteskan air mata, lalu berkata :

"Iya, Puang Mosso! Terima kasih karena engkau telah menyelamatkan nyawaku dan merawatku semasa aku masih kecil."

"Sudahlah, Tuan! Kita harus segera ke daerah Mandar untuk menyelamatkan warga yang tidak berdosa dan merebut kembali Kerajaan Napo dari tangan Raja Lego yang bengis dan kejam itu," ujar Puang Mosso.

"Baik, Puang Mosso! Kita berangkat saat tengah malam agar tidak ketahuan oleh Raja Gowa. Jika mengetahui hal ini, beliau pasti akan melarangku pergi," kata I Manyambungi.

Pada saat tengah malam, Puang Mosso dan Panglima I Manyambungi beserta beberapa pengikutnya meninggalkan istana Kerajaan Gowa. Setelah beberapa hari berlayar, kapal mereka pun merapat di pelabuhan Tangnga-tangnga. Semua peralatan perang mereka turunkan dari kapal dan kemudian membawanya ke bukit Napo. Sejak itu, Panglima I Manyambungi dikenal dengan nama Panglima To Dilaling.

Sementara itu, Raja Lego semakin kejam terhadap rakyat yang lemah. Segala keinginannya harus segera dipenuhi. Jika ia menginginkan harta atau pun gadis untuk dikawini, tidak seorangpun yang dapat menghalanginya. Akibatnya seluruh warga menjadi resah dan semakin benci kepadanya. Maka, pada saat Panglima To Dilaling mengajak para warga untuk memerangi Raja Lego, mereka menyambutnya dengan senang hati dan penuh semangat.

Pada waktu yang telah ditentukan, Panglima To Dilaling beserta seluruh warga menyerbu istana Raja Lego. Pertempuran sengit pun tidak dapat dihindari lagi. Pada mulanya, pasukan Raja Lego dapat mengadakan perlawanan. Namun, karena jumlah mereka lebih sedikit daripada pasukan Panglima  To Dilaling, akhirnya merekapun menyerah.

Sementara itu, Raja Lego yang dihadapi langsung oleh Panglima To Dilaling masih mampu melakukan perlawanan. Keduanya saling mengadu kesaktian. Tidak berapa lama kemudian, Raja Lego akhirnya kalah juga dan mati di ujung badik Panglima To Dilaling. Seluruh warga menyambut kemenangan itu dengan gembira. Akhirnya, Panglima To Dilaling dinobatkan menjadi Raja di bukit Napo. Selama masa pemerintahan Panglima To Dilaling, negeri Napo dan sekitarnya menjadi aman, makmur dan sentosa. Hingga kini, makam Panglima To Dilaling dapat disaksikan di bawah sebuah pohon beringin yang rindang yang berada di atas bukit Napo, Polewali Mandar.

Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Propinsi Gorontalo, Legenda Bulalo La Limutu (Danau Limboto)

21.58 0
Cerita Rakyat Propinsi Gorontalo, Legenda Bulalo La Limutu (Danau Limboto)
Dahulu kala di daerah Limboto, Gorontalo, terdapat sebuah mata air yang jernih dan dingin. Mata air ini jarang dijamah oleh manusia karena terletak di tengah-tengah hutan yang lebat. Mata air inilah yang biasa didatangi oleh para bidadari dari kayangan untuk mandi. Mata air ini bernama Tupalo.

Pada suatu hari turunlah seorang jejaka dari kayangan, ia sangat tampan dan perkasa. Ia bernama Jilumoto, yang artinya "seseorang yang menjelma menjadi manusia". Ketika menyaksikan bidadari yang mandi di Tupalo, ia menyembunyikan sayap salah seorang dari mereka. Ternyata sayap itu milik seorang bidadari yang paling tua di antara yang lainnya yang bernama Mbui Bungale. Saat mengetahui bahwa sayapnya hilang, Mbui Bungale tidak dapat kembali ke kayangan. Selanjutnya ia bertemu dengan Jimuloto,  setelah saling berkenalan, Jimuloto mengajaknya untuk menikah dan tinggal di bumi. Akhirnya mereka pun menikah. Mereka kemudian memutuskan untuk mencari tempat tinggal dan lahan untuk bercocok tanam. Akhirnya mereka menjumpai sebuah bukit yang mereka beri nama Hantu lo Ti'opo atau "bukit kapas". Di bukit inilah mereka mengolah tanah dan menanam aneka tanaman yang dapat dimakan.

Suatu ketika Mbui Bungale mendapat kiriman dari kayangan, yaitu sesuatu yang disebut Bimelula atau mustika sebesar telur itik. Mbui Bungale mengambil Bimelula itu dan kemudian menyimpannya pada mata air Tupalo, tempat biasanya ia mandi, dan ditutupnya dengan sebuah tolu (tudung). Pada suatu hari ada empat pelancong yang berasal dari bagian Timur tersesat ke tempat itu dan menemukan mata air tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan dingin, mereka segera berendam di sana, saat ada di air mereka melihat sebuah tolu terapung-apung di atas air. Mereka penasaran dan berusaha mengambilnya. Namun tiba-tiba terjadi badai dan angin topan di sana, hujan pun turun dengan sangat deras. Dunia menjadi gelap gulita, mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi, lalu dengan sekuat tenaga mereka berusaha keluar dari sana dan mencari tempat yang aman. 

Setelah badai reda, hujan pun berhenti. Mereka kembali ke mata air untuk melihat apa yang sedang terjadi. Mereka melihat tudung itu masih terletak di tempatnya semula. Dengan penuh keheranan mereka kembali mendekati tudung itu untuk mengangkatnya, tetapi sebelumnya mereka meludahi tudung itu dengan sepah pinang. Setelah melakukan hal itu, mereka tidak menjauh dari mata air, tetapi mengintip dan ingin tahu siapa pemilik tudung itu. Tak lama kemudian datanglah Mbui Bungale dengan suaminya bermaksud menjemput Bimelula yang tertutup dengan tudung itu.

Ketika Mbui Bungale mendekati tudung, ia dihadang oleh empat pelancong yang tak dikenalnya itu. Mereka kemudian berkata, "Wahai kalian berdua, siapakah kalian sebenarnya, untuk maksud apa kalian mendatangi tempat ini?"

"Saya Mbui Bungale, dan ini suami saya Jilumoto, kami bermaksud menjemput mustika  dalam tudung itu." jawab Mbui Bungale.

Keempat orang itu dengan lantang menjawab, "Tidak seorangpun yang kami ijinkan menjamah tempat ini, apalagi mengambil barang-barang yang ada di sini, tempat ini adalah milik kami."

Mbui Bungale balik bertanya,, "Apa buktinya bahwa tudung itu milik kalian?"

"Lihatlah sepah pinang di atasnya, inilah buktinya," jawab salah seorang pelancong  itu.

Mbui Bungale hanya tersenyum dan berkata, "Jika kalian benar menguasai mata air dan tudung itu, cobalah kalian besarkan mata air ini menjadi danau. Kuingatkan kepada kalian bahwa mata air ini diturunkan oleh Yang Maha Kuasa untuk digunakan oleh manusia yang baik budi pekertinya, bukan orang-orang tamak dan rakus. Tanah ini berada dalam lindunganNya, oleh karena itu jalah dan jangan engkau cemarkan. Jika kalian benar-benar pemilik mata air ini, cobalah perluas airnya, silahkan keluarkan ilmu-ilmu kalian."

Pertama kali yang memperagakan kesaktiannya adalah orang yang dianggap pemimpin dari mereka berempat. Sambil membentangkan tangannya dengan lantang ia berkata, "Oh, mata air kami! Meluaslah kalian...." demikian pemimpin rombongan itu memperagakan kesaktiannya, tapi tak terjadi apapun di tempat itu. Air tak juga meluas, angin pun tak bergerak.

Mbui Bungale kembali tersenyum dan berkata dengan mereka berempat, "Ayo keluarkan kekuatan kalian, buktikan jika mata air ini milik kalian. Atau kalian telah menyerah dan mengaku kalah?"

Pemimpin rombongan itu berkata dengan nafas tersengal-sengal, "Jika kamu pemilik tempat ini, maka tunjukkanlah kemampuanmu!"

Mbui Bungale kemudian bersedakep dan mengarahkan tangannya ke arah mata air sambil berdoa, "Tuhanku, berikanlah aku kekuatan, Luaskan dan besarkan mata air ini, mata air para bidadari.....membesarlah.....!" Tak lama kemudian terdengar suara air bergemuruh, tanah menggelegar, perlahan-lahan mata air itu melebar dan meluas. Mbui Bungale dalam sekejap telah berada di atas pohon, sementara keempat orang itu terpana kagum melihat keajaiban itu.

Air semakin tinggi dan mulai mencapai tempat keempat orang yang berada di atas pohon kapak, dengan berteriak mereka memohon ampun pada Mbui Bungale, wanita itu kemudian berkata, "Masihkah kalian mengakui tempat ini sebagai milik kalian?" Keempat pelancong itu minta maaf kepada Mbui Bungale dan mempersilahkannya untuk mengambil tudung mustika  itu.

Mbui Bungale mengambil tudung itu yang setelah dibukanya berisi sebuah telur, dan ajaib saat itu telur tersebut menetas, di dalamnya terdapat seorang bayi perempuan cantik yang konon akan menjadi Raja Limboto. Gadis itu dikenal dengan nama Tulango Hula, yang artinya cahaya bulan. Setelah itu Mbui Bungale berencana membawa bayinya pulang dan mengajak keempat pelancong itu, sejenak ia melayangkan pandangan kembali ke danau, di sana dilihatnya lima biji buah terapung-apung di air, ia mengambil dan mencium buah yang ternyata jeruk itu. Sejak saat itu danau tersebut diberi nama Bulalo Lo limu o tutu yang artinya "danau dari jeruk kayangan", dan dikenal sebagai Danau Limboto.

Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara, La Sirimbone

01.58 0
Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara, La Sirimbone
Alkisah, di sebuah daerah di Sulawesi Tenggara, Indonesia, hidup seorang janda cantik bernama Wa Roe bersama seorang anak laki-laki yang masih kecil bernama La Sirimbone. Mereka tinggal di sebuah gubuk di pinggir kampung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, Wa Roe bekerja mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar. 

Pada suatu hari, datang seorang pedagang kain dari negeri seberang yang bernama La Patamba. Ia menawarkan barang dagangannya dari satu rumah penduduk ke rumah penduduk lainnya. Ia memulainya dari sebuah gubuk yang terletak di paling ujung kampung itu, yang tidak lain adalah tempat tinggal Wa Roe. Alangkah terkejutnya La Patamba saat melihat penghuni gubug itu adalah seorang perempuan cantik jelita.

"Aduhai, cantik sekali perempuan ini," ucapnya dalam hati dengan takjub. Dengan perasaan gugup, La Patamba menawarkan kain dagangannya kepada Wa Roe. Namun, Wa Roe tidak membeli karena tidak mempunyai uang. Setelah itu, La Patamba mohon diri untuk menawarkan dagangannya kepada penduduk lainnya. Dalam perjalanan berkeliling kampung, wajah Wa Roe selalu terbayang-bayang didepan matanya.

Saat hari mulai gelap, La Patamba kembali ke rumahnya di negeri seberang. Keesokan harinya, La Patamba kembali ke kampung itu. Namun, ia kembali bukannya untuk berdagang, melainkan ingin meminang Wa Roe. Untuk menghargai warga di kampung, La Patamba terlebih dahulu meminta restu kepada sesepuh kampung dan sekaligus meminta tolong untuk menemaninya pergi meminang Wa Roe. Setelah mendapatkan restu, maka berangkatlah La Patamba bersama sesepuh kampung itu ke tempat Wa Roe.

"Maaf, Wa Roe, jika kami datang secara tiba-tiba tanpa memberitahukanmu sebelumnya. Maksud kedatangan kami adalah ingin menyampaikan pinangan La Patamba," ungkap sesepuh kampung itu.

Mendengar hal itu, Wa Roe terdiam sejenak. Ia betul-betul tidak menyangka, begitu cepatnya La Patamba mengambil keputusan ingin menikah dengannya. Padahal ia baru sekali bertemu dan belum saling mengenal. Sebenarnya, Wa Roe tidak terlalu memikirkan dirinya, tapi ia mengkhawatirkan anaknya. Setelah berpikir, Wa Roe bersedia menerima pinangan La Patamba.

"Baiklah, saya menerima pinangan La Patamba, tapi dengan syarat ia bersedia menyayangi anakku, La Sirimbone," jawab Wa Roe. Mendengar jawaban dari Wa Roe, sesepuh kampung itu pun balik bertanya kepada La Patamba tentang syarat yang diajukan Wa Roe itu. "Bagaimana menurutmu, La Patamba? Apakah kamu sanggup memenuhi syarat itu?"

"Aku bukanlah orang yang membenci anak. Aku akan menyayangi La Sirimbone seperti halnya anak kandungku sendiri," janji La Patamba. Wa Roe pun terbuai dengan kata-kata manis La Patamba. Akhirnya mereka pun menikah. Pada awalnya mereka hidup bahagia. La Patamba sangat menyayangi La Sirimbone seperti anak kandungnya sendiri. Setiap pulang dari berdagang kain dari satu kampung ke kampung lainnya, ia selalu membawakan oleh-oleh. Namun, kebahagiaan itu hanya berjalan satu bulan. La Patamba tiba-tiba membenci anak tirinya tanpa alasan. Hampir setiap hari ia memarahi dan memukuli La Sirimbone. Bahkan ia menyuruh istrinya agar membuang La Sirimbone ke tengah hutan. Namun, Wa Roe menolak perintah itu.

"Bang! Masih ingatkah dengan perjanjian kita sebelum menikah? Bukankah Abang berjanji akan menyayangi La Sirimbone seperti anak kandung Abang sendiri? Tapi, mengapa tiba-tiba Abang begitu membencinya?"

"Ah, persetan dengan janji itu! Waktu itu aku hanya berpura-pura memenuhi syarat itu agar aku dapat menikahimu," jawab La Patamba dengan marah.

Wa Roe bersama anaknya menjadi ketakutan mendengar kamarahan La Patamba. Akhirnya, Wa Roe pun memutuskan untuk membuang anaknya ke tengah hutan dan segera mempersiapkan bekal untuknya. Sambil mempersiapkan bekal, air matanya berderai membasahi pipinya, karena sedih memikirkan nasib anaknya yang malang. Keesokan harinya, berangkatlah La Sirimbone menuju hutan. Setelah melewati tujuh buah lembah dan tujuh buah gunung, mereka pun berhenti di sebuah hutan lengang dan sepi.

"Maafkan Ibu, Nak! Ibu terpaksa meninggalkanmu sendiri di sini," kata Wa Roe sambil memeluk anak semata wayangnya.

"Ibu...! Bagaimana dengan nasibku, Bu?" tanya La Sirimbone mengiba sambil menangis.

"Pergilah sendiri melewati gunung dan lembah! Jagalah dirimu baik-baik. Ibu akan mendoakanmu semoga Tuhan selalu melindungimu," jawab Wa Roe seraya berpamitan pulang. Setelah Ibunya pergi, La Sirimbone pun melanjutkan perjalanannya menelusuri hutan dan lembah. Sudah tujuh hari tujuh malam ia berjalan sendiri dan sudah tujuh lembah dan gunung yang ia lewati. Pada suatu hari, ketika menyusuri sebuah hutan, La Sirimbone menemukan tapak kaki manusia yang sangat besar.

"Wah, aneh! Kenapa ada tapak kaki manusia sebesar ini?" tanyanya dalam hati.

Oleh karena penasaran, ia pun mengikuti tapak kaki raksasa itu. Setelah beberapa jauh berjalan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara gemuruh. Alangkah terkejutnya ia saat mendekati sumber suara itu. Ia melihat seorang raksasa perempuan sedang menumbuk. Ia pun menjadi gemetar ketakutan dan segera mendekap dibetis raksasa perempuan itu.

"Hei, anak manusia! Siapa kamu, kenapa berada di tengah hutan? tanya raksasa perempuan itu.

Dengan perasaan takut, La Sirimbone pun menceritakan tentang dirinya dan semua yang dialaminya hingga sampai di hutan itu. Mendengar cerita itu, raksasa perempuan itu pun merasa iba dan mengajak La Sirimbone untuk tinggal di rumahnya. La Sirimbone dimasukkan ke dalam sebuah kurungan.

"Kenapa aku dimasukkan ke dalam kurungan?" keluh La Sirimbone.

"Maaf, La Sirimbone! Aku sengaja memasukkanmu ke dalam kurungan agar kamu tidak dimakan oleh raksasa laki-laki. Ia selalu berkeliaran di hutan ini mencari mangsa," jawab raksasa perempuan itu. La Sirimbone pun menuruti perintah raksasa perempuan itu karena takut dimakan oleh raksasa laki-laki. Demikianlah, setiap hari La Sirimbone tinggal di dalam kurungan hingga ia tumbuh menjadi dewasa.

Oleh karena jenuh tinggal terus di dalam kurungan, La Sirimbone meminta izin untuk pergi berjalan-jalan dan berburu binatang di dalam hutan itu. Ia pun diizinkan dan dibuatkan panah oleh raksasa perempuan itu. Setelah setengah hari berburu, ia pun memperoleh banyak binatang buruan. Tiga hari kemudian, La Sirimbone kembali meminta izin untuk pergi menangkap ikan di sungai yang banyak ikannya. Ia pun diizinkan dan dibuatkan bubu (salah satu alat penangkap ikan). Bubu itu dipasang di sungai. Alangkah gembiranya ia, karena banyak ikan yang terperangkap ke dalam bubunya. Sebelum pulang, ia memasang kembali bubunya di sungai itu. Keesokan harinya, La Sirimbone kembali ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat bubunya kosong, tidak seekor ikan pun yang terperangkap di dalamnya.

"Aneh! Kenapa bubuku kosong? Padahal masih banyak sekali ikan di sungai ini," keluh La Sirimbone dalam hati. Akhirnya, ia kembali memasang bubunya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Ketika sampai di sungai, ia melihat jin sedang mengangkat bubunya. Oleh karena kesal, La Sirimbone pun menyerang jin itu. Maka terjadilah perkelahian dahsyat antara jin dan La Sirimbone. Dalam perkelahian itu La Sirimbone berhasil mengalahkan dan menangkap jin itu. La Sirimbone tidak mau melepaskannya., hingga akhirnya jin itu berjanji akan memberikan sebuah jimat berupa cincin yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit dan bahkan mampu menghidupkan kembali orang mati. 

Setelah menerima jimat itu, La Sirimbone bergegas pulang ke rumah raksasa perempuan dengan menyusuri tepi sungai. Di tengah perjalanan, ia melihat seekor babi yang sedang berjalan di atas air.

"Hei, Babi! Bagaimana kamu bisa berjalan di atas air?" tanya La Sirimbone heran.

"Aku memakai jimat kalung," jawab babi itu.

"Maukah kamu memberikan jimat itu kepadaku?" pinta La Sirimbone.

Babi itupun memberikan jimat kalungnya kepada La Sirimbone. Kemudian La Sirimbone mengalungkan jimat itu ke lehernya dan bisa berjalan di atas air. Tidak beberapa lama berjalan, ia bertemu dengan seorang nelayan yang sedang menangkap ikan.

"Hei, Pak Nelayan! Alat apa yang Bapak gunakan menangkap ikan di sungai?" tanya La Sirimbone.

"Saya menggunakan sebuah keris pusaka yang dapat menikam sendiri jika diperintah," jawab nelayan itu. Oleh karena tertarik, La Sirimbone pun meminta keris itu kepada si nelayan. Si nelayan pun memberinya dengan sukarela. Setelah itu, La Sirimbone kembali ke darat untuk meneruskan perjalanannya dengan menyusuri hutan. Di tengah perjalanan, ia bertemu orang-orang yang sedang mengusung jenazah. Ia pun memerintahkan orang-orang itu untuk menurunkan jenazah itu dari usungannya. Setelah membuka kain kafan jenazah itu, ia segera menggosok-gosokkan cincin pemberian jin di pusar jenazah itu. Seketika itu pula, jenazah itu hidup kembali. Semua pengantar jenazah tercengang melihat peristiwa itu. Setelah itu, La Sirimbone pulang ke rumah raksasa perempuan. Sesampainya di rumah raksasa perempuan, La Sirimbone pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya.

Pada hari berikutnya, La Sirimbone kembali meminta izin kepada raksasa perempuan untuk pergi berburu binatang di tempat yang agak jauh. Raksasa perempuan pun mengizinkannya, karena sudah tidak khawatir lagi dengan La Sirimbone. Apalagi La Sirimbone telah memiliki beberapa senjata pusaka. Setelah berpamitan, ia pun berangkat dengan menyusuri hutan dan lembah. Saat melewati sebuah perkampungan, La Sirimbone memutuskan untuk beristirahat sejenak dan meminta air minum kepada penduduk kampung karena kehausan. Ia pun berhenti di depan sebuah rumah yang pintunya sedikit terbuka. Ia berharap bahwa penghuni rumah itu ada di dalam. 

"Permisi! Apakah ada orang di dalam?" tanya La Sirimbone sambil mengetuk pintu rumah itu. Alangkah terkejutnya La Sirimbone saat melihat seorang gadis cantik jelita muncul dari dalam rumah. Namun, wajah gadis cantik itu tampak murung dan gelisah. "Maaf kalau saya mengganggu. Bolehkah saya meminta seteguk air minum?" pinta La Sirimbone.

"Boleh. Silahkan duduk dulu!" kata gadis itu seraya masuk ke dapur. Tak berapa lama, gadis itu kembali sambil membawa segelas air minum dan memberikannya kepada La Sirimbone.

"Terima kasih, gadis cantik!" ucap La Sirimbone.

"O, iya! Perkenalkan, nama saya La Sirimbone. Saya hanya kebetulan lewat di kampung ini dan hendak pergi berburu di sebuah hutan tidak jauh dari sini. Kamu siapa?" tanya La Sirimbone.

"Aku Wa Ngkurorio," jawab gadis itu dengan suara lirih.

"Kenapa kamu tampak sedih dan murung seperti itu?" tanya La Sirimbone sedikit memberi perhatian.

"Iya. Saya memang sedih, karena ajalku sebentar lagi tiba," jawab gadis itu.

"Apa maksudmu, Wa Ngkurorio?" tanya La Sirimbone penasaran.

"Saya sekarang sedang menunggu giliran dimakan oleh seekor ular naga. Saudara-saudaraku yang tujuh orang, kini sudah habis dimakan oleh ular naga itu. Yang hidup sekarang tinggal saya, ayah dan ibu saya," jelas Wa Ngkurorio dengan perasaan sedih.

"Sebaiknya kamu segera meninggalkan tempat ini. Saya khawatir kamu juga akan dimakan oleh ular naga itu," tambah gadis itu.

"Kamu jangan khawatir, ular naga itu tidak akan memakan kita. Jika dia datang, saya akan melawannya dengan senjata pusaka ini," kata La Sirimbone sambil mengeluarkan keris pusakanya dari balik bajunya.

"Tapi, ular naga itu sangat besar dan ganas. Walaupun seluruh penduduk di sini menghadapinya tidak akan sanggup mengalahkannya," ucap Wa Ngkurorio dengan perasaan cemas.

"Sudahlah, Wa Ngkurorio! Jangan takut, saya akan melumpuhkannya dengan keri pusakaku yang sakti ini," jawab La Sirimbone menenangkan hati gadis itu.

Menjelang sore hari, ular naga itu datang ke rumah Wa Ngkurorio. Mengetahui hal itu, gadis itu tiba-tiba menggigil ketakutan, sedangkan La Sirimbone tenang-tenang saja. Saat ular naga itu hendak masuk ke dalam rumah itu, La Sirimbone segera berbisik kepada keris pusakanya. Dengan secepat kilat, keris itu meluncur masuk ke dalam perut ular naga itu. Dalam sekejap, ular naga itu pun mati seketika, karena seluruh isi perutnya dikoyak-koyak oleh keris itu.

Wa Ngkurorio takjub melihat keampuhan keris pusaka La Sirimbone. Ia pun berterima kasih kepada La Sirimbone karena telah menyelamatkan nyawanya. Tidak berapa lama, para penduduk pun berdatangan ingin melihat ular naga yang sudah tergeletak di tanah itu. Mereka sangat gembira karena kampung mereka telah aman dari ancaman ular naga pemakan manusia itu. Untuk merayakan kegembiraan itu, mereka mengadakan pesta besar-besaran, dan untuk membalas jasa La Sirimbone, penduduk kampung menikahkan La Sirimbone dengan Wa Ngkurorio. Akhirnya, La Sirimbone tinggal di kampung itu dan hidup berbahagia bersama Wa Ngkurorio.   

Sumber: 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
Read More

Post Top Ad