Oktober 2014 - Blog Oblok Oblok

Hot

Post Top Ad

Ellete dan Sepatu Kurcaci

09.52 0
sepatu kurcaci ellete
Ellete adalah kurcaci imut dan lucu, Semua kurcaci yang baru bertemu dengan Ellete, Langsung menyukainya. Mereka tak bosan melihat wajah Ellete yang cantik. Sayang, saat ini, Ellete sedang iri. Ini gara-gara perhatian teman-temannya beralih pada sepatu baru milik Fay.

Ellete sangat ingin punya sepatu baru seperti Fay. Sayangnya, keinginannya itu tak bisa tercapai.

Menurut peraturan keluarga, Ellete boleh membeli sepatu baru jika sepatu lama sudah sempit, rusak atau hilang. Sedangkan sepatu Ellete masih bagus-bagus.

Ellete pergi ke taman bermain. Ia melepas sepatunya saat masuk ke kolam bola. Ia mandi bola sampai lupa waktu. Lalu dengan sengaja, ia pulang tanpa menggenakan sepatu.

"Ibu! Sepatuku hilang saat mandi bola," rengek Ellete begitu tiba dirumah, Ibu tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Tenanglah! Kita cari dulu sampai ketemu. Kalau benar-benar hilang, kita ajak ayah untuk membeli sepatu yang baru," hibur Ibu. Ellete langsung tersenyum ceria.

Sore hari, Ellete terlihat segar. Ia berharap akan ke toko sepatu bersama Ayah.

Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu depan.

"Wah, Pak Gnomeo! sambut Ibu.

Pak Gnomeo itu penjaga taman bermain. Ia datang sambil mengacungkan sepatu Ellete di tangannya," Hohooo....Saya mengantar sepatu Ellete yang tertinggal di taman bermain." Pak Gnomeo menyerahkan sepatu mungil yang lucu itu pada Ibu Ellete." Saya menemukan ini di semak-semak saat sedang membereskan taman."

Sepatu Ellete terbuat dari karet yang lentur. Modelnya unik dan lucu. Semua orangdi Negeri Kurcaci mengenalnya. Dimanapun mereka menemukannya, pasti akan segera mengembalikan pada Ellete.

Ellete langsung terlihat muram begitu pak Gnomeo berlalu.

"Ayo Ellete, kenakan lagi sepatumu!" Ibu menyorongkan sepatu itu ke hadapan Ellete. Dengan berat hati, Ellete mengenakannya lagi.

Esoknya, Ellete bermain di tepi danau. Ia mengajak Felik dan Simon bermain rakit. Saat asyik bermain, diam-diam Ellete menghayutkan sebelah sepatunya." Aduuh, sepatuku lepas sebelah!" seru Ellete.

Felix dan Simon kebingungan. Mereka tidak bisa menemukan sepatu Ellete yang hanyut. Ellete pulang tanpa alas kaki. Sebelah sepatunya ia tenteng untuk diperlihatkan kepada Ibu.

"Kenapa lagi Ellete?" tanya Ibu yang sedang menyapu.

"Sepatu kiriku hanyut, Bu." Ellete mengangkat sebelah sepatunya.

"Ya  sudah. Sebelah lagi, simpan di rak sepatu,"saran Ibu.

"Nanti sore belikan sepatu baru, ya, Bu!" bujuk Ellete.

"Iya. Kita tunggu ayahmu pulang," jawab Ibu.

Sorenya harinya, Ellete bersiap pergi ke toko sepatu. Ia duduk di beranda menunggu ayahnya pulang.

"Halo, Ellete!" Tiba-tiba, Paman Aeris berdiri di hadapannya.

"Hai, Paman!" sambut Ellete setengah kaget. Ellete terbelalak saat Paman Aeris mengacungkan sebelah sepatunya dengan riang." Sepatu ini tersangkut di jaring, saat Paman mencari ikan!" Paman Aeris memang terbiasa menjaring ikan di tepi danau. Kini, Ia menemukan sepatu Ellete di jaringnya. Paman Aeris membersihkannya hingga mengkilap, dan mengantarkannya pada Ellete.

Mendengar suara lain di beranda, Ibu segera keluar. " Ada apa gerangan, Ellete?" Ibu terlihat berseri-seri begitu melihat sepatu kiri Ellete. "Hooo sepatu itu?"

"Ya, sepatu ini tersangkut di jaring saya," jelas Paman Aeris. Ibu langsung meraih sepatu Ellete dan berterima kasih.

"Hmm...gagal lagi," keluh Ellete dalam hati.Berhari-hari, Ellete tidak berusaha menghilangkan sepatunya. Hingga ia menemukan ide untuk melempar sebelah sepatu ke atap rumah batu nenek penumbuk padi. Tetapi, Ellete bingung memikirkan alasan pada Ibu, jika ada yang menemukan sepatunya lagi.

Esoknya, Ellete tetap pergi ke halaman rumah nenek penumbuk padi. Ia ingin tahu, apakah rencananya bisa ia jalankan. Di sana, Ellete bertemu Vio, cucu nenek penumbuk padi. Ellete pun bermain dengan Vio. Saat bermain, Vio terus-terusan memuji sepatu Ellete. Bahkan Vio Bilang, ia ingin memilikinya.

"Kenapa tidak?" pikir Ellete. Hampir saja Ellete memberikan sepatunya pada Vio. Namun Ellete masih ragu-ragu. Kenapa Via terus-terusan memuji sepatunya? Kenapa juga orang-orang selalu berbaik hati mengembalikan sepatunya? Ellete memandang sepatu karetnya.

Sepatu itu memang pas dan nyaman dipakai di kakinya. Warnanya kuning, warna yang ia sukai. Tiba-tiba Ellete sadar, sepatunya memang unik dan lucu. Diam-diam, Ellete mengelus sepatunya dan berjanji untuk selalu merawatnya.

Sumber Oleh Irma Irawati 
Majalah Bobo Edisi 11, 20 Juni 2013

Read More

Sang Juragan Beras, Tawara Toda

08.06 0
sang juragan beras, Tawara Toda
Ilustrasi by Ibnu
Di suatu masa di negeri Matahari Terbit, Seorang Ksatria gagah berani bernama Fujiwara Hidesato memutuskan untuk melakukan sebuah perjalanan melintasi Negara, Beliau pergi dengan membawa kedua pedangnya, serta sebuah busur raksasa!

Setelah berjalan selama beberapa hari, Hidesato tidak menemukan apa-apa selain desa tempatnya singgah dan juga sawah hijau yang membentang. Tetapi kini ia akan menyeberangi sungai Biwa yang indah lewat sebuah jembatan yang menghubungkan kedua sisinya. Saat menyeberangi jembatan itulah Hidesato melihat seekor naga besar yang tidur memanjang diatasnya! Tubuhnya lebih besar daripada pohon beringin, dan hampir seluruh tubuhnya menutupi jembatan!. Ekornya ada di depan Hidesato, sementara kepalanya ada di sisi jembatan yang satu lagi. Saat diperhatikan, naga tersebut ternyata sedang tidur, kedua lubang di hidungnya sesekali mengepulkan asap hitam.

Meskipun sempat merasa ragu, Hidesato melangkah dengan gagah untuk tetap menyeberangi jembatan tersebut. Beliau mulai melewati naga tersebut dengan berjalan diatasnya. Sisik-sisik naga yang keras dan dingin tidak membuat Hidesato takut!. Akhirnya Hidesato sampai ke bagian kepala sang naga, dan melompat untuk sampai ke seberang jembatan. Beliau pun bermaksud untuk terus melanjutkan perjalanan tanpa menengok ke belakang. Tetapi terdengar suara seseorang memanggilnya!. Hidesato yang terkejut menengok ke belakang, dan mendapati bahwa sang naga sudah hilang!. Kini di tengah jembatan tersebut berdiri seorang laki-laki. Beliau sedang membungkuk dengan dalam ke arah Hidesato. Pria tersebut juga memakai sebuah mahkota yang sangat unik, bentuknya seperti seekor naga yang sedang bertengger! selain itu baju yang digunakannya pun memiliki motif sisik naga yang berwarna sama dengan naga yang sebelumnya dilihat oleh Hidesato.

"Apakah anda yang memanggil saya?" tanya Hidesato.

"Benar tuan," jawab sang pria. "Aku tadi memanggil tuan untuk membuat sebuah permohonan."
"Apa permohonan anda, jika saya mampu, pasti saya bantu."Tetapi siapakah anda?" tambah Hidesato.
"Saya adalah Raja Naga dari Danau Biwa. Istana kerajaanku ada tepat di bawah jembatan ini, di dasar danau. Saya dan keluarga besar saya sudah tinggal sangat lama di danau ini. Tetapi sudah beberapa tahun ini, keluarga kami hidup dalam ketakutan!. Hal itu disebabkan oleh Raja Kaki Seribu yang datang meneror kami setiap malam. Dulu dia mencari saya dan setelah mengetahui rumah saya ada di dasar danau, dan bahwa saya punya keluarga besar, dia berniat untuk memangsa keluarga saya satu persatu.

Hidesato mendengarkan dengan serius setiap perkataan dari Raja Naga. Setelah menarik nafas, Raja Naga melanjutkan,"saya tidak berdaya melawannya. Sementara keluarga saya terancam hidupnya setiap malam. Maka dari itulah saya mencari seorang pemberani untuk dimintai bantuan. Saya sengaja tidur di atas jembatan dalam bentuk sejati, yaitu naga yang menyeramkan untuk mengetahui siapa yang bisa melewatiku tanpa takut. Tetapi ternyata orang-orang yang melihatku malah lari ketakutan. Anda adalah yang pertama kali berani melewati tubuh saya tanpa takut. Saya yakin anda adalah orang yang tepat untuk membantu kami. Maukah anda membantu kami untuk membasmi Raja Kaki Seribu tersebut? tanya Raja Naga.

Hidesato memutuskan untuk membantu Raja Naga, dan mereka pergi ke dasar danau untuk menunggu Raja Kaki Seribu di Istana Naga. Saat sampai di istana yang luar biasa indah dan megah itu, Hidesato disambut oleh ikan-ikan emas yang gemulai, kepiting-kepiting merah serta kerang-kerang perak berkilauan. Hidesato juga ternyata bisa bernafas di dalam air, bahkan pakaiaannya pun tidak terasa basah!

Makan malam yang lezat lalu dihidangkan untuk Hidesato. Sambil makan makanan-makanan yang mewah, Hidesato dan Raja Naga dihibur oleh para ikan emas yang menari dengan piawai diiringi musik yang dimainkan oleh para kepiting merah.  Mereka terus menghibur hingga tengah malam tiba. Nah, pada waktu tersebut semua penghuni istana mengundurkan diri dari hadapan raja dan langsung bersembunyi karena Raja Kaki Seribu akan datang pada tengah malam.

Dari kejauhan terdengar gemuruh suara kaki yang ternyata dari sang Raja Kaki Seribu! Yang terlihatang  pertama adalah sepasang mata terang seperti bola apai sedang menuju istana naga. Lalu akhirnya terlihat tubuh raksasanya yang besar dan panjang! Hidesato menenagkan Raja Naga yang gemetar ketakutan dan meyakinkan beliau bahwa dia akan membunuhnya dengan panah!

Hidesato yang hanya memiliki tiga anak panah saja mengarahkan anak panah pertamanya ke kepala Kaki Seribu dan mengenai tepat diantara kedua matanya. Tetapi ternyata panahnya mental! Lalu anak panahnya yang kedua diarahkan ke tempat yang sama, dan tetap mental.

Sebelum melepaskan anak panahnya yang terakhir, Hidesato tiba-tiba ingat bahwa kelemahan Kaki Seribu adalah ludah manusia. Meskipun ini bukanlah binatang kaki seribu yang kita temui di taman, tetapi tidak ada salanya untuk mencoba, pikir Hidesato. Dia lalu memasukkan ujung anak panah terakhir ke dalam mulutnya dan dengan mantap menembakkannya ke tempat yang sama, dan ternyata kali ini panahnya menancap dengan mantap!. Sang Kaki Seribu pun jatuh seketika, dan tidak lama kemudian diam tak bergerak.

Para penghuni istana bersorak sorai dan bergembira karena sosok yang meneror mereka kini sudah tidak bisa menganggu mereka lagi!. Hidesato lalu dijamu dengan sangat baik selama tinggal di Istana Naga. Meskipun sang Raja Naga sudah memohon kepada Hidesato untuk tetap tinggal bersama keluarganya di Istana Naga. Hidesato tetap ingin melanjutkan perjalanan dan kembali kepada keluarga. Sebagai tanda perpisahan, Raja Naga memberikan lonceng tembaga yang sangat besar, satu karung beras, satu gulung kain sutra, sebuah panci untuk memasak, serta sebuah lonceng kecil. Hadiah-hadiah tersebut dibawakan oleh beberapa pengawal yang berubah wujud menjadi manusia untuk perjalanan darat. Hidesato pun pamit dari Istana Naga, dan semua penghuni istana mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih kepadanya.

Sesampainya di rumah, Hidesato disambut oleh keluarganya, dan setelah mengantarkan hadiah, para pengantar pun minta diri untuk kembali ke Istana Naga. Meskipun terlihat sederhana ternyata hadiah-hadiah tersebut bukanlah barang biasa! Lonceng besarnya diberikan ke kuil untuk dibunyikan setiap jam 12 siang, dan bunyinya terdengar hingga puluhan desa sekitar tempat keluarga Hidesato!. Lalu kain sutranya tidak pernah habis, meskipun sudah dipotong untuk dibuatkan pakaian bagi seluruh keluarganya!. Sementara itu panci hadiah juga selalu memasak makanan yang lezat meskipun memasak tidak menggunakan bumbu!. Lalu, yang terakhir adalah beras yang tidak berkurang dari dalam karungnya!. Hidesato selalu membagi-bagikan beras tersebut ke para tetangganya yang memerlukan, dari situlah beliau mendapat julukan Tawara Koda, atau juragan beras.

Disadur dari cerita rakyat Jepang oleh Julian Lasut
Diterbitkan oleh: Majalah Kiddo 105, Februari 2014




Read More

Hompi dan Pimpa

03.23 0
Hompi dan Pimpa
Ilustrasi by Ibnu
Hompi adalah seorang pemuda sederhana yang rajin. Ia berkerja merawat sawah-sawah milik para petani kaya. Hompi tinggal bersebelahan dengan Pimpa, seorang pedagang yang licik.

Suatu hari, tumbuh sebuah tunas di halaman depan rumah Hompi dan Pimpa.

"Lihatlah, Hompi. Ada tunas pohon mangga yang tumbuh tepat di perbatasan halaman rumah kita berdua. Baru kali ada tanaman yang tumbuh di halaman kita," kata Pimpa senang.

"Mungkin angin menerbangkan benih ini kesini. Kita beruntung, Pimpa. Tanaman ini kita rawat bersama saja. Kalau sudah tumbuh dan berbuah, hasilnya nanti kita bagi sama,' ujar Hompi senang.

"Tapi sayangnya, aku harus berdagang di pasar dari pagi sampai sore. Aku tak akan sempat merawat tanaman ini," tukas Pimpa.

"Oh, tenang saja, Pimpa. Biar aku yang merawat tanaman ini,' ujar Hompi semangat.

Sejak itu, Hompi pun merawat tanaman itu dengan telaten. Akhirnya, tunas itu tumbuh menjadi pohon besar dengan daun-daun yang rimbun.

Namun, Pimpa malah menjadi sering kesal. "Huh! Gara-gara pohon ini, halaman rumahku jadi kotor,' gerutu Pimpa. Ia lantas memanggil Hompi.

"Hompi! Lihatlah, setiap hari, ada saja daun yang jatuh di halaman kita. Kudengar daun ini bisa dijadikan pupuk. Kalau kau mau ambil saja daun-daun yang jatuh di halamanku. Aku tidak butuh!"

"Benarkah? Terima kasih, Pimpa!" Hompi senag sekali.

Pimpa tersenyum licik. Ia senang sekali karena bisa memanfaatkan Hompi.

Sejak saat itu Pimpa bisa punya halaman yang bersih tanpa harus bersusah payah menyapu sendiri.
Hompi yang selalu menyapukan, mengumpulkan, dan mengambil daun-daun gugur itu.

Waktu pun berlalu. Pohon mangga itu berbuah lebat. Saat buah-buahnya matang, Pimpa diam-diam memetiki semua buahnya dan menjualnya ke pasar.

Saat pulang dan bertemu Hompi, Pimpa berkata, " Hompi dulu kita sudah sepakat untuk membagi hasilnya, sama rata. Setelah kupikir-pikir, selama ini aku sudah memberikan daun-daunku padamu. Jadi kurasa adil, kalau buah-buahan bagianmu jadi milikku. Ah, tetapi lihat, aku tetap berbaik hati. Ambillah sisa buah mangga yang tadi kujual!" Pimpa memberikan lima buah mangga pada Hompi.

Hompi tetap berterima kasih dan menerimanya.

Pimpa puas sekali karena tidak protes dengan kelicikannya.

"Oh, ya, Hompi. Aku berencana untuk berjualan ke kota. Aku butuh biaya perjalanan dan biaya untuk tinggal disana. Karena itulah, aku berniat menebang pohon ini. Kayunya akan kujual. Kuharap kau tidak keberatan," Pimpa memohon.

"Mmm, baiklah, kalau kau memang sangat butuh," sahut Hompi berbesar hati.

Dengan dibantu Hompi, Pimpa pun lekas-lekas menebang pohon mangga yang besar itu.

Esoknya, Pimpa menjual kayu-kayunya ke pasar dan mendapatkan untung banyak. Tetapi, ia mengatakan sebaliknya pada Hompi.

"Oh, uang hasil menjual kayunya tidak begitu banyak. Jadi, aku tidak bisa membaginya denganmu. Kau sudah mendapatkan semua daun dari pohon mangga kita. Kau juga sudah keberi lima buah mangga kemarin. Kuharap kau tidak kecewa karena tidak mendapat uang penjualan," kata Pimpa licik.

"Ya, ya, aku mengerti Pimpa," sahut Hompi sabar.

Setelah itu, Pimpa pun pergi ke kota. Ia ingin sekali menjadi pedagang yang sukses. Tetapi, karena ia berdagang dengan tidak jujur dan sering menipu pembeli, ia akhirnya dijauhi pembeli. Akhirnya dagangannya tidak laku. Pimpa jadi rugi. Setelah beberapa tahun berlalu, keadaanya tetap sama. Pimpa pun memutuskan untuk pulang ke desanya.

Alangkah kagetnya Pimpa, ketika ia bertemu Hompi. Kini temannya itu sudah menjadi saudagar mangga yang kaya.

"Bagaimana kau bisa jadi saudagar mangga, Hompi? Bukankah pohonnya sudah kita tebang? Apakah angin menerbangkan benih mangga ke halamanmu? tanya Pimpa heran.

"Oh, tidak, Pimpa," jawab Hompi. "Ingat dengan pembagian pohon mangga kita itu? Daun-daun yang kudapat, kuolah menjadi pupuk yang menyuburkan tanah di halamanku. Dan aku menanam lima biji mangga yang kau berikan padaku. Bijinya tumbuh dan menghasilkan buah-buah yang kemudian kujual ke pasar. Tetapi aku tidak langsung menebangnya, karena setiap musim mangga datang, pohon-pohon itu akan berbuah lagi dan lagi. Hasil penjualan mangganya kugunakan untuk membeli tanah hingga aku akhinya punya kebun mangga yang lebih luas. Dan akhinya, jadilah seperti sekarang."

Pimpa tersenyum kecut.Hasil kelicikannya malah membuat Hompi mendapatkan untung. Sedangkan ia sendiri, malah hanya mendapatkan kerugian.

Oleh: Nina S.
Sumber: Bobo/edisi 34/terbit 28 November 2013



Read More

Awan yang Berwarna

03.15 0
awan berwarna
Ilustrasi by: Ibnu
Satu-satunya peri langit yang paling bete saat itu mungkin cuma Kludy, si peri awan. Dia sedang bosan luar biasa. Dengan merengut, Kludy memintal awan-awan putih. Setelah jadi beberapa pintalan, dilemparnya awan itu begitu saja ke langit.

Twinky, peri bintang kecil lewat."Ya, ampun. Kludy! Awan-awan apa yang sedang kau buat? Ngawur sekali! Raja Matahari pasti akan terkejut besok pagi."

Kludy tidak peduli. Diliriknya awan-awan yang tadi dilemparnya. Langit dipenuhi totol-totol gumpalan awan. Seperti kain hitam bermotif polkadot putih."Biar saja!" gumamnya kesal.


Sepertinya Twinky tahu suasana hati Kludy. Dia menyarankan Kludy jalan-jalan dulu mencari udara segar.

Kludy menurut, meski masih tetap merengut. Dia melewati rumah Ririnbow, peri pembuat pelangi.

"Hai, Kludy," sapa Ririnbow ramah. "Mampir, yuk!"

Kludy mampir. Dilihatnya Ririnbow sibuk sekali dengan kantung-kantung semar dihadapannya. "Untuk apa kau kumpulkan tumbuhan itu?"

"O, ini adalah wadah cat pelangi," jawab Ririnbow singkat.

Dia tangkas sekali mengatur kantung-kantung semar. Lalu dia mengucapkan mantra-mantra. Dalam sekejab, kantung-kantung semar itu berisi cat beraneka warna. Bahan pembuat pelangi. Kludy takjub melihatnya.

"Tidak ada persediaan warna seperti itu lagi?" Kludy mulai penasaran.

"Warna pelangi tidak boleh disimpan. Baru dibuat kalau akan diperlukan. Tetapi, ssttt, sebenarnya aku punya warna lain di gudang. Warna-warna yang gagal kubuat, dulu, saat aku masih belajar menyihir warna," terang Ririnbow."Maaf, Kludy, aku harus berangkat membuat pelangi di Timur. Kali lain kita main bersama kalau aku sedang tidak bertugas, ya!"

Kludy melambaikan tangan kepada Ririnbow. Hei, dia sudah kehilangan sedikit rasa bosannya. Sekarang ada rasa lain yang menyergapnya. Kludy tersenyum simpul.

Kludy membuka pintu gudang Ririnbow. Wah itu hal yang tidak boleh dilakukan di rumah orang! Tetapi, Kludy begitu penasaran. Matanya memandang berkeliling. Dicarinya warna gagal yang tadi dikatakan Ririnbow. Kludy menemukan warna kehitaman, kemerahan, kuning dan cokelat di kantung  semar yang sudah tidak bagus lagi bentuknya. Kludy cekikikan sendiri membayangkan seandainya pelangi berwarna seperti itu.

Keisengan mulai muncul. Kludy  mengambil semua warna itu. Sembari bersiul-siul, Kludy menetesi awan-awan yang telah dibuatnya dengan warna yang dibawanya.

"Kludy, minggir, aku akan mulai meniup awan!" ujar Winny si peri angin. Winny tampak terkejut dengan awan-awan Kludy yang berwarna. Tetapi, dia tidak terlalu peduli. Dia harus segera melakukan tugasnya. "Awan-awan baru, ya?"

Kludy mengangguk sambil menahan tawa. Dia malah menyuruh Winny agar meniup awannya ke arah yang berbeda menurut kelompok warna masing-masing. Winny menurut saja. Awan-awan itu ditiupnya ke berbagai arah. Kludy bertepuk tangan kegirangan.

"Minggir,Kludy!" Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan mengejutkan Kludy yang masih cekikan sendiri. "Aku harus menurunkan hujan."O,o, Rainy datang. Dia adalah peri yang bertugas membuat hujan.

Seperti Winny, Rainy pun terkejut melihat gumpalan-gumpakan awan yang berwarna-warni."Ini harus dibuat hujan juga?" tanyanya sambil menatap Kludy dengan heran.

Kludy mengangguk. "Tentu saja! itu awan yang baru kubuat. Tidak usah banyak tanya. Turunkan saja hujan sesuai tugasmu."

Hujan pun turun dari awan-awan berwarna buatan Kludy. Air yang turun juga berwarna-warni. Manusia-manusia di dunia, yang semula kulitnya tidak berwarna menjadi sangat heran. Mereka basah oleh air hujan yang berwarna-warni itu. Kludy tertawa girang, Dia sudah tidak bete lagi.

Kludy memang sudah tidak bete. Namun sayang sekali, dia sekarang harus menerima hukuman dari Raja Matahari. Karena ulahnya itu, manusia-manusia di dunia tidak bisa membersihkan tubuh dari warna yang didapat. Warna itu melekat sepanjang hidup mereka. Begitu juga dengan keturunan-keturunan mereka. Itulah ceritanya, mengapa manusia di dunia berbeda warna kulitnya.

Untung, dulu Kludy tidak membuat awan berwarna pelangi, ya! kalau sampai terjadi, pasti deh, ada manusia berkulit biru atau hijau. Hi hi hi, seperti apa, ya?

Sumber: Majalah Bobo Edisi 14 Terbit 11 Juli 2013
Read More

Post Top Ad